“Sudah diantar sampai sini saja,” ucap Ara menahan Liam yang hendak masuk ke halaman rumahnya.
“Aku mau pamitan sama orang tua kamu, gak sopan rasanya sudah empat kali kita bertemu aku belum pernah berkenalan,” ucap Liam menolak untuk pergi dan berdiri tegak dengan tangan kanan dan kiri membawa hasil belanjaan Ara.
“Ih, gak usah! Temen kampus dan kantorku saja mungkin sudah ratusan kali bolak balik anterin aku pulang tapi gak ada yang pake mampir. Gak usah!” tolak Ara sambil mendorong tubuh Liam yang tinggi dan atletis itu agar keluar dari halaman. Tetapi Ara yang ramping tak mampu menggerakkan sedikitpun tubuh Liam yang seolah berdiri kokoh.
“Astagfirullah! Ngapain kalian peluk-pelukan begitu?! Bukan muhrim!” tegur seseorang dibelakang Ara dan Liam yang tengah dorong-dorongan. Suara itu dari Retno-ibunya Ara.
“Kita gak peluk-pelukan, Ma!” protes Ara tak terima dituduh seperti itu.
“Ada apa, Ma? Kok marah-marah begitu?” tanya seseorang keluar dari pintu depan. Pria itu adalah Akbar-ayah Ara.
“Assalamualaikum, Om Tante, perkenalkan saya Liam,” ucap Liam cepat dan segera menghampiri lalu bersalaman kepada kedua orang tua Ara.
“Liam? Liam ini yang katanya anak pemilik perusahaan dimana Joddy bekerja ya? Oalah, silahkan masuk nak Liam … mari … mari …,” sambut Retno sambil merapikan kerudungnya.
Liam pun tersenyum dan mengangguk lalu menoleh penuh kemenangan kearah Ara yang menatapnya sebal.
Suasana di dalam ruang tamu rumah Ara yang kecil terlihat ramai malam itu. Bahkan Akbar segera menghubungi adiknya- Rania untuk memberitahu bahwa ada Liam dirumah mereka. Garin-adik bungsu Ara pun ikut nimbrung menyambut tamu sang kakak.
“Ini apa tho, nak Liam?” tanya sang ibu ketika melihat banyak tas belanjaan yang Liam letakan di kursi sudut.
“Oh, tadi siang Ara pergi berbelanja dengan ibu saya, jadi ini hasil belanjaannya Ara,” jawab Liam mencoba menjelaskan. Retno dan Akbar pun saling bertukar pandang.
“Jadi Ara sudah bertemu dengan ibunya-nak Liam tho? Anu, begini ya nak … rasanya kurang pantas jika baru berkenalan sudah langsung merepotkan dengan dibelanjakan sebanyak ini. Nanti, takutnya orang-orang jadi salah paham sama Ara. Apalagi tadi kalian peluk-pelukan didepan …”
“Itu bukan pelukan, Pa. Ara mau suruh Om mas ini pulang!” potong Ara tak terima dituduh berpelukan dengan Liam.
“Hush! Kamu tuh kaya gak pernah diajarin sopan santun, orang mau berkunjung malah disuruh pulang!”
“Tapi …,”
“Assalamualaikum! Ya ampun ada mas Liam disini yaa!”
Belum sempat Ara menyelesaikan bicaranya tiba-tiba sang tante-Rania muncul di depan pintu rumahnya dan membuat Ara segera memukul jidatnya perlahan. Komplek rumah Rania memang tak jauh dari rumah Ara sehingga bisa dengan secepat itu sang tante tiba. Ruang tamu itu mendadak penuh sesak dengan banyak orang yang ingin bertemu dengan Liam.
Liam duduk dengan rapi dengan Ara yang duduk menempel di sampingnya. Sedangkan di depannya ada empat orang yang seolah bergantian bertanya tentang hubungannya dengan Ara.
Apalagi saat Rania tahu bahwa Ara sudah pergi dan berbelanja bersama Lea, seolah menjadi sinyal kuat bahwa ada hubungan serius antara keponakannya dan anak bos suaminya.
“Jadi sebenarnya hubungan kalian gimana saat ini?” tanya Rania antusias.
“Apa kamu beneran serius sama anak bapak?” tanya Akbar menimpali.
“Mas, gak mau mandi garam dulu sebelum beneran mau punya hubungan dengan kakak saya? Takutnya kena sirep gitu loh,” ucap Garin ikut berkomentar merasa tak masuk akal pria seperti Liam mau dengan Ara yang berantakan.
“Garin!” tegur Rania sang tante sambil mencubit keponakan diam-diam.
Ditanya bertubi-tubi begitu spontan Liam meremas jemari tangan Ara sambil tersenyum kikuk.
“Ihhhh, Om Mas! Ngapain sih?!” tolak Ara setengah berbisik dan mencoba melepaskan tangannya dari genggaman Liam, ia tak ingin keluarganya semakin salah paham. Tapi Liam tetap bertahan tak melepaskan genggamannya, ia kadung basah dengan semua permainannya, tak mungkin mundur lagi.
“Tapi kami butuh waktu untuk saling mengenal satu sama lain, hanya kalau soal serius saya serius,” jawab Liam pasti.
“Astagfirullah! Pikirin lagi mas!“ Garin segera mengusap wajahnya tak percaya dengan pendengarannya dan mendapatkan banyak cubitan dari ibu dan tantenya.
“Nggak! Ara gak mau! Kalau Om mas mau serius, Ara sebaliknya,” tolak Ara panik mendengarkan ucapan Liam.
“Ara malu ma, kayanya gak cocok Ara berada dilingkungan Om mas!” ucap Ara mengungkapkan rasa ketidakpercayaan dirinya. Mendengar ucapan Ara, Liam segera menoleh dan mengangguk setuju. Di dalam hatinya ia pun merasa Ara tidak nyaman di lingkungan Liam.
“Ara! Kalau kamu gak mau harusnya dari kemarin, bukan disaat kamu udah peluk-peluk anak orang trus terima barang-barang dari orang tuanya!” tegur Retno gusar dengan sikap anak gadisnya. Liam pun kembali mengangguk setuju dengan ucapan Retno.
“Kalau menurut nak Liam sendiri gimana? Karena bagaimanapun kalian beda dunia?” tanya Akbar menanyakan pendapat Liam.
“Akh, saya memang serius sama Ara tetapi bukan berarti besok langsung nikah juga. Bagaimanapun kami butuh pendekatan dan penyesuaian,” jawab Liam diplomatis.
“Tapi rasa suka dan cinta itu udah ada dong? Udah tumbuh kayanya … udah sih yaa….” tanya Rania bersemangat.
“Apaan sih tante, cinta-cintaan?! Ketemu aja baru empat kali,” gumam Ara dongkol dan sedikit malu mendengar pertanyaan seperti itu.
“Kalau tante sih cuma mau berpesan sama nak Liam, gimanapun Ara anak perempuan tante satu-satunya. Kami menjaganya sepenuh hati dan diiringi dengan doa setiap hari. Kalau memang mau serius, tolong benar-benar serius dan bisa menerima kekurangan dan kelemahannya. Tapi jika hanya ingin sekedar main-main, lebih baik tidak usah, biar kalian tidak buang-buang waktu dan bisa menemukan jodoh kalian masing-masing yang sebenarnya.”
Liam sedikit tersentak dengan ucapan Retno.
“Gimana pun lingkungan dan kehidupan kalian berdua sangat berbeda. Tante gak ngerti apa yang nak Liam lihat dari anak tante sehingga tertarik sama Ara. Alhamdulilah, jika respon orang tua nak Liam baik terhadap Ara. Tapi tetap tante pesan supaya hubungan kalian ini benar-benar dipikirkan baik-baik ya. Kalau nanti tidak cocok, jangan dipaksakan.”
Liam terdiam dan menoleh kearah Ara yang menundukkan kepalanya sambil merengut.
Di dalam hatinya ada rasa bersalah, karena ia seolah mempermainkan satu keluarga untuk menutupi hubungannya, bukan hanya Ara. Tapi melepaskan Ara pun ia merasa enggan, ia merasa tak enak hati. Walau begitu di dalam hatinya ia tak menolak Ara atau merasa jijik atau sebal padanya. Gadis ini menyenangkan untuknya.
“Boleh beri kami waktu untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain? Saya tahu, sepertinya untuk menyatakan bahwa saya serius pada Ara memang terlalu cepat, karena kami baru empat kali bertemu. Tapi Ara berbeda dengan wanita lain sehingga saya tertarik padanya. Ra, kamu mau coba gak untuk menjalin hubungan denganku?”
Pertanyaan Liam membuat Ara menoleh dan menatap pria yang ada di sampingnya itu. Ada perasaan aneh dihatinya. Dua orang yang berasal dari antah berantah ini seolah dipaksa untuk terus menerus saling bertemu. Walau sikapnya kadang sinis, tapi Liam tak pernah memberi jarak dan memandang Ara rendah. Bahkan ia berani untuk bertemu dengan kedua orang tua Ara disaat mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Ara menggaruk kepalanya yang tak gatal. Tapi Liam menggenggam jemari tangannya makin erat membuatnya sadar harus melakukan apa. Perlahan Ara pun mengangguk. Toh, ia tak akan segera dinikahkan dengan Liam dan selama ini ia tak pernah punya pacar dan pengen punya biar kaya orang-orang. Tak ada salahnya menjalin hubungan dengan pria disampingnya ini. Walau Ara sebenarnya risi karena usia Liam 12 tahun diatas usianya.
Melihat anggukan Ara, terlihat senyuman di raut wajah kedua orang tua Ara dan sang tante, hanya Garin yang menggelengkan kepala.
“Kalau begitu saya sekalian minta izin untuk menjalin hubungan dengan Ara sama Om dan Tante. Saya janji bentuk hubungan kami sewajarnya dan tidak akan merusak nama baik Ara dan keluarga. Saya juga mau izin jika sesekali saya mengajak Ara pergi,” ucap Liam meminta izin pada kedua orang tua Ara.
“Kami benar-benar mohon supaya kalian tidak melakukan hal yang bisa mencemarkan nama baik keluarga ya dan setiap hendak membawa Ara pergi, tolong selalu ijin pada kami,” pinta Akbar. Liam pun mengangguk lalu berpamitan karena hari semakin malam.
“Aku pulang ya, Ra,” pamit Liam ketika Ara mengantarnya keluar rumah. Ara hanya mengangguk tanpa mengucapkan apa-apa. Sebelum masuk ke dalam mobil Liam sempat menoleh kembali kearah Ara. Gadis itu tampak anggun saat berdiri dengan tenang tanpa tingkah liarnya. Spontan Liam menarik tangan Ara untuk mendekat padanya dan mengecup kening Ara yang masih benjol.
“Mas?”
“Sengaja aku ‘cup’ biar benjolnya cepat sembuh. Aku pulang ya, sayang. Udah boleh dong bilang begitu?” goda Liam. Ara hanya diam tapi pipinya tampak bersemu merah. Liam hanya tersenyum dan segera memasuki mobilnya. Hatinya mulai gelisah. Di satu sisi ia masih ingin berhubungan dengan Lydia disisi yang lain ia sangat menghormati keluarga Ara yang begitu menjaga anaknya dengan baik. Ia tak ingin mengecewakan keluarga kecil itu. Walau hidup sederhana, tapi mereka keluarga yang baik.
Bersambung.