Liam terbangun saat sinar Matahari menyusup diantara kisi-kisi jendela yang tertutup tirai. Ia terduduk saat menyadari bahwa sedang tidak tidur dikamarnya sendiri dan baru sadar bahwa ia menginap dirumah keluarga Joddy.
Dengan cepat Liam membersihkan dirinya dan melihat bahwa sudah ada anduk, pasta dan sikat gigi untuk ia gunakan. Setelah bersih, perlahan ia keluar dari kamar tamu itu dan bertemu dengan Ara yang wajahnya sembab tampak habis menangis. Tak hanya ada Ara disana tapi juga Rania yang tampaknya habis memarahinya.
“Sudah bangun, mas Liam?” sapa Rania ramah. Sikapnya sudah tak sedingin dan segalak kemarin saat Liam mengantarkan Ara pulang ke rumah tantenya. Liam hanya tersenyum dan mengangguk. Ia sedikit kikuk karena berada dirumah orang yang sebenarnya asing untuknya.
“Ayo sarapan dulu, tante sudah siapkan sarapan kamu dan Ara di halaman belakang. Biar pada seger setelah tadi malam pada mabuk, bukan?” sindir Rania sambil melirik kearah keponakannya yang masih merengut.
“Ara, ayo anter mas Liam kebelakang. Kamu temani dia sarapan dulu sebelum dia pulang!” suruh Rania masih sedikit judes pada Ara. Ara pun mengangguk lalu melangkah terlebih dahulu kearah taman di rumah tantenya yang besar dan menyuruh Liam mengikutinya.
Setelah Ara dan Liam pergi ke halaman belakang, Alia dan Joddy pun muncul dibelakang Rania dan mereka bertiga segera menuju ruang makan, dimana mereka bisa melihat aktivitas Ara dan Liam dari sana.
“Kamu tuh jangan galak banget sama Ara, kasihan dia sampe nangis begitu,” tegur Joddy sembari mengambil cemilan kacang dan duduk disamping istrinya.
“Biar aja! Sok-sok an ikutan minum alkohol!” gerutu Rania sambil ikutan makan kacang.
“Ma, kayanya mereka berantem deh,” ucap Alia setengah berbisik pada ibunya dan membuat Joddy juga Rania fokus pada Ara dan Liam yang tengah duduk ayunan sofa. Sikap Ara yang membelakangi Liam menunjukan kalau ia tengah marah pada pria itu.
Raut wajah Liam yang juga tampak menegang saat berbicara dengan Ara seolah memberitahu bahwa pasangan itu tengah berdebat.
“Kalau dari gesture nya sih udah cocok jadi suami istri ya, Ma. Kita kawinin aja apa ya?” tanya Joddy pada istrinya.
“Hush! Liamnya kan belum mau, terakhir sih dia bilang masih mau pendekatan dulu dan saling mengenal sama Ara.”
“Akh, kayanya gak perlu lama-lama mereka kenalannya. Walau baru beberapa kali bertemu, kalau lihat dari sikap sih udah kaya kita suami istri berantem. Udah kaya kenal lama.”
“Aku tuh sebenarnya gak pengen buru-buru lihat Ara nikah, tapi kalau kelamaan nanti Liam kabur ya, Pa.”
“Gak usah pake lama juga besok pasti mas Liam itu pasti kabur, Ma. Lihat aja, tuh! Mbak Ara lagi jambak-jambak rambut mas Liam.”
Ucapan Alia membuat Joddy dan Rania segera menoleh kearah jendela dan melihat Ara yang awalnya duduk disamping Liam, kini sudah berada diatas pangkuan pria itu dan tengah menjambak rambut Liam dengan kedua tangannya. Ara tampak sangat kesal sedangkan Liam tampak berusaha melepaskan tangan Ara dari rambutnya.
Melihat hal itu Joddy dan Rania segera melompat dari duduknya dan berlari menuju taman belakang.
“Ya Allah, Ra! Gak punya kerjaan besok Om!” pekik Joddy sambil mencoba melerai Ara dan Liam.
“Ara! Anak orang jangan kamu siksa gituuu,” teriak Rania merasa cemas melihat Liam yang tampak kesakitan dijambak Ara.
“Ara kesel banget sama Om Mas! Gara-gara Om Mas Ara dimarahin tante Rania!” ucap Ara yang berhasil ditarik turun dari pangkuan Liam. Liam hanya bisa terengah-engah sambil memegangi rambutnya seolah memeriksa bagian mana yang menjadi botak akibat jambakan Ara.
“Ya Allah Ra, belum nikah aja kamu udah kdrt calon suami, gimana kalau udah nikah?!” keluh Rania melihat kelakuan keponakannya yang brutal.
“Abis Ara kesel!” keluh Ara sambil menyentakan kaki.
“Duh, maaf ya mas Liam. Mungkin Ara masih mabuk,” ucap Rania tak enak hati sambil membantu menata rambut Liam yang berantakan akibat jambakan Ara.
“Gak apa-apa tante… gak apa-apa…,” jawab Liam masih syok dengan tingkah Ara.
“Ara! Minta maaf sama mas Liam!” suruh Joddy cepat.
“Gak mau!” tolak Ara.
“Kalau kamu gak minta maaf, besok Om gak punya kerjaan! Ayo cepet!” ucap Joddy setengah berbisik dan menarik Ara mendekati Liam untuk minta maaf.
“Gak apa-apa, Om. Biarkan saja kalau dia gak mau minta maaf… saya gak apa-apa kok … paling video nyanyinya aku sebarin,” ucap Liam pada Joddy dan di kalimat terakhir dia berbisik di telinga Ara dan membuat Ara kembali bereaksi menggila.
“Tuhhh kan! Dasar jahat! Om Mas Jahaat!” ucap Ara mencoba memukuli Liam, tapi kali ini Liam sigap ia segera berdiri dan memeluk pinggang Ara dengan erat.
“Lepas!” jerit Ara saat Liam memeluknya pinggangnya erat.
“Nggak! Kalau kamu gak minta maaf dan janji bersikap baik, aku gak akan lepasin kamu!” ucap Liam balik mengancam.
“Gak mau!”
“Aku cup nih!”
“Gak mau! Om Mas pemeras!”
Cup. Tiba-tiba Liam kembali mengecup bibir Ara cepat dan membuat Rania dan Joddy syok, sedangkan Alia melihatnya menjadi hal yang romantis.
“Ihhh, Omm Massss kebiasaan main cap cup meluluuuu!”
“Abis kamu gemesin,” gumam Liam sambil mencubit pipi Ara lembut. Dijambak oleh Ara membuatnya syok sekaligus bersemangat tiba-tiba.
“Haduh, Pa. Ini sudah harus dikawinin. Kamu harus bilang sama pak David,” bisik Rania canggung kepada suaminya. Joddy pun hanya bisa mengangguk dan berbisik pada Rania,
“Kita kayaknya udah lama gak cup cup pan, aku juga mau, Ma.” bisikan Joddy hanya mendapatkan cubitan di pinggang Joddy dari Rania.
***
Liam hanya bisa mendesah perlahan. Gara-gara kecupannya pada Ara, kini ia ditodong untuk mempertemukan orang tuanya dengan orang tua Ara oleh Rania dan Joddy. Jika sudah pertemuan dua keluarga begini, tandanya hubungan ia dan Ara harus semakin serius.
Ia baru saja sampai dirumah dan segera mengurung dirinya dikamar. Handphonenya berbunyi tiada henti mendapatkan banyak pesan dari Lydia. Perempuan itu merasa cemas dan penasaran mengapa Liam mendadak menghilang dan tak menghubunginya sejak semalam. Liam pun segera membalas pesan Lydia dengan memberitahu bahwa malam ini ia akan datang ke tempat tinggal Lydia untuk menjelaskan semuanya.
Liam segera mengganti pakaiannya dan merapikan diri untuk berangkat pergi menemui Lydia. Ia baru saja keluar kamar saat berpapasan dengan sang ibu yang sejak kemarin perang dingin dengannya.
“Sore, Ma.” Liam mencoba membuka pembicaraan dengan sang ibu. Tapi Lea hanya melengos tak mempedulikan anak sulungnya.
“Ma, orang tua Ara ingin bertemu dengan Mama dan Papa,” ucap Liam spontan untuk memancing sang ibu agar bisa segera mencairkan suasana.
Sebenarnya ia tak peduli jika orang tuanya setuju atau tidak hubungannya dengan Ara. Jika Lea menyuruhnya untuk mencari pengganti Ara, ia pun tak keberatan. Jika mereka mendukung Ara, Liam pun tak peduli dan akan mengikutinya. Ia sudah tak ingin membuat orang tuanya, terutama sang ibu terus menerus membencinya karena berhubungan dengan Lydia.
“Kita bicarakan nanti saja kalau papa kamu sudah pulang,” jawab Lea dingin tapi membuat seulas senyum di wajah Liam. Untuknya, walau masih bersikap dingin, tapi jika Lea menjawab pertanyaannya tandanya sang ibu sudah luluh dan telah menerimanya kembali. Ia hanya butuh kalimat yang tepat untuk menaklukan hati sang ibu.
“Oke, aku pergi dulu ya, Ma.” pamit Liam segera meninggalkan sang ibu sendiri dengan perasaan riang karena anggukan Lea sudah berbeda, raut wajahnya sudah terlihat riang kembali seperti biasa.