Miss Benjol

1903 Kata
Liam termenung sesaat ketika sang ibu yang meminta nomor handphone Ara. Sejak pertemuannya kemarin dengan Ara, wajah Lea terlihat berbeda. Yang biasanya ia selalu senewen memikirkan pasangan untuk si sulung kini berubah tenang. Liam tak menyadari bahwa sang ibu mengerti maksud Liam mengenalkan Ara pada keluarganya. Ia tahu itu salah satu cara pemberontakan Liam agar tak terus menerus dirongrong untuk segera menikah. Lea sadar Liam mencoba membuat hatinya kesal dengan membawa gadis muda yang masih polos itu. Liam tak sadar, untuk Lea melihat Ara yang masih polos tak tersentuh begitu malah membuatnya senang. Ia masih bisa mengajari calon menantunya dengan banyak hal. Gadis muda seperti Ara memang harus banyak diajari banyak hal. Semakin muda, semakin banyak ia bisa belajar dan menyerap dengan baik. Menurut Lea, Ara bisa diarahkan untuk menjadi istri yang baik untuk Liam. “Buat apa ma?” tanya Liam mencurigai sang ibu. “Mama mau ajak dia makan siang, kenapa sih memangnya? Gak boleh?” “Ara itu anaknya gugup-an dan ceroboh, nanti dia bikin malu mama lagi kalau diajak makan siang di tempat yang fancy. Dia bukan seperti perempuan biasa di lingkungan kita ma,” jawab Liam mendadak cemas. “Loh, ya gak apa-apa dong. Mama itu cuma mau ajak dia makan siang aja. Pengen mengenal lebih dekat, gak ada makan siang yang fancy-fancy-an begitu. Kalau kamu udah berani ajak perempuan untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga kita, tandanya kamu harus serius dengan perempuan itu. Boleh dong mama kenal dekat calon menantu mama?” Mendengar ucapan Lea, Liam hanya bisa mengusap keningnya perlahan. Walau ini rencananya, tapi ia tak siap dengan reaksi sang ibu yang begitu cepat menanggapi. Apalagi respon Ara sebenarnya tak nyaman berada di keluarganya. “Sudah cepet ah! Lama amat kasih no contact nya!” Mendengar ucapan sang ibu, Liam segera memberikannya dan tak lama komunikasi mereka pun terputus. Ia baru saja hendak menghubungi Ara untuk bersiap-siap jika mendapatkan telepon dari ibunya tapi tertahan ketika melihat nama Lydia muncul di layar handphonenya. “Halo sayang,” sapa Liam penuh rindu pada kekasihnya. “Sedang apa kamu?” tanya Lydia mesra. “Melamun … kangen sama kamu,” rayu Liam tak kalah mesra. “Ayo dong ketemu, aku kangen sekalian penasaran dengan cerita Ara yang kemarin ketemuan sama keluarga kamu,” rengek Lydia tak sabar. Liam terdiam. “Baiklah, aku jemput kamu saat makan siang nanti. Bersiaplah,” ucap Liam terbujuk kekasihnya untuk segera bertemu. Lydia pun tertawa senang tak sabar untuk segera bertemu Liam. Saat makan siang pun tiba. Jika Liam tengah menghabiskan waktu bermesraan dengan kekasihnya, berbeda dengan Ara. Kakinya sedikit gemetar, perutnya merasa sakit melilit karena gugup dijemput oleh Lea ke kantornya. “Kamu sudah ijin untuk pulang lebih cepat hari ini?” tanya Lea saat menurunkan jendela ketika melihat Ara mendekati mobilnya. “Sudah, Tante,” jawab Ara ragu lalu masuk dan duduk disamping Lea. “Hari ini kita senang-senang yuk, Tante mau ngajak kamu shopping.” Ara hanya bisa tersenyum kecut kearah Lea dan segera menundukan kepalanya seraya berdoa semoga sikapnya tak memalukan saat ini. Waktu pun berlalu dengan cepat. Liam baru saja menyelesaikan pekerjaannya setelah mencuri waktu untuk makan siang bersama Lydia lebih lama dari pada biasanya. Matanya melirik sesaat ke layar handphone saat melihat nama sang ibu muncul. “Ya ma?” tanya Liam sembari meneruskan pekerjaannya. “Kali ini mama setuju sama pilihanmu. Ara itu seperti berlian yang belum diasah. Sedikit dipoles saja sudah berubah menjadi bagus.” “Mama bicara apa sih?” “Mama seharian ini pergi sama Ara. Kamu pasti akan terkejut melihat tampilan terbarunya. Cantik sekali. Memang sih, dia tuh masih belum banyak mengerti dan itu. Tapi kalau kamu memang serius sama dia, mama yakin sebelum kalian menikah nanti pasti sikapnya akan lebih baik.” “Hah? Menikah?” “Kapan kamu mampir kerumah, ada Ara disini. Ayo antarkan dia pulang,” suruh Lea pada anak sulungnya. “Ngapain dia dirumah ma? Kenapa mama gak anter dia langsung pulang aja tadi? Aku masih ada kerjaan. Suruh saja supir dirumah mengantarnya pulang.” “Gak gitu dong, Liam. Kalau bisa kamu segera pulang dan antarkan Ara pulang kerumahnya. Mama belikan dia barang. Kamu harus bertemu orang tuanya untuk menjelaskan urusan kalian.” “Ma, aku … “ “Sudah ya, mama tunggu, jangan terlalu malam.” Klik. Sambungan komunikasi itu pun terputus. Liam hanya mendesah perlahan. Belum selesai desahannya handphonenya sudah kembali berdering tetapi kali ini berasal dari Lydia. “Sayang, aku masih kangen. Aku tunggu kamu dirumah ya … anak-anak juga nanyain kamu terus, katanya papa Liam udah lama gak mampir,” bujuk Lydia saat mendengar suara kekasihnya. “Malam ini aku gak bisa mampir, mama menyuruhku datang. Ada Ara bersamanya.” “Loh, tumben mama kamu mau ketemuan sama gadis liar begitu?” “Aku juga gak tahu, penasaran kali pengen tahu aslinya seperti apa. Biarkan saja. Paling sebentar lagi ngomel-ngomel urusan etika.” “Tapi apa kamu yakin?” “Kenapa sayang? Kamu cemburu sama si perempuan berambut panjang bergaun putih itu?” guyon Liam dan terdengar gelak tawa dari ujung sana. “Semoga gadis liar itu bersikap aslinya yaa…sudah sana pulang, nanti jangan lupa ceritakan padaku tentang Ara.” Lagi-lagi Liam menghembuskan nafasnya perlahan saat selesai berkomunikasi dengan Lydia lalu segera membereskan mejanya sebelum ia beranjak pulang. Sesampainya dirumah, terdengar suara sang ibu yang tengah berbincang dengan seseorang diruang keluarga. “Liam, akhirnya kamu sampai juga!” ucap Lea saat melihat anaknya. Ternyata ia tengah bersama fabian yang juga baru pulang dari kantor. “Mana Ara?” tanya Liam cepat ingin segera mengantarkan Ara untuk pulang. “Dia lagi ke toilet, nah itu diaa…,” ucap Lea antusias. Liam pun menolehkan wajahnya ke arah pandangan sang ibu. Tiba-tiba tubuhnya mematung melihat tampilan Ara yang benar-benar berbeda. Rambutnya yang panjang dan tebal itu telah dipotong melebihi baru, kini gadis itu memiliki poni tipis yang membuat wajahnya yang biasanya tertutup kini terlihat jelas. Pakaiannya yang biasanya seperti anak kuliahan telah berganti dengan kemeja kerah lebar dan rok warna cream dengan high heels warna nude yang memperlihatkan kakinya yang jenjang dan cantik. Tampilannya yang baru membuat Ara terlihat lebih anggun, dewasa dan tentunya cantik sekali. “Cantiknya calon mantu mama,” bisik Lea di dekat Liam dan membuat Liam terbatuk-batuk. “Ayo, aku antar kamu pulang,” ucap Liam cepat sembari menarik tangan Ara agar mengikutinya. “Ehhh, sebentar! Bawa ini sekalian, tadi kami berdua berbelanja. Dipakai ya nak, semuanya.” ucap Lea sambil menunjuk setumpuk paper bag di meja yang berisi hasil belanja dirinya dan Ara siang tadi. “Tante, ini terlalu banyak,” ucap Ara salah tingkah merasa tak enak dibelikan begitu banyak barang oleh Lea. “Ih, gak apa-apa. Nanti setelah menjadi istri Liam kamu bisa berbelanja sebanyak mungkin apapun yang kamu mau.” “Ma,” tegur Liam merasa tak enak mendengar kalimat istri dari mulut sang ibu. “Sudah sana, tolong antar Ara pulang. Salam buat kedua orang tuamu ya, jangan lupa tanya mereka kapan kami bisa datang berkunjung.” Ara pun hanya mengangguk lesu dan mengikuti langkah Liam. “Kamu benar-benar cantik Ara,” puji Fabian saat membantu Liam membawakan tas belanjaan milik Ara. Yang dipuji hanya tersipu malu dan mengucapkan terima kasih. Liam pun berdeham perlahan seolah mengingatkan Ara untuk segera masuk kedalam mobil. Baru saja keluar dari halaman rumah Liam, Ara sudah menghempaskan sepatunya dan memijit kakinya perlahan. “Huaaa, kakiku pegal mass…” rengek Ara tampak kesal dan meronta seperti anak kecil. Liam menghembuskan nafas keras. Baru saja ia terpesona dengan keanggunan Ara, kini gadis itu kembali seperti semula. “Mamanya mas bicara apa sih? Dari siang ngomongin soal tunangan dan pernikahan. Emang siapa yang mau kawin sama mas Liam? Aku?! Aku gak mau dipaksa-paksa gituu!” keluh Ara sambil melipat kedua tangannya dan menatap sebel pada Liam. “Siapa juga yang mau nikah sama kamu?! Memangnya tadi mama bilang apa aja? Kamu sih salah sendiri, sok-sok-an anggun depan mama, padahal aslinya kaya begini nih,” ucap Liam menutupi rasa dongkolnya karena Ara tak ingin menikah dengannya. Ia merasa ditolak dengan telak. “Idih! Siapa yang jaim! Mas gak tahu aja kalau tadi siang aku malu banget! Diajak makan chinese food sama mamanya mas Liam, aku makan bakso ikan tapi baksonya mental kemeja orang! Soalnya makannya pake sumpit! Aku maluuu…” keluh Ara merasa malu dengan sikapnya. Liam mencoba menahan tawanya saat mendengar cerita Ara. “Trus rambut kuntilanak kamu kenapa dipotong?” “Mamanya mas Liam yang suruh! Katanya dengan rambut panjang dan tebal begitu aku terlihat tua. Jadi dia ajakin potong rambut. Tapi rambutku jadi bagus ya mas… kepalaku jadi ringan deh,” jawab Ara riang seolah lupa akan keluhannya sedetik yang lalu sambil mengibas rambutnya kekanan dan kekiri. “Iya, bagus. Wajah kamu jadi kelihatan sekarang. Cantik.” puji Liam spontan. Pria itu segera memalingkan wajahnya saat baru sadar kalau ia memuji Ara dengan tulus. “Ahh, mas Liam bisa ajaaa… aku jadi malu dipuji cantik begitu… besok diulang yaaa…” ucap Ara genit merasa tersanjung dengan pujian Liam dan mulai menggila dengan tersipu-sipu sendiri menatap kaca spion. “Tapi mas, aku gak mau ah disuruh nikah gitu! Aku masih terlalu muda untuk nikah!” ucap Ara tiba-tiba teringat pembicaraan lainnya dengan Lea. “Siapa juga yang mau nikah sama kamu, Ara!” “Tapi mamanya suruh aku bilang sama orangtuaku untuk meluangkan waktu minggu depan. Mass, aku gak mau nikah sama kamuu…” rengek Ara lalu memukul-mukul lengan Liam sambil setengah melompat dari duduknya. “Ara! Ara! Bahaya ah! Lagi pula siapa yang mau nikah sama kamu?! Kenapa sih kamu gak mau nikah sama aku?!” tanya Liam mencoba menenangkan Ara yang mulai beringas seperti orang kesurupan karena takut konsentrasinya mengemudi menjadi terpecah. Selain itu Liam merasa penasaran mengapa Ara tak ingin menikah dengannya. “Emang aku kurang ganteng ya?” tanya Liam sedikit penasaran. “Ini bukan soal ganteng gak ganteng mas. Mas Liam itu ganteng, cakep, kulitnya bersih, rapi dan wangi. Tapi mas Liam itu bukan selera akuh. Boleh dong kalau aku ingin punya suami seperti Cha Eun Woo, Park Bo Gum, Kim Soo Hyun, Gong Yoo, Yo Teo…” “Halu ah,” potong Liam sambil tersenyum geli melihat Ara berfantasi. “Enak aja halu! Walau halu mereka cakep-cakep! Standar aku adalah itu!” protes Ara sebal diejek atas pria fantasinya sembari menjambak kerah pakaian Liam. Liam segera mengerem mobilnya karena kaget sikap spontan Ara. Karena mengerem mendadak kepala Ara dan Liam saling terantuk satu sama lain dengan keras. “Ara! Aku tuh lagi nyetir!” bentak Liam spontan karena kaget hampir kehilangan kendali atas kendaraannya. Sedangkan Ara tengah memegang keningnya sambil kesakitan karena benturan mereka cukup keras. “Sakit,” isak Ara sambil mengusap-usap keningnya. Liam segera memarkirkan mobilnya dan memeriksa dahi Ara. Alangkah terkejutnya Liam melihat ada benjol besar di jidat Ara. “Tuh, kan benjol!” keluh Ara saat melihat dahinya dispion. “Kamu sih gak bisa diem, sini aku lihat.” ucap Liam sambil menarik wajah Ara dengan kedua tangannya membuat wajah mereka begitu dekat. Ara dan Liam saling pandang sesaat sebelum keduanya memundurkan tubuh mereka masing-masing. “Ayo, duduk yang baik. Nanti sampe rumah dikompres air dingin ya,” ucap Liam mencoba menutupi rasa gugupnya dengan memasangkan kembali safety belt Ara dan dirinya sendiri lalu mengelus kening Ara yang benjol. Kali ini Ara duduk diam dan tenang. Begitu pula Liam. Mengingat mereka berdua hampir saja berciuman membuat detak jantung Ara berdetak dengan cepat. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN