“Apa?! Mau dikenalkan orang tua Om Mas?!” Pekik Ara keras dan hampir lompat dari duduknya mendengar ajakan Liam di telepon.
“Iya, setiap hari Sabtu pagi biasanya keluargaku berkumpul di rumah atau di restoran. Soalnya kami keluarga yang sibuk jadi jarang sekali bertemu. Jadi kita semua memutuskan untuk setiap hari Sabtu pagi meluangkan waktu untuk berkumpul bersama. Nanti kamu ku kenalkan pada adikku Reiner dan Fabian,” jawab Liam santai sambil menatap keluar jendela kantornya yang besar.
“Nggak ah!” tolak Ara cepat dan membuat Liam lupa nafas dalam beberapa detik.
“Apa kamu bilang? Nggak?!”
“Iya, Om Liam. Aku gak mau! Kita baru ketemu dua kali, masa Mas Liam udah mau buru-buru ketemuin sama orangtua. Jangan buru-buru gitu dong, Om. Kelihatan banget tergila-gilanya! ” jawab Ara percaya diri walau ucapannya belepotan.
Liam berdecak sebal mendengarkan ucapan optimis Ara. Perempuan liar ini belum apa-apa membuatnya naik darah. Jika bukan demi melindungi hubungannya dengan Lydia, tentu saja Liam tak ingin bermain-main dengan Ara.
“Usiaku sudah tua, Ara. Untukku saat ini bukan waktunya untuk main-main dalam hubungan. Kamu tahu kan tujuanku dikenalkan denganmu? Tante kamu pasti pernah bilang soal tujuan pertemuan kita bukan? Gak cuma kamu kok yang di kenalkan kepada orang tuaku, tapi yang lain juga. Banyak wanita lain yang tengah dijodohkan denganku, tapi semuanya harus bertemu dengan keluargaku. Aku harus melihat siapa yang paling bisa diterima,” jawab Liam to the point, tak ingin berlama-lama berbasa-basi dengan Ara.
“Ya udah, Om Mas Liam sama yang lain aja, kalau aku gak perlu di kenalkan begitu,” tolak Ara lagi. Nada suaranya yang begitu yakin, membuat Liam kalah mental.
“Kok kamu begitu?!”
“Yaa, kalau aku sih sadar diri aja … aku kayaknya gak bisa deh masuk ke dalam keluarga yang berada gitu. Kamu inget gak Om, waktu kita makan steak mahal di restoran saat pertama kali kita ketemu? Pulangnya perutku langsung kembung banget, kentut melulu gak berenti-berenti. Perutku aja udah gak cocok makan menu mahal! Lagian kan, aku kaya orang utan … aku gak bisa tau basa-basi dan etika-etikaan. Nanti mama kamu pingsan lagi liat aku!”
“Itu sebabnya aku bawa kamu Araa … karena kamu apa adanya … kamu gak perlu harus cantik menawan, fashionable, pintar atau pendidikan tinggi. Cukup jadi diri kamu sendiri aja, gak apa-apa!”
“Tapi nanti aku jadi malu-maluin kamu!”
“Nggak! Percaya sama aku, jadi diri kamu apa adanya aja! Aku ajak kamu tandanya kamu gak malu-maluin buat aku. Percaya deh!” ucap Liam sedikit putus asa.
Tak ada jawaban.
“Pokoknya aku jemput kamu besok pukul 8 pagi, harus sudah siap ya! Oke?!” ucap Liam cepat dan segera memutuskan sambungan komunikasinya sebelum mendengar penolakan dari Ara kembali.
***
Tepat pukul 8 Ara keluar dari rumahnya dan menghampiri mobil Liam yang diparkir di taman yang tepat berada didepan rumahnya. Liam mengangkat alisnya takjub melihat penampilan Ara pagi ini. Ia berpenampilan sederhana saja, mengenakan kemeja putih, celana jeans dan heels yang tidak terlalu tinggi.
Rambutnya yang panjang ia gulung dan dibuat seperti cepolan dibawah kepala dan menahannya dengan sebuah tusuk konde cantik. Wajahnya pun hanya didandani sederhana, dengan eyeliner, blush on tipis dan lipstik warna lembut membuatnya tampak segar. Aroma tubuhnya pun wangi bedak lembut menandakan ia tak mengenakan parfum berlebihan dan menyengat hidung. Pagi itu Ara tampak cantik sekali.
“Kok kamu dandannya begini?” tanya Liam sedikit kecewa. Ia berharap Ara akan berdandan norak seperti pertemuan pertama mereka.
“Loh, katanya boleh apa adanya? Jelek ya?” Ara balik bertanya dan merasa tak percaya diri.
“Nggak! Malah sebaliknya, kamu cantik sekali!” jawab Liam sedikit tak senang. Mendengar pujian Liam, Ara tersenyum malu.
“Aku mau pamitan dulu dengan orang tuamu,” pinta Liam pada Ara.
“Jangan Om! Gak usah! Lebih baik kita cepat-cepat pergi aja dari sini sebelum tukang sayur lewat dan mama keluar dari rumah!” ajak Ara cepat langsung masuk ke dalam mobil Liam.
“Loh, kenapa begitu? Kamu gak bilang mau pergi sama aku?” tanya Liam bingung sambil ikut masuk ke dalam mobil.
"Haduh, gak usah deh kamu ketemu orang tuaku, Om! Nanti kamu bisa langsung diinterogasi, kamu siapa? Umur berapa? Kerja di mana? Kamu serius sama anak saya apa nggak? Terus pasti mereka nanya lagi, ya udah kalau serius, langsung kawinin aja! Nah, emang Om mau ditanya-tanya kayak gitu?"
“Loh, tinggal jawab aja ‘saya serius’, apa susahnya?”
“Idih, main serius ajaa si Om! Kalau Om mau sama aku, aku gak mau sama Om! Aku gak bisa Om, hidup ribet kaya kamu gitu! capee dehhh!”
“Loh, siapa yang mau serius sama kamu?! Geer banget! Dan sekali lagi ya, jangan panggil aku Om! Namaku Liam! Liam! Panggil aku mas Liam! Ngerti kamu?!” ucap Liam dongkol saat ia sadar bahwa pesonanya tak bisa mempengaruhi Ara. Gadis itu memandangnya biasa saja dan tak ingin bersamanya
Jalanan Jakarta seolah mendukung pertemuan Ara dengan keluarga Liam. Hanya dalam waktu 20 menit mereka sudah sampai ke sebuah restoran mewah di sebuah hotel yang dekat dengan tempat ayah Liam bermain golf.
“Ayo turun!” ajak Liam sembari melepas kacamata hitamnya.
“Aku gak jadi ikut deh Om, mau pulang aja, atit peyut, mulesss, deg-deg gan!” rengek Ara sambil meremas perutnya.
“Kalau sakit perut kamu bisa buang air besar di toilet! Tenang saja toiletnya bagus dan bersih! Kamu sudah gak mens kan?”
“Ih, gitu banget!” keluh Ara dan dengan langkah kaku ia mengikuti Liam keluar dari mobil.
Ara segera menundukkan kepalanya saat semua mata tertuju padanya ketika ia dan Liam masuk ke dalam restoran. Ia sengaja berdiri dibelakang Liam agar tak menjadi perhatian tetapi Liam segera menarik Ara untuk berdiri disisinya.
“Selamat pagi semua,” sapa Liam pada keluarganya yang asik duduk dan berbincang di meja besar yang sudah mereka booking.
“Bawa siapa kamu Liam?” tanya Lea sang ibu sembari memiringkan kepalanya mencoba melihat sosok yang bersembunyi di belakang tubuh Liam.
“Perkenalkan ini Aralia, keponakannya Pak Joddy, karyawan Papa,” ucap Liam memperkenalkan Ara.
“Oalah, jadi ini toh keponakannya Pak Joddy? Muda sekali … sini nak, duduk di sini.”
Ara segera menghampiri Lea dan sebelum duduk dia menyalami semua orang disana satu persatu.
“Assalamualaikum, Tante … perkenalkan saya Aralia,” ucap Ara malu-malu dan tegang memperkenalkan dirinya pada Lea.
“Ayo duduk sini, dekat tante. Perkenalkan ini Om David, papanya Liam. Ini Reiner dan kekasihnya Laura. Yang didepan di samping kamu ini Fabian adik Liam yang paling kecil. Kayanya kalian hampir seumuran ya?” ucap Lea menyapa dan mengenalkan seluruh anggota keluarganya dengan ramah.
Ara hanya tersenyum dan mengangguk kepada seluruh orang. Ia gugup setengah mati sedangkan Liam dengan santainya duduk di kursi paling jauh dari Ara dan membiarkan gadis itu duduk terjebak di dekat orang tuanya.
Melihat keluarganya sudah lengkap, tak lama makanan pun segera disajikan. Ara hanya bisa diam dan perlahan melirik ke kanan ke kiri untuk mengetahui sendok mana yang harus digunakan. Ia tak terbiasa dalam suasana resmi seperti itu.
Fabian yang duduk di samping Ara tampaknya tahu kegugupan Ara. Ia pun memberitahu apa yang harus digunakan dan cara memakannya.
“Mau ku pesankan pasta saja?” tanya Fabian pada Ara. Ara pun mengangguk setuju dan membiarkan Fabian memilihkan menu untuknya.
“Maaf ya, aku gak terbiasa soalnya,” bisik Ara malu memohon pengertian pada Fabian yang bersikap baik padanya.
“No worries, tanya saja kalau bingung,” jawab Fabian ramah.
Selama acara makan bersama, Ara hanya duduk diam dan mencoba menikmati makanannya perlahan dan sesekali tersenyum karena ia ikut menyimak pembicaraan mereka semua.
Liam sedikit kecewa karena Ara berubah sopan dan pendiam tak seperti yang diharapkan. Ia berharap Ara mengeluarkan sisi liarnya bukan bersikap seperti anak baik-baik. Sang ibu pun banyak bertanya pada Ara, di mana dirinya bersekolah dan bekerja juga bertanya tentang keluarga Ara.
“Sudah sering bertemu dengan Liam? Setelah sekian lama, baru kali ini Liam akhirnya kembali mengajak seseorang untuk dikenalkan.”
Mendengar ucapan Lea, Ara hampir tersedak dibuatnya. Ia merasa dibohongi oleh Liam.
“Baru dua kali, Tante.”
“Oh begitu, minggu depan ayo ikut lagi bersama kami disini. Biar nanti Liam yang mengantar dan menjemputmu.”
Ara hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Rasanya ia ingin cepat-cepat selesai dan pulang. Ia terlalu gugup.
Akhirnya, apa yang diharapkan Ara pun terjadi, acara kumpul keluarga itu pun selesai. Rasanya Ara tak sabar untuk segera keluar dari restaurant dan kembali kerumah. Raut wajahnya terlihat murung saat memasuki mobil Liam.
“Kok, gak happy gitu sih setelah bertemu keluargaku?” tanya Liam ketika mereka telah meninggalkan tempat parkir.
“Bukan gak happy Om! Tapi aku gugup banget!”
“Iya, kamu kelihatan banget sok manis dan sok imutnya. Tumben banget kalem begitu!” ejek Liam dan mendapatkan delikan tajam dari Ara.
“Emang Om pikir aku gak bisa berpikir untuk bersikap baik apa?! Kamu tuh keterlaluan deh, malah duduk paling pojok! Untung adik kamu baik banget ngajakin aku ngobrol! Mana ngobrolnya pake bahasa Inggris terus.”
“Ya, kamu kan juga bisa ikutan komentar dan nimbrung juga!”
“ Aku tuh bahasa Inggrisnya gak selancar itu, lebih banyak pake bahasa tubuh kalau bicara pake bahasa Inggris, tapi aku ngerti! Aku jadi malu ada disitu … kelihatan banget miskinnya!”
“Hush! Ngomong apa sih kamu?! Gak boleh bicara begitu! Semua orang punya kesempatan yang sama kalau mereka mau belajar dan berusaha, begitu juga kamu. Aku gak suka sama orang yang suka merendahkan dirinya sendiri!”
“Ya udah! Mulai hari ini gak usah hubungi aku lagi ya! Sekarang aku sudah memutuskan gak mau lagi jadi cinderella! Aku mau cari cowok biasa aja yang bisa bikin aku merasa nyaman.”
“Apaan sih?! Memangnya aku bikin kamu gak nyaman?!”
“Iya! Udah Om-Om, galak, suka maksa! Aku gak mau sama yang begini!”
“Stt! Bicara yang baik! Aku sudah bilang, panggil aku mas Liam!”
“Nggak!”
“Kalau nggak mau bilang begitu aku tinggal di jalan tol nih!” ancam Liam.
Ara pun hanya diam merengut lalu berkata dengan nada lirih.
“Mas Liam.”
“Gitu dong, ayo kalau gitu kita mampir beli es krim,” ajak Liam mencoba menenangkan hati Ara.
Ara pun hanya mengangguk dan membiarkan Liam mengajaknya ke sebuah mall. Mereka pun duduk dibangku tunggu sambil memandangi Mall yang masih sepi karena mereka datang cukup pagi. Liam melirik Ara yang menikmati es krimnya sambil melamun.
Mata indah berwarna coklat terang itu menatap kosong ke arah atrium. Gadis itu terlihat polos dan cantik. Hidungnya yang mancung, wajahnya yang tirus, bulu matanya yang panjang dan tipis.
“Kamu harus makan yang banyak, badan kamu terlalu kurus.”
Liam menggenggam pergelangan tangan Ara yang begitu kecil dengan jempol dan telunjuknya. Gadis itu hanya diam lalu mendesah perlahan.
“Aku mau pulang, Mas,” pinta Ara tiba-tiba.
“Ada acara apa? Buru - buru banget.”
“Gak ada acara apa-apa. Hanya ingin pulang dan istirahat, kelamaan di Mall nanti bikin aku lapar mata.”
“Kalau ingin sesuatu ya beli aja …”
“Idih, memangnya aku mas Liam yang bisa beli apa aja gak pake mikir? Gajiku itu cuma diatas UMR sedikit tapi aku harus membaginya dengan banyak hal. Sudah ah, kok aku jadi curhat. Ayo pulang!”
“Kalau kamu ingin sesuatu, aku bisa memberikannya untuk kamu.”
“Gak usah! Lagian kita gak akan ketemu lagi ini. Ayo anterin aku pulang!” rengek Ara pada Liam.
Pria itu hanya bisa mendesah lalu mengangguk. Ada senyum tipis saat melihat Ara melangkah riang didepannya. Langkah gadis itu begitu ringan tanpa beban. Keriangan Ara membuat hati Liam terasa hangat.