PART 8 Berhenti dan lupakan

1534 Kata
-Kamu yang kuharapkan untuk sedikit menilik hatiku, terlalu enggan untuk melakukannya, bahkan hal itu menjadi begitu mustahil untukmu.- "Gue emang bodoh, bertahun-tahun gue mengharapkan yang gak mungkin terjadi," Ucap Rumi sembari berjalan gontai menuju sekolahnya, yaa... Hari ini dia memilih jalan kaki daripada merayu kakaknya yang ujung-ujungnya ada maunya. "Gak sadar atau gimana sih gue. Dia udah nyuruh gue buat ngelupain semuanya, masih aja mikirin yang bahkan buat dia gak penting," "Seharusnya gue sadar dari dulu." Ucapnya runtut dengan sesekali menendang batu-batu kecil yang menghalangi jalannya. "Gak baik ngomong sendiri dijalan, pagi-pagi gini lagi." Suara bariton terdengar dari belakang tubuh Rumi, yang membuatnya terhenyak. "Bian..." Ucapnya ketika melihat siapa yang sedang berbicara di belakang. Bian berjalan lebih cepat sehingga sekarang bisa menjangkau Rumi. "Kok jalan kaki Yan? Tumben." Tanya Rumi melihat hal yang tidak mungkin dilakukan Bian. Bian anak orang kaya yang sudah pasti memiliki kendaraan sendiri, yang bisa membawanya pergi kesekolah setiap pagi tanpa perlu takut terlambat, tidak seperti Rumi. "Mobil lagi dibengkel." Jawab Bian kemudian diikuti senyum simpulnya. "Kamu jalan dari rumah? Haa?." Tanya Rumi yang tidak yakin Bian melakukan itu. Mendengar pertanyaan Rumi, Bian malah tertawa renyah. Dia polos sekali, pikir Bian. "Ya enggaklah Rumi, aku naik taksi tadi. Tapi liat kamu jalan, jadi aku turun disini." Ucap Bian yang menjurus keinginannya untuk sekedar menemani Rumi jalan kaki. Rumi tersenyum dan mengalihkan pandangannya kedepan, dimana sudah berdiri sekolahnya yang besar dan luas. Matanya menjelajah setiap sudut sekolahan. Tempat itu sebentar lagi akan menjadi akhir perjalanannya menjadi siswi, dan akan terganti menjadi mahasiswi. Ia ingin dibulan-bulan terakhirnya, waktunya dihabiskan bersama sahabat-sahabatnya didalam sekolah. Tidak lagi memikirkan Ilham, meski manusia itu sekarang berada pula didalamnya. Matanya kini melihat tepat kearah gerbang, disitu sudah ada penjaga gerbang super galak. Sudah tau kan siapa? Pak Karim? Yaaa, Pak Karim. Benar. Dan ia sekarang sedang?... Menutup gerbang? Coba ulangi lagi... Menutup gerbang? Mampuuuss... Pak Karim sudah mulai beraksi. "Bian... Ayok cepet." Ucap Rumi mulai berlari. Bian terhenyak kaget. Dan kemudian baru tersadar melihat kearah dimana Pak Karim mulai menuup gerbang. "Paaaaak... Tunggu jangan, ditutup." Ucap Rumi setelah berada didepan Pak Karim. "Kamu selalu telat Rumi!." Ucap Pak Karim dengan nada meninggi, yaa sudah jadi makanan Rumi kali ya. "Pak maaf, bapak tau sendiri kan Rumi jalan kaki. Dan rumah Rumi jauh pak." Ucapnya mulai mengeluarkan jurus ampuhnya. "Selalu itu jadi alasan," Sanggah Pak Karim, duuh mampus... Jurus Rumi mulai melemah. Bian yang baru sampai, sekarang sudah ada disamping Rumi. Nafasnya tak seteratur Rumi, mungkin baru kali ini dia melakukan aktivitas Rumi setiap pagi. "Ini lagi, kenapa telat?." Tambah Pak Karim yang melihat Bian berada di samping Rumi. "Sa..." Ucap Bian yang tiba-tiba berhenti karena tangan Rumi terangkat keudara. "Tadi mobil dia mogok Pak, terus saya lewat. Saya bantu dia dorong tapi tetap tidak bisa, akhirnya kami bawa ke bengkel, makanya saya dan dia terlambat Pak." Jawab Rumi dengan wajah memastikan yang ia katakan benar-benar terjadi. Bian yang mendengar alasan Rumi terperangah. "Oh begitu? Yasudah cepat masuk. Pelajaran akan segera dimulai." Ucap Pak Karim tak ambil pusing. "Terimakasih Pak." Ucap Rumi kemudian menarik baju Bian untuk cepat-cepat masuk. Setelah melewati gerbang serta penjaganya, Bian tertawa sangat keras sehingga membuat Rumi terkejut. "Ada apa?." tanya Rumi heran. "Lucu sekali, sumpah... Kamu pintar sekali berbohong." Jawab Bian. "Sssts, jangan keras-keras. Aku bohong juga kalok pas waktu mepet kayak gini doang. Jangan anggep aku pembohong deh." ucap Rumi berbisik. "Hahaha, iya aku juga tau kali. Tapi akting kamu bagus juga." Ucap Bian yang dibalas Rumi hanya dengan senyum simpul karena tiba-tiba matanya menangkap seseorang sedang berdiri dengan kedua tangannya berada disaku celananya. Mata sosok itu sangat mengintimidasi sehingga membuat siapapun yang melihat akan ketakutan dan berefek sakit mata, yaikss apa hubungannya juga cobak. "A...aku duluan." Ucap Bian tiba-tiba. "Iya, makasih sudah mau nemenin." Jawab Rumi lirih, mungkin tidak terdengar oleh Bian. Rumi terus berjalan menuju kelasnya, dan jalan yang harus dan mesti dipilihnya adalah lorong dimana ada sosok bermata mengintimidasi itu. Sesuatu dihati itu masih terasa, bukan sakit, bukan nyaman atau bukan takut. Tapi sesuatu yang masih sangat sulit diterka. Rumi ingin sekali melihat wajah itu lebih dekat searah dengan berjalannya yang semakin mendekat kesosok itu, Ilham. Tapi apalah daya, dia tidak bisa pura-pura lupa dengan niatnya untuk melupakan. Dan dia juga tidak mau kembali mengecap kenyataan bahwa semua sudah berakhir dan yang diharapkan tidak akan pernah tercapai. Rumi berjalan lurus, matanya berusaha menahan untuk tidak beralih kewajah yang dia rindukan. Apa? Rindu? Apa itu yang dirasakan sebenarnya?. Berbeda dengan Rumi, Ilham malah memandang wajah Rumi sejak dari kejauhan, bahkan sejak gadis itu dengan Bian. Ilham mulai membuka suaranya untuk menyapa. "Ais..." Namun langkah Rumi semakin dipercepat sehingga suara Ilham tak terjangkau oleh pendengarannya lagi. Ilham mengurungkan niatnya. Terasa dadanya sesak dan nafasnya berat. Selain ketakutannya dengan dosa yang nyata karena menyakiti hati Rumi, ada hal pula yang membuat dirinya sakit melihat Rumi tidak lagi peduli dengannya. Ingatannya mencoba menerawang dimana ada Syihab dan Aisya kecil, setiap mereka bertemu tidak ada keheningan diantara mereka. Selalu saja ada topik yang membuat mereka semakin akrab, dan siapapun yang melihatnya akan ikut tersenyum-senyum ketika mereka sedang bersenda gurau. Aisya adalah gadis pecicilan yang selalu menggoda Syihab, senyuman manisnya akan menjadi candu tersendiri bagi yang menikmati. "Syihab kecil beruntung bisa melihat senyummu." gumam Ilham dalam hati. Kini rasanya dia merindukan sosok polos dan pecicilan itu. *** "Huuu... Kenapa sih dia ada disitu." Ucap Rumi setelah sampai dibangkunya, dan tas yang ada diatas bangkunya harus rela menjadi korban penganiayaan tangannya. "Rumi, napa sih lo?." Tanya Ami yang heran melihat sahabatnya menjadi aneh pagi-pagi. "Paling juga kena Pak Karim." Sahut Ani. "Gue bakal lupain dia!." Ucap Rumi yang tidak menghiraukan sahabat-sahabatnya mengoceh. "Apa? Lo bakal lupain Pak Karim? Serius lo? Ada masalah apa lo?." Tanya Rara yang baru datang setelah hari paginya disibukkan dengan acara reuni yang sudah akan dilaksanakan besok. "Apasih lo, baru dateng juga," Ucap Rumi, kini duduknya dia geser kearah dua sahabatnya, dan Rara mulai mengambil tempat duduk disampingnya. "Gue bakal lupain Syihab... Eeh maksud gue Ilham!." Tambah Rumi lagi. "Serius lo Rum?." Tanya Ami. "Maksud lo moveon?." Tambah Ani. Rumi mengangguk dengan mantap. "Jadi, lo udah buka kesempatan buat si Bian? Atau jangan-jangan lo mulai suka sama dia?." Sergap Rara yang membuat Rumi terperangah. "Ngaco lo, gue anggep Bian cuman temen kali. Keputusan gue sama sekali gak ada hubungannya sama dia." Ucap Rumi meyakinkan. "Tapi Rum, dia suka lo lagi. Apa salahnya sih ngasih kesempatan." Ucap Ami. "Suka itu relatif Ami. Gue dan dia saling suka, suka sebagai seorang teman." Ucap Rumi. "Kalok dia suka lebih dari seorang teman?. Dan kalok sewaktu-waktu dia butuh kepastian dari lo?." Tanya Ami semakin menyudutkan rasa yakin Rumi. "Lebih dari seorang teman gimana sih? Dan butuh kepastian kayak apa?." Tanya Rumi yang tidak mengerti alur dari pembicaraan Ami. "Yaelah, emang gitu sih ngomong ama orang lemot bin gak peka." Sahut Rara yang membuat kedua sahabatnya mengeluh kesal, sedangkan Rumi menatap mereka dengan tatapan tidak mengerti. "Yaudah kali, gak perlu lo pikir. Nanti juga lo bakal ngerti sendiri Rum." Ucap Ani yang mengakhiri pembicaraan karena guru kimia yang super killer sudah masuk kelas. Rumi masih memikirkan yang dikatakan Ami, lebih dari temen gimana sih? Sahabat maksudnya? Apa Bian mau gabung dengan mereka? Aah gak mungkin. Lagian nih, dia laki macho yang dikejar-kejar banyak cewek, masak iya sih mau gabung dengan persahabatan mereka yang notabene cewek tulen. Dan Rumi yakin menjadi seorang teman yang baik, hubungan mereka tetap akan baik-baik saja sampai kapanpun. Tidak butuh menjadi lebih dari seorang teman. *** "Eeh cari tempat duduk dulu sana, keburu ditempatin adek kelas lagi," Ucap Rumi menyuruh kedua sahabatnya untuk mencari tempat duduk. Sekarang mereka sudah berada di kantin, tepatnya di stand nasi krawu. "Biar gue sama Ani yang mesenin." Tambah Rumi. "Nah... Kita yang pesen." Sahut Ani dengan wajah yang cerah, Cetah melihat makanan maksudnya. "Kalok adek kelas kayak Fathan mah gue mau berbagi tempat duduk." Ucap Rara sekenanya. "Rara, inget dirumah udah ada Radifan." Ucap Ami sembari berjalan menjauh dari stand untuk mencari tempat duduk. Kemudian diikuti Rara yang menutup mulutnya, ngaco banget, cobak kalok Radifan denger, kan bisa dipenggal tuh kepala. Ohya ngomong-ngomong niih, Radifan dan Fathan adalah laki-laki sholeh yang bersemayam dikehidupan Rara. Fathan adalah laki-laki pertama yang menarik perhatian gadis gempal itu, namun takdir malah menyatukannya dengan Radifan, sepupu Fathan yang menjadi Ustadz disekolah mereka untuk mengajar tilawah. Bahkan mereka berdua sudah dijodohkan. Yaa, jodoh, maut, dan rezeki siapa yang tau? Mungkin Radifan yang dingin cocok dengan Rara yang petakilan. "Aaah..." Teriak Rumi spontan karena bajunya ketumpahan es yang ada ditangan seseorang. "Gimana sih, hati-hat..." Ucapannya terhenti ketika matanya berhasil menemukan sosok tinggi tegap yang menabrak sekaligus menumpahkan es dibajunya. "Hati-hati dong." Ucapnya lagi ketika tersadar dari mata itu, pandangannya segera ia alihkan. Tidak lagi ada alasan untuknya terus-terusan memandang wajah yang sebenarnya ia rindukan. "Maaf." Ucap Ilham singkat, kemudian berlalu begitu saja. "Huu nyebelin." Gerutu Rumi dalam hatinya. "Ada apa?." Suara itu masih terdengar dibelakangnya, Rumi membalikkan badan dan masih menemukan tubuh tegap itu masih berada tidak jauh darinya. "Apa? Tidak ada apa-apa." Jawab Rumi sekenanya. Kemudian Ilham berlalu lagi, yaa... Yang ini benar-benar pergi. "Eeh, bukannya gue tadi ngomong dalam hati ya. Kok dia nyahutin?." Ucapnya berbisik sendiri ketika menyadari sesuatu yang aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN