Aku duduk di depan layar komputerku dengan rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Revisi laporan yang baru saja aku kirimkan kembali dibalikkan oleh Aeron, dan kali ini, dia ingin aku mengubah analisis yang sudah kubuat sejak kemarin sore. Serius, ada apa dengan pria ini? Setiap kali aku merasa pekerjaanku sudah selesai, dia selalu menemukan alasan untuk memperpanjangnya.
“Aeron, Aeron,” gumamku sambil mengetik cepat di keyboard, mencoba merapikan lagi laporan yang menurutku sudah sempurna. “Kenapa kamu selalu mencari-cari masalah yang sebenarnya tidak ada?”
Aku menyandarkan tubuh ke kursi, mengusap wajah dengan kedua tangan, berharap bisa sedikit mengurangi stres yang mulai menggelayut di pikiranku. Ini sudah kesekian kalinya dalam seminggu Aeron membuatku harus lembur untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Ada saja alasannya—mulai dari detail kecil yang harus diperbaiki hingga perubahan mendadak yang tampaknya dibuat hanya untuk melihatku sibuk.
Apa ini semacam cara aneh untuk memanipulasiku? Aku tahu Aeron adalah orang yang suka mengontrol segalanya, tapi kadang rasanya dia memanipulasi situasi hanya untuk membuatku tetap di dekatnya lebih lama. Itu bukan hal yang bisa kubuktikan dengan mudah, tapi sikapnya belakangan ini semakin sulit diabaikan.
Suara ponselku bergetar di meja, memecah lamunanku. Sebuah pesan muncul di layar.
"Jangan lupa revisi analisisnya selesai sebelum jam lima." - Aeron.
Aku memutar mata. Tentu saja, seperti biasa, dia memastikan aku tidak lupa.
“Aku tahu, aku tahu,” gumamku sambil menutup pesan itu. “Kamu tidak akan membiarkanku lepas begitu saja, ya?”
Aku kembali menundukkan kepala, mengetik dengan cepat untuk menyelesaikan revisi yang diminta. Tapi di balik rasa frustrasi ini, ada sesuatu yang mengganjal. Kenapa dia terus-terusan memintaku lembur atau mengerjakan hal-hal sepele? Bukankah dia punya orang lain di departemen lain yang bisa mengurus ini? Atau... apakah ini caranya untuk memastikan aku selalu ada di sisinya?
***
Setelah akhirnya menyelesaikan laporan dan mengirimkannya, aku merasa butuh udara segar. Beruntung, aku punya rencana makan malam dengan dua teman baikku—Nina dan Sarah. Mereka sudah lama mengajak makan malam bersama, dan hari ini, rasanya aku sangat butuh waktu bersama mereka untuk melampiaskan segala stres yang menumpuk.
Kami memilih restoran kecil yang nyaman di pusat kota, tempat yang sering kami datangi untuk bersantai setelah bekerja. Ketika aku tiba, Nina dan Sarah sudah menungguku di meja dengan senyum lebar.
“Luna! Kamu akhirnya keluar dari penjara kantor itu,” seru Nina sambil memelukku singkat.
“Penjara? Lebih seperti tahanan tanpa akhir,” jawabku sambil mendesah panjang. “Serius, aku tidak tahu lagi berapa kali aku harus merevisi laporan hanya karena Aeron itu punya mata elang untuk hal-hal yang tidak penting.”
Sarah tertawa. “Ya, ya, itu yang selalu kamu katakan. Tapi dari caramu menceritakan semua itu, rasanya Aeron tidak hanya memperhatikan pekerjaanmu.”
Aku menatapnya dengan heran. “Maksudmu apa?”
Nina mencondongkan tubuh ke depan, senyum liciknya mulai muncul. “Ayolah, Lun. Aeron itu tergila-gila sama kamu. Dia mungkin tidak tahu caranya menunjukkan itu dengan cara yang normal, tapi setiap kali kamu bercerita tentang dia, rasanya seperti dia selalu mencari-cari alasan untuk dekat denganmu.”
Aku tertawa, meskipun dalam hati aku merasa sedikit gelisah dengan ucapan mereka. “Kalian bercanda, kan? Aeron itu tidak mungkin punya perasaan apa-apa. Dia hanya bos yang... sangat menyebalkan. Itu saja.”
Sarah menggoyangkan gelasnya, memainkan es batu di dalamnya sambil berkata, “Luna, kalau seorang bos menyuruh sekretarisnya lembur terus-terusan tanpa alasan yang jelas, memaksanya pulang diantar setiap malam, dan selalu memperhatikan detail kecil yang sebenarnya tidak penting... yah, bisa dibilang dia lebih dari sekadar bos biasa.”
Aku menggeleng dengan kuat, mencoba menyangkal teori mereka. “Tidak, dia tidak begitu. Percayalah, Aeron hanya ingin memastikan pekerjaannya sempurna. Itu saja. Dia sangat terobsesi dengan kesempurnaan.”
“Terlalu terobsesi, ya?” goda Nina sambil tersenyum lebar. “Jadi, kalau dia mengantar pulang setiap malam, itu juga karena terobsesi?”
Aku terdiam sejenak, mencoba mencari alasan yang masuk akal. Sebenarnya, aku tidak tahu lagi kenapa dia selalu bersikeras mengantarku pulang. Mungkin Nina dan Sarah benar? Tidak! Aku tidak boleh memikirkan ini terlalu jauh.
“Aku tidak tahu,” jawabku akhirnya, menyerah pada ketidakmampuanku menjelaskan perilaku Aeron. “Tapi yang jelas, dia bukan pria yang menunjukkan perasaan dengan cara normal. Kalau memang ada sesuatu, dia pasti akan menyembunyikannya di balik sikap dinginnya.”
“Kalau begitu, kamu harus lebih hati-hati, Lun,” kata Sarah dengan nada serius. “Kalau Aeron benar-benar suka sama kamu, itu bisa jadi sangat rumit.”
Aku mengangguk, menyadari apa yang mereka katakan masuk akal. Sikap Aeron yang posesif dan suka mengontrol bisa menjadi masalah besar kalau memang ada perasaan pribadi di balik itu semua. Dan kalau aku terus dibiarkan dalam situasi ini, bisa-bisa aku tidak punya ruang untuk bernapas.
***
Keesokan harinya di kantor, aku kembali ke rutinitas seperti biasa. Namun, percakapan dengan Nina dan Sarah tadi malam terus terngiang-ngiang di pikiranku. Mereka mungkin bercanda, tapi semakin kupikirkan, semakin aku merasa bahwa ada kemungkinan kebenaran di balik kata-kata mereka.
Apakah mungkin Aeron memiliki perasaan padaku? Dan kalau memang begitu, bagaimana aku harus menghadapinya?
Aku kembali duduk di meja, siap menyelesaikan tugas hari ini ketika Aeron tiba-tiba muncul di depan mejaku. Tanpa bicara banyak, dia meletakkan berkas di atas mejaku.
“Laporan ini harus direvisi lagi. Sebelum jam makan siang.”
Aku menatapnya dengan campuran perasaan frustrasi dan kebingungan. Serius? Lagi-lagi revisi? Tidak ada ucapan selamat pagi, tidak ada basa-basi, langsung perintah. Sisi menyebalkannya jelas belum berubah.
“Baik, Pak,” jawabku singkat sambil meraih berkas yang dia tinggalkan.
Dia mengangguk, lalu kembali ke ruangannya tanpa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa menggeleng pelan sambil mendesah. Sungguh, pria itu benar-benar sulit ditebak.
Aku membuka berkas yang dia berikan, dan seperti yang sudah kuduga, tidak ada perubahan besar yang diperlukan. Hanya beberapa detail kecil yang rasanya tidak relevan, tapi entah kenapa dia selalu menemukan hal-hal seperti ini untuk dikoreksi.
“Kenapa kamu selalu begini, Aeron?” gumamku sambil menatap laporan itu. “Apakah ini caramu untuk memastikan aku tidak punya waktu untuk diriku sendiri?”
Sambil mengerjakan revisi yang diminta, aku terus memikirkan tentang sikap Aeron. Semakin hari, semakin sulit bagiku untuk membedakan antara profesionalitas dan sesuatu yang lebih personal. Setiap permintaan lembur, setiap perintah yang terkesan dibuat-buat, apakah ini semua benar-benar hanya soal pekerjaan? Atau dia punya motif lain di baliknya?
***
Saat jam makan siang tiba, aku bertemu dengan Nina lagi di kantin kantor. Sambil makan siang, aku menceritakan tentang revisi laporan yang baru saja diberikan oleh Aeron.
“Kamu tahu,” kata Nina sambil mengunyah saladnya. “Makin lama, aku makin yakin dia sengaja membuatmu sibuk. Ini bukan tentang pekerjaan. Ini tentang dia yang tidak mau kamu punya waktu untuk hal lain selain dia.”
Aku tertawa kecil. “Jadi, menurutmu dia... apa? Posesif?”
“Yup,” jawab Nina dengan yakin. “Dan posesif di tempat kerja itu bahaya, Lun. Jangan biarkan dia mengambil alih seluruh waktumu.”
Aku terdiam, merenungkan kata-katanya. Mungkin benar. Mungkin aku terlalu membiarkan Aeron mengatur hidupku di luar pekerjaan. Tapi bagaimana caranya aku bisa menolaknya tanpa menimbulkan masalah?
Aku tidak punya jawaban untuk itu. Tapi satu hal yang pasti—hubunganku dengan Aeron semakin rumit, dan aku harus menemukan cara untuk mengatasinya sebelum semuanya menjadi lebih buruk.