Pagi ini rasanya berjalan lebih lambat dari biasanya. Aku duduk di mejaku, mencoba fokus pada dokumen-dokumen yang harus diselesaikan sebelum jam makan siang. Tapi pikiranku terus kembali pada percakapan singkat kemarin sore dengan Aeron. Ada yang aneh dalam cara dia berbicara kepadaku. Dia jarang—bahkan hampir tidak pernah—berbicara dengan nada perhatian seperti itu. Tapi di sisi lain, aku tidak boleh membiarkan diriku terbawa perasaan. Bagaimanapun juga, Aeron masih bos yang sama. Menyebalkan dan otoriter.
Pikiranku melayang-layang. Apakah ada perasaan di balik semua sikap posesifnya? Atau mungkin ini hanya cara dia untuk memastikan aku tetap di bawah kendalinya? Oh, Luna, jangan terlalu cepat berpikir macam-macam. Kamu tahu betul sifat Aeron. Sikapnya yang tiba-tiba lembut bisa saja hanya bagian dari manipulasi. Fokus!
Aku mencoba menepis pikiran itu dengan mengambil berkas lain dan membenamkan diriku dalam pekerjaan. Namun, seperti yang sudah kuduga, pikiranku kembali terusik ketika telepon di mejaku berdering.
“Luna, masuk ke ruanganku sekarang,” suara Aeron terdengar, tegas dan seperti biasa, tanpa ada basa-basi.
Ya, ini dia. Sisi menyebalkannya yang tidak pernah hilang.
Aku merapikan beberapa berkas di mejaku dan berdiri, mencoba menyiapkan mental untuk menghadapi Aeron. Tidak peduli bagaimana sikapnya kemarin, hari ini aku harus tetap waspada. Dia bisa berubah dalam sekejap, dan biasanya, perubahan itu tidak pernah berjalan baik untukku.
Saat aku sampai di depan pintu ruangannya, aku mengetuk pelan sebelum masuk. Aeron sedang duduk di belakang meja, seperti biasa, dengan laptop terbuka di hadapannya. Dia menatap layar dengan ekspresi serius, bahkan mungkin sedikit tegang. Aku tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku sambil berusaha menjaga nada suaraku tetap profesional.
Dia melirikku sebentar sebelum kembali menatap layar laptopnya. “Ada revisi yang harus kamu lakukan untuk laporan kemarin.”
Revisi lagi? Serius? Padahal, aku yakin semua sudah beres!
Aku menahan desahan dan hanya mengangguk. “Baik, Pak. Bagian mana yang perlu diperbaiki?”
“Bagian analisisnya,” jawab Aeron singkat. Dia menutup laptopnya dan akhirnya menatapku dengan pandangan datar yang sudah sangat kukenal. “Ada data yang perlu diperbaiki. Aku sudah menandainya.”
Baiklah, ini hanya tugas lain. Tetap tenang, Luna. Aku menunduk sedikit, mengambil laporan yang dia sodorkan kepadaku, berusaha tidak menampakkan rasa frustrasi yang sebenarnya mulai naik ke permukaan. Mengubah hal-hal kecil seperti ini bukanlah hal baru. Aeron memang sering menemukan detail yang harus direvisi, meskipun terkadang revisinya tidak terasa relevan.
“Baik, Pak. Saya akan segera kerjakan.”
Aku berbalik hendak keluar dari ruangan ketika Aeron tiba-tiba berbicara lagi.
"Luna," suaranya terdengar lebih pelan kali ini. Aku menghentikan langkahku dan berbalik. Tatapannya tidak seperti biasanya—lebih lembut, hampir seperti dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih serius.
“Ya, Pak?”
Dia terdiam sejenak, dan aku mulai merasa ada sesuatu yang akan dia katakan—sesuatu yang mungkin pribadi atau mungkin tidak ada hubungannya dengan pekerjaan.
“Kamu sudah lama bekerja di sini, dan saya perhatikan…,” suaranya terdengar ragu, sesuatu yang jarang sekali terjadi pada Aeron.
Apakah dia akan memujiku? Atau ada sesuatu yang lebih buruk?
“Terima kasih karena selalu bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik,” lanjutnya tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut. Itu memang pujian, tapi kenapa caranya terdengar... canggung?
“Terima kasih, Pak,” jawabku, masih bingung. Aeron tidak pernah seperti ini sebelumnya. Biasanya dia hanya akan memerintah tanpa memberi pujian.
Aeron mengangguk dan kembali ke laptopnya, seolah-olah percakapan tadi tidak pernah terjadi. Aku berjalan keluar dari ruangannya dengan perasaan campur aduk. Ada rasa lega karena dia tidak memberikan tugas yang lebih berat, tapi ada juga kebingungan yang semakin sulit aku abaikan.
Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?
***
Siang harinya, aku memutuskan untuk makan siang lebih cepat. Berjalan ke kantin perusahaan terasa seperti kesempatan untuk melarikan diri sejenak dari kekacauan emosional di kantor. Aku mengambil tempat duduk di pojok, berharap bisa sedikit tenang sambil menikmati makananku.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama ketika sosok tinggi Aeron tiba-tiba muncul di ambang pintu kantin. Oh, tidak... aku hampir tersedak. Tidak biasanya Aeron makan di kantin bersama karyawan lain. Biasanya, dia akan memesan makan siangnya di ruangannya atau di restoran mewah.
Tunggu sebentar… jangan bilang dia mencariku? Itu tidak mungkin, kan?
Aku mencoba menundukkan kepalaku, berharap dia tidak menyadari keberadaanku. Tapi tentu saja, ini Aeron. Dia melangkah langsung menuju meja di mana aku duduk, dan tanpa ragu, dia menarik kursi dan duduk di depanku.
"Luna," katanya dengan nada tegas. Seolah-olah bukan hal aneh baginya untuk duduk di kantin dengan seorang sekretaris biasa. "Ada beberapa hal yang perlu dibahas mengenai rapat besok."
Aku menatapnya dengan sedikit bingung. “Pak, kita bisa membahasnya nanti di ruangan Anda.”
Aeron menggeleng pelan, pandangannya tajam seperti biasa. "Tidak, sekarang saja."
Aku terdiam, lalu mengangguk perlahan. Aku tidak bisa mengabaikan perintahnya meskipun suasana ini membuatku semakin canggung. Berbicara tentang pekerjaan di kantin dengan Aeron di depanku? Rasanya sangat tidak masuk akal.
Dia mulai menjelaskan beberapa detail tentang rapat esok hari, dan aku hanya bisa mengangguk sambil mencatat poin-poin yang perlu diperhatikan. Namun, tidak bisa dipungkiri, suasana di antara kami masih terasa aneh. Di satu sisi, Aeron masih menyebalkan dengan sikapnya yang otoriter. Di sisi lain, dia menunjukkan lebih banyak perhatian padaku akhir-akhir ini—sesuatu yang tidak pernah kulihat sebelumnya.
"Luna," panggilnya setelah menyelesaikan pembahasannya. Matanya menatapku tajam, dan aku merasa ada sesuatu lagi yang ingin dia katakan.
"Ya, Pak?"
Dia terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, “Mulai besok, pastikan kamu tidak lembur terlalu sering. Kamu kelihatan lelah.”
Oke, ini mulai aneh. Kenapa dia tiba-tiba sangat peduli dengan kesehatanku? Bukankah biasanya dia yang membuatku lembur sampai malam? Apa ini? Rasa bersalah atau… perhatiannya yang aneh?
Aku mencoba tersenyum tipis. “Baik, Pak.”
Aeron mengangguk lagi, seolah puas dengan jawabanku. Tapi, tentu saja, seperti biasa, tidak ada ekspresi di wajahnya. Hanya tatapan datar yang kadang membuatku sulit menebak apa yang sebenarnya dia pikirkan.
***
Sore harinya, aku merasa sedikit lebih tenang. Meskipun Aeron sempat mengganggu makan siangku, setidaknya tidak ada permintaan aneh atau tugas mendadak yang harus kukerjakan. Aku kembali ke mejaku, menyelesaikan laporan yang perlu direvisi, dan bersiap untuk pulang.
Tepat ketika aku berkemas, ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk.
"Jangan pulang sendiri malam ini. Aku akan mengantarmu." - Aeron.
Oh, ayolah. Lagi-lagi? Ini sudah ketiga kalinya minggu ini. Apa sebenarnya yang dia inginkan? Aku tidak ingin menebak-nebak lebih jauh, tapi semakin lama, tindakannya mulai terasa lebih dari sekadar perhatian bos terhadap bawahannya.
Aku mengetik balasan dengan cepat, mencoba terdengar sopan tapi tegas.
"Terima kasih, Pak, tapi saya bisa pulang sendiri."
Pesan terkirim, tapi beberapa detik kemudian ponselku bergetar lagi.
"Tunggu di lobi."
Aku menatap layar ponselku, merasakan desahan frustrasi muncul dari dadaku. Ini menyebalkan! Bagaimana bisa dia terus bersikap seperti ini?