Pagi ini, langkahku terasa lebih berat dari biasanya saat aku memasuki gedung kantor. Suasana dingin AC di lobi tidak membantu sedikit pun meringankan perasaan tertekan yang menggelayuti pikiranku. Setiap hari, aku bangun dengan pikiran yang sama—bagaimana cara menghadapi Aeron hari ini? Sikapnya yang semakin tidak bisa ditebak dan kontrolnya yang tampaknya semakin mengikat membuatku merasa terjebak.
Aku menghampiri meja kerjaku, meletakkan tas dengan hati-hati, dan menyalakan komputer. Di antara suara klik keyboard dan obrolan ringan para karyawan lain, pikiranku kembali melayang pada percakapan kemarin malam dengan Nina dan Sarah. Apa yang mereka katakan tentang Aeron masih terus mengusikku. Benarkah dia begitu posesif? Benarkah semua ini bukan tentang pekerjaan, melainkan tentang... aku?
Aku menggelengkan kepala, mencoba untuk fokus pada pekerjaan. Hari ini ada beberapa hal yang harus aku selesaikan sebelum jam makan siang, dan aku tidak ingin menghabiskan waktuku memikirkan tentang Aeron lagi. Namun, tentu saja, seolah-olah hidupku sudah diprogram untuk selalu berkisar di sekitar Aeron, telepon di mejaku berdering.
“Luna, datang ke ruanganku sekarang,” suaranya terdengar tegas, seperti biasa.
Aku menghela napas, lalu meraih notepad dan pena sebelum menuju ruangannya. Tentu saja, panggilan ini tak pernah menawarkan jeda. Selalu ada hal yang perlu dibicarakan, perintah yang harus diikuti, atau laporan yang perlu direvisi. Aku bahkan tidak tahu lagi apakah semua ini tentang pekerjaan atau... sesuatu yang lebih rumit.
Ketika aku mengetuk pintu dan masuk, Aeron duduk di belakang mejanya, tatapannya fokus pada layar laptop. Dia mengangkat kepalanya sebentar, menatapku dengan mata tajam yang membuatku merasa seperti sedang diawasi dengan sangat teliti.
“Pak, ada yang bisa saya bantu?” tanyaku dengan nada profesional yang selalu kubiasakan, meskipun dalam hati aku merasa tegang.
Dia tidak langsung menjawab, hanya menatapku selama beberapa detik seolah sedang menganalisis sesuatu.
“Laporan minggu lalu,” katanya akhirnya. “Aku butuh kamu menambahkan beberapa detail tambahan di bagian analisis.”
Aku mengerutkan kening. Ini sudah ketiga kalinya dalam dua minggu dia meminta perubahan untuk laporan yang sama. Apakah dia tidak pernah puas? Apa ini hanya alasan untuk tetap membuatku sibuk?
“Apakah ada data yang spesifik yang Anda inginkan, Pak?” tanyaku hati-hati, berusaha untuk tidak terdengar kesal.
Dia mengangguk. “Periksa kembali semua data klien dan pastikan tidak ada yang terlewat. Aku tidak ingin kesalahan sekecil apa pun.”
Tentu saja, detail kecil. Selalu tentang kesempurnaan yang ia tuntut. Aku mengangguk pelan. “Baik, Pak. Saya akan segera menanganinya.”
Aku berbalik untuk pergi, tetapi sebelum aku sempat membuka pintu, suaranya menghentikanku.
“Luna,” panggilnya dengan nada yang lebih lembut dari biasanya. Aku menoleh kembali, menatapnya dengan sedikit bingung.
“Ya, Pak?”
Dia terdiam sejenak, tatapannya sedikit berubah—seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan, tapi dia menahannya. Lalu dia berkata, “Pastikan kamu tidak lembur terlalu lama hari ini. Aku tidak ingin kamu kelelahan.”
Aku hampir tertawa mendengar itu. Dia yang paling sering membuatku lembur, dan sekarang dia mengatakan hal semacam ini? Apa dia serius? Bukankah ini dia yang menambahkan tugas-tugas kecil yang membuatku harus tetap berada di kantor hingga larut?
“Baik, Pak,” jawabku akhirnya, berusaha terdengar sopan. “Saya mengerti.”
Dia mengangguk lagi, lalu melanjutkan pekerjaannya. Aku keluar dari ruangannya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ini bukan pertama kalinya dia menunjukkan perhatian seperti itu, tapi tetap saja, rasanya ada yang salah. Bukankah dia yang selalu menambah bebanku dengan perintah yang tidak masuk akal? Kenapa sekarang dia seperti khawatir dengan kesehatanku?
Apa sebenarnya yang dia inginkan dariku?
***
Siang itu, ketika aku mencoba makan siang di kantin, pikiran tentang Aeron tidak bisa kuhentikan. Setiap hari, dia selalu menciptakan alasan agar aku tetap berada di dekatnya, seolah-olah aku tidak punya ruang untuk diriku sendiri. Aku tidak bisa terus-terusan hidup seperti ini.
Aku butuh batas.
Saat aku sedang makan, Nina dan Sarah datang bergabung di mejaku, membawa tawa dan cerita-cerita ringan yang cukup mengalihkan perhatianku dari beban pikiran.
“Aeron lagi?” tanya Nina sambil duduk, senyum liciknya sudah muncul bahkan sebelum aku membuka mulut. “Sepertinya dia selalu ada dalam hidupmu, ya?”
Aku tertawa kecil, meskipun sebenarnya aku merasa terganggu dengan kenyataan itu. “Ya, kamu bisa bilang begitu. Dia baru saja memberikan revisi lagi pagi ini. Tidak ada habisnya.”
Sarah menggeleng, sambil menyeruput minumannya. “Luna, serius. Kalau dia benar-benar suka padamu, kenapa tidak bilang langsung saja?”
Aku menatap Sarah dengan bingung. “Maksudmu?”
Nina mendengus. “Oh, ayolah! Kita sudah bicara soal ini sejak lama. Dia jelas-jelas punya perasaan padamu, tapi entah kenapa dia memilih cara paling aneh untuk menunjukkannya. Kenapa dia tidak bilang saja?”
Aku terdiam sejenak. Mungkin benar. Mungkin Aeron memiliki perasaan, tapi dia terlalu terjebak dalam caranya yang kaku dan perfeksionis untuk menyampaikan itu. Tapi di sisi lain, apakah aku benar-benar ingin dia mengatakannya? Hidupku sudah cukup rumit dengan pekerjaanku sekarang. Menambah lapisan hubungan pribadi di atas itu? Aku tidak yakin bisa menghadapinya.
“Aku tidak tahu,” jawabku akhirnya. “Aku tidak yakin apakah itu perasaan, atau hanya caranya mengontrolku.”
Nina menatapku dengan serius. “Tapi Luna, kalau kamu tidak hati-hati, ini bisa menjadi lebih dari sekadar pekerjaan. Dia tidak akan berhenti sebelum dia merasa puas. Kamu harus tahu batasannya.”
Aku mengangguk. Nina benar. Aku butuh batasan yang jelas. Aeron adalah bosku, dan ini harus tetap menjadi hubungan profesional. Tidak ada yang lebih dari itu.
***
Sore harinya, setelah jam kerja hampir selesai, aku memutuskan untuk menyelesaikan revisi terakhir yang diminta Aeron. Aku berpikir, semakin cepat aku menyelesaikannya, semakin cepat aku bisa pulang dan menghindari lembur yang sepertinya akan terus datang.
Namun, saat aku sedang berkonsentrasi, pintu ruanganku terbuka, dan siapa lagi kalau bukan Aeron yang masuk tanpa mengetuk. Aku hampir terlonjak dari kursiku. Kenapa dia selalu datang tanpa pemberitahuan?
“Luna,” panggilnya, suaranya terdengar lebih dalam kali ini.
Aku menatapnya, berusaha menenangkan detak jantungku yang tiba-tiba berpacu. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?”
Dia berjalan mendekat, berdiri di dekat mejaku dengan tatapan yang serius. “Aku ingin memastikan kamu sudah menyelesaikan revisinya sebelum pulang.”
Aku mengangguk pelan. “Saya hampir selesai, Pak. Berkasnya akan saya kirimkan sesaat lagi.”
Aeron menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu dalam cara dia menatapku yang membuatku merasa... canggung. Seolah-olah ada sesuatu yang lebih dari sekadar laporan yang sedang dia periksa.
“Aku juga ingin memastikan kamu pulang tepat waktu,” katanya lagi. “Aku tidak ingin kamu lembur.”
Aku terdiam, bingung dengan perhatiannya yang tiba-tiba ini. Bukankah dia yang biasanya menambah pekerjaanku hingga aku harus lembur? Kenapa sekarang dia seolah-olah peduli pada kesehatanku?
“Baik, Pak,” jawabku pelan, meskipun aku tidak bisa menyembunyikan kebingungan dalam nada suaraku.
Aeron mengangguk, lalu berbalik menuju pintu. Tapi sebelum dia keluar, dia berbalik lagi dan berkata, “Kalau kamu butuh tumpangan, aku akan menunggu di lobi.”
Aku hanya bisa mengangguk, tak mampu berkata apa-apa lagi. Setelah dia keluar, aku menarik napas panjang. Ini semakin aneh. Semakin hari, dia semakin mengontrol setiap gerakanku. Ini bukan lagi tentang pekerjaan. Ini tentang sesuatu yang lebih dalam—sesuatu yang aku belum siap hadapi.
***
Setelah akhirnya menyelesaikan laporan dan mengirimkannya, aku memutuskan untuk pulang tanpa meminta tumpangan dari Aeron. Aku butuh waktu sendirian untuk memikirkan semuanya. Jika aku terus membiarkan Aeron mencampuri hidupku seperti ini, aku tidak akan pernah punya ruang untuk diriku sendiri.
Aku berjalan keluar dari gedung kantor, berharap bisa pulang dengan tenang, tetapi tentu saja, aku melihat Aeron menunggu di lobi, seperti yang sudah dia katakan.
“Luna,” panggilnya, berjalan mendekat.
Aku tersenyum kaku. “Terima kasih, Pak. Tapi saya akan pulang sendiri malam ini.”
Aeron menatapku selama beberapa detik, tatapannya tajam dan penuh kendali seperti biasa. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam cara dia menatapku. Dia seperti sedang menimbang sesuatu, mungkin memutuskan apakah akan membiarkanku pergi begitu saja atau terus memaksaku.
Akhirnya, dia mengangguk pelan. “Baiklah. Hati-hati di jalan.”
Aku menghela napas pelan setelah dia pergi, merasa sedikit lega. Tapi di balik rasa lega itu, aku juga tahu bahwa ini belum selesai. Aeron Nathaniel Wijaya tidak akan berhenti begitu saja. Dan aku harus menemukan cara untuk menjaga jarak, sebelum semuanya semakin rumit.