WCC 14 – Perjuangan Mendapatkan Surat

1431 Kata
Setelah tersedak dan membersihkan tubuhnya sendiri, Keke langsung menatap Danu dengan tatapan ingin memastikan telinganya. Melihat keseriusan di mata Danu, Keke langsung saja berniat melayangkan protes. Baginya ini tidak adil. Meskipun ntah di sudut mana bagian ini memang kesalahannya.   “Tidak, Kak. Maksud kedatanganku bukan untuk menggodamu, sungguh.” kata Keke.   “Saya tidak peduli.” kata Danu.   “Tolonglah, Kak. Dengarkan kata-kataku dulu. Setelah kau mendengarnya, barulah kau tentukan apakah kau mau membatuku atau tidak. Namun, sungguh. Kali ini aku datang kepadamu untuk meminta bantuan. Dengarkan aku ya, ya, ya?” kata Keke sambil memegangi tangan Danu.   Danu langsung menepis tangan Keke. Jujur, selain senang karena bisa membatalkan perjanjian karena Keke tetap menemuinya sebelum sayembara itu dimenangkannya, dia juga penasaran, apa maksud kedatangan Keke. Keke jelas bukan tipikal orang yang mudah menyerah.   “Baiklah, katakan.” kata Danu.   “Ketika aku mendaftarkan diriku, aku sungguh lolos seleksi pertama. Namun, ada satu persyaratan yang tidak bisa aku penuhi.” kata Keke.   “Itu urusanmu. Saya tidak mau tahu.” kata Danu dengan jahatnya.   Keke memasang wajah memelas namun dia tetap menjelaskan situasi yang tengah dialaminya. “Setiap kandidat yang lolos harus mengikuti karantina selama 27 hari. Aku tentu setuju. Namun, aku tidak bisa menngikutinya tanpa seizing orang tuaku, aku sudah berbohong kalau aku akan berkeliling untuk acara launching perdana bukuku di beberapa kota namun mereka tidak percaya bila aku tidak emmiliki surat dinas.” kata Keke.   Danu menatap Keke dengan dingin. Kali ini dia mulai paham kemana arah pembicaraan Keke. Keke meminta dibuatkan surat olehnya. Danu menyilangkan tangannya di depan d**a. Dia hanya menatap Keke dengan wajah sinisnya. Dia sangat gengsi mengatakan kalau ia mengetahui maksud ucapan Keke yang kali ini terdengar tidak mengada-ada.   “Maukah kau membantuku untuk mmebuatkan surat dinas itu, Kak?” tanya Keke dengan wajah memelas.   “Tidak mau.” Jawab Danu.   “Ku mohon, Kak. Buatkanlah surat dinas untuk aku.” kata Keke yang kini sudah merengek seperti anak kecil.   “Kalau saya bilang tidak mau ya tidak mau.” kata Danu.   Keke memutar otak cara memohon tidak bisa langsung disetujui oleh Danu. Dia harus memikirkan cara lain. Dia tidak bisa memeluk Danu dan mengancamnya karena hal itu berarti Keke menyetujui Danu membatalkan perjanjian itu. Padahal, Keke sudah mengumumkan pada semua orang akan pernikahannya. Keke tidak mau membuat keluarganya malu karena dirinya tidak jadi menikah dengan Danu, Sang CEO tampan pujaan hatinya.   “Kau curang, Kak!” seru Keke. Kali ini Keke ingin sedikit melawan Danu agar permintaannya lekas dimuluskan oleh Danu.   “Atas dasar apa kamu mengatakan kalau saya curang?” tanya Dannu tidak terita.   Pancingan Keke kali ini berhasil. Danu terlihat tidak terima disebut curang oleh Keke, meskipun dalam praktiknya dirinya memang curang karena apapun hasil dari perjanjian itu, Keke tidaklah bisa di terima Danu apalagi sampai menikah dengannya.   “Kakak tentu tidak mau membuatkanku surat agar aku tidak lolos kan? Sangat picik sekali.” Kata Keke smabil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya. Dia pura-pura kesal setengah mati.   “Saya tidak curang!” seru Danu lagi.   “Ck, buktinya Kakak tidak mau membuatkanku surat dinas itu.” kata Keke.   “Argh! Baiklah, baiklah. Saya akan membuatkanmu surat itu.” kata Danu.   Keke tersenyum senang. Dia berhasil menaklukkan Danu. Baginya ini merupakan bukti kalau dirinya masih bisa meluluhkan sekeras apapun hati Danu. Meski tidak ada keterkaitan antara keduanya namun Keke selalu memaksakan menarik benarng merah untuk menambah energi positif dalam dirinya.   Danu mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja, lalu memencet nomor Lusi sekretaris yang juga merupakan sahabat Keke. Setelah memencet ikon memanggil, Danu langsung menempelkan ponsel itu di telinganya.   Di seberang sana, mengetahui sang bos sekaligus pujaan hatinya menelepon membuat Lusi buru-buru merapikan rambutnya walaupun panggilan tersebut hanya panggilan suara yang tidak bisa melihat bagaimana penampilan Lusi. Lusi pun menangkatnya. Sebelum sempat Lusi menyapa, Danu langsung memerintahnya.   “Buatkan surat perjalanan acara launching n****+ terbaru keke di 10 kota besar yang ada di negara kita. Setelah selesai segera bawa ke rumah saya.” kata Danu tegas.   “Tapi, Pak..” kata Lusi hendak melayangkan protes.   “Tidak ada kata tapi-tapian. Lekaslah datang atau kamu saya pecat.” Kata Danu dengan seenak jidalnyya.   Lusi yang sudah mendapatkan ancaman dari Danu langsung bergegas datang ke kantor untuk membuat surat, menge-print, dan membawa stampel perusahaan. Setelah semua langkap, dari kantor penerbitan tampatnya bekerja, Lusi langsung pergi ke rumah Danu.   Lusi beberapa kali memberikan surat ke rumah Danu. Jadi, dia sudah afal alamat rumah Danu. Diapun memesan ojek online agar bisa mempercepat dirinya sampai di rumah Danu.   Di rumah Danu, Keke hanya diam. Dia tidak mau salah bicara dan membuat Danu marah kepadanya. Baginya pertemuannya kali ini adalah bonus dari Tuhan karena kegigihannya. Keke terus mengamati wajah Danu.   Dua puluh tujuh hari ke depan aku akan sangat merindukannya. untuk itu, aku harus puas menatapnya hari ini, akan kubuat kantong-kantong rindu yang nantinya akan kupecahkan dengan ingatan wajahnya ini. –batin Keke.   “Kak..” tanya Keke.   Danu menatap Keke mengisyaratkan ada apa.  Meski dengan tatapan malas, Keke masih saja melanjutkan kata-katanya.   “Kau tinggal sendiri?” tanya Keke.   “Tidak. Ada Bi Darsih dan Mang Jarwo.” kata Danu.   “Eh, bukan itu maksudku. Maksudku apa kau tidak tinggal dengan orang tuamu?” tanya Keke.   “Tidak.” kata Danu.   Mendengar nama keluarga, mata Danu kini menggelap. Bayangan bertahun-tahun lalu saat dirinya harus menghidupi dirinya sendiri kembali menghantuinya. Namun, Danu tipikal orang yang kuat. Dia hanya membenci keluarganya saja yang telah menelantarkannya, untuk kesedihan, Danu tidak merasakannya, dia hanya sedikit kesepian.   “Kenapa?” tanya Keke.   “Kalau kau bertanya lagi, saya tidak akan memberikan surat itu.” kata Danu.   “Eh, iya-iya. Ini aku akan mengunci mulutku kak. Ini lihatlah, aku mengunci mulut aku sendiri.” kata Keke sambil pura-pura mengunci mulutnya sendiri dengan menggunakan tangannya.   Tak lama kemudian, Lusi datang. Lusi yang awalnya ceria karena harus berkunjung ke rumah Danu sedikit kecewa mendapati Keke yang kini sudah duduk manis di atas sofa bersama Danu.   “Saya datang, Pak.” kata Lusi sambil tersenyum.   Lusi terus menyembunyikan rasa sedihnya. Awalanya dia mengira dia akan kembali bekerja berdua dengan Danu seperti sebelum-sebelumnya. Lusi tentu menikmati momen-momen di mana dia dan Danu terus bersama meski hanya sebatas mengerjakan pekerjaan kantor.   “Lho, Keke?” tanya Lusi.   “Hai, Lusi!” kata Keke sambil tersenyum sambil memperlihatkan giginya.   “Kenapa kau ada di sini?” tanya Lusi mengutarakan rasa penasarannya.   “Duduklah. Kau membawa surat yang ku minta kan?” tanya Danu pada Lusi.   “Oh, iya, Pak. Saya membawanya.” kata Lusi.   Lusi buru-buru duduk di samping Keke lalu menyodorkan sebuah map yang berisi surat yang Danu minta atau surat Dinas yang di buat untuk Keke.   Setelah menyodorkan amplop itu, Lusi mengamati Danu. Dia merasa pemandangan di depannya sangatlah menyenangkan. Melihat bagaimana Danu berpakaian rumahan biasa dengan kaos lengan pendek dan celana pendek itu membuat tubuh kekarnya hampir terlihat dari luar.   Danu seperti masih anak kuliah yang tampan. Lusi tidak berkedip.   Keke yang merasa temannya diam saja, langsung menoleh. Dan kini dia melihat Lusi sedang berkonsentrasi kearah Danu. Keke melihat ke arah danu, mencoba mengukur ke mana mata Lusi tertuju. Dan benar saja, mata Lusi bukanlah tertuju kepada map yang tengah dipegang Danu, melainkan Lusi tengah memandang Danu dengan tatapan yang sangat jelas diketahui Keke. Tatapan memuja.   Mengapa Lusi menatap Kak Danu seperti itu? –batin Keke.   “Pulpen?” tanya Danu.   “Eh, ini, Pak.” kata Lusi, langsung sadar akan lamunannya dan memberikan pulpen yang ada di tangannya kepada Danu.   Danu mengambilnya tanpa mengucapkan terima kasih. Saat mengambil pulpen itu, tak sengaja tangan Danu dan Lusi saling bersentuhan. Jantung Lusi kini berdebar.   Apa Lusi juga menyukai Kak Danu? Namun, tidak mungkin. Dia pasti mengatakannya kepadaku bila itu terjadi.- batin Keke.   “Ini, ambi dan pergilah dari rumahku.” kata Danu sambil meyodorkan surat dan amplop tersebut kepada Keke. Keke pun memeriksanya lalu setelah betul semua dia memasukkan surat itu ke dalam amplop.   “Bapak, Maaf, bukankah tidak ada perjalanan tour untuk launching n****+ Keke?” tanya Lusi.   “Sudah tak perlu banyak tanya. Kau juga tidak boleh memberitahunya.” kata Danu.   Lusi menoleh kepada Keke. “Siap, aku pulang dulu kalau begitu.” kata Keke.   “Saya juga pamit, Pak.” kata Lusi.   “Tidak. Masih ada kerjaan yang harus saya bicarakan denganmu. Kau tidak boleh pulang, Lus.” kata Danu.   “Baik, Pak.” kata Lusi.   Lusi meminta maaf kepada Lusi lewat tatapan matanya. Keke tersenyum, “Tidak apa-apa. Kau bekerjalah. Semangat!” seru Keke.   “Pulang dulu, Kak, Lus.” kata Keke pamit.   “Hat-hati, Ke!” kata Lusi.   Danu tidak menyahut. Kekepun langsung pulang membawa surat dinas yang diberikan Danu kepadanya. Benar bukan, usaha tidak akan pernah menghinanati hasil? Buktinya keke bisa mendapatkan surat itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN