WCC 15 - Menjemput Maut

1379 Kata
Keke langsung keluar rumah Danu dan pulang ke rumah. Namun, selama di perjalanan, pikirannya di penuhi dengan bayangan Lusi yang sedang menatap Danu. Namun, dia tidak mau memikirkan hal-hal yang mustahil itu. Keke puna meyakinkan diri kalau sebenarnya dia salah lihat.   Aku pasti salah lihat! –batin Keke.   Sesampainya di rumah, dia langsung mendapati Mama dan Papanya di ruang keluarga sedang menonton Tv. Sebetulnya tidak keduanya, karena Adi hanya serius kepada ponselnya, hanya Rinalah yang kini fokus menonton sinetron kesayangannya.   “Keke pulang!” seru Keke.   “Eh, anak Papa.” kata Adi.   “Tumben mainnya cepat sekali pulangnya.” tanya Rina.   Keke hanya nyengir kuda mendengar pertanyaan Rina.   Melihat kedua orangnya duduk di ruang tamu, Keke langsung duduk di antaranya. Mencium pipi kiri Rina dan pipi kanan Adi. Lalu, dia memberikan amplop yang berisi surat dinas itu kepada Rina.   “Apa ini?” tanya Rina.   “Tadi aku ke rumah Lusi untuk mengambil surat dinas ini. Mama tahu kan kalau Lusi adalah sekretaris CEO dan dia tidak mungkin memalsukan surat?” tanya Keke.   Adi yang mulai tertarik dengan pembicaraan anak dan istrinya meletakkan ponselnya di atas meja, dia mulai menghiraukan pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselnya.   “Jadi, kamu benar-benar akan pergi tour untuk launcing n****+ terbarumu?” tanya Adi.   “Tentu saja, Pa. aku tidak mungkin bohong. Lihat saja suratnya kalau tidak percaya.” kata Keke.   “Coba Papa lihat, Ma.” kata Adi kepada Rina sambil mengulurkan tangan kanan dengan telapak tangan terbuka.   “Ini, Pa.” kata Rina.   Rina menyodorkan surat itu kepada Adi. Adipun langsung membaca surat itu dnegan teliti. Keke tersenyum miring. Bagaimanapun surat itu tetaplah surat asli. Tidak bisa diragukan. Diam-diam Keke mulai memuji diri sendiri.   “27 hari? Lama sekali, Nak.” kata Adi.   “Kan kebeberapa kota, Papa. Jadi, lama.” kata Keke.   “Memang kalau kamu tidak ikut, tidak bisa?” tanya Adi.   “Aduh, Papa. Itukan launching n****+ aku. Kalau aku tidak bisa launching.” kata Keke.   Adipun membetulkan kata-kata Keke.   “Baiklah kalau begitu. Papa izinkan.” kata Adi.   Surat dinas itu dimasukkannya lagi ke dalam amplop.   “Yeay, terima kasih, Papa.” kata Keke langsung memeluk Adi dari samping dan kembali mencium pipi kanan Adi. Adi terkekeh melihat tingkah laku anaknya lalu mengusap kepala dan mencium puncak kepala anaknya.   Lalu, Keke melepaskan pelukan itu dan beralih ke Rina.   “Boleh ya, Ma?” tanya Keke langsung beralih kepada Rina.   “Baiklah, Mama izinkan.” kata Rina.   Kekepun memeluk Rina dari samping dan juga mencium pipi kiri Rina dengan senang, “Terima kasih, Mama.” kata Keke.   Rina tersenyum dan mengusap bahu Keke.   Keke lalu melepaskan pelukan itu.   “Aku ke kamar dulu ya, Ma, Pa.” kata Keke.   Adi dan Rina mengangguk.   Keke pun melesat pergi ke kamar untuk mempersiapkan barang-barang yang akan dibawanya besok. Diapun mengambil satu koper besar yang ada di pinggir lemarinya.   “Aku harus membawa pakaian 52 stel!” serunya pada diri sendiri.   Keke pun mengeluarkan semua pakaian yang ada di dalam lemarinya dan menghitung pakaiannya hingga mencapai 52 stel. Namun, pakaiannya hanya ada 50 stel. Kurang dua stel lagi. Kekepun langsung keluar kamar lagi dia menghampiri Mama.   “Mamaaa, beli baju yuk, untuk besok.” kata Keke.   “Lho, bukannya pakaianmu banyak di lemari?” tanya Mama.   “Pakaianku banyak yang sudah tidak muat, Ma.” kata Keke.   “Iya, temani saja anakmu, Ma. Ini, bawa saja ATM Papa.” kata Adi sambil menyodorkan ATM-nya.   “Kau ini setiap mau pergi selalu beli pakaian.” kata Rina sambil menggeleng.   Keke tertawa.   “Mama siap-siap dulu ya, Pa.” kata Rina.   Adi mengangguk. Menyetujui Rina. Rina pun langsung ganti pakaian, sedangkan Keke menggantikan Rina menonton sinetron yang tengah ditonton Rina.   Keke memang tidak suka membeli pakaian sendiri, itulah mengapa setiap membeli baju dia selalu mengajak orang lain pergi bersamanya. Lusi sedang ada kerjaan dengan Danu jadi Keke tidak mungkin meminta Lusi menemaninya berbelanja, Zahra tentu akan bertanya banyak hal. Satu-satunya orang yang tepat dimintai tolong adalah Rina, mamanya.   Setelah Rina siap, Keke dan Rinapun pergi ke mall di antar Adi menggunakan mobilnya. Sesampainya di sana, Adi meninggalkan Keke dan Rina. Karena Adi tidak mau menunggu ibu dan anak itu berbelanja, karena bila sudah berhubungan dengan beli membeli barang di mall, mereka kerap kali lupa waktu. Jadi, Adi hanya berpesan agar sudah selesai berbelanja hubungi Adi agar Adi bisa kembali menjemput anak dan istrinya.   ***  Keesokkan harinya Kekepun berangkat. Pendaftaran di bukan jam 07.00 WIB. Itu artinya jam 5 dia sudah berangkat dari rumah. Namun, Keke pun teringat kalau tepat pukul jam 5, akan ada mobil jemputan dari panitia.   Hal ini karena tidak ada yang boleh membawa kendaraan ke lokasi tersebut. Hanya boleh di jemput panitia. Dan lokasi yang di berikan di maps sangat sulit dilalui dan dijaga ketat hingga hanya boleh orang-orang terpilih saja.   “Papa antar saja ya?” tanya Papa.   “Tidak perlu, Pa. Lagi pula mobil kantor sebentar lagi akan datang.” kata Keke keras kepala.   TINN! TINNN! TINNN!   Suara klakson mobil di depan rumah terdengar.   “Nah, jemputan aku sudah datang, Pa, Ma.” kata Keke dengan wajah sumringahnya.   Adi membantu membawakan koper ke luar, Rina di sampingnya mengikuti. Keke berjalan paling depan. Sebuah mobil sedan hitam terparkir manis di depan gerbang rumah Keke. Sang sopir keluar.   Supir membukakan pintu bagasi untuk meletakkan koper Keke. Lalu, mengambil koper yang tadi di seret Adi lalu memasukkannya ke dalam bagasi.   “Saya titip anak saya ya, Pak.” kata Adi pada sang supir.   “Baik, Pak.” kata supir itu mengangguk.   “Jaga dirimu baik-baik di disana.” kata Mama.   “Siap, Ma.” kata Keke. Dia memeluk Mamanya dengan rasa sayang. “Keke akan kangan Mama.” Katanya.   Rina mulai berkaca-kaca melihat anak semata wayahnya akan pergi hampir sebulan lamanya. Itu berarti dia akan kesepian di rumah.   “Hati-hati di jalan, Sayang.” kata Adi.   “Iya, Pa.” kata Keke. Dia juga memeluk Adi singkat. Lalu melepaskanya.   Keke pun masuk ke dalam mobil. Setelah melambai dari dalam, mobilpun langsung melaju, awalnya tidak terlalu kencang namun semakin lama kecepatan mobil tersebut menjadi sangat cepat. Keke yang duduk di belkang langsung berpengangan erat pada pegangan mobil yang ada di atas jendela pintu mobil.   “Pak, pelan-pelan saya takut!” seru Keke ketakutan.   Bukannya memelankan lanju mobilnya, sang supir justru menambah kecepatannya. Kini wajah tersenyum di wajah supir berganti dengan wajah menakutkan beraura dingin.   Seketika Keke teringat pada kejadian saat dia di culik oleh sang iblis. Raut wajah supir di depannya nyaris sama seperti bodyguard iblis yang tengah menculiknya beberapa waktu lalu.   “Pak, pelan-pelan! Saya tidak mau mati muda.” kata Keke.   Semakin Keke meminta sang sopir untuk melambatlan laju mobilnya, semakin bertambahlah laju mobil yang dikemudikannya. Keke benar-benar merasa perutnya tidak enak, namun dia masih bisa menahannya.   Karena pasrah, Keke tidak mau lagi meminta sang supir untuk memelankan laju mobilnya.   Waktu pun terus berpacu. Akhirnya mereka sampai di halaman rumah besar yang berada di tengah hutan. Keke benar-benar tidak bisa memperhatikan jalan menuju ke sini. Karena otaknya sibuk memikirkan hidup dan matinya yang berada dalam mobil berkecepatan tinggi.   Keke hanya mengingat kalau sebelum memasuki hutan, mobil sempat berhenti dan diperiksa oleh petugas yang berjaga di sana. Ada 10 penjaga yang membuat bulu kuduk Keke meremang.   Aku tidak takut, aku tidak takut, aku tidak takut. Ini semua demi Kak Danu! –batin Keke.   Meski disugukan dengan awal yang begitu ekstrem namun itu tidak membuat Keke gentar sama sekali. Dia masih semangat untuk mengikuti tahap selanjutnya yang sepertinya jauh lebih ekstrem dari sekadar berada di mobil berlaju cepat itu.   “Aoek!” Keke hendak memuntahkan isi perutnya saat keluar dari mobil ‘setan’ tersebut.   “Kalau kau muntah di sini, kau akan gugur dan silakan pergi dari sini, takkan ada yang mengantarmu.” kata sang supir dengan dingin.   Jahat sekali! –batin Keke.   Namun Keke tidak berani mengucapakannya secara langsung. Keke buru-buru menutup mulutnya, dan menelan lagi sesuatu yang sudah siap keluar di dalam mulutnya. Keke semakin mual, namun dia merasa tidak mau keluar gugur dan berjalan kaki sampai ke rumah begitu saja hanya karena tidak tahan ingin muntah.   Keke pun menelan sekuat tenaga. Benar-benar menjijikan. Keke berjanji akan melupakan pengalamanpahit ini seumur hidupnya. Dia sungguh tidak mau mengingat bagaimana dia menelan.. Ah, Keke benar-benar tidak bisa melanjutkan pemikiran di otaknya sendiri. Ini terllau rumit dan menjijikan untuknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN