Bab 10. Korban pembunuhan

1900 Kata
Mereka pun mendongak, menatap dan terpaku kala melihat suguhan yang mengerikan itu. Kepala sampai leher yang masih tergantung di atas menggunakan tali tambang. Kepala itu terpenggal, yang mana darah segar masih bercucuran dari bekas potongan lehernya. Tepat di bawahnya, terdapat tubuh yang sudah terpotong menjadi beberapa bagian. Jesica tak bisa ngomong apa-apa tentang ini semua. Melihat kejadian yang begitu sadis dan mengerikan. “Terlihat dari ceceran darah, ini semua dilakukan beberapa menit yang lalu. Tetapi, kenapa kita tak menemukan pelaku?” Adnan bertanya-tanya. “Apa mungkn, saat orang yang menelepon kita adalah pelaku? Dan saat menelepon kita, ini semua belum dilakukan? Jika di nalar, apabila kita tak terjebak macet, ada kemungkinan kita berpapasan dengan orang tersebut.” Jesica menatap ke arah tiga temannya secara bergantuan. “Bentar, apa jangan-jangan pelaku masih berada di sini?”sahut Riko. Mereka membalikkan badan. Mengawasi semua hal yang ada di sekitar mereka masing-masing. “Kita berpencar, tapi Jesica jangan sendirian. Ikuti siapa saja yang kamu mau,” pinta Devano. Mereka Devano berjalan ke ruangan yang di kamar itu yang mungkin adalah kamar mandi. Jesica pun mengekor di belakangnya, sedangkan dua orang yang lain keluar kamar, mencoba mengecek kembali ruangan satu persatu kembali. “Nggak ada siapa-siapa di sini,” ujar Devano. “Dev, ini ada jejak sepatu yang ada bekas darahnya,” ujar Jesica sembari mengarahkan lampu senternya ke arah dekat pintu almari yang ada di sana. Devano pun lantas mendekat, saat bersamaan kedua temannya pun kembali menghapirinya. “Nggak ada siapa-siapa, Dev.” Riko memberitahukan informasi. Devano pun meletakkan jari telunjuknya di depan mulut serta hidungnya. Hal itu menandakan mereka di minta untuk diam. Devano meraih gagang almari, secara perlahan membukanya. Sedangkan ketiga temannya mengacungkan pisstol ke arah almari itu. Mereka berjaga-jaga, jika sewaktu-waktu ada orang di dalam almari yang siap menyerang mereka kala pintunya terbuka. Saat pintu terbuka, tak ada siapapun di sana. Hanya ada baju yang masih tergantung rapi di dalamnya. Mereka bertiga menyibaknya, tetapi tak ada apapun di sana kecuali sepatu yang berbalut darah ditinggal di sana. “Sepatu?” ujar Jesica. Dia yang sudah menggunakan sarung tangan, lantas meraih sepatu itu kemudian memasukkan ke dalam plastik yang sudah di bawanya. Barang bukti pertama yang ia dapat di sana. “Ini dipastikan jika pelaku sudah tak ada di sini. Kita hubungi anggota untuk mengamankan lokasi dan membawa jenazah ini ke rumah sakit untuk di otopsi. Kita keluar, tanyakan ke warga, barang kali beberapa menit yang lalu ada orang yang mencurigakan di area rumah ini,” pinta Devano. Devano meraih ponsel yang ada di sakunya. Dia segera menghubungi anggota yang lain untuk mengamankan lokasi. Kali ini, Devano dan Jesica tetap berada di ruangan itu, sedangkan Adnan dan Riko untuk mencari informasi. Selepas menelepon, Devano berdiri tepat di samping Jesica. Mereka mengamati jenazah itu. “Lehernya diikat, tapi kepalanya terlihat ada benturan. Apa mungkin darah yang ada di anak tangga pertama itu bekas orang ini kepalanya dibenturkan di sana?” Jesica bertanya-tanya. “Bisa jadi. Lihat itu kepala yang menggantung.” Jesica pun mendongak sesuai perintah Devano. “Lihat area wajahnya. Terlihat dia meninggal bukan karena digantung, tetapi bisa dipastikan dia meninggal saat di lantai dasar karena benturan, kemudian di bawa ke lantai atas untuk digantung dan kemudian dimutilasi menjadi beberapa bagian.” “Iya, gue mikirnya juga begitu dari tadi. Cuma, yang menjadi pertanyaanku, kenapa darah itu terhenti di tangga juga, mana nggak sampai atas. Nggak mungkinkan itu darah tiba-tiba habis?” tanya Jesica. “Atau mungkin, dia di lantai dasar cuma pingsan. Itu jenazah di bawa ke atas, nah sampai tangga itu dia bangun lalu berlari di kamar itu?” Devano menyimpulkan yang menurutnya dapat dipikir menggunakan nalar manusia. “Bisa jadi. Tapi, masa ia kalau sembunyi pintu itu nggak dikunci?” Jesica membalikkan badan menatap ke arah pintu. Dia melangkah dengan pasti ke sana. “Lihat, nggak ada bekas pemaksaan untuk membukanya. Nggak ada kerusakan sama sekali di sini.” “Apa dia yang terlalu panik nggak sempat mengunci pintunya? Apalagi dia dalam kondisi kepala berdarah-darah, mungkin membuat kepalanya pening dan sampai di tempat tubuhnya itu dia pingsan atau bahkan meninggal?” Devano bertanya-tanya. “Lalu, mereka tujuannya masuk ke dalam sini apa, ya? Aneh banget. Padahal orang asli sini menuturkan bahwa rumah ini nggak ada yang berani memasukinya. Apa ada maksud terselubung?” Saat ini justru Jesica yang bertanya-tanya. Devano melangkah menuju jendela. Dia mengamati orang-orang yang berada di teras sana. Terlihat beberapa petugas sudah datang dan mengamankan kerumunan itu. “Dev, Jes.” Tiba-tiba Riko dan Andan yang mendadak datang, membuat mereka berdua terkesiap kala mendengar suaranya. “Hah, bisa-bisanya gue nggak denger sepatu lu?” ujar Jesica. Jantungnya berdegup dengan kencang. Dia menarik napas, mencoba menyetabilkan degup jantungnya kembali. “Masa nggak denger langkah kita? Oh iya, gue dan Riko barusan mendapatkan sedikit info dari mereka,” ujar Adnan. "Apa kata mereka?" tanya Devano. "Kata Bapak yang tadi kita temui, katanya sih sempet dengar orang teriak. Tapi, dia dengar di rumah itu ya nganggapnya cuma halusinasi. Rumah itu, walaupun ditinggal baru setengah tahun, tapi terlihat angker gitu kata bapaknya." Riko yang kali ini menjelaskan. Walaupun Riko yang biasanya suka konyol, tapi saat bertugas sangat seriuS. Bahkan tak jarang, jika ada beberapa wanita yang suka karena tingkahnya yang terlibat misterius. "Jam berapa?" tanya Devano lagi. "Nah, kok lupa nggak tanya itu gue. Kerumunan warga, malah bikin lupa. Mereka malah pengen lihat masuk, untung kawan-kawan sudah pada datang," jawab Adnan. “Kata tetangga yang rumahnya dekat, dari semalam juga nggak ada suara keributan atau pun hal yang mencurigakan. Untuk pagi, mereka tak terlalu fokus dengan rumah itu, sih,” tambah Riko. Para anggota yang lain naik ke atas menghampiri mereka. Memasang garis polisi, kemudian membersihkan anggota anggota rubuh yang berserakan di lantai meski terkumpul menjadi satu. Lawan mereka buka hal main-main, sebab mainnya terlalu cerdik dan sangat susah di deteksi. Setelah semua proses yang biasa dilakukan mereka sudah selesai, keempat anggota kepolisian pun berjalan menuju mobilnya. Mereka yang biasanya suka becanda di mana pun tempatnya. Namun kali ini terdiam seribu bicara. Tatapan mereka seolah-olah sedang mencari jawaban yang mana pertanyaannya baru saja terlintas di otak mereka masing-masing. “Kenapa lawan kita bisa selicik ini, ya? Ini semua seperti sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum proses eksekusi. Lalu, gunanya peneror ini memberitahukan mayat ini untuk apa? Apa lambang di nomor kotak Jesica dan surat di batu Devano itu lambang nomor rumah itu?” Riko bertanya-tanya. Dia memecahkan keheningan yang mana membuat pertanyaan yang susah di jawab dirinya sendiri. “Nggak mau tahu, kita uji lab dan tes semuanya barang bukti yang kita dapatkan saat ini juga. Jesica, tadi sepatunya tak lupa kau bawakan?” tanya Devano. “Sudah, kok. Semoga ada petunjuk yang tertinggal di sini.” Jesica banyak berharap pada kasus ini. Ia ingin, ada bukti yang tertinggal agar kasus walaupun perlahan tapi terpecahkan. Sesampainya di kantor, mereka segera turun dan melangkah hendak menuju ruangannya. Ketiga temannya sudah berjalan terlebih dahulu, sedangkan Devano masih tetap di belakang. “Pak, hari ini ada laporan masuk tentang orang hilang lagi nggak, ya?” tanyabDevano. “Enggak, Pak. Hari ini, nggak ada laporan kasus yang masuk sama sekali,” jawab Anggota yang ditanya Devano. “Terima kasih, ya.” Devano kembali melanjutkan perjalanan. Dia duduk di kursinya, sembari tangannya meraih beberapa kertas yang menunjukkan identitas korban hilang beberapa hari yang lalu. “Dari semua yang ada di sini, korban yang baru ditemukan tak termasuk diantaranya. Dia korban baru,” ujar Devano ketiga temannya. “Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Untuk kotak kado dan yang lain nanti saja.” Mereka berempat pun dengan sigap berangkat kembali. Meski badan letih dan pikiran kacau, tetapi semua itu kewajiban mereka yang wajib dituntaskan hingga ke akarnya. Mereka mencoba profesional meski mereka sendiri mendapat teror. Mereka mengenyampingkannya, meski mereka tak tahu kasus ini ada hubungannya atau enggak dengan semua teror itu. Sesampainya di rumah sakit, cukup lama mereka menunggu hasil otopsi itu, akhirnya dokter yang menangainya pun keluar menghampiri. “Ini datanya, Pak. Ada beberapa obat yang teridentifikasi di lambungnya. Termasuk obat tidur yang bisa dipastikan di minum semalam,” ujar Dokter sembari emberikan kertas yang berisikan hasil otopsi itu. “Oh oke, terima kasih atas kerja samanya.” Devano menerimanya sembari tersenyum. Dokter di sini pun menjelaskan apa saja yang membuat dia meninggal. Diantaranya benturan keras di bagian kepalanya sebelah kiri. Hal itu, membuat tengkorak kepalanya ada yang retak cukup dalam. Bisa dipastikan benturan itu yang merenggut nyawanya. Ada hal-hal lain juga yang dijelaskan. Saat itu, anggota yang menangani ini datang menghampiri mereka. Dia juga menjelaskan tak ada sidik jari yang melekat di tubuh korban ini. Dia juga menyerahkan kertas yang berisikan identitas korban yang dapat diketahui berkat hasil otopsi. “Oky Pramana. Biar kami yang datang langsung ke alamat Oky ini.” Devano masih terpaku ke identitas korban. “Baik, Pak.” Mereka berempat kembali melangah smebari membawa kertas identitas milik Oky korban ini. Mereka kembali menaiki mobil yang digunakan ke rumah sakit itu. Dengan kecepatan lumayan tinggi, Devano melajukan agar cepat sampai. Rumah Oky jauh dari lokasi pembunuhan terhadap dirinya. Alamat Oky di area perumahan permai Indah. “Ini alamat penemuan potongan jenazah yang pertama, kan?” ujar Jesica bertanya-tanya. “Iya, tapi ini bukan perumahannya. Cuma rumahnya dekat area perumahan dan apartemen itu,” jelas Adnan. Sesampainya di depan rumah Oky, terlihat beberapa ibu-ibu yang duduk santai sembari momong anaknya. Mereka terlihat panik kala melihat kedatangan keempat anggota polisi ini. Sudah menjadi hal biasa, jika warga melihat polisi akan merasa ketakutan. Hal itu terlihat dengan jelas dari raut wajah yang ditunjukkan. “Selamat pagi, apa benar ini rumah saudara Oky Pramana?” tanya Devano. “Iya, bentar Ibunya ada di dalam rumah biar saya panggilkan sebentar.” Salah satu Ibu-ibu itu yang menjawabnya. “Mpok Siti! Ada yang cari Oky ini.” Ibu itu memanggilnya dengan cara berteriak. Mungkin dia panik sehingga melakukan dengan spontan. “Iya, bentar!” Ibu Oky menjawabnya dengan berteriak juga. Dia keluar dari rumah sembari menenteng satu kotak buah yang sudah di potong kecil-kecil dan cobek besar. Ibu Oky dengan segera meletakkannya saat melihat yang mencari anaknya adalah pihak kepolisian. “Pagi, Bu.” Jesica yang tersenyum sembari menyapanya. “Ada apa, ya? Mari masuk.” Ibu Oky raut wajahnya panik. Ia mempersilakan keempat anggota polisi itu untuk masuk. Tentu saja Ibu-ibu yang ada di sana juga ikut masuk meski duduk di lantai sebagai penonton. Hal biasa juga, mereka mencari informasi yang bisa dibuat ajang gibah selanjutnya. “Oky ketangkap polisi? Kasus apa?” “Paling balapan motor, masa iya dia nyuri?” “Apa jangan-jangan hamilin anak orang? Tahu dia rada bandel suka bawa cewek gonta-ganti.” Belum mendengar apa-apa, ibu-ibu sudah menyimpulkan hal dengan mudah sesuai yang keluar dalam pikirannya masing-masing. “Sebelumnya, bisa di cek apa benar ini Oky anak Ibu?” tanya Devano seraya menyerahkan kertas yang dibawanya. Ibu Oky pun meraihnya, lalu melihat dengan seksama. “Anak saya melakukan apa, Pak? Dia nakal, mabuk atau apa?” Ibunya Oky yang panik terlebih dahulu. “Sabar Mpok.” Ibu-ibu ada yang mencoba menenangkannya. “Sabar dulu, Bu. Saya jelaskan dulu, ya. Ini bisa dipastikan benar Oky permana anak Ibukan, ya?” Devano mencoba memastikannya kembali. “Iya, Pak. Ini Oky permana anak saya. Ya Allah, Pak. Dia kenapa? Apalagi yang ia perbuat?” Ibunya panik terlebih dahulu. Jesica pun beranjak dan beralih duduk tepat di sampingnya. Dia merengkuh tubuh ibunya agar lebih tenang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN