Janji Putri

1277 Kata
Di malam yang tenang, suasana menjadi semakin penasaran membuat Ambu bertanya pada suaminya yang sedang duduk di kursi teras depan. "Anggi sudah menolak tawaran perusahaannya, lalu kenapa Abah bicara soal pernikahan?" tanya Ambu. Pak Anwar menghela nafas, tadinya dia tidak berniat untuk membicarakannya. Tapi dia sendiri yang kesal dan malah mengatakannya di depan istri dan anaknya sendiri. Terdengar suara anak didik Pak Anwar sedang mengaji, ada Anggi yang membimbing mereka di halaman depan rumah. Sebuah pondok khusus untuk mengajar. Melihat istrinya, Pak Anwar mencoba untuk menjawab pertanyaan Ambu lalu berkata. "Tadi abah ketemu pak Wahyu, dia berniat melamar si bungsu untuk ponakannya. Karena kesal, abah menolaknya dengan tegas. Abah kira akan berlalu begitu saja, ternyata abah masih kesal dan terbawa suasana tadi saat mendengar anak itu bicara ke luar negeri. Akhirnya Ambu memahami maksud suaminya bicara dengan nada kesal tadi, rasa sayangnya pada Anggi dan terbiasa bersama memberatkan dia walau hanya sekedar pernikahan. Meski pada kenyataannya anak-anak akan menemukan jalan hidupnya sendiri bahkan berkemungkinan berada jauh seperti ketiga anak mereka yang lainnya. "Kita ataupun Anggi sendiri tidak pernah berpikiran menikah seperti keinginan anak-anak kita yang lain, Bah. Abah terlalu memanjakan anak itu sampai tidak mau kalo dia berada jauh selangkah saja," ucap Ambu. Pak Anwar menghela nafas lagi, dia menyadari rasa sayang dan takut di tinggalkan putri kecilnya itu amat besar. "Apa yang harus abah lakukan, Bu?" tanya Pak Anwar. "Putri kita itu sudah dewasa, biarkan dia juga menentukan jalan hidupnya sama seperti kakak-kakaknya. Jangan sampai karena keegoisan kita, malah membuat Anggi merasa di perlakukan tidak adil. Lagipula, Ambu rasa ... Dia gak pernah kepikiran tentang menikah," jelas Ambu. "Lalu ke luar negeri?" tanya Pak Anwar. Ambu terdiam, sempat khawatir saat mendengar Anggi mengatakannya. Tapi dia sedikit lega saat Anggi menolak tawaran itu. "Anggi kan sudah menolaknya, Bah." "Lalu nanti?" "Kita tidak tau takdir kehidupan akan membawa gadis kita bagaimana dan kemana, Bah. Kita sebagai orang tuanya hanya bisa mendoakan yang terbaik dan kesuksesannya. Entah itu dalam pekerjaan ataupun kehidupan cinta termasuk rumah tangga," ucapan Ambu membuat Pak Anwar terdiam. "Kalo dia sudah mau berhijab dengan benar, abah akan merestui pilihannya. Tapi jika dia masih bersikeras belum mau sepenuhnya menutup aurat, berarti tugas abah masih berat," tegas Pak Anwar. Ambu terdiam, dia juga tidak bisa memaksakan pendirian keluarga kepada jputrinya yang keras kepala. Meski berpakaian rapih, tapi Anggi masih belum sepenuhnya mau menggunakan penutup kepala untuk mematuhi ajaran keluarganya. Meski seperti itu, orang tua Anggi tidak pernah menggunakan cara kasar untuk menekan pendirian anaknya hingga sampai dia sendiri yang berkeinginan kuat mengenakan penutup kepala. Pak Anwar menghela nafas, dia berdiri dari duduknya lalu berpamitan untuk mengajar. "Abah ngajar dulu, Bu," pamit Pak Anwar. "Iya, Bah. Semoga berkah, bermanfaat dan di terima pengajaran Abah oleh anak-anak didik Abah." Doa Ambu di balas ucapan dan bersyukur atas dukungan istrinya. Melihat suaminya keluar, Ambu menghela nafas merasa khawatir akan konsekuensi jika ada kesalahan dalam menghadapi Anggi yang keras kepala bertentangan dengan ayahnya sendiri. Pak Anwar masih berdiri dia memperhatikan anak didiknya dan juga putrinya yang sedang mengajar. Selama ini, tidak pernah terpikirkan olehnya tentang pernikahan putri bungsunya apalagi harus pergi jauh ke luar negeri meski alasan desakan pekerjaan. Sudah cukup baginya untuk anak-anaknya yang lain memilih menikah dengan pilihan masing-masing yang tinggal jauh dari mereka. Tapi rasanya dia tidak rela jika putri bungsunya juga berada jauh dari pandangannya. "Abah?" sapaan seorang anak menyadarkan Pak Anwar dan tersenyum membalas sapanya dengan senyum dan anggukan. Malam itu, Pak Anwar mengajar lagi hingga jam delapan malam tiba. Pak Anwar masih duduk setelah anak-anak berpamitan pulang. Anggi tersenyum mendekat pada ayahnya. "Abah sudah baikan?" tanya Anggi. "Memangnya Abah kenapa?" balas Pak Anwar. "Tadi Abah menegangkan bicaranya, meski itu seksi. Tapi Anggi dan ambu khawatir," jelas Anggi. "Anak ini yah! Tidak bisa jika tidak menggoda Abahnya sendiri," gerutu Pak Anwar. "Hahaha, habisnya abah emang seksi kok!" tawa Anggi. "Tertawa begitu lagi, abah bilang ambu ni?" ancam Pak Anwar, dia tahu putrinya yang satu ini lebih ingin kebebasan dalam bersikap. Mereka tidak pernah menekan peraturan ketat pada anak bungsunya. Apapun yang dilakukan anak-anaknya hanya bisa mendukung dan berharap yang terbaik pada mereka. Tinggal Anggi yang masih dengan pendiriannya, tanpa mau menegaskan diri untuk berpakaian tertutup seperti yang lainnya. "Apa kamu tidak sungguhan tentang pekerjaanmu, Nak?" tanya Pak Anwar. "Hmm, Abah masih kepikiran itu?" balas Anggi. "Tentu saja." Anggi tersenyum lembut melihat ayahnya dengan rasa khawatirnya termasuk ibunya. Dia semakin merasa senang bisa selalu bersama dengan kedua orang tua yang penuh perhatian kepadanya dalam hal apapun. "Abah tenang saja, walau Abah mengizinkan. Anggi akan menolaknya kok, soalnya pekerjaannya tidak cocok, disana sebagai asisten. Abah tau sendiri Anggi tidak suka di printah hal-hal kecil sama orang lain," jelas Anggi. "Apa benar?" "Hmm," angguk Anggi. Pak Anwar tersenyum lembut, perasaannya sudah jauh lebih baik setelah bicara pada putri kesayangannya. "Abah hanya mau putri abah dapat melakukan apapun yang terbaik untukmu tapi di jalan yang benar dan baik. Dengan begitu tugas abah dan ambu sebagai orang tua untuk memastikan anaknya sudah benar-benar dilaksanakan," nasihat Pak Anwar di balas anggukan Anggi. "Anggi akan berusaha jadi anak dan wanita terbaik kebanggaan Abah dan Ambu! Termasuk tujuan menutup aurat yang abah dan ambu impikan, hal itu pasti akan Anggi lakukan. Tapi belum saatnya," balas Anggi bersandar di bahu abahnya. Setelah semalaman berbicara bersama ayah dan ibunya, Anggi termenung di depan jendela kamar. Dia berpikir keras untuk mendapatkan banyak hal tentang cara dia bekerja. "Aku tidak percaya tidak ada pekerjaan yang pas untukku?" gumam Anggi merebahkan tubuhnya dan tertidur tanpa menutup jendela. Pagi hari setelah sarapan, Anggi pergi bersama ayahnya untuk mengambil berkas di kantor desa, gadis itu menunggu di depan balai hingga dia merasa bosan. Gadis itu tidak mau duduk diam, dia berjalan beberapa langkah. Untuk membuat surat izin pondok mengajinya butuh waktu yang cukup lama terlebih membuatnya ulang. "Copet!" "Tolong, copet!" Dari kejauhan, Anggi melihat seorang pria berlari tepat di sebrang jalan dimana dia berdiri. Dia tahu ada yang tidak benar dengan pria itu berlari, dia berjalan melintas dan berdiri disana. Arah pria itu berlari tepat di hadapan Anggi. Gadis itu tanpa menoleh menjulurkan kakinya hingga membuat pria itu terjatuh dan tas yang dia bawa terlepas. "Sialan. Kau cari mati!" Mencoba untuk membereskan Anggi yang berdiri tanpa bicara, pria itu berniat memukul gadis itu tanpa berpikir dia seorang gadis. Tapi dengan mudah Anggi menangkis pukulan si pria dan memutar kedua tangannya ke belakang. Anggi juga menumbangkan pria itu dengan kaki di atas punggungnya. "Hmm, sudah dapat berapa tas?" tanya Anggi. "Sialan, lepaskan. Aku tidak percaya kalah dengan gadis kecil sepertimu!" teriaknya. "Kau mau sampai aku buat babak belur?" "Kau ...." "Nak, dia mengambil tasku!" teriak si ibu terengah-engah. Anggi memberikan tas yang di ambil copet itu, tapi dia memberikan jambret itu juga kepada pihak keamanan yang di panggil ibu itu. "Terimakasih, Nak." Anggi membiarkan mereka berlalu pergi, dia bersikap seolah tidak terjadi apapun apalagi melihat ayahnya sudah datang menghampirinya. Tinggi ayahnya memang masih sama, tapi kulut yang mulai kriput dan juga tubuh yang terkadang sakit membuat Anggi merasa harus membantu ayahnya meringankan segala kegiatannya. "Abah sudah selesai?" "Kita harus datang lagi mengambil hasilnya," angguk Pak Anwar. Mereka berjalan kaki setengah jam dari balai desa hingga sampai rumah. Namun mereka di kejutkan oleh deretan mobil hitam dan juga beberapa pria ada di halaman rumah. "Ada apa ini, Bah?" "Kita lihat dan tanyakan," jawab Pak Anwar masuk ke dalam rumah. Sudah ada ibu Anisa duduk di kursi ruang tamu, sedang para tamu di teras depan. Pak Anwar tersenyum ramah dan masuk ke dalam menghampiri istrinya. "Bah, bagaimana ini?" Ibu Anisa terlihat khawatir. "Kenapa, Bu?" "Abah bicarakan dengan mereka," jelas Ibu Anisa. Pak Anwar menghampiri 3 pria berpakaian serba hitam yang masih terlihat ramah bersalaman.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN