Peluang

2262 Kata
Di teras depan pak Anwar duduk berhadapan dengan ketiga pria berpakaian rapih mengeluarkan berkas dokumen ke hadapannya. "Kami hanya mau klarifikasi tentang penggunaan lahan milik perusahaan yang Anda gunakan," ucapnya. "Lahan?" Pak Anwar belum memahaminya. "Bila perlu kami akan menunjukan bukti kepemilikannya," ucapnya lagi. Pak Anwar semakin terdiam melihat beberapa kertas yang menunjukan keaslian pernyataan pria di hadapannya. Pasalnya sudah puluhan tahun mereka tinggal disana, baru kali ini ada yang menggugat tempat tinggalnya. "Lebih tepatnya pondok yang Anda bangun yang menggunakan tanah perusahaan, rumah ini tidak bermasalah," ucapnya lagi. Meski bukan rumah tinggal, tapi pondok itu sama seperti jantungnya. Dia mengajar sudah cukup lama, tapi baru kali ini ada kejadian tergugat atas tanah yang berstatus sengketa. "Apa yang harus saya lakukan?" tanya Pak Anwar. "Kami hanya mau meminimalisirnya, atau Anda mau membayarnya?" balas pria itu lagi. "Berapa yang harus saya bayar?" "Setidaknya ratusan juta, Pak." Pak Anwar terkejut mendengarnya, dia mencoba memberanikan diri bertanya lagi meski terasa dadanya berdebar kencang mendengarnya. "Di angka berapa?" "Mungkin angka 8 atau kurang lebihnya segitu," pria itu masih menjelaskan dengan baik. Pak Anwar terdiam mendengar jumlah kompensasi yang harus dia bayar untuk lahan yang di tempati secara ilegal, jika dia tidak membayarnya. Pihak lain akan menuntut melalui jalur hukum. Di dalam kamar, Anggi dengan ibunya merasa khawatir dengan percakapan ayahnya dengan beberapa pria dari perusahaan. "Apa abah tidak apa, Mbu?" "Kita akan tau setelah mereka selesai," jawab Ambu Anisa. Anisa dan Anggi menghampiri pak Anwar yang sudah berdiri melihat kepergian tamu. Melihat suaminya terdiam, Anisa menyentuh pundak sang suami hingga Pak Anwar berbalik berjalan masuk ke rumah di ikuti anak dan istrinya. Duduk satu sama lain saling terdiam berulang kali Pak Anwar membuang nafas berat dengan segala pikirannya. "Bah?" "Mereka memberi waktu satu minggu untuk pilihan," ucap Pak Anwar. "Kompensasi, Bah?" tanya Anisa. "Lalu apa yang akan Abah lakukan?" tambah Anggi. "Abah rasa, kita relakan saja pondoknya." Pak Anwar menghela nafas lagi. "Bukankah itu impian keluarga, Bah? Apa tidak ada jalan lain?" Mendengar ucapan istrinya, Pak Anwar semakin terdiam berpikir keras dengan jumlah yang tidak sedikit dia kebingungan jika harus mengajukan pinjaman pada bank. "Coba cari bantuan kakak," saran Anggi. "Meski ada, kita tidak mungkin memberatkan mereka yang baru merintis usaha," ucap Pak Anwar. Ibu Anisa mengangguk membenarkan ucapan suaminya. Meski sudah memiliki usaha, tapi hal yang tidak mungkin bagi mereka mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membantu. "Di coba dulu, Bah," bujuk Anggi. Meski banyak bantuan dari anak-anaknya, tapi tidak cukup untuk menutupi biaya yang di perlukan. Anggi ikut khawatir akan keadaan ayahnya yang baru mulai membaik. Tapi harus mencari cara untuk menutupi kekurangan pondok impian keluarga yang tidak mungkin harus di lepas begitu saja. "Kalo saja ada seseorang yang lebih paham dan mau membantu," gumam Anggi. Sepanjang hari Pak Anwar mencari bantuan pinjaman pada saudaranya. Tapi tidak dapat menutupi kebutuhannya. Anggi berjalan menghampiri ayahnya yang sedang duduk di teras pondok tempat dia mengajar. "Minum dulu teh hangatnya, Bah. Nanti kita pikirkan lagi, bukannya masih ada beberapa hari?" "Abah mesti kemana lagi untuk membayarnya?" ucap frustasi Pak Anwar membuat Anggi tertegun. Pertama kali dia melihat ayahnya kebingungan tanpa dapat menyelesaikan masalah kali ini. Anggi pamit pergi ke kamar saat dia sudah cukup bicara dengan sang ayah, ponselnya berdering ketika gadis itu masuk ke kamar. "Hallo?" "Assalamualaikum, Anggi!" sapa Yuna di balik telpon. "Yuna?" teriak Anggi. "Jawab salamku, baru berteriak!" tegas Yuna. "Haha, Waalaikumssalam. Darimana kamu dapat no ponselku?" tanya Anggi bersemangat. "Tidak sulit untuk dapat nomermu, apa kabarmu, Gi?" jawab Yuna sembari mengalihkan pertanyaan Anggi tentang darimana dia mendapat nomer ponsel Anggi yang dia dapatkan dari koneksi ayahnya. "Aku baik, kamu bagaimana, apa masih study?" balas Anggi. "Ya, tapi aku sambil kerja disini," jelas Yuna. "Kerja? Apa seorang Yuna perlu bekerja?" "Ya, aku menghubungimu untuk mengajakmu kerja disini. Bukankah kamu mau jadi aktor? Bagaimana jika mulai jadi asiten actris dulu, aku perlu tenaga disini yang dapat di andalkan," jelas Yuna. "Kerja disana maksudmu? Tapi aku ...." "Bayarannya juga tinggi disini," sela Yuna. "Tapi Yuna, kamu tau aku tidak boleh ke luar negeri," ucap Anggi. "Upah di awal Anggi!" tegas Yuna masih berusaha. "Tapi ... Aku perlu uang banyak sekarang," ucap Anggi. "Untuk apa?" "Ada keperluan mendesak," jawab Anggi. "Kirim nomer rekeningmu, aku akan kirimkan." "Maksudmu?" "Kamu butuh berapa, kirim saja akunmu?" tanya Yuna. "Delapan ratus juta, Yuna! Aku tidak sedang bercanda." "Kirimkan saja cepat chat aku!" tegas Yuna. Belum sempat Anggi mengirim nomer rekeningnya, notif uang masuk ke tabungannya membuat Anggi terkejut. "Astagfirullooh, Yuna!" teriak Anggi. "Apa itu cukup?" tanya Yuna. "Kamu bercanda, aku belum mengirimnya tapi kamu sudah mentransfer uang sebanyak ini!" teriak Anggi tidak percaya. "Kau lunasi jika sudah menyelesaikan pekerjaan disini," ucap Yuna. "Berapa tahun aku harus membayarnya?" tanya Anggi. "Sesuka hatimu," jawab Yuna. "Hei, tapi aku belum setuju tentang ...." "Aku akan kirim orang lusa nanti untuk menjemputmu!" sela Yuna memotong ucapan Anggi dan menutup panggilan telponnya. "Yuna, aku ... Hallo? Dia menutup telponnya." Anggi terdiam, dia merasa bermimpi melihat nominal angka di buku tabungannya. Terlebih lagi pertolongan Yuna tidak dia duga. "Dia melakukannya dengan sangat mudah seperti biasa," gumam Anggi. Paginya, Anggi melihat kedua orang tuanya terdiam di ruang tamu sembari melihat ke arah pondok di depan rumah. Dia tahu apa yang sedang menjadi keresahan kedua ayah dan ibunya. Dengan penuh tekad, dia mencoba memberitahu mereka tentang maksud Yuna semalam. "Abah, Ambu? Semalam Yuna menelpon, teman Anggi sewaktu sekolah dasar dulu. Malah uang pinjaman dia berikan semalam juga." Pak Anwar dan Ibu Anisa terkejut mendengar ucapan terbata Anggi. "Maksudmu?" tanya Pak Anwar. "Disini ada sejumlah uang yang Abah butuhkan." Ucap Anggi menyodorkan kartu tabungannya ke hadapan sang ayah. "Uang dalam jumlah banyak, bisa kamu dapatkan begitu saja?" tanya Pak Anwar. Anggi tertegun, dia tahu pertanyaan itu akan di lontarkan ayahnya. "Itu pinjaman, Bah." "Dengan syarat apa?" tatap Pak Anwar. "Anggi ikut kerja dengannya," jawab Anggi. "Kerja dimana, sebagai apa?" "Manager seorang actor dan pekerjaannya di Swedia," jelas Anggi. "Kembalikan uangnya! Abah tidak perlu menjual putri hanya untuk sepetak lahan," tegas Pak Anwar. "Siapa yang bilang Abah jual putrinya? Anggi hanya kerja dan itu sepadan dengan kebutuhan mendesak kita, Bah!" seru Anggi. "Abah tetap tidak setuju." Anggi terdiam melihat abahnya yang pergi tanpa mencoba mendengarkannya lagi. "Padahal Anggi juga tidak merasa keberatan, apalagi pekerjaan ini sudah aku harapkan dari dulu. Perihal pinjaman kan sebagai patokan pertama menyetujui kerja, lagian ada teman Anggi disana yang menjamin," gerutu Anggi. Pak Anwar semakin berpikir keras antara masalahnya dan juga keinginan putrinya yang tidak bisa dia halangi terus-terusan seperti sebelumnya. Ibu Anisa berjalan menghampiri suaminya, dia tahu kekhawatiran suaminya juga di rasakan olehnya. Mendengar ucapan Anggi malah membuat dia ikut kebingungan dengan keputusan putrinya. "Bagaimana menurut Abah, apa kita terlalu mengekang putri kita? Ambu hanya merasa kasihan padanya, di usia segitu masih belum bekerja apalagi memikirkan kebahagiaannya sendiri. Selama ini dia selalu menuruti keinginan kita, tidak kesana tidak kesini. Bahkan pekerjaan pun kita ingin menentukannya, apamenurut Abah kita salah?" tanya Anisa. Mendengar ucapan istrinya pak Anwar terdiam, memikirkan semua yang sudah terjadi dan apa yang dilakukan oleh putri bungsunya selama ini. Terlebih lagi dia juga pernah mendengar ucapan dan mimpi Anggi tentang berlibur ke luar negeri termasuk memperluas pengetahuannya untuk menuruti keinginan orang tuanya. Anggi mengesampingkan semua itu hingga sampai saat ini putrinya masih berusaha untuk membantu kedua orang tuanya tanpa mengeluh tentang mimpinya. "Bu, apakah Abah salah mempertahankan Putri Abah agar selalu berada di dekat ayahnya?" tanya Pak Anwar. "Tidak ada yang salah dengan maksud baik dan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, hanya saja apakah kita sebagai orang tua masih dengan teganya membiarkan putri kita hanya berdiam diri di sini tanpa menggapai mimpinya? Apakah Abah tidak menyadari juga jika putri kita sudah mulai dewasa?" balas Ibu Anisa. Pak Anwar memikirkan ucapan istrinya hingga dia memegang lembut tangan Ibu Anisa mencoba untuk mendapatkan kekuatan dari istrinya untuk membiarkan putri kecilnya memilih jalan hidupnya sendiri. Pak Anwar berjalan keluar dari kamar diikuti oleh istrinya, dia melihat Anggi masih duduk seperti semula dalam diam. Dia berjalan mendekat hingga dia duduk di hadapan putrinya. "Apa kamu yakin akan pergi ke sana?" tanya Pak Anwar. "Abah, bukankah mimpi kita sama?" balas Anggi. Apa yang dikatakan oleh putrinya selama ini Anggi selalu mengatakan jika mimpi Abah adalah mimpi Anggi juga termasuk mempertahankan pondok. "Anggi melakukan semua ini untuk mempertahankan mimpi Anggi juga di samping mimpi Abah selain mendapatkan pengalaman baru, Anggi juga merasa bangga bisa mempertahankan pondok milik Abah terutama keluarga kita. Lagi pula di sana tidak selamanya seperti yang ditawarkan perusahaan sebelumnya. Anggi bisa pulang kapan saja semaunya." Penjelasan Anggi membuat Pak Anwar berpikir keras hingga dia memperhatikan putrinya yang memang sudah mulai dewasa di usianya saat ini. "Sebenarnya Abah tidak berdaya ketika harus memberatkan dirimu dalam hal ini. Abah tidak tahu harus berbicara apa jika semua ini cukup baik untukmu," ucap Pak Anwar. "Apa Abah menyetujuinya?" tanya Anggi. Pak Anwar hanya mengangguk, dia mulai menerima keputusan putrinya tanpa ragu. "Terima kasih Abah, selain Anggi bisa bekerja dengan tenang. Keluarga kita juga tidak akan ada yang mengungkitnya terlebih lagi tentang pondok yang sudah dibangun oleh Abah dengan susah payah," ucap Anggi tersenyum. Hari kedua setelah melunasi lahan pondok yang dulunya milik perusahaan, kini sudah resmi menjadi milik keluarga Pak Anwar. Meski berat, kedua orang tua Anggi tetap mengantar Anggi ke bandara meski sudah ada beberapa orang kepercayaan Yuna menjemput dan menemani Anggi hingga sampai ke Swedia. Anggi berpamitan pada orang tuanya dengan penuh keikhlasan keluarga. "Do'a yang terbaik adalah dukungan kuat buat Anggi. Abah, Ambu harus selalu bahagia jangan sampai ada keluhan disini." Ucapan Anggi di balas anggukan ayah ibunya, gadis itu pergi memasuki bandara hingga batas antar keluarga. Berulang kali Anggi melambaikan tangannya, dia bertekad untuk bekerja kali ini. Anggi juga yakin ada takdir yang di tentukan Tuhan untuk dia bekerja di luar negaranya, hingga pekerjaan di tanah kelahirannya selalu ada kendala dia lakukan. Anggi sudah duduk di kursi penumpang di dalam pesawat, ada 2 pria suruhan Yuna duduk di belakangnya mengawasi Anggi. Meski sempat merasa khawatir, tapi gadis itu berpikir hal yang baik akan terjadi di depannya adalah kunci dia bertahan kali ini. Perjalanan yang cukup lama selama Anggi di dalam pesawat, selain membaca majalah. Dia juga mengucap puji atas keyakinannya. Gadis itu membuat kedua pria yang bertugas mengawalnya menyukai Anggi dalam sekejap mata. Hingga perjalananpun sampai di bandara membuat Anggi merasa khawatir dengan dadanya yang berdegup kencang pertama kali menginjakan kaki di negara asing. Sebuah tangan menyentuh pakaian Anggi, mengejutkan gadis itu. "Anda tidak perlu khawatir, Nona. Tuan kami adalah orang yang baik sama seperti Anda, maka mari kita lanjutkan perjalanan?" ajak pengawal yang memahami ketakutan Anggi. Gadis itu tersenyum mengangguk, dia berjalan mengikuti pengawal yang sudah membawa koper dan bawaan Anggi hingga memasuki sebuah mobil yang sudah menjemput mereka. "Aku merasa menjadi pengunjung yang mendapat pelayanan VIP," gumam Anggi tersenyum resah. Perjalanan yang singkat saat Anggi keluar dari bandara, mereka sudah sampai di kediaman yang cukup besar hingga di sambut beberapa pelayan wanita juga seorang gadis berhijab berlari dari arah tangga menyambut kedatangan Anggi. "Assalamualaikum, Yuna?" sapa Anggi menyambut pelukan sahabatnya. "Waalaikumssalam sahabatku, Anggi!" balas Yuna. Senyum lembut dari para pelayan dan pengawal menyaksikan langsung kelembutan Yuna terhadap temannya. Biasanya Yuna hanya bersikap acuh selama berada di rumah tanpa menunjukan keramahannya pada seseorang sedekat itu. "Apa kamu lelah, biar aku antar ke kamarmu!" ajak Yuna. "Butuh waktu lama untuk sampai sini ternyata," ucap Anggi. "Iya, tapi kamu tidak mabuk udarakan?" angguk Yuna memperhatikan Anggi. "Tidak." Yuna mengajak Anggi mengelilingi rumah dan naik tangga memasuki kamar untuk Anggi. Anggi pernah ke rumah Yuna saat di Indonesia, tapi dia tidak tahu jika rumah Yuna disini jauh lebih besar dan luas di banding disana. Ada banyak lukisan dan pas mewah yang di pajang di setiap ruangan, Anggi hanya bisa mengagumi dan bersyukur akan karunia sahabatnya yang berlimpah harta. "Kamu boleh tinggal disini sepuasmu!" ucap Yuna. "Disini, bukannya aku akan bekerja?" tanya Anggi. "Iya, besok aku perkenalkan kamu dengan atasan dan dengan siapa kamu bekerja," angguk Yuna. "Kalau aku sudah dapat pekerjaan, bolehkah aku memilih tempat tinggalku sendiri?" "Kenapa, kamu tidak suka disini?" balas Yuna. "Aku disini bekerja, Yuna. Bukan sedang berlibur, tidak enak jika aku tinggal disini dengan c*m-cuma," jelas Anggi. "Kamu sahabatku, untuk apa hal itu?" tegas Yuna. "Justru karena kita sahabat, harus saling mengerti," ucap Anggi. "Baiklah, nanti aku bantu carikan juga tempat tinggalmu. Sekarang kau tinggal disini saja dulu, aku masih mau bersama kamu!" Penegasan Yuna di balas anggukan Anggi, mereka berbincang saling bercerita satu sama lain. Yuna gadis berpakaian tertutup dengan parasnya yang cantik sudah menjadi hal biasa akan kecantikan Yuna di kalangan mata pria. "Ternyata kamu masih belum menggunakan hijab, Gi?" "Aku belum menikah, jadi nanti saja," jawab Anggi. "Berhijab ko nunggu di nikahin," sindir Yuna. "Hahaha, aku suka dengan aturan itu!" seru Anggi. "Dasar." Yuna hanya tersenyum memperhatikan Anggi, si gadis cantik baik hati yang memiliki pendirian sendiri tanpa mengikuti aturan keluarga sedari dulu. Padahal Yuna tahu, Anggi jauh lebih memahami aturan agamanya di banding dirinya yang perlu sekolah jauh-jauh hanya untuk mencari jati dirinya. Anggi gadis yang mengutamakan hati dan logika di banding dirinya yang selalu kalah dalam hal perasaan apalagi aturan keluarga. Hidup dengan kemewahan dan serba mudah membuat dia tidak dapat merasakan kebebasan seperti apa yang di dapat Anggi. Gadis itu hanya menjadi sahabat Yuna saja, sudah menjadi anugerah bagi Yuna. Saat dulu tidak ada yang mau berteman tulus dengannya melainkan memanfaatkannya, lain dengan Anggi menunjukan ketulusan persahabatannya tanpa ada hal di balik pertemanannya. Pertama kali Anggi tidak bisa mengelak bantuan Yuna, hingga dia harus bersikeras membayarnya dengan alasan bekerja. Padahal Yuna membutuhkan sosok Anggi dalam hidupnya selama di Swedia dan tidak ingin selalu tertekan akan aturan keluarga.

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN