Tidak Sesuai

2056 Kata
Suasana malam, di halaman sebuah rumah di tengah desa, terdapat bangunan kecil sebuah pondok tempat mengajar Pak Anwar untuk murid ngajinya. Terdengar beberapa orang sedang mengaji membaca surat-surat pendek di hadapan seorang pria tua membimbing. Usianya sudah rentan tersenyum melihat seorang gadis membaca kitabnya dengan baik, dia juga melihat anak-anak didiknya yang lain sudah rutin mengaji setiap hari. "Jangan lupa sebelum tidur ambil wudhu, baca surat-surat yang kalian havalkan dan berdoa! Malam ini sampai sini dulu," ucap Kiyai di balas anggukan wasalam semua anak-anaknya. "Anggi temui bapak dulu ya," tambah Pak Anwar. "Ya, Bah," angguk Anggi. Setelah yang lainnya pergi, hanya tingal Anggi dan Abahnya duduk saling berhadapan. Pria yang di panggil Abah oleh gadis itu tersenyum melihat putri bungsunya masih mau ikut mengaji meski usianya sudah menginjak 26 tahun. "Apa kamu sudah tentukan mau bagaimana masa depanmu, Nak?" tanya Abah. "Maksud Abah, nikah?" balas Anggi menyimpan kitab yang dia baca dengan yang lainnya. "Berhijab saja kamu belum yakin, bagaimana Abah mau menikahkan kamu," ucap Abah selaku ayah Anggi. Panggilan Abah sudah menjadi tradisi turun temurun keluarga Pak Anwar mengarahkan anak-anaknya. Anggi memiliki dua kakak laki-laki dan satu perempuan. Semua kakaknya sudah berumah tangga, tinggal Anggi yang masih melajang hingga usianya 26 tahun setelah lulus kuliah. "Jadi menurut Abah, Anggi harus bagaimana?" Pak Anwar mengerutkan dahi menatap Anggi yang balik bertanya. "Anak gadis itu berkewajiban menutup auratnya dari atas hingga bawah dengan benar, Nak. Itu akan menyempurnakan perilaku termasuk pandangan orang lain baik terhadap kita," ucap Abah. "Bah, kesempurnaan tidak di tentukan seberapa bagus pandangan orang lain baik apa buruk. Tapi bagaimana diri sendiri menyakinkan hati atas cinta dan keyakinan tentang Tuhannya. Bukankah Anggi pernah mengatakannya? Anggi akan menutupnya jika sudah mendapatkan keyakinan dalam hati dan melakukannya karenaNya (Tuhan)" penjelasan Anggi hanya di balas senyuman sang ayah. "Apa Anggi masih belum mendapat jawabannya?" tanya Abah. "Entahlah, Bah. Anggi merasa bukan disini jawaban Anggi, mungkin di luaran sana," ucap Anggi. "Di luar dimana maksud Anggi?" tanya Abah menatap tajam. "Mungkin di luar kota, daerah atau luar negeri!" jawab Anggi lantang. "Anak ini, jangan harap dapat izin Abah untuk angan-angan luarmu itu!" tegas Abah. "Hahaha, Anggi tau ko jawaban Abah akan begitu lagi," tawa Anggi. "Ssst, anak gadis kalo tertawa jangan sampai terbahak! Tidak sopan," ucap seorang wanita berpakaian rapih dan tertutup berjalan menghampiri keduanya. "Abah tuh Bu, menatap Anggi dengan sangat tajam. Sampai-sampai ketampanan Abah terlihat jelas menyilaukan," balas Anggi menahan tawa. "Anak ini ...." Abah berhenti bicara atas ucapan putri bungsunya, dia meraih gelas teh hangat yang di bawa istrinya sembari berterimakasih mengucap syukur atas pemberian istrinya. "Rasa haus Abah hilang setelah di beri teh hangat oleh Ambu," puji Abah. "Ciee ... Anggi juga haus Ambu!" ejek Anggi sembari tersenyum menahan tawa mendekati ibunya. "Jangan menggoda Abah terus, memang benar apa yang Abah katakan. Sampai kapan kamu akan seperti ini terus, Nak? Bukannya kamu sudah tidak ada kegiatan lagi, Ambu ada banyak kenalan pria baik untukmu," ucap Ambu Anisa memperbaiki kain penutup kepala yang di pakai Anggi. "Abah dan Ambu tidak perlu khawatir akan jodoh Anggi. Sudah ada Allaah yang akan menentukannya, pernikahan bukan hanya sebuah tradisi apalagi kewajiban dalam keyakinan. Tapi keduanya juga harus merasa yakin untuk melaksanakan kewajiban itu sendiri," ucap Anggi. "Kau kuliah jurusan akutansi, tapi sangat pandai berbicara," ucap Ambu. "Abah dan Ambu harusnya senangkan?" Anggi berbaring tepat di pangkuan ibunya di balas gelengan kepala ayahnya yang hanya tersenyum. Kedua orang tua Anggi selalu mendukung apapun yang menjadi tujuan putri bungsunya, antara mudah dan tidak untuk mengatur gadis itu. Tapi bagi mereka itu semua sudah kewajiban mereka mendidik dengan baik dan menjaga termasuk mendukungnya. Berbincang di malam hari di ruang mengajar memang sering mereka lakukan, hingga anak bungsunya tertidur begitu saja. Ayahnya yang sudah 50 tahun hanya bisa tersenyum melihat anak kesayangannya yang tertidur, dia masih kuat menggendong tubuh mungil Anggi hingga memindahkannya ke kamar. Sesampai di ruang tengah, Pak Anwar duduk di kursi di temani istrinya. "Apa Abah yakin tidak akan memaksanya?" tanya Ambu. "Abah sangat yakin putri kecil kita bahkan lebih tangguh dari kakak-kakaknya, apa yang Abah khawatirkan? Kecerdasannya bahkan menambah wawasan dia untuk menjadi gadis baik, dia hanya butuh waktu untuk bisa menjadi gadis berhijab sesuai harapan kita," jawab Abah. Pak Anwar melihat istrinya yang hanya diam mengangguk. "Apa Ambu malu?" tambah Abah. "Tidak Bah," jawab Ambu menggelengkan kepala. "Ambu hanya perlu sedikit bersabar lagi," ucap Abah. "Iya," angguk Ambu. Pak Anwar tahu, istri kerap sekali merasa malu setiap kali mengingat anak bungsunya enggan mengenakan hijab kemanapun. Gadis bungsunya selalu berpakaian biasa seperti kebanyakan umumnya anak-anak muda. Meski resah, tapi mereka hanya bisa mendoakan agar putrinya mau untuk menyempurnakan penampilannya sesuai ajaran mereka. Meski begitu, mereka tidak pernah memaksakannya apalagi sampai menekan Anggi tanpa alasan yang dapat di terima gadis itu. Kecerdasan ketekunan dan kerajinan Anggi membuat kedua orang tuanya hanya bisa mendukung penuh apapun keinginan Anggi. Pagi sekali Anggi sudah siap dengan pakaian rapihnya berjalan menghampiri ayah dan ibunya yang sudah ada di meja makan. "Abah, Ambu! Anggi ada intervew kerja hari ini. Anggi berangkat dulu ya," pamit Anggi. "Anggi sarapan dulu!" teriak Ambu Anisa. "Anggi akan terlambat, Bu," balas Anggi sembari mengenakan sepatu sneakersnya. "Kamu tetap harus makan sesuatu, lagipula bukankah perusahaan itu katanya sedang di ambang bangkrut ya?" Ibu Anisa menyuapkan makanan pada Anggi sembari bicara. "Perusahaan mana yang Ambu maksud? Anggi akan pergi ke perusahaan di samping Dexsi, disana ada kok lowongan," jawab Anggi. "Ambu kira yang Dexsi itu," ucap Ibu Anisa. "Ambuku sayang, nanti Anggi kirim potonya dan minta izin Abah dan Ambu serta doa nya," ucap Anggi. "Iya, mudah-mudahan lancar semua urusanmu sayang. Asal jangan lupa ibadahnya," jawab Ibu Anisa. "Siap Mom!" angguk Anggi. "Apa itu?" tanya Ambu Anisa. "Hehe, muach. Anggi sayang Ambu dan Abah, ini sudah telat dan harus segera berangkat!" seru Anggi mencium punggung tangan ayahnya juga ibu Anisa. Dia berpamitan setelah menghabiskan makanan di tangan ibunya juga mencium pipi ibu Anisa dengan cepat. Hati kedua orang tuanya luluh setiap kali Anggi memperlakukannya dengan manis dan manja. Tapi satu hal yang berat, Anggi belum mau menutup bagian kepalanya meski berpakaian rapih. "Ambu khawatir sama dia," ucap Ambu. "Bukankah Anggi tadi minta doa kita, Bu? Kita doakan yang terbaik sebaik-baik tujuannya, Bu." Abah mencoba untuk menenangkan rasa khawatir istrinya. Mereka tahu sangat sulit memecahkan pendirian Anggi, tapi mereka juga yakin putrinya tahu segala hal termasuk baik benarnya sesuatu dapat dia bedakan. "Apa! Saya di terima tapi di tugaskan di Singapura?" Anggi berteriak keras membuat semua orang terkejut, apalagi dia bicara tepat di hadapan HRD. "Kenapa, ini peraturan perusahaan," balasnya. "Hmm, saya tidak mau deh kalo gitu," jawab Anggi. Semua orang yang mendengar ucapan Anggi semakin terkejut, pasalnya jabatan Anggi di terima di perusahaan adalah sebagai kepala divisi yang sangat dekat naik jabatannya. Tapi gadis itu menolaknya tanpa berpikir lagi hanya dengan alasan dia di mutasi ke luar negeri. "Anda pikirkan saja dulu," ucap HRD lagi. "Tidak, Mbak. Lebih baik Anda berikan jabatan itu pada yang lain, saya kira pekerjaan itu untuk disini. Ternyata untuk ke luar negeri?," jawab Anggi. Anggi keluar ruangan meski mendapat tawaran ulang oleh pihak perusahaan, gadis itu tidak pemilih dalam pekerjaannya. Tapi dia tidak berpikir akan ke Singapura dan menetap disana. Bagi dia, pekerjaan dan uang bukan perihal dalam hidup. Tapi juga harus menentukan cara hidup dia nantinya. Apalagi harus berada jauh selamanya dengan orang tua tercintanya. "Itu sama saja menjual diri," gerutu Anggi. Orang-orang yang mendengar gerutuan Anggi tampak berbisik membicarakan ucapannya di samping halte. Meski tahu akan hal itu, gadis itu tetap acuh dan berjalan masuk ke dalam bus. Dia terdiam sejenak, mengingat setiap ucapan kedua orang tuanya. Dia sangat menyayangi mereka, tapi Anggi juga masih belum yakin mau menutup aurat sepenuhnya tanpa hati yang mengizinkan. Sudah untuk yang kesekian kali Anggi menghela nafas, nanti dia melamar pekerjaan masih dengan hasil yang sama yaitu penolakan. Bukan karena perusahaan yang menolaknya, melainkan dia yang tidak sesuai dengan harapannya. Jika orang tuanya tahu, Anggi yakin mereka akan memarahinya karena pemilih dalam bekerja hingga sulit untuknya mendapat pekerjaan setelah dia lulus kuliah. Duduk di kursi bus, Anggi hanya diam memikirkan tentang dirinya yang masih belum juga mendapatkan pekerjaan yang menurutnya cocok. Dia hanya bisa bersabar jika ingin mendapatkan pekerjaan yang cukup baik dia dapatkan. Sambutan dari sang ibu menambah beban pikiran Anggi, dia menjadi semakin frustasi masih menjadi beban kedua orang tuanya. "Kenapa pulang-pulang malah jadi pendiam?" tanya Ambu. "Tidak ada, Ambu mau ngapain?" balas Anggi. "Mau lihat kebun di belakang, siapa tau ada yang bisa kita masak sekalian di jual," balas Ambu. "Anggi ikut bantu Bu, aku ganti baju dulu!" Gadis itu berlari masuk ke dalam rumah di balas senyuman ibunya. "Aku merasa dia lebih banyak diamnya akhir-akhir ini?" gumam Ambu. Saat Pak Anwar pulang, dia tidak menemukan anak dan istrinya di rumah. Berjalan masuk ke dalam rumah, Pak Anwar melihat kedua wanita kesayangannya ternyata sedang memanen sayur. Pandangannya tertuju pada Anggi, apalagi saat dia mengingat pembicaraannya dengan Pak Wahyu tadi di balai desa. Pak Wahyu membicarakan tentang putranya yang pulang dari study dan berniat untuk mencari calon istri. Dia berniat untuk melamar ke keluarga Pak Anwar dengan tujuan mempererat silaturahmi. Pak Anwar masih belum yakin akan pernikahan, selain itu masih berat baginya jika putri kecilnya menikah. Tapi mengingat Anggi yang sudah cukup usia jika menikah, tanpa ragu pak Anwar menolak ajakan Pak Wahyu sepihak tanpa bertanya pada putrinya dulu. "Saya yakin ini baik, dan tidak akan membebani putriku. Lagipula, urusan rumahtangga dan cinta biar dia yang memilihnya sendiri," gumam Pak Anwar. "Abah?" panggil Anggi tersenyum melihat ayahnya yang berdiri. "Putri Abah sudah ada di rumah?" balas Pak Anwar berjalan menghampiri istri dan anaknya. "Iya, tapi Anggi belum dapat kerjaan juga Bah," keluh Anggi. "Sabar, tidak ada usaha yang tidak membuahkan hasil. Setidaknya kita masih baik-baik saja meski putri Abah belum kerja," ucap Pak Anwar. "Iya, lagipula kamu bisa ikut dengan Ambu ke pasar jual ini dan kita bisa makan dengan baik," tambah Ambu. "Nah, Anggi juga bisa bantu Abah ngajar. Selain dapat bayaran juga dapat pahala," sambuh Pak Anwar. "Apaan sih, Abah sama Ambu malah promo kerjaan," protes Anggi tersenyum malu. Padahal dia menolak pekerjaan itu bukan karena tidak ada pekerjaan. Tawa kedua orang tuanyamembuat Anggi paham, tidak ada hal yang dia inginkan melainkan senyum ramah lembut orang tuanya yang sudah tidak terlihat muda lagi. Anggi melihat ayahnya membantu ibu sedang membersihkan sayuran bekerjasama menyiapkan sayuran yang akan di kirim ke pasar. "Abah, Ambu. Kalo misalkan Anggi kerja di luar negeri gimana?" tanya Anggi. "Apa!" teriak Ayah dan ibu Anggi bersamaan. Anggi tidak heran melihat respon kedua orang tuanya. "Ya, ada pekerjaan tapi Anggi di tugaskan di luar negeri," sambung Anggi. "Apa itu harus?" tanya Ambu khawatir. "Hmm," angguk Anggi. "Tidak, kau tidak boleh kemanapun! Menikah ataupun bekerja sampai harus berada jauh disini!" tegas Pak Anwar dengan tatapan tajamnya. "Hah, menikah?" tanya Anggi begitupun Ambu. "Da ... Pokoknya Abah tidak setuju semuanya!" tegas Abah berdiri dan pergi meninggalkan anak dan istrinya yang masih kebingungan atas ucapannya. Melihat Pak Anwar pergi, Anggi dan ibunya saling pandang satu sama lain mempertanyaan apa yang terjadi dengan ayahnya. "Ada apa dengan Abah?" tanya Anggi. "Ambu juga belum tau, nanti saja kita cari tau nya. Kita harus segera ke pasar, yuk!" jawab Ambu sembari mengajak Anggi membawa keranjang sayur dan pergi menjualnya. Menjual dagangannya ke pasar cukup mudah ketika mereka sudah memiliki pemasok untuk sayurannya, Anggi dan ibunya kembali ke rumah setelah selesai mengirim sayurannya. Di perjalanan, mereka membicarakan tentang ucapan Anggi tentang pekerjaannya. "Sebenarnya, Anggi dapat pekerjaan. Tapi saat dengan luar negeri Anggi segera menolaknya, bukan perihal bekerja disana. Hanya saja, Anggi akan menetap disana Bu," jelas Anggi. "Menetap gimana?" tanya Ambu. "Pekerjaan Anggi tidak bisa di ubah lagi disana Ambu!" jelas Anggi. "Benar kata Abahmu jangan dan jangan," tegas Ambu. "Makanya Anggi tolak pekerjaan itu, Ambu," angguk Anggi. "Tidak apa, masih ada banyak peluang. Kamu masih muda dan bertalenta, pasti masih banyak pekerjaan lain," ucap Ambu di balas anggukan Anggi. "Tapi Abah?" tanya Anggi. "Ada apa dengan Abah?" balas Ambu. "Pernikahan?" tanya Anggi. "Kita akan tanyakan itu setelah pulang nanti," ucap Ambu. Anggi mengangguk, mereka kini kembali melanjutkan perjalanan pulang. Perasaan sedikit lega saat Anggi sudah bisa menjelaskannya pada ibunya. Dia hanya berpikir tentang pekerjaan, tapi ucapan ayahnya juga menjadi pikiran untuknya, dia takut sang ayah malah terpikirkan untuk menikahkannya sedini mungkin. Meski usianya sudah cukup untuk menikah, tapi Anggi tidak pernah terpikurkan tentang pernikahan apalagi dengan seorang pria.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN