POV Wildan
Aku meringkuk dalam rinduku. Mengingat kenangan kecil saat aku pertama kali bertemu dengan Dewi. Istriku yang sehangat mentari pagi. Ia seindah fajar yang menyingsing. Memberiku kehangatan yang selalu aku rindukan.
"13 tahun atau 14 tahun? Hmmm.. entahlah.. Mungkin sekitar itu!"
Aku tidak yakin berapa lama awal pertemuan kami. Tapi aku yakin satu hal, jika kami sudah menghabiskan masa yang cukup lama untuk bersama.
"Waktu itu, Dewi juga sehangat mentari pagi!" gumamku yang mengingat kenangan manis tersebut.
Aku sering bertanya apa dunia hanya akan memandang seseorang dari statusnya saja. Dari apa yang mereka lihat dan apa yang mereka yakini, tanpa benar-benar mengerti apa yang ada di hadapan mereka, tanpa membuka kulit yang terbungkus dengan sangat elok dan rapih, serta tanpa mencoba mengenali sosok apa yang ada di hadapanmu.
Itulah yang selalu aku alami. Aku tenggelam dalam tekanan tersebut. Memenuhi segala keinginan orangtuaku tanpa didengar apa yang benar-benar aku inginkan.
"Wildan, Papa tidak mau tahu. Pokoknya kamu harus selalu mendapat peringkat satu di sekolah!" bentak ayahku saat itu yang tak terhitung entah berapa kali aku mendengarnya.
Hanya saja, aku masih seorang siswa SMP lugu yang berpikir jika nilai yang baik juga adalah sebuah hal yang baik untuk masa depanku kelak sehingga aku hanya bisa menuruti apa yang orangtuaku harapkan. Aku berjuang keras untuk memenuhi segala harapan mereka. Aku belajar dengan giat hingga kepalaku sakit dan perutku terasa mual demi apa yang orangtuaku inginkan.
Pandangan semua orang selalu sama. Mereka menganggap aku anak yang sempurna. Berparas tampan, memiliki latar belakang keluarga terpandang, berprestasi dan memiliki banyak bakat yang selalu bisa di banggakan.
Bukan bermaksud memuji diriku sendiri. Hanya saja, begitulah tatapan dan pujian yang selalu aku dapatkan dari semua orang yang berhadapan denganku. Tanpa tahu, seberapa keras aku berjuang, tanpa bertanya apa aku bangga pada apa yang diriku capai atau sekadar basa-basi bertanya apa yang benar-benar aku sukai dan yang aku inginkan. Tak ada seorangpun yang menanyakan hal itu. Ayah dan ibu selalu menekanku dengan permintaannya yang sama.
Hingga sosoknya muncul begitu saja di kehidupanku yang membosankan dan penuh tekanan itu. Seorang murid pindahan yang masuk ke sekolahku tepat di pertengahan semester.
"Perkenalkan. Ini murid baru di kelas kita.""
Seorang siswi bersembunyi di balik tubuh wali kelas. Ia terlihat gugup tapi berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Semua usahanya terlihat begitu jelas. Gadis itu tak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik. Ia benar-benar terlihat menggemaskan di mataku.
"Salam kenal namaku Dewi Vietha Milasari, kalian boleh panggil aku Dewi saja. Aku pindah sekolah karena mengikuti ayahku yang pindah kerja!"
Gadis manis itu memperkenalkan dirinya dengan senyuman yang begitu lebar. Gadis yang semula terlihat ragu dan takut itu berbuah menjadi gadis yang penuh percaya diri saat ia mulai membuka suaranya.
"Dewi Vietha Milasari."
Nama itu mendadak tertanam dalam benakku. Penuh kesan yang tidak aku mengerti apa yang terjadi padaku.
"Kalau begitu Dewi, duduk sebangku dengan Wildan tidak apa-apa, kan? Siswa kelas kita ganjil untuk wanita dan pria. Tapi, jika kamu keberatan nanti di jam istirahat akan dibawakan bangku tambahan untukmu!"
Wali kelas terlihat ragu-ragu. Ia mungkin merasa tidak enak. Aku juga merasa gugup akan hal tersebut. Sebelumnya tidak ada yang berani mendekatiku. Teman sekelasku yang lain, semuanya terlihat segan, mereka selalu menjaga bicara mereka di hadapanku, mereka juga tidak berani bercanda dengan santai denganku, bahkan para guru juga enggan padaku. Semua karena prestasi dan latar belakangku.
"Oh, tidak apa-apa. Dewi duduk dengan Wildan saja. Bukannya duduk bersama teman lebih baik dari pada duduk sendiri."
Dewi menjawab dengan santai apa yang sebelumnya membuat wali kelas kami ragu-ragu. Aku terkesima akan hal itu. Mungkin karena dia tidak tahu siapa aku sehingga gadis itu bisa dengan mudah mengatakan hal tersebut. Namun, reaksi guru kembali berbeda guru wali kelas terlihat sedikit cemas ia menatapku berulang kali. Keraguan sang guru membuat aku sedikit tidak nyaman.
"Bagaimana jika gara-gara guru itu Dewi tak jadi duduk denganku!" pikirku kesal.
Akan tetapi, Dewi, gadis yang aneh itu kembali bertanya, "Eh, apa tidak apa-apa?" dan aku hanya bisa diam dengan kebingungan harus menanggapinya bagaimana.
Suasana di kelas terasa hening seketika, tatapan semua orang tertuju pada Dewi. Tatapan yang membuatku sendiri tidak nyaman. Tapi, Dewi terlihat tidak ambil pusing.
"Kalau nggak keberatan mulai sekarang kita jadi teman satu bangku!" senyumannya merekah mempertanyakan ketersediaanku untuk menjadi teman sebangkunya.
Aku semakin yakin, jika dia hanyalah gadis polos yang tidak tahu apa-apa tentangku. Begitu pula yang lainnya. Tatapan mereka berubah tenang. Mereka paham jika anak pindahan itu tidak tahu apapun tentang sosok 'Wildan'.
"Oh, silahkan. Lebih baik melengkapi satu bangku kosong daripada harus membuatnya menjadi dua bangku kosong!" ucapku dengan senyuman yang setenang mungkin. Berusaha untuk menutupi perasaanku yang mendadak terasa campur aduk berkat kehadirannya yang bagaikan sihir dari negeri dongeng.
Kesepakatan yang tiba-tiba disambut hangat oleh semua orang. Pandangan semua orang kembali tertuju padaku, tatapan tidak asing dimana mereka pasti akan mengira jika keputusan yang aku ambil sangat mencerminkan diriku. Keputusan bijaksana yang membuat pandangan orang berubah menjadi pandangan yang penuh kekaguman padaku.
Dewi, gadis itu muncul bagaikan seekor kunang-kunang di kegelapan kehidupanku. Ia menari dengan bebas di dalam lubuh hatiku yang gelap. Menarikku untuk mengikuti kemanapun ia mengepakkan sayap. Menerangi kelamnya hidupku dengan cahaya redupnya. Bagai peri kecil dengan serbuk sihirnya dari negeri dongeng. Sosok yang ternyata lebih unik dari yang aku kira.
Seiring berjalannya waktu, rasanya Dewi tidak mungkin tidak mengetahui siapa aku. Dewi juga akrab dengan anak-anak lainnya. Dia anak yang cerdas dan mudah bergaul. Ia selalu ceria dengan senyuman yang tidak pernah lekang dari wajah mungilnya. Tapi, sikapnya padaku tidak pernah berubah.
"Main, yuk!" ajak Dewi untuk kesekian kalinya dan tentu saja aku menolaknya dengan tegas.
Biasanya Dewi akan menyerah begitu saja. Tapi, kali ini dia berbeda. Mungkin karena aku sudah cukup membuatnya kesal karena tidak mau bermain dengannya.
"Kenapa ga mau?" tanya Dewi padaku yang sama sekali tidak bisa aku jawab.
Bukan karena tidak mau menjawab, tapi aku tidak bisa menjawabnya. Banyak teman-teman yang kaku bermain denganku. Mereka selalu terlihat tertekan. Mungkin takut salah bicara atau malah takut membuatku kesal. Mereka selalu berhati-hati padaku. Hal itu membuatku memilih lebih baik tidak usah berteman saja.
Hal sama yang aku duga akan terjadi pada Dewi juga. Aku tidak ingin teman sebangku pertamaku di SMP ikut bersikap canggung jika bermain denganku.
"Aarrrhg! Gemes! pokoknya kita main, yuk!"
Dewi tiba-tiba menyeretku ke perpustakaan di jam istirahat tersebut. Tempat yang membuatku berpikir 'kenapa dia mengajakku bermain di perpustakaan'.
"Kalau mau belajar bilang, dong. Kita, kan, sering belajar dengan temen lain juga di sini!" gerutuku yang tidak melawan dengan ajakannya. Mengikuti kakinya yang melangkah menuju perpustakaan dengan tanganku yang masih ada di genggamannya.
Langkah kaki Dewi tiba-tiba berhenti. Ia berbalik arah, memandangku dengan tatapan yang tajam. Ia memicingkan matanya dan tanganku yang semula ia genggam itu kini terlepas dan Dewi mulai bertolak pinggang, medekatkan wajahnya padaku.
"Kamu, kan, sudah cukup belajar selama ini. Kamu belajar di mana saja, kamu juga belajar dengan teman lainnya. Setidaknya, biarkan dirimu bermain denganku! Pokoknya selama kamu bersamaku. Kita akan terus bermain!"
Ucapan Dewi tidak bisa aku mengerti. Aku tak tahu apa maksud dari perkataannya itu. Aku hanya diam dan memandangnya penuh kebingungan.
"Huuuuft.. Dasar!" Dewi menghela napasnya dengan dalam sambil menggelengkan kepalanya.
"Kamu pasti lelah. Porsi belajarmu itu sudah cukup. Kamu juga bisa belajar dengan giat lagi nanti di rumah atau di tempat les. Tapi, Wil, kamu belum tentu bisa bermain."
Tatapan Dewi mendadak berubah. Matanya terlihat sendu dengan senyuman manis yang terukir tipis di wajahnya. Suaranya juga mulai terdengar lembut.
"Karena kamu selalu belajar, setidaknya kamu bermainlah bersamaku. Kamu boleh belajar dengan giat lagi nantinya. Tapi, jadikan aku pengecualian. Kita bisa bermain bersama. Karena aku juga begitu. Aku juga bosan belajar terus. Setidaknya aku ingin bebas bermain. Kalau kamu mau, kita bermain dengan puas bersama dan berjuang belajar dengan giat lagi nantinya!"
Ucapan Dewi sangat tepat sasaran. Ia mengatakan tepat seperti apa yang aku inginkan. Aku juga ingin bermain, bermain yang tidak membuat prestasiku turun. Bermain dengan lepas tanpa kecanggungan dari pandangan orang atas latar belakangku. Semua itu kini ada pada Dewi. Ia menawarkan menjadi teman bermainku dengan tulus dan tentu saja tidak akan pernah bisa aku tolak. Kesempatan yang mungkin tidak akan pernah datang lagi di hidupku.
"Baiklah, ayo kita bermain sepuas hati kita! Aku juga udah ga tahan lihat kamu belajar terus!"
Persetujuanku disambut antusias oleh Dewi. Selama kami duduk sebangku aku juga merasakan dia hampir mirip denganku.
Dewi selalu berusaha mengejar pelajaran yang tertinggal. Ia berjuang dengan giat pada pelajarannya. Nilainya termasuk bagus sebanding dengan usaha keras yang ia lakukan. Aku merasa jika ia juga bosan belajar, aku merasa jika ia juga ingin bermain. Setidaknya sejenak saja, untuk tidak memikirkan nilai pelajaran.
Untuk pertama kalinya, aku bermain di perpustakaan. Bukan buku mata pelajaran yang aku ambil. Tapi, beberapa n****+ dan komik yang juga terdapat di perpustakaan tersebut.
"Aku nggak tau kalau perpustakaan sekolah kita juga punya buku n****+ dan komik!"
Aku benar-benar takjub, ternyata banyak hal yang tidak aku ketahui sebelumnya. Aku baru sadar setelah Dewi mengajakku bermain. Aku baru mulai melihat sekitar. Banyak orang di perpustakaan sekolah bukan hanya sekadar belajar. Mereka membaca majalah, n****+, komik dan juga ensiklopedia yang sejatinya mungkin tak ada urusan dengan pelajaran. Aku baru tahu jika perpustakaan bukan hanya dibuat untuk anak-anak yang ingin belajar. Tapi, untuk mereka yang ingin istirahat dengan memanfaatkan waktu berharga mereka bersama beragam buku bacaan yang bisa menemani mereka istirahat.
Aku baru tahu jika, perpustakaan sekolah menerima sumbangan buku dari manapun, mereka memilih buku yang memiliki nilai edukasi untuk diterima sebagai sumbangan dan banyak sekali buku menarik yang ada di sana. Termasuk komik yang sedang kami baca.
"Ini keren banget!" aku kagum dengan isi cerita komik tersebut.
Sebuah kisah tentang bagaimana turunnya hujan. Edukasi yang dibalut dengan gambar menarik dan penuh warna. Bacaan ringan yang juga membuka jendela ilmu. Dunia baru yang Dewi perkenalkan padaku.
"Ya Tuhan, jangan bilang selama ini kamu hanya tahu buku pelajaran kelas kita saja!" Dewi menggelengkan kepalanya tidak habis pikir akan hal tersebut yang hanya bisa aku sambut dengan senyuman polos dariku.
Sejak saat itu aku mulai tertarik dengan gambar komik begitu juga dengan hubungan kami yang semakin dekat. Berlangsung dengan baik hingga saat ini.
Kebetulan yang selalu membawa kami bersama hingga satu pekerjaan. Kebersamaan yang aku rasa tidak akan pernah terpisahkan. Sahabat yang membuka mataku dengan lebar. Sosok yang membuatku merasakan apa yang sebelumnya hanya bisa aku bayangkan.
Aku bisa bermain dengan nyaman dan belajar dengan baik berkat dirinya. Dewi, sosok yang aku kagumi dan ingin selalu aku jaga. Tanpa pernah aku tahu jika aku ternyata juga bisa merusak hubungan berharga kami. Tanpa pernah aku bayangkan jika aku akan kehilangan sosoknya yang hangat itu.
Kini hatiku benar-benar tak bercahaya, redup dan gelap gulita. Dewi, cahayaku telah hilang.
"Kemana aku harus mencarimu?" aku semakin yakin setelah beberapa bulan berlalu. Aku yakin jika Alia telah menutup segala jejak dari Dewi. Agar aku tidak menemukannya.