8. Lagi, hentak aku lebih kuat lagi!

1526 Kata
POV Wildan "Ah.. Alia.. Hahhs.." "Lagi, hentak aku lebih kuat lagi!" "Aaaah ... benar seperti itu!" Suara erangan dan rintihan Alia memenuhi seisi kamar. Tubuhnya penuh dengan peluh dengan rambutnya yang terurai setengah basah akibat keringat yang menetes di tubuhnya. Hentakkan tubuhnya bersatu dengan desah napas yang berat memenuhi gendang telingaku. Aku membiarkannya melakukan apapun yang ia mau, aku melakukan segala yang ia inginkan tanpa bantahan, mematuhi setiap perkataannya. Lalu, saat ini, aku menyaksikan tubuhnya yang tanpa busana itu bergetar, bergejolak dengan luapan hasratnya. "Sedikit lagi. Aaaah... Kamu benar-benar nikmat!" "Aku menyukai tubuhmu!" Pujian Alia terus dilayangkannya, ia menikmati setiap hentakan yang terjadi pada tubuhnya. Hingga keduanya mencapai puncak kenikmatan. Sesaat setelah keduanya mencapai puncaknya. Alia merengkuh padaku. Ia mencium ringan tengkuk leherku. Menyentuhku dengan sangat lembut seraya berbisik, "Sejak kapan kamu disini?" tanya Alia dengan nada sedikit dingin. Sejak awal Alia tak menyadari keberadaanku, ia terlalu asik dengan pria itu. Bercinta dengan pria itu di kamarku. "Ini kan, rumahku. Kamu yang ngapain di sini?" aku bertanya balik padanya. "Hmm.. bukankah kamu melihatnya. Melihat apa yang aku lakukan di sini? Jadi untuk apa kamu bertanya balik?" Seperti yang aku katakan sebelumnya. Aku membiarkan Alia melakukan apapun dan salah satu kebiasaannya adalah menyusup ke dalam rumahku. Tapi aku tak menyangka jika semakin hari apa yang ia lakukan semakin menjadi-jadi. Ia kini berani membawa bermacam-macam pria ke kamarku dan bercinta dengannya sampai ia puas. Kala itu aku terlambat pulang, tapi begitu aku tiba di rumah berhargaku. Rumah itu berantakan, dipenuhi suara erangan dan rintihan membara dari. Alia justru membawa seorang pria lagi ke kamarku. "Aku nggak suka kamu seperti ini!" ungkapku padanya kesal. "Kenapa? kamu cemburu aku bercinta dengan pria lain?" tanya Alia padaku. Jujur, aku tak peduli apapun yang ia lakukan. Aku tak akan goyah apapun yang terjadi. Hatiku sedikitpun tak bergetar untuknya. Namun, aku sangat kesal karena ia berlaku sesuka hatinya di rumahku. Rumah berharga dimana ada kenangan Dewi yang melekat indah di sini. Semua ternoda oleh segala tingkah Alia. Mengotori kehangatan yang sebelumnya aku dan Dewi lalui di sini. "Hentikan omong kosong itu Alia. Aku tidak suka kamu memakai kamarku seperti ini." Aku memperingatkannya untuk kesekian kalinya. Alia tertawa lebar, ia menarik kerah bajuku. Menyeringai dengan hembusan napasnya yang bisa aku rasakan di wajahku. "Jika kamu mau bercinta denganku. Aku tidak akan membawa pria lain dan hanya akan melakukannya bersamamu, bagaimana?" Aku memalingkan pandanganku. Mengisyaratkan jika aku menolak tawarannya itu. "Hmmm... Karena kamu tidak mau bercinta denganku sekarang. Jadi, biarkan aku bersenang-senang dengan bonekaku yang lain." Alia mengatakan begitu saja dengan santai atas hasratnya tersebut sambil bergelayut manja padaku. Melekatkan tubuhnya yang tanpa busana itu tak berjarak pada tubuhku. "Aku nggak mencintaimu, jadi bagaimana bisa aku bercinta denganmu Alia?" dalihku dengan emosi yang aku pendam sekuat mungkin. "Lagian, kamu bukan istriku!" imbuhku lagi. Alia saat itu hanya tersenyum kecil penuh arti. Ia meraba punggungku menyisipkan tangannya ke balik pakaianku. Aku masih diam dan tak bergeming. Karena aku tahu, percuma untuk melawan dirinya. Selama ini, aku membiarkannya melakukan apapun padaku kecuali bercinta dengannya. Ia tak berhak memaksaku melakukan hal itu padanya. Aku hanya tunangannya, bukan suaminya yang mempunyai kewajiban lahir dan batin dengannya. Bukan hanya itu, Alia bisa saja memaksaku tapi karena aku menandatangani sebuah kontrak dengannya. Alia pun tak bisa memaksaku untuk bercinta dengannya. "Ha-ha-ha!" Tawa Alia pecah. Memenuhi seluruh ruangan tersebut, nyaris memekakkan telingaku dengan tawanya yang nyaring. "Benar, nanti juga kamu akan melakukannya denganku jika kita sudah menikah. Kamu ingat di kontrak kita, Wildan? Kamu punya kewajiban untuk memberikan keturunan keluarga Renjani." Tawa Alia masih berlanjut saat aku sudah menggigit keras ujung bibirku. Ia menatapku dalam dan berbisik sambil meraba tubuhku dengan liarnya. "Nanti, akan ada saatnya kamu harus memenuhiku dengan benihmu!" Alia pun beranjak kembali pada pria yang masih terbaring tanpa busana di atas ranjang. Ia kembali pada aksinya di atas tubuh pria tersebut dan menatapku tajam. "Kelak kamulah yang akan berada di bawah tubuhku seperti ini, Wildan!" ucap Alia kemudian seraya menatapku penuh arti. Desahan pun kembali memenuhi seisi kamar tersebut. Aku mengepal erat kedua tanganku. Kesal dan tak sanggup untuk ingin menyeret keduanya dari kamar itu. Tapi lagi-lagi aku tidak berdaya. Hal itu juga tertera di kontrak antara aku dan keluarga Renjani, pertunangan, pernikahan dan anak. Aku harus memenuhi semua itu demi seluruh perusahaan ayahku dan para pegawai yang bekerja disana. Aku pun hanya bisa mengabaikan mereka dan kembali pada tujuanku. Mengambil pakaian ganti yang tersimpan di lemari kamarku itu dan meninggalkan Alia bersama pria asing itu dengan aksi panasnya yang terus menyeringai menatapku tajam. "Huuuft.." desahku yang merasakan lelah di sekujur tubuhku. Rumah yang berantakan akibat ulah Alia itu sudah sedikit aku benahi. Tubuhku begitu lelah, kepalaku terasa berat dan mataku sangat mengantuk. Tapi Alia masih menguasai kamarku. Ia masih melangsungkan aksinya dengan pria itu. Aku tidak ingin berbaring di sofa, Alia akan menyerangku jika ia melihat kesempatan pada saat aku lengah karena kelelahan. Aku ingin bersembunyi. Menghindarinya sebisa yang aku lakukan. Tak ada pilihan lain, aku hanya bisa masuk ke sebuah kamar yang sejujurnya paling enggan untuk aku kunjungi. Kamar mungil dengan dekorasi yang unik. "Kenapa sebelumnya aku terlalu takut untuk ke sini?" tanyaku pada diriku sendiri. Perlahan aku menatap seluruh ruangan kamar mungil tersebut. "Ah, aku tahu alasannya!" "Karena aku tidak akan bisa menahan diriku jika aku berada di sini!" rengkuhku mendekap debaran yang begitu menyakitkan. Masih teringat jelas alasan kenapa kamar itu di buat. Sebuah kamar yang aku dan Dewi rancang bila kami mempunyai anak nanti. Sepenuh hati kami membuatnya, merencanakan banyak hal indah yang akan kami lalui bersama. Impian, angan, harapan dan kekhawatiran kami. Buah cinta dari kami yang akan memanggilkanmu 'ayah' dan 'ibu'. "Ffftt... Padahal kamu yang suka warna biru. Tapi kamu berdalih itu warna yang netral!" aku sedikit terkekeh mengingat perdebatan kecil kami tentang warna cat di kamar tersebut. Karena tak tahu anak tersebut akan terlahir laki-laki atau wanita, Dewi mengecat kamar tersebut dengan warna biru yang netral. Tidak terlalu imut dan tidak terlalu maco. Walau aku tahu itu hanyalah dalihnya, sejujurnya aku tahu jika ia sangat menyukai warna langit yang lembut ini. Aku melangkah pelan, duduk di tepi sebuah ranjang. Lagi, aku teringat akan tingkah Dewi yang menggemaskan. "Kamu bilang, kita bisa menjaganya sampai ia benar-benar tertidur di ranjang ini. Jadi kamu ngotot untuk mengisi kamar bayi dengan sebuah ranjang yang besar. Padahal, aku tahu kamu meletakkannya agar bisa menemani anak sambil rebahan dan memainkan ponsel yang selalu kamu dekap itu." Bayangan akan sosok Dewi yang kerap memainkan ponselnya itu terlihat dengan jelas di mataku. Siluetnya masih bisa dengan jelas aku bayangkan. Dewi wanita anggun, lemah lembut dengan tubuh mungilnya. Lekuk tubuhnya masih bisa aku ingat dengan jelas. Pinggangnya ramping, tubuh semampai cocok dengan paras yang penuh ketenangan. Cantik dan berpipi tembem yang empuk, menggemaskan. Aku juga masih ingat dengan aroma samponya yang lembut seiring dengan kibasan rambut berwarna cola terangnya, ia bagaikan fajar yang hangat. Aku membayangkan sosoknya itu yang mengayun keranjang bayi sambil rebahan, malas dan bermain ponsel. Mengirimkan pesan singkat dengan pembahasan ringan atau hanya sekadar mengirim foto padaku. Benar, di kamar ini, Dewi juga mengisinya dengan sebuah ranjang dan lemari kayu. Ada tempat tidur bayi juga yang terbuat dari kayu dan lampu dengan dekorasi awan yang indah. Kamar ini terasa seperti pagi hari yang cerah. "Hmm.. Hangat.." gumamku begitu menyadari suasana yang aku dapat saat berada di kamar tersebut. Rumah ini terasa begitu dingin tanpa kehadiran Dewi. Aku pikir, rumah ini benar-benar sudah mati, hampa dan tak bernyawa lagi. Aku sempat kehilangan harapanku. Tapi, aku baru kembali menyadari jika kehangatan dari rumah ini masih bisa ia rasakan dari kamar tersebut. "Benar, ini terasa hangat!" Aku meraba kasur dengan selimut tebal yang lembut. Terasa begitu hangat saat kulitku menyentuhnya. Sama seperti apa yang pernah dewi katakan padaku. "Selimut ini masih tetap akan hangat walau kita memasang AC seharian. Bayi kita tidak akan kedinginan jika di selimuti dengan ini!" Saat itu Dewi mengatakannya dengan segala kebahagiaan yang bisa aku lihat di matanya. Senyumannya yang tulus dan aku yang terus menikmati setiap kebahagiaan yang terlihat jelas darinya. Selimut itu aku raih, mendekapnya dengan kehangatan pertama yang pernah aku rasakan setelah kepergiannya. "Dewi, kamu di mana?" Aku mendekap erat selimut tersebut, membayangkan jika yang aku peluk adalah dirinya. Mengendus sedikit aroma hangat Dewi yang masih melekat pada selimut tersebut. Tidak itu bukan aroma Dewi, aku tahu itu. Meski begitu, ini adalah aroma familiar yang sering aku hirup saat bersama dengan Dewi. Aroma yang menarik aku pada bayang kehadiran yang sangat aku dambakan. Air mataku jatuh. Benar, Dewi mendambakan kehadiran bayi kecil mereka. Setiap hari, Dewi pasti mengunjungi kamar ini. Mendekap selimutnya seraya berkata. "Ibu akan mendekapmu seperti ini setiap hari sambil menunggu ayahmu pulang bekerja kelak!" Sial, hatiku sesak, napasku tercekat, rinduku meluap, air mataku semakin tidak terbendung. Aku merindukan istriku. "Dewi, kamu dimana?" "Sekali ---" "Sekali saja, aku ingin mengatakan jika aku mencintaimu!" "Kenapa aku tidak bisa menemukanmu?" Ingin rasanya aku membedah dunia untuk mencarinya. Menemukan sosoknya, menanyakan kabarnya, menemaninya dan mendekapnya erat. Bahkan aku rela dibenci olehnya selama aku bisa menemukannya dan mengetahui seperti apa kabarnya saat ini. "Dewi, aku akan menemukanmu. Hmm.. Tidak. Aku harus menemukanmu!" Aku merebahkan tubuhku dengan selimut hangat tersebut. "Hiks.. aku merindukanmu!" "Dewi, aku rindu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN