POV Wildan
"Hmm.. ternyata disini ada juga tempat seperti ini?" Alia tertawa lebar saat mendapati aku yang tertidur di kamar mungil tersebut.
Aku tersentak mendengar suara Alia yang lantang. Membangunkan aku dari tidurku yang sedikit nyaman berkat kenangan manis yang Dewi torehkan. Mungkin karena aku mendekap selimut tersebut dan mengingat masa indah kami dulu.
Alia dengan congkak masuk ke kamar tersebut. Ia menelisik seluruh ruangan tersebut dengan bola matanya yang besar itu.
"Jangan sentuh itu!" teriakku saat Alia akan menyentuh tempat tidur bayi tersebut. Aku enggan tangan kotor itu menyentuhnya. Aku tidak rela hal itu Alia lakukan dan yang paling aku cemaskan jika Alia mengamuk dan merusak tempat tidur bayi itu. Jika itu terjadi, aku mungkin tak bisa lagi menahan diriku untuk tidak memukulnya.
Tatapanku tajam padanya. Aku memastikan dia tidak bertindak sesuka hatinya di sini. Namun, bentakanku hanya membuat Alia semakin tertawa lebar.
"Ha-ha-ha, baiklah aku tidak akan menyentuhnya."
Alia mengangkat kedua tangannya, ia mendekatiku dan kini langsung duduk di pangkuanku.
"Apa kamu sangat merindukannya?"
Tangan Alia mulai bermain manja di atas tubuhku. Tentu aku tidak akan meresponnya. Sejujurnya aku malah ingin mendorongnya. Jijik, itu yang aku rasa setiap kali ia menyentuh tubuhku. Namun, tentu aku tak bisa menghentikan Alia. Aku harus bisa terus bermain menjadi bonekanya seperti ini jika ingin rencanaku berhasil. Yaitu, lepas dari genggamannya.
"Kamu masih tidak bisa menemukannya?" tanya Alia lagi padaku yang kali ini membuatku sedikit menolah padanya.
Berapa kali pun aku mencoba untuk menemukan Dewi, aku tidak pernah mendapatkan jejak tentangnya. Satu hal yang mungkin terjadi adalah seseorang pasti sudah menghapus jejak keberadaan Dewi.
Hanya Alia yang ada di dalam pikiranku yang mungkin melakukan hal itu semua. Tidak salah lagi, Alia pasti sedang menyembunyikan Dewi atau Alia malah menghapus seluruh jejak Dewi tepat sebelum aku menemukannya.
"Kali ini, aku harus bertindak diam-diam."
Aku bertekad untuk tidak ketahuan oleh Alia jika aku mencari sosok Dewi. Aku tak ingin Dewi menjadi sasaran Alia lagi. Cukup sekali aku menyaksikan dengan mata kepalaku kecelakaan hebat tersebut. Cukup satu kali aku kehilangan Dewi. Mungkin aku akan gila atau malah membunuh diriku sendiri jika aku kehilangan Dewi. Aku tidak mau itu, aku ingin bersama dengan Dewi. Menjalin masa depan dengannya, menyambut setiap hari bersama dengannya.
"Benar, aku harus lebih hati-hati!" tekadku yang sudah bulat.
Alia sibuk mengecup leherku. Aku masih membiarkannya melakukan hal itu. Sesuai dengan kesepakatan yang aku tanda tangani, ia tidak akan menganggu Dewi jika aku membiarkannya melakukan hal tersebut. Kesepakatan itu juga termasuk dengan hubungan bercinta, dalam kesepakatan tersebut, Alia tidak berhak memaksaku untuk bercinta dengannya hingga pernikahan kami benar-benar terlaksana.
Akan tetapi, hal itu pula yang bisa saja membuatku tidak bisa bertemu dengan Dewi. Alia tidak mungkin diam saja saat mendapat jejak Dewi, ia pasti akan menyuap, menutup mulut, dan menghapus segala hal yang akan membawaku pada Dewi.
"Mau aku bantu menemukan Dewi?" tiba-tiba Alia menawarkan bantuannya itu padaku.
Aku langsung mendorong tubuhnya dengan memegang ke dua bahunya. Kini aku semakin yakin dengan segalanya. Alia benar-benar telah menghapus seluruh jejak Dewi saat aku mengalami perawatan akibat kecelakaan waktu itu.
"Kamu ... ...."
Aku tak bisa berkata-kata saat Alia memancingku untuk membahas Dewi. Aku berusaha sabar, menelan segala emosiku untuknya. Namun, aku tentu tak bisa menipunya semudah itu. Alia kembali tertawa, ia membuka satu per satu kancing kemejaku.
"Apa kamu benar-benar tidak ingin tahu apapun tentang Dewi? Kamu lupa apa yang terjadi padanya terakhir kali?"
Mulutku seketika terasa kering saat mendengar hal tersebut. Kabar terakhir yang aku punya tentangnya adalah sehari setelah kecelakaan tersebut terjadi dan sebelum kau melakukan banyak operasi, dan penyembuhan fisikku
Waktu itu, aku sempat pingsan karena geger otak. Tubuhku yang menyelamatkan Alia juga dalam kondisi yang parah. Beberapa tulang rusukku patah dan aku mengalami dislokasi di bahu, pergelangan kakiku dan juga retak tulang paha. Semua terjadi karena aku menyelamatkan Alia. Sialnya begitu, padahal aku rela menyerahkan nyawaku jika saat itu Dewi lah yang aku tolong.
"Seandainya yang aku selamatkan saat itu adalah Dewi!"
Sesal itu terus menghantuiku apa lagi saat aku mengetahui jika begitu Dewi di bawa ke rumah sakit dari lokasi kejadian kecelakaan, kondisinya memburuk dan dia harus segera masuk meja operasi. Namun, keluarganya tidak sanggup untuk membayar biaya operasi yang besar, bahkan katanya keluarga Dewi saja tidak sanggup untuk membayar biaya rumah sakit selama Dewi mendapatkan pertolongan pertamanya.
"Padahal ada aku, padahal aku bisa membayarnya. Kenapa mereka tidak mencariku?"
"Kenapa Dewi harus mengalami itu di saat kondisinya memburuk? Bagaimana jika hal buruk terjadi padanya?
Hatiku sungguh sakit mendengar hal tersebut dari suster di rumah sakit. Bagaimana bisa istriku sendiri tidak bisa membayar rumah sakit hanya karena aku juga pingsan di hari yang sama. Istriku terpaksa tidak mendapatkan perawatan yang layak karena tidak sanggup membayarnya. Istriku yang bisa saja tewas jika tidak segera di selamatkan..
"Ah, tidak. Pasti baik-baik saja!" aku tak ingin mendengar kabar buruk itu. Aku tidak siap jika ternyata Dewi sudah tiada.
"Tapi, kenapa mereka pergi? Kenapa Dewi tidak menggunakan uangku saja? Kenapa tidak katakan saja jika Dewi adalah istriku."
"Ah, itu semua karena dia bukan istri sah-ku menurut hukum!"
Aku kembali tertampar akan pernikahan kami yang tidak terdaftar secara hukum. Pernikahan yang tidak terdaftar itu ternyata berimbas pada hal seperti saat ini.
Saat itu aku yakin jika keluarga Dewi mungkin sudah meyakinkan pihak rumah sakit jika aku adalah suami Dewi yang juga akan bertanggung jawab untuk biaya di rumah sakit. Tapi, pernikahan kami yang tidak terdaftar sama sekali tidak bisa memberikan bukti atas pernikahan kami. Mereka pasti menolak apa yang keluarga Dewi ajukan karena tidak bisa mengkonfirmasi atas pernikahan kami.
"Lalu kemana perginya ayah dan ibuku? kenapa saat itu mereka tidak mencemaskan kondisi Dewi? Kenapa mereka tidak mengkhawatirkan wanita yang aku cintai?"
Pertanyaan yang banyak itu terus berputar dalam kepalaku. Apa yang terjadi sehingga membuat semuanya kacau seperti ini. Apa yang mendorongku hingg membuat Dewi menderita.
Hal paling menyakitkan lainnya adalah saat Dewi tidak mendapatkan penanganan yang tepat, dalam kondisi buruk itu keluarga Dewi tiba-tiba memindahkan Dewi ke rumah sakit lain.
"Tapi, dimana? Kemana? Kenapa aku sama sekali tidak bisa menemukan keberadaan Dewi?"
Begitu mendengar hal itu, aku langsung mencari ke rumah sakit terdekat. Tak ada pasien bernama Dewi yang masuk pada rumah sakit tersebut. Perlahan, satu per satu aku mencari jejak keberadaan Dewi. Mencari rumah sakit mana yang merawat Dewi. Mencari kabar walau hanya sedikit tentang Dewi.
Saat tubuhku sudah pulih, aku juga langsung mencari sosok Dewi ke rumahnya. Namun, rumah itu kosong dan tak berpenghuni. Gosip buruk juga terdengar oleh Wildan. Tentang Dewi yang kecelakaan itu sedang koma dan kritis hingga tak tahu Dewi bisa diselamatkan atau tidak.
"Tidak, semoga itu hanyalah rumor semata." Aku menguatkan pendirianku. Meyakinkan hatiku jika Dewi bisa selamat.
"Aku ingin mendengar jika kamu selamat. Aku mohon. Semoga kamu baik-baik saja."
Rumah sakit yang membuatku tidak bisa menemukan sedikitpun kabar tentangnya. Apakah Dewi terselamatkan atau tidak. Sesekali jika aku putus asa, bahkan jika Dewi tidak selamat aku ingin mengetahui dimana makamnya. Selama aku bisa memastikan kondisi Dewi sejujurnya itu saja sudah cukup untukku.
Aku tidak berani serakah mengharapkan kehadiran Dewi yang akan menerimaku kembali di sisinya. Menerima kehadiran Alia yang harus aku nikahi kelak. Aku sudah cukup banyak menyakiti Dewi.
Itu yang aku pikirkan awalnya. Namun, begitu aku sama sekali tidak bisa menemukannya berbulan-bulan seperti ini. Aku mulai serakah, aku tak bisa melepaskan Dewi begitu saja. Aku harus menemukannya diam-diam. Tanpa sepengetahuan Alia, aku harus segera membuat Dewi kembali ke sisiku dan memikirkan cara untuk membatalkan seluruh kontrak yang menjeratku pada Alia.
Tekadku bulan seiring dengan kerinduanku yang membuncah. Tapi, semua sia-sia.
"Sial, apa aku nggak bisa sebentar aja lepas dari pengawasan Alia?"
Aku kesal bukan main, mengetahui jika Alia terus mengawasiku. Aku terus terjerat pada Alia, berkali-kali dan tak bisa melepaskan diriku. Aku muak dengan dirinya, namun aku juga sadar jika semua ini adalah kesalahanku.
Fakta jika aku yang menawarkan pernikahan ini adalah kenyataan. Aku lah yang pertama menjerumuskan diriku pada lumpur pekat ini. Aku yang sengaja menenggelamkan diri pada lumpur ini, aku pula yang membuat lumpur ini semakin dalam. Kini aku ingin lepas darinya, tentu tidak akan semudah itu. Sudah pasti aku tidak akan bisa kembali. Tubuhku pasti akan penuh dengan lumpur nista.
"Ah, bodohnya aku!"
"Kenapa aku malah memilih jalan seperti ini?"
Aku merenungkan segala halnya. Merenungkan dari mana semua ini berawal. Memikirkan apa yang sebenarnya aku lakukan hingga aku terjerat begitu dalam seperti ini.
"Benar, ini semua adalah kesalahanku!"
Aku kembali tersadar akar dari segala masalah yang kami hadapi. Apa yang membuatku hingga tak bisa menikah resmi dengan Dewi, serta apa yang membuatku menawarkan diriku untuk menikah kontrak pada keluarga Renjani.
Semua bermula pada saat itu, saat seluruh kesalahpahaman terus berputar dan semakin membesar. Tentang sosok Dewi yang seharunya masih sehangat matahari pagi. Tentang cintaku yang seharusnya bisa aku raih dan berbahagia bersamanya saat ini.
Ini tentang Dewi, istri yang paling aku rindukan.
"Dewiku, hatiku, rinduku, cintaku, engkau istriku!"