POV Dewi
Aku menangis dalam diam, menyimpan rinduku dalam keheningan. Aku pikir aku bisa memendamnya sendirian, tapi aku kembali teringat akan buah hati yang kini berada di perutku. Ia pasti menyadari kesedihanku yang merindukan ayahnya. Menanti sosoknya yang entah sedang apa.
"Apakah dia mencariku?"
"Apakah dia merindukan aku?"
"Apa dia memikirkan aku?"
"Apa dia mencintaiku?"
Pertanyaan berulang yang sudah pasti tidak akan pernah ada jawaban. Meski begitu lagi dan lagi aku menyuarakan pertanyaan itu dalam hatiku berulang kali.
"Apa kau hina karena mencintainya? Apa aku terlalu bodoh untuk merindukannya? atau malah aku terlalu serakah untuk mengharapkannya?"
Sejak awal, aku tidak tahu yang aku tahu hanyalah perasaanku yang nyata untuk Wildan. Perasaan yang sama sekali tak bisa aku sembunyikan. Meski aku nolak kehadirannya hatiku selalu menginginkan dirinya. Apa lagi kini ada buah hatiku yang juga ingin aku lindungi.
Mungkin, mungkin kehadiran buah hatiku bisa membuatku mengubur Wildan ke dasar hatiku. Aku mungkin bisa memenuhi seluruh hatiku dengan kehadirannya. Malaikat penyelamat hidupku, anakku, buah hatiku setengah dari hidupku.
Tekadku sudah cukup bulat. Aku memutuskan untuk merindukan Wildan dalam diam dan tersenyum cerah demi mereka. Demi orang-orang yang mendukungku, melindungiku dan berjuang bersama denganku.
"Aaaah ...."
Aku tersentak sejenak dan terkekeh geli kemudian. Buah hatiku bereaksi, ia menendang rahimku. Aku mengusap perutku pelan sambil berkata padanya, "Kamu setuju ibu menyembunyikan rindu pada ayahmu? atau kamu marah karena ibu tak tahu kapan kamu bisa bertemu dengan ayahmu?"
Gerakan buah hatiku semakin luar biasa, aku tidak mengerti keinginannya. Ia hanya berkarobat tanpa sebab atau malah mengerti segala apa yang aku katakan.
"Hmmm.. ibu sungguh tidak mengerti apa yang kamu inginkan. Jadi, lahirlah dengan sehat, tumbuhlah dengan baik dan katakan padaku apa yang kamu inginkan."
Aku kembali terdiam sejenak. Menarik napasku dalam. "Lagian, ibu nggak tau kapan bisa membawamu bertemu dengan ayah. Sepertinya itu akan menempuh waktu yang sulit!"
Bayiku kembali menendang, ia mendengarkan aku dengan giat rupanya. Tanpa aku sadari, aku menikmati saat-saat itu. Membuatku semakin yakin untuk membesarkan dia terlebih dulu. Rasanya, untuk seorang Wildan dia bisa saja mencariku jika ia ingin.
"Benar, ayahmu punya banyak uang. Ia juga punya kekuasaan dan orang-orang yang bisa ia kerahkan. Cepat atau lambat ayahmu pasti bisa menemukan kita. Pokoknya ibu akan usahakan memikirkan kamu saja."
Aku kembali megocehkan hal yang sama, pikiranku selalu berputar di hal yang sama. Aku rasa, aku benar-benar sudah gila karena cinta padahal aku sendiri hampir mati karena keserakahan cinta.
Tendangan bayiku semakin menjadi-jadi. Dia begitu aktif malam ini.
"Aaaah... jangan-jangan kamu malah cemburu karena ibu lebih memikirkan ayahmu dari pada kamu?"
Bayiku bergerak. Kali ini tanpa tendangannya seolah membenarkan apa yang aku katakan. Aku pun kembali tertawa dengan tingkah konyol malaikat kecilku ini.
"Tapi, gimana ya.. Ayahmu emang mempesona sih! Kalau kamu cemburu ibu tidak bisa apa-apa! Kamu harus lebih mempesona daripada dia deh!" candaku yang ternyata aku bisa juga sebahagia ini bercakap ria dengan buah hatiku.
"Hmmm.. kamu mau dengar tentang ayahmu?"
Suasana begitu mendukung saat itu. Membuatku ingin mengenalkan sosok Wildan padanya. Meski hanya dalam sebuah cerita. Cerita yang mungkin tidak bisa diingat oleh anakku.
---------
Beberapa tahun yang lalu.
Ting ...
Aku melesat kencang saat mendengar sebuah pesan masuk pada ponselku. Aku meraih ponsel yang sebelumnya tergeletak di atas tempat tidur. Merebahkan tubuhku dan membaca isi pesan tersebut dengan penuh rasa penasaranku.
"Hei, bantu aku lagi besok. Besok datang ke studioku, aku akan memasakkan nasi goreng kesukaanmu untuk makan malam kita nanti sebagai upah dari bantuanmu."
Secara alami senyumku melebar saat aku membaca isi pesan itu. Tentu saja aku mengiyakan ajakannya. Mana mungkin aku menolak ajakan dari pria yang saat ini terus membuatku berdebar. Tidak, justru sebaliknya aku rasa jantungku berhenti berdetak saat ia menatap mataku, aku terpesona akan dirinya.
Setelah permintaan Wildan itu aku jadi tidak sabar menunggu hari esok, bahkan jika memang hari ini aku ada di sana. Aku akan langsung meluncur ke studionya. Namun sayang, aku saat ini berada di rumah orangtuaku. Setelah aku bekerja di luar kota, aku hanya punya kesempatan sebulan sekali untuk pulang ke rumah orangtuaku.
"Dewi Vietha Milasari, berhenti teriak-teriak. Berisiiiiiiik!!!"
Aku terlalu berisik hingga membuat orang terganggu. Wajar karena aku merasa sangat senang saat mendapat pesan dari Wildan. Namanya Kiki Sulandari dia adalah kakakku dan kakak pun kembali berteriak. Dia pasti kesal setiap aku heboh sendiri dengan pesan yang aku baca.
Bagaimana mungkin aku tidak girang. Saat seseorang yang aku cintai membalas pesanku. Pesan yang bahkan akan bisa membuat senyumku merekah apapun isi pesan tersebut. Tapi, mana mungkin Kiki mengerti hal tersebut dan setiap kali dia kesal, dia memang selalu memanggil namaku dengan sangat lengkap. Agak kesal mendengarnya tapi mungkin itu bagian dari cara Kiki menyayangimu dengan bentakan penuh kasih sayang
Aku hanya mencibir ocehan Kiki dan menutup tubuhku dengan selimut. Mencoba meredam sedikit teriakan bahagiaku. Menghabiskan waktu dengan saling berbalas pesan dengan Wildan.
Wildan Finn Alaric adalah sahabatku sejak aku duduk di bangku SMP. Jumlah siswa yang ganjil membuatku terpaksa duduk sebangku dengannya dan itu pula lah yang membuat kami semakin dekat secara alami.
Persahabatan yang sempat membuatku ragu untuk mengungkapkan isi hatiku. Namun, entah keberanian dari mana aku bisa mengungkapkan isi hatiku padanya. Mungkin saat aku menerima cahaya bulan yang terang benderang, menyilaukan bagai lampu jauh mobil yang lupa dimatikan dan terus menyoroti mataku.
"Tuh, kan, aku jadi teringat masa-masa itu!" aku sekali lagi terkekeh geli saat mengenang masa manis malu-malu saat aku menyembunyikan perasaanku padanya. Membuatku tidak percaya jika aku mencintai pria yang sama tanpa jeda. Tanpa goyah akan pria lain yang mungkin memberikan tanda-tanda cintanya padaku.
"Kyaaa, manis banget, sih!" kali ini aku berteriak saat Wildan mengatakan jika dia sangat merindukan ocehanku dan semakin tidak sabar untuk bertemu dengannya di tempat biasa.
"Berisik, De!" teriak Kiki lagi dan aku hanya kembali menutup mulutku. Menyesal telah berteriak sekencang itu di rumah kecil yang bahkan berada di antara perkebunan ini.
Meski aku hanya pulang sesekali ke rumah. Tapi, Kiki sangat tegas, saat aku bersikap seperti seorang pengganggu, dia benar-benar mengomeliku sampai telingaku terasa panas dan mengeluarkan asap gaib yang merupakan omelannya. Pokoknya aku tidak tahu dia mengoceh apa, yang penting dengarkan saja sambil mengkhayal misalnya. Aku bisa jamin, ini paling efektif apa lagi kalau khayalin 'ehkeeemm.. anu... 21++ sama Wildan' sudah pasti aku kebal dengan omelan Kiki.
"Kamu bisa diam nggak, De? Ga perlu teriak-teriak ga jelas gitu, jangan juga ketok-ketok meja, berisk tau, De."
Seperti saat ini, Kiki yang sedang mengomeliku tanpa henti. Namun, mana mungkin aku peduli. Aku terlalu bahagia untuk meladeni omelannya. Aku hanya tidak sabar menanti hari esok. Hari saat aku akan bisa bertemu dengannya di tempat kami biasa bertemu. Sebuah studio kerjanya.
Selain bekerja di kantor yang sama juga denganku. Wildan yang memiliki hobi lain itu akan melakukan hobinya di sebuah studio. Ia senang menggambar komik, ia juga bekerja sambilan sebagai seorang komikus yang menayangkan karyanya dalam bentuk digital. Menjadi seorang author komik membuatnya membutuhkan sebuah tempat khusus untuk bekerja dan studio itu menjadi tempat kami saling menghabiskan waktu.
"Syukurlah kami satu tempat kerja, aku jadi bisa melihatnya terus."
Itulah alasanku kini merasa sangat senang, saat aku mulai kembali ke rutinitas kerjaku.
Mungkin berbeda dengan orang lain yang membenci hari Senin. Bagiku hari kerja masih menjadi hari yang menyenangkan olehku. Aku punya alasan kuat untuk itu. Karena aku dan Wildan berada di satu kantor yang sama dengan begini aku bisa terus bersama dengannya sampai puas. Melihatnya saja sudah mencurahkan sinar surga di mataku.
"Aku sudah puas hanya karena bisa menatapnya seperti ini," benakku nyaris setiap hari saat kami bertemu di kantor.
"Jangan lihat aku terus, nanti kamu jatuh cinta!" Wildan terkekeh geli sambil mengacak rambutku yang sudah rapih.
Tentu saja, saat itu aku kembali mengoceh. Memprotes tindakannya yang mengacak rambutku.
"Apaan sih, kusut, deh. Masih pagi udah rusak gini!" protesku karena tatanan rambutku yang rusak dan berantakan akibat ulahnya.
Wildan hanya terkekeh geli, ia semakin menggangguku. Mengambil ujung rambutku dan mengangkatnya.
"Terbanglah!" Wildan benar-benar mempermainkan rambutku di pagi hari.
"Aduh, kalau lihat kalian saya pasti akan terasa muda terus. Asyik sekali, sih, mainnya!"
Tiba-tiba saja ibu manager datang dan menggoda kami dengan candaannya. Aku spontan menunduk dan menyapanya ramah. Kedekatan kami memang tidak bisa ditutupi. CV dari perusahaan jelas-jelas menunjukkan jika kami berasal dari sekolah yang sama sejak SMP. Syukurnya perusahaan itu hanya mementingkan kualitas karyawan jadi meski kami sangat dekat. Tapi, kami patut berbangga diri bisa lewat di perusahaan tersebut secara alami, melalui proses tes yang benar, bukan menyogok atau malah menitipkan diri pada kerabat. Intinya kami juga kebetulan bekerja di perusahaan itu.
Ada hal lain yang mungkin membuatku semangat kerja. Jika ada orang yang kelelahan bekerja di tempat kerjanya, bagiku justru ini adalah tempat aku bisa mengisi penuh energi. Sebab Wildan yang ada di sana selalu berhasil membuatku penuh semangat. Sungguh, aku rela lembur asal bisa lihat wajah tampan Wildan. Apa lagi sambil lirik-lirik manja.
"Tuh, kan, kamu lihatin aku lagi!" Wildan lagi-lagi menangkap basah aku yang menatapnya.
"Aku udah bilang, kalau kamu lihatin aku terus seperti itu. Nanti kamu jatuh cinta, loh!" ledek Wildan lagi padaku.
Tentu saja aku tidak mengakuinya. Bisa gawat jika Wildan tahu aku sudah jatuh cinta padanya sejak dulu. Dia tidak perlu tahu apa yang aku rasakan untuknya. Aku masih belum siap jika ternyata dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku dan malah membuat hubungan kami retak. Hubungan yang sudah pasti sangat dalam mengingat waktu yang sempat kami lalui bersama bukan waktu yang sebentar.
Wildan tiba-tiba mencubit pipiku gemas. Tentu aku hanya berlagak pasrah sambil sedikit mengomel padanya. Padahal dalam hati aku senang bukan main saat ia mulai menyentuh pipiku.
"Diem deh, aku cuma sedang mikir. Kenapa kemarin aku tergiur dengan nasi goreng, sih!" dalihku sebagai alasan karena sudah menatapnya sedari tadi.
Wildan jelas tertawa lepas. Ia kini malah menekan kedua pipiku. "Kamu mana bisa menolak makanan!" ucapnya lagi sambil terkekeh.
Padahal di dalam hatiku, yang tidak bisa aku tolak itu adalah dirinya, Wildanku yang menggoda. Bukan makanan atau apapun, semua hanya dalih agar aku bisa terus berasa di sisinya.
Wildan terus meledekku, menggangguku sejak pagi hingga jam pulang kerja yang paling ia nantikan agar kami bisa segera ke studionya.
"Ayo cepetan!!" Wildan menarikku secepat mungkin melesat masuk ke mobilnya.
Seperti biasa, setiap kali kami berencana menghabiskan waktu di studio, aku pasti akan pulang bersamanya. Berbeda dengannya aku hanyalah orang biasa sedangkan Wildan memiliki latar belakang keluarga terpandang. Meski demikian Wildan hidup dengan rendah hati yang membuatku semakin menyukainya.
Jika ditanya apa yang aku lakukan dengannya di studio. Bisa di bilang aku hanya membagi pendapatku. Dia berkata butuh pendapat seseorang tentang komik yang tengah ia buat. Memiliki sudut pandang seorang penggila komik. Aku akhirnya membantunya dalam hal tersebut.
Bermula dari ketidak sengajaan hingga saat ini. Aku jadi semakin sering berada di studionya. Aku bersyukur saat itu tidak sengaja mendapati jika dialah yang menulis komik tersebut, takdir yang terus membawaku semakin dekat dengannya.
"Ya Tuhan, aku sangat menyukainya!" tanpa sengaja aku malah mengeluarkan suaraku. Akibat pikiranku yang hanya tertuju pada masa lalu yang manis itu.
"Ah, apa tadi?"
Wildan menyadari ketidak sengajaan yang aku ucapkan. Aku sedikit panik. Tapi, aku masih memiliki seribu alasan untuk berdalih. Sebab aku sudah ahli menyembunyikan perasaanku selama ini.
"Aku sangat suka dengan sosok Wildan. Dia menggemaskan sekali, aku tidak tahu ada manusia dengan karakter unik seperti dia."
Pada akhirnya aku hanya bisa berdalih tentang komik yang Wildan buat. Tanpa bisa mengakui jika yang aku maksud adalah tentang menyukai dirinya.
Tentu saja, apa yang aku katakan membuat Wildan semangat. Ia terus membahas ide komiknya sementara aku ikut semangat meladeninya. Karena aku suka dengan senyuman yang terus ia tunjukkan itu.
Hal itu membuatku semakin menyadari seberapa dalam perasaanku padanya. Menjadikan aku semakin takut untuk mengatakan isi hatiku yang sebenarnya pada Wildan. Jika sebenarnya aku mencintai dirinya.