Kebun Anggur

1587 Kata
Gadis itu berusaha menahan tangisnya di hadapan Elang. Namun, karena air matanya yang terus mengalir tanpa henti, hingga menimbulkan suara isakan, membuat Elang yang mendengarnya merasa bersalah, dan hendak meninggalkan Mentari, karena tak tega pada wanita yang hari ini sudah sah menjadi istrinya itu. Baru saja kaki Elang melangkah, Mentari mencekal pergelangan tangannya. “Tunggu, Mas. Kenapa saat itu Mas mengatakan bahwa Mas menyukaiku?” tanya Mentari dengan tatapannya yang dingin, namun penuh kesakitan. “Saya memang menyukai kamu, Tar. Tapi, itu hanya sebatas rasa kagum karena kamu terlihat begitu tulus menyayangi putri saya, Enzy. Hanya sebatas itu,” jawab Elang tanpa rasa bersalah. "Tapi, Mas, aku ...." "Please, Tar. Kita bahas ini lain waktu. Saya lelah sekali. Saya butuh istirahat," jawab Elang memotong kalimat Mentari, yang membuat Mentari melepaskan tangannya dari pergelangan tangan suaminya itu. Elang pun langsung pergi begitu saja meninggalkan Mentari begitu saja dan masuk ke kamarnya, tanpa menoleh sedikit pun. Sementara, Mentari jatuh terkulai lemas di atas lantai dengan tubuhnya yang masih terbalut gaun pengantin berwarna putih yang dikenakannya saat resepsi tadi. Wanita itu menangis terisak di depan pintu kamar yang telah disediakan Elang untuknya. Mentari sungguh merasa tertipu oleh Elang. Ia kira, cinta yang sudah dipendamnya selama tiga tahun ini akhirnya terbalas saat Elang memutuskan untuk melamarnya. Namun, faktanya itu semua hanyalah sebuah mimpi bagi Mentari. Pria itu menikahinya hanya untuk menjadikannya seorang ibu sambung dari putrinya, bukan karena mencintainya. Elang yang masih berada di balik pintu pun duduk di atas lantai sambil bersandar pada daun pintu saat mendengar suara isak tangis istri barunya itu. Ia sungguh merasa bersalah pada Mentari. "Maafkan aku, Mentari," gumamnya dalam batin sambil mengacak kasar dan menjambak rambutnya sendiri. Padahal beberapa hari belakangan ini, ia merasa bahwa dirinya sudah mulai bisa membuka hatinya untuk wanita itu. Namun, pada kenyataannya, saat dirinya bersanding di pelaminan bersama Mentari, bayang-bayang wajah Zhyani dan memori-memori indahnya bersama mendiang istri pertamanya itu, terus terlintas di benaknya. Dan, kepingan-kepingan memori itu membuatnya merasa bersalah jika harus tidur di ranjang yang sama dengan Mentari, apa lagi menyentuhnya. Elang sungguh belum sanggup untuk melakukan hal itu dengan Mentari. Lelah menangis, Mentari akhirnya bangkit berdiri masuk ke kamar itu, dan dengan langkah yang gontai, ia pergi ke toilet yang tersedia di kamar tersebut, untuk membersihkan tubuhnya, setelah berhasil melepas gaunnya dengan susah payah. Air mata Mentari tak hentinya mengalir di bawah derasnya percikan air shower yang membasahi rambut dan mengalir ke seluruh tubuhnya. "Kamu yang terlalu bodoh, Mentari. Mana mungkin dia mencintaimu secepat itu? Jelas-jelas, selama tiga tahun ini dia sangat cuek dan tidak pernah melirikmu sedikit pun. Bagaimana mungkin dia menyukaimu dalam waktu sesingkat ini," gumamnya lirih dengan kedua matanya yang terpejam. *** Keesokan paginya, Mentari merasakan sekujur tubuhnya yang terasa berdenyut nyeri, karena terlalu lama di dalam toilet tadi malam. Namun, ia berusaha untuk tetap melaksanakan tugasnya sebagai seorang istri dengan baik, seperti nasihat dari sang ayah saat dirinya baru saja sah menjadi istri Elang kemarin. Mentari tetap bangun pagi-pagi dan pergi ke dapur, walaupun kepalanya masih terasa berdenyut sakit. Dengan didampingi seorang asisten rumah tangga yang sudah lama bekerja di rumah kaca yang mewah itu, ia memasak dan menyiapkan makanan untuk Elang dan Enzy. Setelah ia menata makanannya di meja makan, ia pergi ke kamar Enzy untuk mengajaknya sarapan bersama. Ketika masuk ke dalam kamar Enzy yang didominasi warna pink itu, ternyata Enzy sudah mandi, dan sedang dikepang rambutnya oleh Lily, pengasuhnya. "Mama!" seru Enzy dengan kedua matanya yang berbinar saat melihat kehadiran Mentari. Panggilannya kepada Mentari telah berubah sejak satu hari sebelum pernikahan Elang dan Mentari berlangsung, karena Enzy yang bersikeras merengek pada sang papa agar mengizinkannya untuk memanggil Mentari dengan sebutan 'Mama'. "Good morning, Sayang," sapa Mentari dengan seulas senyuman manis sambil berjalan menghampirinya. "Good morning, Ma!" sahut Enzy setengah berteriak. Mentari duduk di tepi ranjang, lalu membelai sebelah pipi chubby Enzy sambil menatapnya lekat, kemudian mencium keningnya. "Hmmm, wangi sekali anak mama," ucapnya. Enzy langsung berhambur memeluknya, karena Lily sudah selesai merapikan rambutnya. "Bu, saya permisi dulu, saya belum sempat mandi tadi," pamit Lily pada Mentari. "Hemm," sahut Mentari sambil tersenyum dan mengangguk. "Terima kasih, Li," ucapnya. "Sudah tugas saya, Bu," jawab Lily yang juga mengulas senyumnya, dan berlalu pergi meninggalkan kamar Enzy. "Mama kira Enzy belum bangun. Ini kan hari libur, Sayang, kenapa Enzy bangun pagi-pagi sekali?" tanya Mentari dengan tutur katanya yang selalu lembut. "Enzy nggak sabar mau main sama Mama," jawab Enzy menatapnya lekat dengan raut wajahnya yang nampak ceria. Namun, senyuman itu seketika memudar ketika menyadari kelopak mata ibu sambungnya itu terlihat bengkak. "Mama habis nangis? Kenapa mata Mama bengkak begitu? Apa Papa Enzy yang buat Mama menangis?" tanyanya beruntun. "Enggak, Sayang. Mata mama cuma terkena busa shampo tadi pagi waktu mandi. Jadi, bengkak kayak gini deh," jawab Mentari berbohong. Karena tidak mungkin jika dirinya berterus terang pada gadis mungil itu tentang kesakitan hatinya terhadap sikap papanya. "Beneran? Mama nggak bohongin Enzy, 'kan?" cecar Enzy. Mentari mengulas senyumannya sambil menghela napas panjangnya, lalu menggelengkan kepalanya. "Hanya kebaikan anak kecil seperti Enzy yang tanpa dusta. Aku hanya perlu menjadi seorang ibu yang baik untuknya. Aku tidak ingin mengecewakan Enzy," gumamnya dalam batin sambil menatap lekat wajah Enzy. "Ya sudah, ayo kita meja makan. Mama sudah membuat sandwich kesukaan Enzy," ajaknya sambil berdiri dan mengulurkan tangannya pada Enzy. Enzy pun mengangguk dan menyambut uluran tangan Mentari. Mereka pun pergi menuju ruang makan yang ada di lantai satu rumahnya. "Mama, kenapa Papa nggak ada di sini? Apa Papa belum bangun?" tanya Enzy yang tidak melihat sosok sang papa di meja makan. "Enzy mau nggak tolong bangunin Papa di kamarnya? Perut mama sakit, mama mau ke toilet sebentar. Enzy mau, ya?" pinta Mentari yang lagi-lagi harus membohongi gadis kecil itu. Ia sungguh belum sanggup untuk berinteraksi dengan suaminya itu. "Iya, Mama. Enzy mau bangunin Papa," jawab Enzy. "Ayo, mama antar sampai depan pintu kamar Papa," kata Mentari, kemudian menuntunnya menaiki anak tangga. Setibanya di depan pintu kamar Elang, Mentari langsung bergegas turun ke lantai satu, dan bersembunyi di dalam toilet, berusaha untuk menenangkan pikirannya. Padahal saat bangun dari tidurnya tadi pagi, ia sudah memutuskan untuk bersikap seperti biasa saja pada Elang di depan Enzy. Namun, tetap saja, memikirkan bagaimana cara Elang menatap dan berbicara padanya dengan dingin seperti tadi malam, membuat dirinya benar-benar merasa gugup, dan takut. Mendengar suara Elang dan Enzy yang sedang berbincang sambil menuruni anak tangga, Mentari menarik napasnya dalam-dalam, dan mengembuskannya perlahan. Kemudian keluar dari dalam toilet yang ada di dekat dapur dan ruang makan itu, lalu duduk di ruang makan. "Mama!" teriak Enzy berlari menghampiri Mentari. Mentari pun menyambutnya dengan senyuman, lalu mencubit pelan dagunya, dan membawanya ke tempat duduk yang biasa Enzy duduki, yang berseberangan dengan tempat duduknya. "Ayo, duduk di sini," titah Mentari setelah menarik kursi untuk Enzy. "Satu buah sandwich spesial sudah mama siapkan untuk Enzy," imbuhnya dengan senyumnya yang ceria. Elang sesekali menatap sekilas wajah Mentari. "Matanya bengkak sekali, seperti habis menangis semalaman. Wajahnya pun terlihat pucat," batinnya. Mentari pun kembali duduk di kursinya. Ia memilih untuk tidak sedikit pun melirik, apa lagi menatap suaminya. Wanita itu hanya menuangkan teko yang berisi air putih ke dalam gelas Elang, tanpa bicara sepatah kata pun. "Thank you," ucap Elang sambil menatapnya. Namun, istrinya itu enggan untuk menatapnya. Mereka pun menyantap sarapan mereka dengan suasana yang hening. Hanya terdengar suara dentingan antara garpu, pisau, dan piring keramik yang mereka gunakan sebagai alat makan mereka. "Mama sama Papa bertengkar?" tanya Enzy menatap kedua orang dewasa itu bergantian setelah menghabiskan makanannya. "Hum?" sahut Mentari dan Elang serempak menatap sang putri. "Nggak, Sayang," jawab Mentari tersenyum, sedangkan Elang hanya tertegun menatap Mentari. "Kita main di taman yuk!" ajaknya pada Enzy sambil bangkit berdiri dan menghampirinya, berusaha untuk mengalihkan perhatian putri sambungnya itu. "Ayo, Mah!" sahut Enzy bersemangat. "Papa, nanti kalau sudah mandi, Papa menyusul kita ke taman, ya?" "Hemm," sahut Elang sambil mengulas senyumnya dengan mata yang mengerjap sekilas. Mentari pun langsung menuntun Enzy pergi ke taman yang berada di belakang rumah kaca itu. Sedangkan Elang memilih untuk kembali ke kamarnya. Di taman itu terdapat berbagai jenis tanaman, mulai dari bunga, sayuran, hingga buah-buahan, yang ditanam secara hidroponik di dalam ruangan kaca khusus. "Mama, aku ingin anggur," rengek Enzy saat mereka memasuki ruangan kaca yang di atasnya bergelantungan berbagai macam jenis buah anggur. Mentari menyapu pandangannya ke sekitar, mencari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk memetik buah anggur itu. Pandangannya terhenti pada sebuah tangga lipat yang ada di sudut ruangan itu. "Enzy tunggu di sini sebentar ya, Sayang," pintanya pada Enzy agar duduk di sebuah kursi yang ada di dalam sana. Wanita itu pun langsung mengambil tangga yang lumayan berat itu, dan dengan susah payah memindahkannya ke tempat yang terdapat banyak buah anggur yang tidak terlalu tinggi. Dipanjatnya tangga itu oleh Mentari dengan tubuhnya yang sedikit gemetar, karena sebenarnya ia takut dengan ketinggian. Namun, ia tetap memberanikan diri untuk memetiknya, ia tak tega melihat Enzy kecewa jika dirinya menolak untuk memetik buah itu. Karena hari ini tukang kebun yang bekerja di rumah itu sedang libur, jadi tidak ada yang bisa membantunya untuk memetikkan anggur itu. "Enzy tunggu di situ ya, Sayang. Jangan ke sini!" serunya setengah berteriak. "Iya, Mah!" sahut Enzy yang sedang duduk di kursi sambil menatapnya. Ia pun mendongakkan kepalanya dan mulai memetik anggur itu, lalu meletakkannya di keranjang kecil yang ia kaitkan di tangannya, dengan posisinya yang memunggungi Enzy. Saat keranjangnya sudah hampir penuh, ia pun mulai menundukkan kepalanya karena lehernya yang terasa pegal. Berapa terkejutnya wanita itu saat melihat ada seseorang yang sedang memegangi tangganya, hingga membuatnya kehilangan keseimbangan, dan akhirnya terjatuh. "Aaaaaakh!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN