Kesakitan Hati Mentari

1392 Kata
Enzy yang baru saja keluar dari toilet bersama pengasuhnya, seketika berbinar menyaksikan ayahnya itu sedang melamar perempuan yang sangat Enzy harapkan untuk menjadi ibu sambungnya. Gadis mungil itu berlari kecil menghampiri mereka, dan ikut berlutut di samping Elang, menatap Mentari penuh harap dengan kedua netranya yang mengembun. “Tante, Enzy mohon, menikahlah dengan Papa. Enzy hanya ingin Tante yang menjadi Mama Enzy … please,” ucap gadis mungil itu dengan penuh harapan, dan air mata yang akhirnya luruh di kedua pipi chubby-nya. Sama halnya seperti Enzy, Mentari pun menitikkan air matanya. Namun, dengan cepat ia menyeka air mata itu sambil mendongakkan wajahnya. Mentari sungguh terharu, ia tak menyangka jika pria yang selama 3 tahun terakhir ini ia cintai, tiba-tiba melamarnya seperti ini. Terlebih, Enzy ikut bersimpuh di hadapannya dengan raut wajahnya yang memelas dan membuatnya tak sanggup untuk menolaknya. Mentari turun dari ranjang itu dan berjongkok di depan Enzy. “Enzy, bisakah Tante berbicara berdua dulu dengan Papamu sebentar?” tanyanya dengan lembut sambil menangkup wajah Enzy dan menyeka air mata yang membasahi pipi chubby gadis mungil itu. “Tapi, Tante tidak akan menolaknya, ‘kan?” Enzy balik bertanya dengan kedua netranya yang masih mengembun. “Ada sesuatu hal dulu yang harus Tante tanyakan pada papamu. Jadi, Tante belum bisa memutuskannya sekarang, Sayang,” jawab Mentari seraya mengulas senyuman manisnya. Elang bangkit berdiri, “Lily, tolong jaga Enzy. Saya harus keluar sebentar bersama Mentari,” tuturnya pada baby sitter putrinya itu. “Baik, Pak,” jawab Lily. Elang mengangkat tubuh Enzy dan mendudukkannya di atas tempat tidur. “Papa bicara dengan Tante Mentari dulu sebentar ya, Sayang,” pamitnya sambil membelai rambut panjang, lebat, dan hitam legam milik sang putri. “Enzy sarapan dulu bersama Suster Lily, okay?” Gadis mungil itu pun mengangguk, “Iya, Papa,” jawabnya tersenyum sambil menatap penuh harap pada Mentari. Mentari hanya membalasnya dengan senyuman. Elang pun membawa Mentari ke taman yang berada di rumah sakit tersebut, setelah Mentari membasuh wajahnya di toilet. Kemudian mereka duduk di sebuah kursi taman yang cukup untuk diduduki dua orang. Mereka membisu beberapa saat, karena sama-sama bingung harus memulai perbincangannya dari mana. “Apa hal yang ingin kamu tanyakan?” tanya Elang yang akhirnya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. Mentari menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan sebelum menjawab pertanyaan Elang. “Apa yang sebenarnya Anda lakukan tadi, Pak?” Mentari balik bertanya. Elang mengernyitkan dahinya, “Ya saya sedang melamarmu,” jawabnya menatap bingung pada sekretarisnya itu. “Iya saya tahu, Pak. Maksud saya, apa yang membuat Anda tiba-tiba melamar seperti tadi? Apa karena permintaan Enzy, atau karena Anda ....” Mentari menghentikan kalimatnya, karena terlalu malu untuk meneruskannya. “Karena saya menyukaimu, Mentari,” jawab Elang dengan tegas, yang berhasil membuat kedua pipi Mentari memerah. Perempuan itu berdiri dan memunggungi Elang sambil melipat tangannya di d**a, berusaha menutupi rasa gugupnya. Elang pun turut bangkit dan berdiri di sampingnya, dengan kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku celananya. “Kamu bersedia kan menikah dengan saya, dan menjadi ibu sambung dari Enzy?” tanyanya lagi menatapnya penuh harap. Namun, gadis cantik itu masih membisu, dan hanya menggigit bibir atasnya. “Bagaimana, Tar? Kenapa kamu diam saja?” tanya Elang lagi. “Maaf, Pak. Saya ingin, Anda meminta restu langsung pada Ayah. Karena keputusannya ada di tangannya, aku hanya akan mengikuti keputusan Ayah. Jika beliau merestuinya, aku bersedia menikah denganmu,” jawab Mentari. “Hem, baiklah. Saya akan mengantarmu pulang sekarang, sekalian meminta restu dari Ayahmu,” jawab Elang. “Hum? Apa harus secepat itu, Pak?” tanya Mentari terkejut. “Ya! Karena saya harus secepatnya menikah denganmu,” jawab Elang lagi, tak terlihat keraguan sedikit pun dari sorot matanya. “Memangnya kenapa harus secepat itu, Pak?” tanya Mentari lagi dengan dahinya yang mengernyit. Suara Elang tercekat di tenggorokan. Ia berpikir keras, kebohongan apa lagi yang harus ia ciptakan untuk meyakinkan Mentari. Karena tidak mungkin dirinya harus menjelaskan alasan yang sesungguhnya pada gadis itu. Ia yakin, jika Mentari tahu alasan yang sebenarnya, pasti dia akan menolaknya mentah-mentah. Tadi pagi, saat ia terbangun dari tidurnya, ia mendapatkan pesan dari sang ayah, bahwa jika dirinya masih belum memperkenalkan calon istrinya, Sonya, ibu sambungnya, akan menikahkan Elang dengan Selly, keponakan dari Sonya. Itulah yang membuatnya memutuskan untuk segera melamar Mentari hari ini juga. Elang tidak akan bersedia menikah dengan pilihan Sonya, karena ibu sambungnya itu selalu berusaha untuk mengendalikannya. Jadi, sudah bisa dipastikan jika nanti Selly pun akan berusaha untuk mengendalikannya jika dirinya menikah dengan wanita itu. Ia sangat membenci ibu sambungnya itu sejak wanita itu dinikahi oleh sang ayah, satu tahun setelah kepergian ibu kandungnya. Bahkan, hal itu membuat hubungan Elang dengan ayahnya merenggang. Bagi Elang, ayahnya terlalu cepat melupakan ibu yang telah melahirkannya. Pria itu tidak pernah lagi membahas hal pribadi dengan sang ayah, selain yang berhubungan dengan pekerjaan. Ia pun yakin, Sonya lah yang sudah menghasut sang ayah untuk mengancamnya seperti ini, agar Elang bersedia untuk menikahi keponakannya itu. “S-saya … saya hanya sudah tidak sabar ingin menjadikan kamu istri saya, Mentari,” jawab Elang yang nampak sedikit gugup dengan pandangannya yang menunduk. Tentu saja jawaban Elang membuat jantung Mentari semakin berdetak tak menentu. Pipinya pun kembali memerah. Mereka pun terdiam satu sama lain. “Ayo, kita pamit pada Enzy. Saya harus segera bertemu Ayahmu,” ajak Elang. “Hem,” jawab Mentari lalu berjalan berdampingan menuju kamar rawat Enzy. Mereka pun pamit pada gadis mungil itu dan pergi ke rumah sederhana tempat Mentari tinggal. Elang langsung menyampaikan niatnya pada ayah Mentari. Karena Elang meminta pernikahan mereka di adakan satu minggu ke depan, ayah Mentari pun langsung merestuinya, sebab Elang begitu terlihat serius untuk mempersunting putri semata wayangnya. Pria itu pun langsung menghubungi Arjuna untuk memberitahu tentang rencana pernikahannya. Ayah kandungnya itu langsung merestui rencananya untuk menikahi Mentari tanpa mempedulikan latar belakang gadis itu. Baginya, yang terpenting istri Elang adalah seorang wanita yang cerdas, itu sudah cukup baginya untuk menghasilkan seorang pewaris keluarga Mahendra yang kompeten. Mentari selalu mendapatkan penghargaan karyawan terbaik di perusahaannya, karena ide-ide cemerlang yang dihasilkan gadis itu, telah berhasil membawa Elang dalam kesuksesan untuk kemajuan perusahaannya selama tiga tahun terakhir. *** Satu minggu pun berlalu. Elang dan Mentari telah resmi menikah. Namun, setelah acara pernikahan mereka usai, dibandingkan menghabiskan malam pertama mereka di kamar hotel yang telah disediakan, Elang memilih untuk membawa Mentari ke rumah miliknya, rumah dengan konsep rumah kaca yang sudah ia tinggali sekitar tujuh tahun, di saat dirinya baru menikah dengan Zhyani Indira, mendiang istri pertamanya. Baru saja masuk ke dalam rumahnya, Elang membawa Mentari ke salah satu kamar yang ada di lantai dua, kamar yang bersebelahan dengan kamarnya. “Ini kamarmu,” kata Elang dengan raut wajahnya yang dingin setelah membuka pintu kamar yang didominasi warna putih dan krem itu. Tidak ada lagi tatapan lembut untuk Mentari seperti beberapa waktu yang lalu. “Kamarku? Maksud Mas kamar kita?” tanya Mentari dengan tatapan polosnya. Panggilannya telah berubah sejak dirinya menerima lamaran pria itu, Elang yang meminta Mentari mengubah panggilannya di hadapan Abimanyu, ayah kandung Mentari. “Tidak, Tari. Ini kamarmu. Kamar saya ada di sebelah kamar ini,” jawabnya, yang langsung membuat hati Mentari berdenyut sakit. “M-maksud Mas kita pisah kamar?” tanya Mentari yang langsung mendapat anggukan dari pria yang telah sah menjadi suaminya tadi pagi. “Tapi kenapa, Mas? Kita kan sudah resmi menikah, kenapa harus pisah kamar? Bukankah sudah sewajarnya bagi suami istri untuk tidur di kamar yang sama?” Mentari mulai mencecarnya dengan penuh rasa penasaran. Kedua netranya mulai nampak berembun. “Saya tidak bisa tidur dengan wanita lain di atas ranjang yang selalu saya tiduri bersama Zhyani. Saya merasa mengkhianatinya jika saya membiarkanmu tidur di kamar kami. Sampai kapan pun, kamar itu adalah kamar saya dan Zhyani,” ujar Elang yang membuat aliran darah Mentari berdesir dan meninggalkan rasa sakit yang teramat perih di hatinya. Air matanya sudah mulai membendung dan hampir tumpah. “Tapi, aku juga sudah menjadi istrimu sekarang, Mas. Jika memang aku tidak boleh tidur di kamar itu, setidaknya Mas bisa tidur di sini bersamaku,” tutur Mentari penuh harap. “Maaf, Tari. Saya belum siap untuk menyentuhmu. Hati saya masih terpaut pada Zhyani. Rasa cinta yang saya miliki telah habis untuknya. Saya tidak bisa mencintai wanita lain selain dia,” tegas Elang yang membuat Mentari merasa seperti tersambar petir. Sontak, air matanya pun luruh di kedua pipinya tanpa permisi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN