Sakit Pinggang

1646 Kata
Tubuh Mentari pun terjatuh di atas tubuh sang suami. Beruntung pria itu segera menendang tangga itu saat Mentari terjatuh, dan dengan sigap menahan tubuh Mentari walaupun dirinya harus ikut terjatuh. Ya! Elang lah yang tengah memegangi tangga yang dinaiki Mentari. Ketika Elang memperhatikan Mentari yang tengah membawa sang putri ke taman, ia berdiri di balkon, dan memperhatikan mereka sambil tersenyum. Elang sungguh tenang melihat raut wajah Enzy yang terlihat sangat ceria sejak sarapan bersama di ruang makan. Padahal semalam Elang sempat berpikir jika sikap Mentari akan berubah pada Enzy setelah dirinya membuat Mentari sakit hati tadi malam. Namun, ternyata wanita itu tetap bersikap lembut pada Enzy seperti biasanya. Yang berubah hanyalah sikap Mentari pada dirinya, tapi tidak pada sang putri. Ketika melihat Mentari mengangkat sebuah tangga lipat dengan susah payah, tanpa berpikir panjang, Elang langsung berlari keluar dari dalam kamarnya menuju ke ruangan kaca yang terdapat berbagai macam jenis buah anggur itu. "Sssst!" Setibanya ia di depan ruang kaca itu, ia meletakkan jari telunjuknya di bibir sambil menatap Enzy, memberitahu putrinya itu agar tidak memanggilnya. Ia pun berjalan dengan mengendap-endap menuju tangga yang sudah dinaiki oleh Mentari, dan menahannya agar istri barunya itu tidak terjatuh. Mentari memejamkan matanya kuat-kuat dengan jantungnya yang berdegup kencang karena perasaannya yang campur aduk, antara takut dan terkejut. Namun, saat menyadari siapa yang ada di bawah tubuhnya sekarang, seketika ia membuka kedua matanya lebar-lebar, dan langsung bangkit berdiri. "Mama! Mama nggak apa-apa?" tanya Enzy yang tengah menatapnya sendu. "Mama baik-baik aja, Sayang," jawab Mentari tersenyum sambil membelai pipinya. "Tapi, Mama minta maaf, anggurnya tumpah semua. Nanti biar Mama petikan lagi anggurnya, ya?" Enzy menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Jangan, Mah. Aku nggak mau Mama jatuh lagi seperti tadi," tolak Enzy. "Enzy tidak mengkhawatirkan Papa, Nak?" tanya Elang dengan raut wajahnya yang memelas sambil berusaha bangkit dari posisinya. "Papa kan laki-laki. Laki-laki kan jauh lebih kuat dari pada perempuan, pasti Papa nggak merasakan sakit cuma karena jatuh seperti itu," sahut Enzy acuh. Elang tak mampu bangkit dari posisinya yang terlentang, karena merasakan sakit di bagian pinggangnya. "Akh!" pekik Elang saat otot-otot di daerah pinggang dan punggungnya terasa seperti tertarik begitu kencang sampai menimbulkan rasa sakit. "Pah!" "Mas!" Mentari dan Enzy segera menghampirinya saat mendengar Elang memekik kesakitan. Kedua perempuan itu pun seketika berlutut di kedua sisi Elang. "Pinggang dan punggung saya sakit sekali, Tar. Tolong bantu saya bangun," pinta Elang memelas. Mentari pun memilih untuk mengesampingkan egonya terlebih dahulu, dan membantu Elang untuk bangkit berdiri. Setelah berhasil berdiri, Elang tidak bisa berdiri tegak dan memegangi pinggangnya yang terasa sakit. Menyadari itu, Mentari menghela napas panjangnya. "Ayo kita ke rumah sakit," ajaknya. "Tidak, Tar. Tolong antar aku ke kamar saja," tutur Elang. Lagi, Mentari hanya menghela napasnya, lalu membantu Elang berjalan menuju kamarnya, dengan meletakkan sebelah tangan Elang di bahunya, dan memapahnya berjalan. "Ayo, Sayang, kita antar Papamu ke kamarnya," ajak Mentari pada Enzy. "Iya, Mama," sahut Enzy lalu berjalan di samping Mentari. Setibanya di ruang tamu, seorang kepala asisten rumah tangga di rumah itu yang berusia paruh baya, datang menghampirinya. "Ya ampun! Tuan kenapa?" tanyanya dengan panik sambil menghampirinya. "Tidak apa-apa, Bi. Tadi hanya jatuh," jawab Elang. "Oh ya, Mang Dadang ke mana, Bi? Kenapa dia tidak ada di kebun?" Ia balik bertanya. "Mang Dadang kan izin tidak masuk tiga hari, Tuan. Dia mau menikahkan anaknya," jawab Bi Surti. "Oh ya, saya lupa. Tolong carikan satu lagi tukang kebun, Bi. Saya tidak mau melihat istri saya memanjat sendiri hanya untuk mengambil anggur," titah Elang. Mentari tersenyum miring, "Istri? Apa kepalanya tadi terbentur? Atau mungkin lidahnya yang keseleo?" batinnya menggerutu seraya memutar bola mata. Elang melirik dan memperhatikan raut wajah Mentari yang terlihat masam dan sinis. "Hah? Non Mentari memanjat?" pekik Bi Surti menatap Mentari. Mentari tersenyum, "Hanya memetik anggur yang nggak terlalu tinggi kok, Bi," jawabnya ramah. "Lain kali kalau Mang Dadang sedang tidak ada, minta tolong Bibi atau Siti saja, Non," tutur Bi Surti. Mentari hanya mengangguk kecil sambil mengulas senyum manisnya. "Ayo antar aku ke kamar, pinggangku sakit sekali," ajak Elang. "Hemm," sahut Mentari kembali dengan raut wajahnya yang dingin. Mereka pun kembali melanjutkan langkah kakinya menaiki anak tangga menuju kamar Elang. Setibanya di depan kamar Elang, Mentari melepaskan tangan Elang dari bahunya, yang langsung mendapat tatapan tajam dari Elang. "Kenapa? Anda bisa masuk sendiri, 'kan?" tanya Mentari ketus. Elang hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Dengan terpaksa, Mentari kembali memapahnya, dan masuk ke kamar Elang. Berapa sakit hatinya saat melihat sebuah pigura besar foto pernikahan Elang dan Zhyani yang terpasang di dinding kamar itu. Kedua netranya mulai mengembun, namun ia berusaha keras menahan perasaannya agar air mata itu tak tumpah di depan Elang. Tidak hanya satu foto mereka yang terpasang di kamar itu, bahkan di atas nakas, dan hampir di setiap sudut kamarnya terdapat beberapa pigura foto lainnya yang terlihat sangat mesra. Setelah membantu Elang duduk di atas ranjangnya, Mentari pun memilih untuk langsung meninggalkan Elang sendirian di kamarnya tanpa sepatah kata pun, kemudian pergi ke kamarnya. Elang hanya bisa menghela napas setelah kepergian Mentari. Entah mengapa, hatinya merasa tidak nyaman, dan terasa sedikit perih karena sikap Mentari yang dingin dan ketus terhadapnya. "Aku pasti sudah sangat menyakiti hatinya," gumamnya tersenyum sangat tipis, lalu menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Sedangkan Mentari hanya bisa menumpahkan semua rasa sakit yang dirasakannya di dalam kamarnya. "Andai cinta bisa memilih dan aku tahu jika mencintaimu akan sesakit ini, rasanya lebih baik aku tidak memiliki perasaan ini sejak awal kepadamu, Mas," batin Mentari perih. "Ya Tuhan, apa bisa aku mempertahankan rumah tangga ini, jika dia sendiri tidak bersedia membuka hatinya untuk menerimaku?" lirihnya menangis terisak. Tiga puluh menit berselang, tibalah Sakti, saudara sepupu Elang yang berprofesi sebagai seorang dokter, dan baru saja pulang dari pendidikannya di negeri Paman Sam, di Johns Hopkins University. Bi Surti langsung mengantarnya ke kamar Elang. Sakti pun langsung masuk ke kamar Elang begitu sang empunya kamar itu mempersilakannya untuk masuk. "Hei, Brother!" sapanya dengan wajahnya yang tengil, lalu menyapu pandangannya ke sekitar, menatap satu persatu pigura foto Elang dan Zhyani, sama seperti yang Mentari lakukan tadi. "Bang, bukannya kemarin lo habis merried, kenapa di kamar ini isinya masih foto lo sama Kak Zhyani semua?" tanyanya dengan alisnya yang hampir menyatu. "Terus, mana istri baru lo?" Sakti belum mengetahui siapa istri baru dari saudaranya itu, karena pesawatnya baru saja tiba jam 1 malam. Sakti adalah satu-satunya saudara Elang yang memiliki hubungan baik dengan Elang. Dia adalah anak dari adiknya ibu kandung Elang. Elang menghela napasnya dengan berat, "Dia di kamar sebelah," jawab Elang. "Maksud lo, kalian pisah kamar?" tanya Sakti lagi yang langsung mendapat anggukan dari Elang. Sakti berdecak sambil menggelengkan kepalanya, "Wajar sih kalo istri baru lo nggak mau tinggal di kamar ini. Gue nggak bisa bayangin deh, gimana sakit hatinya istri lo itu," tuturnya. "Gue yang minta dia tinggal di kamar sebelah," jawab Elang. "Woah! Sumpah, Bang. Lo gila! Inget, Bang, lo punya anak perempuan, sakit nggak hati lo kalo nanti Enzy diperlakukan kayak gitu sama suaminya?" cerocos Sakti yang mulai habis kesabaran akan kebodohan saudara sepupunya itu. "Lo jangan bawa-bawa Enzy, gue nggak akan lah biarin dia disakitin suaminya," sungut Elang yang tak terima akan perkataan Sakti. "Heh inget, Bang. Hukum karma itu berlaku! Kalo lo nggak mau anak lo disakitin, ya lo jangan nyakitin cewek! Lagian ngapain juga lo merried kalo lo belum bisa move on dari Kak Zhyani," balas Sakti yang tak kalah kesal. Akhirnya Elang menceritakan semuanya pada Sakti, tentang alasan kenapa dirinya menikahi sekretarisnya. Sejak dulu, hanya pada Sakti lah Elang mau terbuka mengenai kehidupan pribadinya. Bagi Elang, Sakti sudah ia anggap seperti adik kandungnya. Sakti hanya bisa menghela napas setelah mendengar semua penjelasan Elang. "Ya udah, sini gue periksa dulu lo," kata Sakti sambil mengeluarkan stetoskop dari dalam tasnya. "Ngapain lo ngeluarin itu? Yang sakit pinggang gue, bukan jantung gue," protes Elang. "Dih, siapa bilang gue mau periksa jantung lo? Gue mau periksa otak lo, Bang. Feeling gue mengatakan, kayaknya otak lo agak geser deh," sahut Sakti. "Sial lo!" sungut Elang. "Lagian lo kalo sakit pinggang tuh larinya ke rumah sakit ke dokter spesialis ortopedi, bukan ke gue. Gue mah spesialis saraf," gerutu Sakti. "Males gue, paling nanti minum obat pereda nyeri juga hilang sakitnya," sahut Elang. "Lo kenapa bisa sakit pinggang kayak gini, Bang? Jangan bilang lo abis gempur istri baru lo tadi malem? Katanya nggak suka, tapi lo gempur juga, parah sih emang lo tuh, Bang. Kasian banget gue sama tuh cewek," cibir Sakti yang langsung mendapat pukulan di kepalanya dari Elang. "Otak lo tuh yang geser, mana mungkin gue sentuh perempuan yang nggak gue cinta. Emang gue player macem lo," sungut Elang lagi. "Dih, itu mah dulu ya. Sekarang gue udah berubah semenjak ketemu cewek yang berhasil bikin gue tobat. Gue udah balik nih, mulai besok gue bakal cari dia, dan gue bakal lamar dia," balas Sakti. "Kalau ternyata dia udah merried gimana?" goda Elang yang berhasil membuat Sakti kesal. "Seminggu yang lalu gue telfon suster yang selama ini nanganin ayahnya, katanya dia masih belum punya suami kok, dia selalu datang berdua doang sama ayahnya," jawab Sakti. "Syukurlah kalau gitu. Good luck, Brother," balas Elang. "Hemm ... ya udah nih lo minum obatnya." Sakti memberikan dua butir obat ke telapak tangan Elang. "Loh kok langsung ada obatnya?" "Iya, tadi gue mampir ke apotek pas perjalanan ke sini," sahut Sakti. "Gue langsung cabut ya, Bang. Gue masih jet lag nih, mau tidur dulu sebelum besok nemuin pujaan hati, hahay," pamit pria bergaya dandy itu dengan modenya yang selengean. "Cih." Elang berdecih, lalu terkekeh sambil menggelengkan kepalanya. Sakti pun langsung keluar dari dalam kamar Elang dan tak sengaja menabrak Mentari yang tengah melewati kamar Elang saat baru saja keluar dari kamarnya. "Sorry sorry!" ucap Sakti saat meraih ponsel Mentari yang terjatuh di atas lantai karena ditabraknya tadi. "Ini HP-nya." Sakti memberikan ponsel itu, lalu menatap wajah Mentari. Tatapan mereka pun bertemu. "K-kamu?" ucapnya saat menyadari siapa wanita yang ada di hadapannya itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN