Mentari kembali meneguk air putih untuk melegakan tenggorokannya yang tercekat karena pertanyaan Elang yang tiba-tiba.
“Ke-kenapa Anda tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa karena permintaan Enzy tadi?” tanya Mentari dengan gugup. Namun, sorot matanya dipenuhi rasa penasaran.
Elang yang merasa gugup pun meraih gelas yang berisi air putih dan meneguknya, untuk meredakan perasaannya yang tiba-tiba terasa menggelitik di hatinya.
Pria itu sungguh tidak mengerti kenapa tiba-tiba jantungnya berdetak lebih cepat, seolah ia sedang jatuh cinta pada gadis di hadapannya itu.
“Apa mungkin aku memiliki perasaan padanya?” batinnya bergumam sambil menatap lamat gadis itu. Namun, dengan segera ia menepisnya, dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia hanya mencintai mendiang istrinya.
“Pak?” Mentari mengibaskan pelan telapak tangannya di depan wajah Elang, berusaha menyadarkan Elang dari lamunannya.
“Hum?” sahut Elang yang mulai tersadar. “Maaf. Lupakan saja ucapan saya tadi. Saya hanya asal bicara,” tuturnya dengan sikapnya yang kembali dingin dan datar.
Hati Mentari kali ini berdenyut nyeri, seolah harapan yang baru saja ada di benaknya, terpatahkan oleh dua kalimat terakhir yang diucapkan bosnya itu.
Gadis itu tersenyum tipis, sangat tipis dan terlihat kaku. Kekecewaan tersirat jelas pada raut wajahnya saat ini.
Elang melanjutkan menyantap makanannya, sedangkan Mentari pamit pergi ke toilet, karena sudah tak tahan lagi menahan air matanya yang sudah membendung.
Di dalam toilet, ia menumpahkan semua air matanya yang sudah membendung.
“Bodoh sekali aku bisa berpikir dia menyukaiku? Mana mungkin, Mentari? It’s impossible! Dia terlalu sempurna untukmu.” Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam batin sambil tersenyum getir.
“Tenang, Tar, tenang. Kamu hanya perlu bersikap profesional seperti biasanya dan jangan pernah mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah bisa kamu dapatkan!” gumamnya lagi dalam batin sebelum akhirnya ia memutuskan untuk keluar dari toilet setelah selesai touch up bedak dan lipstik di wajah dan bibir tipisnya, untuk menutupi bekas sisa-sisa air matanya.
Gadis cantik itu pun kembali duduk di kursinya, dan ternyata Elang sudah menghabiskan makanannya.
“Kamu lanjutkan makannya, saya juga ingin ke toilet,” pamit Elang yang sudah bangkit berdiri dan beranjak pergi.
Mentari hanya mengangguk kecil sebagai jawaban.
Ditatapnya punggung lelaki yang sudah mengisi hatinya selama 3 tahun terakhir itu, selama ia bekerja di Orion Construction.
“Eh, gila! Itu cowok perfect banget sih! Husband material, seksi banget ya ampun. Walaupun dia duda gue mau deh sama dia. Gue yakin, pasti perutnya kayak roti sobek deh. Gak kebayang gimana hot-nya doi kalo lagi di ranjang,” seru seorang wanita yang duduk tak jauh dari meja Mentari dan Elang.
Ketiga wanita yang juga sedang makan siang di satu meja yang sama itu, memang sudah sejak tadi terus menatap Elang. Siapa yang tak terpesona dengan parasnya yang rupawan, juga tubuhnya yang gagah dan tegap, membuatnya terlihat sangat sempurna di mata para wanita.
“Heh, bisa dijahit gak mulut lo itu? Itu ada pacarnya juga, dilabrak baru tau lo!” omel salah satu perempuan itu berbisik yang masih bisa didengar oleh Mentari. Namun, Mentari memilih untuk menulikan telinganya.
“Emang pacarnya, ya? Kayaknya bukan deh. Mereka tadi ngomongnya formal kok. Palingan juga asisten atau sekretarisnya,” sahut perempuan lainnya yang berambut pendek.
Mendengar percakapan ketiga perempuan itu, Mentari hanya membisu sambil menundukkan pandangannya, “Benar kata mereka, Tar. Kamu itu cuma sekretarisnya. Jangan berharap lebih sama Pak Elang,” gumamnya dalam batin.
“Mentari,” panggil Elang yang baru saja kembali dari toilet dan sudah duduk di kursinya.
“Hum?” Mentari seketika mendongakkan wajahnya menatap pria itu penuh tanya.
“Kenapa tidak dimakan?” tanya Elang saat melihat nasi di atas piring Mentari masih utuh.
Sontak, Mentari pun beralih menatap piring di hadapannya, lalu kembali menatap Elang.
“S-saya diet, Pak,” bohong Mentari mengulas senyumnya yang kikuk.
“Diet? Untuk apa diet? Badanmu saja sudah kecil seperti itu. Justru badanmu itu akan lebih bagus jika sedikit berisi. Kamu itu terlalu kurus, Tari,” cetus Elang yang membuat Mentari merasa malu padanya. Gadis itu hanya tersenyum tipis dan kembali menundukkan pandangan. “Cepat habiskan makanannya. Kita harus kembali lagi ke kamar Enzy. Pasti dia sudah terbangun sekarang,” titah Elang.
“Tidak, Pak. Perutku sedang tidak enak,” jawab Mentari.
“Ya sudah,” sahut Elang yang sudah tidak ingin memaksa Mentari lagi.
Ia pun mengangkat tangannya memanggil seorang pelayan untuk meminta tagihannya, lalu memberikannya sebuah kartu debit berwarna hitam, yang hanya dimiliki oleh para milyarder.
Seorang wanita bertubuh sintal yang sejak tadi memperhatikan Elang, memberanikan diri menghampirinya.
“Permisi, aku Margaretha. Apa aku boleh minta nomer ponsel kamu? Atau sosial media kamu maybe?” tanyanya pada Elang.
Pria itu hanya meliriknya sekilas dengan tatapan dan raut wajahnya yang dingin dan datar. Tak ada sepatah kata pun darinya yang menjawab sapaan wanita itu.
Elang hanya bangkit dari kursinya dan menghampiri Mentari sambil mengulurkan tangannya.
“Ayo, Sayang. Kita pulang,” ajaknya pada Mentari yang tengah mendongakkan wajahnya sambil menatap heran dengan dahi yang mengernyit.
Elang mengerjapkan kedua matanya sebagai jawaban, untuk menjawab kebingungan Mentari.
Gadis itu bangkit dari kursinya sambil merapikan rok-nya yang terlihat sedikit kusut, lalu menyambut uluran tangan Elang.
Mentari sudah tidak heran dengan perlakuan Elang sekarang, karena Elang memang sering bersandiwara seolah-olah Mentari adalah kekasihnya, setiap kali ada wanita yang menghampirinya untuk mengajaknya berkenalan seperti sekarang ini.
“Oh, dia pacar kamu ternyata?” tanya wanita yang bernama Margaretha itu.
“Dia istri saya,” sahut Elang yang akhirnya menjawab pertanyaan perempuan cantik dan seksi itu, tatapan dan nada suaranya masih dingin dan datar.
Sekali lagi, pernyataan Elang membuat Mentari membelalakkan matanya, suaranya pun tercekat di tenggorokan dengan kepala yang menoleh pada Elang. Terlebih, telapak tangan Elang yang hampir dua kali lebih besar darinya itu, sedang menggenggam jemarinya sekarang. Karena kali ini Elang mengatakan dia adalah istrinya di depan wanita cantik bertubuh sintal yang sedang menggodanya itu.
Hangat, nyaman, dan berdebar, itulah yang dirasakan Mentari saat ini, saat merasakan genggaman tangan Elang yang terasa begitu nyaman baginya. Jantungnya yang sedang berdebar dan berdetak tak beraturan, terasa seperti ingin melompat dari tempatnya.
Pesona hot duda beranak satu itu, memang selalu berhasil memikat para wanita yang ada di sekitarnya.
Tak hanya sekali ini ada wanita yang menghampirinya hanya untuk sekedar meminta berkenalan.
Margaretha dan kedua temannya itu nampak menyusuri pandangannya dari ujung kepala hingga ujung kaki Mentari. Menelisik pakaian, tas, high heels, dan juga jam tangan yang Mentari kenakan, lalu membandingkannya dengan apa yang dipakai Elang.
“Ternyata tipe kamu yang sederhana, ya,” cetus Margaretha dengan tatapannya yang terlihat merendahkan Mentari, karena menyadari apa yang dikenakan Mentari bukanlah barang-barang branded seperti apa yang dikenakan Elang.
“Ya! Saya memang suka dengan wanita yang sederhana, tidak berpakaian terbuka, dan yang paling penting, dia tidak pernah mengajak seorang lelaki berkenalan, apa lagi meminta nomer ponselnya lebih dulu,” jawab Elang menyindir wanita itu. Kemudian membawa Mentari pergi dari tempat itu, setelah pelayan tadi mengembalikan kartu debit miliknya.
Kedua mata Margaretha terbelalak, lalu menghentakkan kakinya, kesal mendengar perkataan Elang yang terdengar seperti cibiran untuknya. Sedangkan kedua temannya mengulum bibirnya, berusaha menahan tawa.
Elang langsung membawa Mentari kembali ke rumah sakit tempat sang putri dirawat, yang berada tak jauh dari resto tempat mereka makan tadi.
Mereka kembali ke rumah sakit dengan berjalan kaki.
“Kamu pasti lelah sudah menjaga putriku sejak tadi siang, lebih baik kamu pulang saja. Saya akan meminta Pak Andri untuk mengantarmu pulang,” tutur Elang saat tiba di depan pintu lobi rumah sakit.
“Tapi saya boleh pamit dulu pada Enzy, Pak? Saya takut dia kecewa jika saya pergi begitu saja tanpa pamit padanya,” jawab Mentari.
“Hem, baiklah,” sahut Elang.
Setibanya di ruang rawat VIP, Enzy sudah terbangun dari tidurnya, dan sedang mengerucutkan bibirnya. Namun, senyumnya seketika mengembang saat melihat sosok Mentari yang muncul dari balik punggung sang papa.
“Enzy kira Tante pulang,” ucap Enzy dengan raut wajahnya yang begitu ceria. Wajahnya sudah tidak pucat lagi seperti sebelumnya.
“Ini Tante Mentari ingin pamit pulang padamu, Sayang,” tutur Elang yang berhasil membuat putrinya itu kembali mengerucutkan bibirnya dengan kedua netranya yang mengembun.
“Tante, jangan pulang, tolong temani Enzy di sini, please.” Enzy memohon dengan penuh harap.
Mentari menatap Elang penuh tanya, ia bingung harus menjawab apa.
“Sayang, Tante Mentari harus pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Di sini kan ada Papa yang akan menemani Enzy,” tutur Elang berusaha membujuk sang putri agar tidak menahan kepulangan Mentari.
Enzy tak menjawab, hanya ada suara isak tangis yang terdengar dari putri semata wayangnya itu.
Elang menggaruk pelipisnya yang tak gatal. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara untuk membujuk putrinya.
“Tidak apa, Pak, jika saya menginap di sini untuk menemani Enzy?” tanya Mentari sambil menggigit bibir bawahnya.
Mendengar pertanyaan Mentari, Enzy seketika menghentikan tangisnya, dan menghapus air matanya, lalu menatap Elang penuh harap. Berharap papanya itu tidak melarang Mentari.
Elang menghela napasnya, “Memangnya Ayahmu mengizinkan?” tanyanya.
“Saya bisa meminta izin pada Ayah saya melalui telfon. Saya sering bercerita tentang Enzy. Jadi, saya yakin ayah pasti tidak masalah jika saya menginap di sini untuk menemani Enzy,” tutur Mentari.
“Ya sudah. Nanti kamu tidur di sofa saja,” kata Elang pasrah. Lalu, beranjak pergi ke toilet. Pria itu tidak tega melihat raut wajah putrinya yang menaruh harapan besar padanya.
Mentari mengangguk kecil sambil tersenyum, lalu mulai bercanda gurau dengan Enzy setelah meminta izin pada ayahnya melalui panggilan video.
Elang keluar dari ruangan itu sebentar, ingin membeli beberapa camilan untuk Mentari. Sedangkan suster Lily, perawat yang mengasuh Enzy, Elang memintanya untuk pulang saja ke rumahnya.
Sepulangnya ia dari minimarket, Mentari sudah tertidur di atas ranjang Enzy sambil memeluk putrinya itu. Namun, Mentari menggunakan selimut yang disediakan pihak rumah sakit hanya untuk Enzy. Sedangkan dirinya terlihat meringkuk kedinginan.
Menyadari itu, Elang membuka jas-nya dan ia gunakan untuk menyelimuti tubuh sekretarisnya itu. Tanpa disadari, ia mengulas senyum melihat pemandangan indah di depan matanya itu. Namun, lagi-lagi seketika senyuman itu memudar karena teringat mendiang istrinya.
***
Pagi hari, ketika terbangun dari tidurnya, Mentari terkejut melihat Elang yang sedang menatapnya lekat.
“P-pak Elang? Sejak kapan Anda menatapku seperti itu?”
Alih-alih menjawabnya, pria itu justru berlutut di sisi ranjang sambil memegang sebuah kotak perhiasan kecil berwarna merah yang berisikan sebuah cincin berlian yang terlihat sangat manis karena desainnya yang simple namun tetap menonjolkan keindahannya, saat Mentari hendak turun dari tempat tidur Enzy.
“Will you marry me, Mentari?” ucapnya yang membuat Mentari seketika membelalakkan kedua matanya.