Sepanjang pertemuannya dengan orang-orang penting yang tadi disebutkan Mentari, Elang banyak melamun karena memikirkan tentang apakah menikahi Mentari adalah keputusan yang tepat untuknya. Dan, bagaimana cara mengatakannya pada gadis itu.
Apakah gadis itu akan bersedia menikah dengannya tanpa cinta? Atau, apakah dirinya harus berpura-pura mencintainya agar Mentari mau menikah dengannya? Itulah yang membuat dilema dan menjadi beban pikirannya sekarang.
Setelah selesai dengan pertemuan itu, Elang langsung menghubungi Mentari.
“Hallo, Pak,” jawab Mentari dari seberang teleponnya.
“Bagaimana keadaan Enzy?” tanya Elang to the point pada sekretarisnya itu.
“Enzy baik-baik saja, Pak. Tapi, kata dokter yang menanganinya, Enzy harus di infus dulu agar tubuhnya tidak terlalu lemah,” jelas Mentari.
“Baiklah, kirimkan nomer kamarnya,” kata Elang.
“Baik, Pak.”
Mentari pun langsung mengirimkan nomer kamar yang ditempati Enzy via pesan, yang tentunya adalah ruangan dengan kelas VIP di rumah sakit tersebut.
Setibanya di depan pintu kamar VIP tersebut, Elang sengaja meneliti interaksi Mentari dengan putrinya dari balik kaca pintu.
Terlihat Mentari yang sedang menyuapi makan pada putrinya. Enzy pun menurut pada Mentari dan makan dengan lahap. Bahkan, sayuran yang biasanya enggan untuk dimakan oleh Enzy pun, habis tak tersisa.
Dengan begitu telaten, Mentari menyeka sudut bibir Enzy yang berantakan oleh sisa-sisa makanan dengan ibu jarinya, tanpa sehelai tisu ataupun serbet. Membuat Elang tersenyum tipis tanpa sadar saat melihatnya.
Elang pun membuka pintunya dan menghampiri Enzy yang tengah mengulas senyumnya pada Mentari. Namun, saat melihat kehadiran sang papa, raut wajahnya berubah drastis. Tidak seceria seperti sebelumnya.
Mentari beranjak dari kursi lipat besi yang didudukinya, mempersilakan Elang untuk duduk di sana.
“Saya izin ke toilet, Pak,” pamit Mentari yang sengaja membiarkan Elang untuk berbicara dengan putri semata wayangnya.
“Hum, silakan,” sahut Elang tanpa menatapnya, hanya fokus menatap sang putri yang tak mau menatapnya.
Elang meraih jemari mungil sang putri. Namun, ditepis kasar oleh putrinya itu.
“Enzy marah sama papa?” Elang menanyakan hal yang tidak seharusnya dipertanyakan. Karena dari raut wajahnya saja sudah sangat terlihat jelas jika putrinya itu tengah marah kepadanya.
“Enzy mau papa melakukan apa supaya Enzy bersedia untuk memaafkan papa? Enzy mau boneka Barbie lagi? Atau mau tablet series terbaru?” Elang mencoba memberikan penawaran karena putrinya itu tidak kunjung menjawabnya, bahkan untuk sekedar menoleh pun enggan Enzy lakukan.
“Aku tidak mau semua itu. Sudah terlalu banyak boneka Barbie-ku di lemari. Tablet juga aku jarang menggunakannya,” jawab Enzy dengan ketus yang akhirnya menyahuti sang papa.
“Lalu, Enzy mau apa? Apa pun akan papa kabulkan asal Enzy mau memaafkan papa,” bujuk Elang lagi.
“Benarkah?” Enzy memastikan perkataan Elang sambil memicingkan matanya.
“Iya, Sayang. Apa pun akan papa kabulkan. Papa janji,” jawab Elang tanpa ragu sambil membelai sebelah pipi chubby-nya dengan ibu jari.
Enzy mengacungkan jari kelingkingnya untuk mengikat janji sang papa padanya. Tanpa berpikir panjang, Elang pun mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Enzy yang mungil.
Akhirnya, senyuman bahagia terbit di wajah Enzy.
“Kenapa Enzy terlihat bahagia sekali?” tanya Elang yang menyadari perubahan drastis raut wajah sang putri. Namun, Enzy hanya menunjukan barisan gigi putihnya yang rapi seperti kuda.
Elang mengernyitkan dahinya, “Apa yang sebenarnya Enzy inginkan?” tanyanya menatap penuh curiga.
“Enzy mau, Tante Mentari menjadi mama Enzy!” seru Enzy mengatakannya dengan tegas pada sang papa sambil menyilangkan kedua tangannya di d**a.
“What’s?” pekik Elang yang mendengar permintaan mengejutkan dari sang putri. “Maksudnya, Enzy mau papa menikahi Tante Mentari?” tanyanya lagi memastikan.
Enzy mengangguk dengan bersemangat.
Mentari yang baru keluar dari pintu kamar mandi pun terkejut saat mendengar permintaan Enzy hingga menjatuhkan botol pembersih wajah yang tengah dipegangnya. Membuat Enzy dan Elang seketika menoleh saat melihat Mentari yang sedang mematung di depan pintu toilet.
Mentari berlutut dan mengambil kembali botol pencuci wajah itu. Dengan gugup, ia melangkahkan kakinya menghampiri tas selempang miliknya yang ia letakkan di sofa dan duduk di sana dengan kepala menunduk.
“Tante Mentari!” panggil Enzy dengan senyumannya yang manis.
“Iya, Sayang?” sahut Mentari yang baru saja duduk di atas sofa dengan senyum simpul yang terulas di wajah cantiknya.
“Bisa ke sini sebentar?” pinta Enzy menatapnya penuh harap.
Tak kuasa menolak permintaan gadis mungil itu, Mentari pun bangkit dari duduknya, dan berjalan menghampiri ayah dan anak itu sambil menggigit bibir bawahnya karena gugup.
“Tante, apa Tante mau menikah dengan Papa dan menjadi Mamaku?” tanya Enzy dengan kedua matanya yang berbinar. Mentari bisa melihat harapan yang begitu besar terpancar dari sorot mata anak manis itu.
Mentari tersenyum tipis, lalu menghela napas panjangnya.
Elang hanya menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa malu atas pertanyaan yang diajukan sang putri pada sekretarisnya itu.
“Sayang, untuk menikah itu tidak mudah seperti yang Enzy pikirkan. Pernikahan harus disertai rasa cinta dari yang menjalaninya. Sedangkan Tante dan Papamu hanya sebatas seorang Bos dan sekretarisnya, tidak mungkin kami menikah,” tutur Mentari mencoba memberikan pengertian pada Enzy sambil menggenggam tangan mungilnya.
Elang yang mendengarnya pun merasa kagum mendengar Mentari yang menjelaskannya dengan tutur katanya yang begitu lembut pada sang putri.
Enzy menghela napas panjangnya dengan bibirnya yang mengerucut.
“Padahal Enzy lihat Tante sepertinya menyukai Papa. Karena Tante selalu perhatian pada Papa. Tante sering membetulkan dasi Papa jika dasi Papa terlihat miring. Tante juga sering membawakan Papa makanan jika Papa lupa makan saat Tante harus bekerja di rumah kami, dan aku juga bisa merasakan jika Tante sangat menyayangiku,” ujar Enzy sambil menundukkan pandangannya.
“Enzy, lebih baik Enzy sekarang tidur. Papa ingin mengajak Tante Mentari makan di luar sebentar, boleh? Kasihan Tante Mentari pasti belum makan sejak tadi siang karena sibuk merawatmu.” Elang mencoba membujuk sang putri agar tidak terus menyudutkan posisi Mentari.
“Baiklah. Aku akan tidur, Pah. Papa belikan makanan yang enak untuk Tante Mentari, ya!”
Elang tersenyum, “Iya, Sayang,” sahutnya lembut sambil menjawil ujung hidungnya.
Pria yang terkenal dengan sikapnya yang selalu dingin dan tegas pada semua orang itu, terutama pada kaum hawa, hanya bersikap lembut dan hangat pada putri semata wayangnya, juga mendiang sang istri tentunya.
Setelah Enzy tertidur, Elang menitipkan Enzy pada pengasuh yang selama ini mengasuhnya. Ia pun langsung mengajak Mentari untuk makan di sebuah resto yang dekat dengan rumah sakit tempat Enzy dirawat.
“Mentari,” ucap Elang menatap lekat gadis itu saat sedang menyantap makanannya. Namun, tatapannya masih dingin seperti kulkas.
“Hum? Iya, Pak? Ada apa?” tanya Mentari yang menghentikan makannya. Namun, masih mengunyahnya.
“Apa kamu sudah memiliki kekasih?” tanya Elang tiba-tiba yang berhasil membuat Mentari terbatuk-batuk karena tersedak makanan yang masih ia kunyah. Bahkan ujung lidahnya pun tergigit saking terkejutnya.
Pasalnya, bosnya itu sangat anti pati membahas hal pribadi dengan pegawainya.
Mentari terbatuk-batuk karena terkejut dan tersedak makanannya. Elang pun segera membukakan tutup botol air mineral dan memberikannya pada Mentari.
Gadis itu pun menerimanya dan meneguknya hingga tenggorokannya merasa lebih lega. Kemudian ia menyeka sudut bibirnya dengan serbet yang ada di sisi piringnya.
“Tidak biasanya Anda membahas hal pribadi dengan saya, Pak?” tanya Mentari menatapnya penuh penasaran.
“Saya hanya bertanya, kamu kan tinggal jawab saja. Kenapa malah balik bertanya.” Elang mulai menatapnya dengan tatapan kesal.
Pria itu sungguh tidak suka jika Mentari membantahnya.
“Mana sempat saya pacaran, Pak. Kan sebentar-sebentar Anda menghubungi saya. Minta inilah minta itulah. Suru ke sini lah suru ke sana lah. Mana ada waktu untuk pacaran,” jawab Mentari.
“Tapi kan setiap weekend kamu libur, saya tidak pernah mengganggu waktumu di hari libur. Bisa saja kamu ngedate saat hari Sabtu atau Minggu,” timpal Elang.
Mentari tersenyum simpul, lalu menghela napasnya panjang.
“Setiap hari libur, waktunya saya untuk menemani ayah terapi, Pak,” jawab Mentari lagi.
“Terapi? Memang ayahmu sakit apa?” Elang mulai ingin tahu tentang Mentari.
“Stroke. Sudah enam bulan belakangan ini sebelah badannya tidak bisa digerakkan. Maka dari itu, setiap Sabtu saya menemaninya terapi ke rumah sakit.”
“Lalu, apa ada perubahan?”
“Ya, sekarang sudah lebih baik, Pak. Ayah sudah bisa berbicara dengan jelas, hanya tinggal sebelah kakinya saja yang belum bisa digerakkan.”
“Oh, syukurlah,” balas Elang menghela napas panjang.
Keheningan pun memenuhi meja tempat mereka menyantap makanannya.
“Mentari,” panggil Elang dengan suaranya yang pelan, namun cukup untuk memecah keheningan yang tercipta di antara mereka.
“Iya, Pak?” sahut Mentari.
“Apa kamu bersedia menikah dengan saya?” tanya Elang tiba-tiba yang membuat jantung Mentari seolah keluar dari tempatnya, karena rasa berdebar yang tak karuan. Kedua mata indahnya pun terbuka sempurna.