Saat senja kembali tiba, Rey memimpin anak-anaknya mengaji bersama
hingga adzan maghrib terdengar dan merekapun bubar menuju surau di samping rumah. Mereka berbondong mengadu cinta dengan Sang pemilik cinta.
Rakaat demi rakaat dilaluinya bersama dengan panduan imam mereka tunduk
bersama dengan gerakan seirama. Hingga usai tiga rakaat terlampaui sudah.
Rey tengadah dalam tumpukan pinta di pusaran do’anya, semua keluh dan rasa
syukur tumpah ruah disana. Bagi Rey hanya Tuhanlah pemilik kekuatan yang akan dengan setia mendengarkan semua pituturnya. Tuhan tak pernah mengingkari janjiNya terlebih pada hambanya yang menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Rey terus berdoa hingga adzan maghrib berganti isya’. Hingga mereka semua
berjalan menuju rumah menyelesaikan tugas mereka masing-masing sampai terlelap.
Rey menatap Muza dengan tubuh mungilnya,
“Kasihan kamu, nak” desis Rey dari bibirnya.
Muza masih sakit dan Rey hanya memberikan paracetamol saja padanya.
Karena ia belum berani membawa Muza ke Rumah Sakit, khawatir seperti biasa
Muza akan diminta untuk rawat inap disana.
Diluar nampak sepi, tak terdengar hingar bingar anak-anak sebaya anak-
anaknya. Jam dinding sudah menunjukkan angka 21.35. Rey mencium satu persatu
kening anak-anaknya yang telah beradu dengan mimpi masa kecilnya. Tubuh Rey
letih sekali namun tak punya daya untuk segera memejamkan mata. Ia berfikir untuk menulis dan membuka akun facebooknya.
Betapa terkejutnya saat ia membaca ada 21 pesan di inboxnya. Hpnya tiga hari
ini memang off karena wifi di rumahnya belum terbayar itu sebabnya tak ada satu pesanpun masuk melalui mesengernya.
“Assalamualaikum, Rey”
“Waalaikumsalam, iya”
“Darimana saja Rey,” pertanyaan dari sebrang mulai muncul.
“Maaf”
“Aku tahu aku memang tidak penting bagimu, kita hanya teman di dunia maya
aku sangat faham itu Rey, tapi setidaknya berilah kabar padaku.”
“Maaf”
“Kamu kenapa?”
“Dari tadi hanya maaf”
“Suami mu marah aku chat kamu ya,?” pertanyaan dari sebrang beruntun
datang.
“Maaf”
“Dari tadi hanya maaf” pengirim pesan dari sebrang mulai tak sabar.
“Anakku sakit Satria,”
“Iya, aku tahu” cepat sekali Satria menjawab tulisan dari Rey.
“Itu sebabnya aku nggak online. Anakku tujuh orang dan ayah dari anak-
anakku telah meninggal dunia tujuh tahun yang lalu. Sekarang si kecil yang usianya baru delapan tahun juga sakit. Beberapa hari ini aku merawatnya.” Penjelasan Rey panjang lebar.
“Sudah ke dokter?” tanya Satria cepat.
“Belum”
“Berapa nomer rekeningmu ?”
“Untuk apa Satria ?”
“Ayolah Rey, jangan egois, aku akan kirimkan uang dan kamu bisa bawa
putramu ke dokter.”
“Tapi Satria,”
“Ayolah Rey”
“310001098070001”
Beberapa saat mereka terdiam tanpa perbincangan.
“Sudah Rey, “
“Satria, terimakasih...”
“Iya,”
“Lain kali berceritalah bila terjadi sesuatu, aku tahu kamu tidak ingin minta-minta padaku namun aku tahu kamu membutuhkan itu. Berjanjilah besok kau bawa putramu berobat usai itu beri aku kabar.”Satria menulis panjang lebar.
Dan di depan laptop buntutnya Rey meneteskan air mata, ia terisak-isak.
Beginikah cara Tuhan memberikan bantuan?
Rey bahkan tidak pernah mengenal Satria sebelumnya, Rey hanya berbincang saja, Rey tidak pernah ingin memanfaatkan siapapun.
“Rey, kenapa diam?”
“Kamu baik Satria, semoga Allah membalas kebaikanmu.”
“Sekarang Muza bagaimana?”
“Ia tertidur, sudah kuminumkan paracetamol tadi. Panasnya sudah sedikit turun namun batuknya belum reda. Tapi kalau sudah tidur begini ia nggak batuk lagi hanya nafasnya terdengar berat.”
“Kasihan,”
“Satria, sudah larut, kamu nggak ngantuk?’
“Belum Rey, kenapa kalau kamu ngantuk sebaiknya kamu tidur saja dulu”
“ Iya..., aku ijin tidur duluan ya.”
“Oke. Love u” tulis Satria di percakapan mereka.
Rey tersenyum menatap tulisan itu, ia sama sekali tak bergeming dengan rasa
yang dikuburnya dalam-dalam, rasa yang sudah dikuncinya hanya untuk almarhum suaminya. Ia ingin mereka bertemu di surgaNya kelak, itu sebabnya sampai hari ini Rey sama sekali tak membuka hatinya. Lagian laki-laki mana yang mau dengan perempuan yang sudah tidak muda lagi terlebih banyak anaknya. Rey tersenyum tipis.
Terlalu banyak laki-laki seperti Satria yang ditemuinya, di dunia maya
maupun di kehidupan nyata dan sungguh, Rey sama sekali tak bergeming terhadap mereka. Hidupnya saat ini hanya berkutat pada bagaimana mencari nafkah dan mensejahterakan ke tujuh anaknya.
Begitulah wanita, kebanyakan dari mereka terlampau siap berjuang bila untuk kebahagiaan buah hatinya.
Malam telah semakin larut, Rey memutuskan mengakhiri perbincangan dan menutup laptopnya kemudian rebah di peraduannya sambil bibirnya komat kamit
membaca do’a sebelum tidur hingga matanya benar-benar terkatup rapat.
***********************************************************
Pagi itu Rey bangun lebih awal mempersiapkan semua kebutuhan anak-anaknya untuk berangkat sekolah. Setelah semua selesai Rey mengajak Muza untuk ke dokter.
Ia bangkit dari tempat tidurnya membopong tubuh ringkih Muza saat mobil online pesanannya tiba. Sepanjang jalan ia terus beristighfar, fikirannya berputar-putar tentang nominal yang dikirimkan Satria padanya karena Satria sama sekali tak menuliskan jumlah dalam percakapannya semalam.
Rey pun enggan bertanya, ia malu
tak sepantasnya ia menanyakan jumlahnya, diberi saja sudah syukur, batin Rey
meremang.
Yang difikirkannya saat ini bukan tentang besarannya saja namun lebih pada ,bila uang tersebut tidak cukup untuk berobat kemana dirinya akan mencari tambahannya?
“Bang, nanti tolong berhenti di atm depan sebentar ya,” pinta Rey pada sopir
yang membawa mereka menuju rumah sakit.
“Oh iya mbak” jawab sopir tersebut singkat.
Di depan atm Rey turun memasuki ruangan atm tersebut kemudian...
3.500.000 saldo tertera di layar mesin atm. Ya, itu saldo tabungannya. Rey
tergugu kaku. Hingga seorang pengunjung menegurnya.
“Sudah selesai mbak”
“Oh, eh, iya” Rey terkejut setengah mati, kemudian menekan tombol atm dan
mengambilnya beberapa.
Saat menunggu antrian Rey mencoba menghubungi Satria dan ini adalah kali
pertama Rey terlebih dahulu menghubungi Satria.
“Assalamualaikum, Satria semoga Tuhan melindungimu, menyayangimu,
membahagiakanmu. Terimakasih, uangnya sudah kuterima, nominalnya begitu banyak hingga membuat aku terkejut” tulis Rey panjang lebar.
Satria membaca kalimat panjang itu sambil tersenyum. Satria menghentikan
aktivitasnya, ia duduk menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi kerjanya yang empuk. Selalu begitu bila ia sedang berbincang dengan Rey. Seolah ia ingin serius berbicara dengan Rey. Entah sejak kapan baginya saat ini Rey demikian penting
melebihi seluruh mitra kerjanya.
“Kamu dimana sekarang?”
“Aku di RSUD Satria,” jawab Rey masih via mesengernya
“Bagaimana Muza,”
“Masih menunggu antrian”
“Bisa kamu fotokan Muza hari ini Rey?”
“Untuk apa?”
“Aku hanya ingin kenal Muza “ jawab Satria singkat.
Beberapa detik kemudian Rey mengirimkan foto Muza.
Satria takjub, darahnya bedesir. Anak berusia delapan tahun yang tidak pernah
jumpa ayahnya. Dirinya dulu berpisah dengan almarhum papanya lebih besar dari usia Muza. Ia merasa lebih beruntung dari Muza. Satria masih ingat saat ia berlarian
dengan papanya, ia masih ingat sesibuk apapun papanya selalu datang saat diundang rapat di sekolah. Sedang mamanya adalah wanita baik yang senantiasa menunggu suami dan anak-anaknya datang.
Papa adalah laki-laki yang baik, hampir seluruh hari-harinya diisi untuk
membahagiakan keluarga hingga kecelakaan itu terjadi dan memisahkan dirinya dengan papa juga mamanya. Satria menghela nafas panjang.
Perkenalannya dengan
Rey memang baru berbilang hari tapi ia merasa demikian perduli karena ada cerita hidupnya dalam hidup Rey.
Satria beringsut dari tempat duduknya, ia ambil kunci mobilnya, pertanyaan
dari sekretarisnya tak lagi dihiraukannya. Tekadnya kuat, ia ingin menemui Rey.
Disepanjang jalan banyak sekali bougenvile bertebaran, seperti cerita drama serial di film India. Ia melihat jalanan ini menjadi lebih cantik dari biasanya. Panas dan teriknya tak terasa, semangat Satria untuk menemui Rey demikian besar. Satria
ingin melihat dari dekat wajah yang membuatnya terlelap tenang setiap malam, wajah sejuk yang membuatnya selalu merasa dibutuhkan.
Rey, aku datang....
Bangunan menjulang itu telah berdiri tegak di hadapannya. Satria mencari
ruang antrian pasien poliklinik. Satu persatu wajah di carinya yang mirip dengan foto profil f*******: Rey, ia tak menemukan satupun wajah yang sama.
Satria memilih duduk, ia buka poselnya.
“Rey, kamu dimana?’ beberapa menit berlalu tanpa jawaban.
“Oh maaf baru membalas, aku di ruangan dokter, kenapa?”
“Dokter paru?”
“Iya,”
Satria melaju menuju ruangan yang sama, ia mengetuk pintu perlahan.
Seorang perawat membuka pintu,
“Anda siapa?”
“Maaf, saya Satria ayah dari Muza,”
“Oh,”
Perawat tersebut membuka pintu lebih lebar. Satria masuk mengagetkan Rey,
Satria meletakkan jari telunjuk di bibirnya sebagai isyarat agar Rey diam dihadapan dokter. Rey mengerti dan diam.
Satria mendengarkan dan berbincang panjang lebar menanyakan tentang
penyakit Muza.
Satria minta agar dokter merawat intensive Muza kecil sampai sembuh.
Mereka berdua melangkah keluar. Dokter meminta perawat mempersiapkan
rawat inap untuk Muza.
“Satria, kenapa bisa?” tanya Rey.
“Rey, maaf bila aku lancang,”
“Satria,” Rey memanggilnya pendek.
“Kamu marah?”
“Tidak,” Rey menggeleng pelan. Ia masih takjub tak percaya laki-laki
bernama Satria hari ini berada dekat di sampingnya. Laki-laki ini masih muda, jas yang dikenakannya mencerminkan bahwa ia bukan lelaki biasa. Wajahnya kukuh tubuhnya tegap kulitnya putih semua barang yang dikenakannya bukan barang biasa.
“Rey,”
“Oh iya,”
“Muza sudah siap dipindahkan ke ruangan. Rey berdiri menuju ruang Muza
dipindahkan. Muza berbaring di rung VIP, ini pasti Satria.
“Satria,”
“Sudahlah,”
“Tapi ini?” tanya Rey pada Satria.
“Kamu tenang saja semua aku yang akan membayar, Muza harus sehat Rey,
Muza harus sembuh dan aku ingin membantumu melaksanakan sebagian dari kewajibanmu, boleh ya Rey” Satria berusaha meyakinkan Rey tentang
kesungguhannya untuk membantu.
Rey, hanya menunduk dan mengangguk.
Di ruangan itu hanya ada Rey, Satria dan Muza. Rey sudah memberi pesan
pada anak-anaknya yang lain agar baik-baik di rumah karena ia sedang menemani Muza di rumah sakit.
“Satria, kamu tidak ingin pulang?” tanya Rey pelan saat tahu hari sudah
hampir malam.
“Kenapa, kamu menyuruh ku pulang?” Satria balik mengajukan pertanyaan
pada Rey.
“Bukan begitu, hari sudah larut. Keluargamu pasti menunggumu.”
Satria menatap Rey, lekat. Yang ditatap menunduk takut, Rey menyesal telah
mengatakan itu pada orang yang sudah membantunya. Rey wanita 35 tahun yang ternyata berparas sangat cantik, kulitnya putih, wajahnya bersih dan mata dengan bola mata coklat itu berkilat-kilat saat memandang, berpendar-pendar seperti bintang saat
berbicara membuat siapapun pasti terpesona. Orang biasa tak akan menyangka kalau
Rey telah punya tujuh orang anak. Terlebih senyumnya, senyumnya yang teduh
membuat yang memandang terkuatkan.
“Rey, aku belum menikah,” Jawaban singkat yang disampaikan Satria
membuat Rey menatap heran.
“Aku berkata yang sebenarnya, aku belum menikah Rey. Usiaku sekarang 38
tahun tapi aku benar-benar belum menikah. Dirumah aku tinggal sendirian karena orang tuaku telah tiada.” Penjelasan Satria berharap Rey percaya.
“Kenapa belum menikah Satria?, kamu laki-laki mapan, pekerjaanmu baik,
usiamu juga sudah cukup.
Satria tidak menjawab kalimat yang disampaikan oleh Rey, ia melempar
pandang pada selang infus yang terpasang di lengan Muza.
“Dulu saat usiaku 12 tahun aku pernah opname seperti Muza, saat itu papaku
masih hidup, papa menungguiku sampai aku sembuh. Papa orang yang baik buatku.
Namun ternyata papa memilih pergi meninggallkan aku saat aku belum bisa memilih kebahagiaan.”
“Andai taqdir boleh dipilih papamu pasti ingin sepanjang usia mendampingimu,” tukas Rey memangkas perkataan Satria.
Satria menunduk,
“Kamu benar, Rey” Satria makin dalam menunduk.
“Do’akan papa dan mamau Satria, biarkan beliau berdua bahagia. Biarkan
beliau menerima hadiah do’amu hingga tidurnya lelap. Hingga tanah serasa menjadi
permadani indah. Saat ini papa dan mamamu hanya butuh do’a anak yang sholeh.
Satria mengangguk-angguk.
“Aku sering kesepian di rumah Rey, itu sebabnya aku sering menghabiskan
malam di depan f*******: sampai aku mengantuk.”
“Artinya kita harus berterimakasih pada orang yang membuat f*******: dong"
“Rey mencoba mencairkan suasana. Satria tersenyum. Lalu mereka berdua bertukar
kisah seperti dua sahabat yang tidak berjumpa dalam waktu yang lama. Semua kisah mereka bagi malam itu dalam sekat masing-masing. Satria merasa lancar berbicara tentang banyak hal dihadapan Rey. Rey pun merasa nikmat bertukar fikiran dengan
Satria.
“Mama, “ Suara Muza.
Mereka berdua beralih pandang pada Muza. Rey mendekati Muza putranya.
“Kenapa , nak?”
“Aku haus ma” Suara Muza parau sekali.
Satria berdiri, mendekati ibu dan anak itu sambil membawa sebotol air mineral, memeluk Muza agar Muza nyaman meminum airnya. Beberapa tegukan
masuk ke tenggorokan anak kecil itu. Muza kembali berbaring, Satria memegang
kening Muza lembut kemudian berbisik.
“Muza mau apel atau anggur?”
Muza menggeleng, nampak sekali anak kecil ini demikian letih dengan
penyakitnya.
Satria kembali mengusap kening Muza. Sama persis dengan apa yang
dilakukan papanya dulu saat ia sakit. Sampai Muza kembali terlelap baru ia berpindah
ke sofa yang disediakan rumah sakit. Satria melihat Rey sedang sholat.
“Kamu nggak sholat ?” tanya Rey pada Satria. Yang ditanya menggeleng.
“Kenapa?’
“Tuhan telah begitu banyak memberikan ni’matNya padamu, kamu malah
tidak ingin mendekati sang pemberi nikmat. Bila saat ini di usia 38 tahunmu kamu
nggak sholat lalu bagaimana kamu menghadiahkan do’a untuk papa dan mama?” tanya Rey tegas.
Rey melipat mukenah dan sajadahnya, lalu duduk lebih mendekat pada Satria.
“Sholatlah “
“Aku nggak bisa Rey,”
“Pasti bisa,”
“Nggak bisa,”
“Ayolah Satria, demi Allah mama dan papamu pasti akan bahagia.” Rey
mencoba memberi kekuatan pada Satria. Satria menatap bulu mata lentik milik Rey,hingga kemudian ia bangkit menuju kamar mandi.Berwudhu...
Usai sholat Satria tampak menegadahkan tangan, rintihannya jelas terdengaroleh Rey, Satria sedikit terisak hingga dua tangannya ia usapkan pada wajahtampannya. Ia melipat sajadah sambil berkata pada Rey,
“Aku sudah sholat,” Satria menghempaskan punggungnya ke sofa.
Rey, menatapnya lega.
“Satria lalu kenapa kamu tidak menikah sampai hari ini?” tanya Rey.
“Karena belum ada yang cocok.”
“Ach, itu alasan klise Satria.” Tukas Rey.
“Yang cocok menurutmu yang seperti apa?”
“Seperti kamu, “ jawab Satria cepat.
Kepala Rey mendadak pening, pernyataan Satria membuatnya pusing, terlebih melihat tatapannya. Ach, Satria andai kamu tahu membesarkan dan merawat tujuhorang anak itu tidak mudah.
“Rey,”
Rey mendongak.
“Maukan menikah denganku,?”