PAHLAWAN ITU 'SATRIA' NAMANYA.

858 Kata
Muza semakin membaik kondisinya, badannya sudah semakin sehat, senyumnya mulai mengembang, tak ada lagi pucat pasi yang kemarin bertengger di wajahnya. Dua belas hari dirawat membuat dia seperti punya energi. Hari ini dokter mengizinkan pulang, Rey tidak tahu berapa biaya yang harus ia bayar selama perawatan Muza. Beberapa kawan datang memberi sumbangan, Rey mengumpulkan semuanya. Betapa sebuah perjalanan memang harus di perjuangkan. Rey menatap Muza, ia sedang tidur. Sarapan yang diberikan rumah sakit belum ia makan. Pintu diketuk, seorang perawat masuk membawa map biru berisi tagihan. Rey membukanya dengan berdebar, deretan angka-angka membuatnya pusing total biaya yang harus ia bayar 8.543.000 Matanya berkunang-kunang. Dadanya sesak. Perawat itu sudah pergi usai menyerahkan tagihan tersebut. Pukul 10.00 Belum ada jalan keluar akan tagihan yang ia bawa, Muza sudah bangun dan berceloteh, sayang Rey tak bisa terlalu serius menanggapi celoteh Muza karena fikirannya terkuras pada kewajibannya membayar tagihan. "Assalamualaikummmm" pintu di bika dan salam itu terdengar, serempak Rey dan Muza menjawab. "Waalaikumsalam," "Maaf aku terlambat datang, Muza sudah boleh pulang ya,?" Laki-laki itu bertanya ringan. Ia selalu tahu tentang apapun yang terjadi pada keluarga Rey akhir-akhir ini. "Iya," ucap Rey singkat sambil menyembunyikan map berisi tagihan yang tergeletak di meja. "Aku ke kantin beli sarapan sebentar ya, Muza nitip apa nak?" ia mendekati Muza, mengacak rambutnya sembari tersenyum. "Nitip coklat keju om," suara Muza demikian bening. "Okey". Satria melesat pergi, meninggalkan Rey yang mematung. Bersyukur Satria datang, aku akan menitipkan Muza sebentar sembari aku keluar mencari bantuan. Dua puluh menit berselang Satria benar-benar muncul. Dengan kue juga nasi kotak di tangannya. "Sarapan mu," "Terimakasih," "Kamu nampak murung, kenapa?" "Satria, aku titip Muza sebentar ya, aku mau keluar." "Kemana?" "Melihat anak-anak," "Untuk apa ?, sekalian saja dengan Muza pulang" "Tapi Satria," "Kamu sebenarnya cemas karena apa?" Satria mulai bertanya. Bila sudah demikian maka Rey pasti tidak akan bisa berbohong. "Rey, " panggil Satria. Rey menunduk. "Aku belum membayar biaya rumah sakit," suara Rey demikian serak. Ia malu. Sebagai ibu ini tanggung jawabnya namun ia lalai. Ia tak memiliki kemampuan itu. Satria tersenyum bertepatan dengan itu dua perawat yang manis memasuki kamar Muza, mereka bermaksud melepas selang infus yang bertengger di tangan Muza. "Ini kuitansi pembayarannya, Pak." suara perawat yang satunya lagi memecah hening. Rey terkejut, Satria telah menyelesaikan semu biaya rumah sakit Muza. Rey menatap Satria, yang ditatap tersenyum simpul sambil menggumam dalam batinnya 'kamu harus bahagia Rey' Usai mengucapkan terimakasih mereka bertiga pun akhirnya pulang. Dengan mengendarai fortuner silvernya Satria mengantar Rey pulang menuju rumah kontrakan. Rumah yang kecil dengan halaman yang luas. Anak-anak Rey menghambur keluar, menyentuh lengan Rey dan Satria dengan santun. Satria nampak sedih, rumah sekecil ini untuk delapan jiwa. Bagaimana udara segar bisa masuk ?" Bagaimana anak-anak kecil ini menikmati hidupnya?. Sejak hari itu Satria semakin yakin bahwa dirinya akan menikahi Rey. Tekadnya makin kuat. Mengangkat Rey artinya menyelamatkan tujuh anak ini. Jarak rumah Satria dengan rumah Rey lumayan jauh memang namun Satria tidak pernah bosan mengirimkan apapun yang bisa dikirim ke rumah Rey setiap harinya. "Ma, om itu seperti pahlawan ya,..." Rey menatap Agung sejurus sambil mengangguk. Agung mengeluarkan pertanyaan itu setelah Satria pulang dari rumah mereka sambil membawa penganan. "Namanya siapa ma?" "Om Satria" jawab Rey pendek. "Oh.. jadi pahlawan kita itu "Satria," namanya" Anak-anak terkekeh bersamaan. Sungguh, sejak Satria hadir dalam hidup mereka, mereka nampak ceria. Tas, baju, sepatu, buku, seragam semua menjadi terpenuhi. Baju kumal mereka sudah berganti baru dan putih bersih. Uang jajan mereka juga lengkap tak terkurangi. Begitulah, ketika ada satu orang kaya saja yang dermawan niscaya akan banyak nyawa terselsmatkan. ******* Hari itu Satria mengajak anak-anak ke kolam renang. Sepanjang jalan mereka bercerita riang. "Mobilnya terlalu sempit, kasihan anak-anak Rey." Suara Satria sambil melihat anak-anak yang duduk berdesakan dari kaca spion. Rey hanya tersenyum. Fortuner yang mestinya hanya diisi 7 orang hari ini berisi 9 orang. "Kita harus beli mobil yang lebih besar Rey," "Bis ?" tanya Rey menggantung. Satria tertawa. Kolam renang mewah itu membuat anak-anak riang. Satria turut juga diantara mereka. Satria merelakan waktunya terbuang demi anak-anak yang manis ini. Saat Satria mendekat, Rey tersenyum tipis. "Murung lagi?" "Nggakkk" Mereka tertawa barengan. Udara sejuk kota Malang menenggalamkan mereka dalam canda penuh gemintang. Rey yang dingin, Rey yang tidak pernah percaya pada laki-laki,Rey yang tidak pernah perduli pada ucapan pria manapun. Hari ini Rey begitu mengagumi Satria. "Rey, kamu belum jawab pertanyaanku." "Yang mana?" Rey bingung. "Yang waktu itu," "Yang mana ? serius aku lupa." "Ach selalu begitu." "Aku lupa Satria..." "Apa yang tidak kamu lupakan bila itu tentang aku?" Rey bingung, Satria benar. Ia hampir saja tidak mengerti mengapa ia begitu tidak perduli pada Satria padahal Satria sudah demikian baik padanya. "Maafkan aku," Rey menatap wajah Satria dengan sepenuh hati. Masih belum ingat juga pertanyaanku yang belum kau jawab. "Belum". Rey menarik nafas panjang. Jujur ia merasa bersalah. "Mau aku ulangi pertanyaanku ?" "Iya," jawab Rey sepenuh hati. "Rey, maukah kau menikah dengan ku?" Ups, Rey menutup mulutnya. Kalau kalimat itu ia ingat, sangat ingat. Rey memalingkan pandang pada anak-anak kemudian tertawa lepas. Bunga bermekaran seiring dengan tawa lepas Rey, tawa yang membuat dirinya nampak makin ayu saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN