PERBINCANGAN MALAM ITU

482 Kata
Kota Malang yang dingin, hawa sejuknya membuat semua orang merasa betah berada di sana. Selimut tebal menghiasi tubuh-tubuh terlelap. Tujuh anak laki-laki berusia sekitaran belasan tahun berjajar di dua busa sedikit tebal. Reynata memandang anak-anaknya iba, sebagai ibu ia sangat ingin menghadirkan kemewahan bagi anak-anak yang pernah sembilan bulan hidup dalam rahimnya, namun apa mau dikata ketika taqdir berkata lain. Sejak ayah mereka meninggal tujuh tahun yang lalu hidup mereka menjadi seadanya, Reynata yang hanya seorang penulis ditambah usaha loundrynya membuat ia harus membagi antara mana yang harus dibeli dan mana yang tidak. Namun meskipun demikian sedikitpun Reynata tidak pernah mengeluh, baginya Tuhan sudah demikian baik membingkis keindahan dengan hadirnya tujuh orang anak yang dicintainya. Semasa almarhum suaminya masih hidup anak-anak selalu diajarkan bagaimana cara bersyukur, saling menyayangi dan tidak pernah membiarkan ibu mereka merasa sendirian.Ajaran tersebut demikian melekat di hati anak-anak hingga saat ini. Sebenarnya penghasilan Reynata cukup bila hanya untuk makan, uang jajan, biaya listrik juga untuk biaya sekolah. Hanya akan terasa berat bila salah satu dari mereka harus opnam, atau mungkin bila saat akhir semester tiba. Saat-saat sseperti itu mereka butuh kekuatan untuk dapat membereskan semuanya. Beruntung sebagai makhluk reynata merasa punya Tuhan sehingga disaat tersulit sekalipun reynata merasa punya tempat untuk bersandar dan mohon pertolongan. Sebagai seorang penulis Rey selalu menyempatkan diri menuliskan karyanya bila petang telah menjelang dan anak-anak telah tidur tenang di ranjang masing- masing. Saat seperti itu adalah saat terindah buat rey mencurahkan potongan- potongan isi hatinya. Terkadang ia menyimpannya di daftar dokument komputernya saja atau terkadang juga ia mengirimkannya di beberapa group di f*******:. Usai naskahnya dikirim pasti beberapa orang muncul memberikan komentar mulai dari yang lucu hingga yang biasa-biasa saja. Saat kantuknya belum tiba ia pasti akan berceloteh bersama para komentator sampai kantuk datang menerpanya. Malam itu usai ceritanya terkirim seseorang mengajaknya berbincang lewat mesenger miliknya. “Namamu ?” tanya seseorang dengan akun pengguna f*******: bernama Satka. “Aku Rey” “Asli Rey?” tanya disebrang itu muncul lagi. “Ya, Reynata, kenapa?” “Perkenalkan aku Satria Perkasa nama akunku Satka” “Oh...” Jawab Rey sekenanya. Begitulah Rey menjadi semakin akrab dengan Satria namun hanya di dunia maya tanpa pernah jumpa meski sekalipun saja. Awal berbincang Rey hanya melihat Satria sebagai penikmat tulisannya yang aktif bila malam tiba,semakin lama Rey semakin sering melihat Satria aktif hampir seharian. Setiap nampak oleh Satria dirinya aktif maka tak bosan Satria memulai pembicaraan lebih dahulu. “Rey, apa kabar?” “Baik” “Kemana saja dari pagi nggak aktif?” “Anakku sakit” “Lho, siapa” “Anakku” “Iya, namanya siapa?” “Muza” “Sakit apa dia?” “Entahlah, sejak lahir Muza sudah menderita sakit seperti ini,” “Kata dokter sakit apa?” “Entah,” “Kok dari tadi entah terus, Rey.” “Iya, entah” “Aku tidak pernah memeriksakan penyakit Muza dan anakku yang lain secara intensive Satria.....” “Kenapa,” “Ya, gpp. Biasanya bila mereka sakit aku cukup membawa mereka ke dokter lalu setelah mereka pulih aku akan membawanya pulang.” “Huft,” balas chat di sebrang. Sesaat mereka diam hanya saling memandang dari kejauhan, menatap baris demi baris perbincangan mereka. Sampai kemudian Rey tampak tidak lagi aktif. Lampu hijaunya sudah hilang. Rey keluar dari percakapan saat Satria berhenti bertanya. Satria bingung, sampai malam ia melihat poselnya, berharap Rey memberi kabar namun sayangnya Rey tak kunjung berkabar hingga tiga hari lamanya. Satria demikian bingung, ia juga bingung mengapa dirinya menjadi demikian tergantung pada Rey. Wanita yang baru ia kenal bahkan berjumpa pun belum.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN