Sejak rasa sakit yang diberikan Bima dan ibunya, Intan bertekad untuk terus hidup dengan baik agar mereka semua yang sudah mencemoohnya menjadi memandangnya dari segi apa pun. Seperti sekarang, Intan mengalami perubahan besar. Lebih berani dan percaya diri. Tidak seperti dulu yang selalu tertekan dengan hinaan dari Badriah.
Intan kini tinggal sementara di rumah Rina, mencoba menata kembali hidupnya yang hancur. Memulihkan luka yang mungkin sulit untuk disembuhkan. Tapi Intan yakin, dia pasti bisa melewati semuanya.
Seperti sekarang, Intan melalui hari-harinya dengan bekerja keras dan mengembangkan hobinya sebagai di sosial media. Hubungannya dengan Mahendra, sang bos pun semakin dekat, meskipun mereka berdua masih menahan diri karna Intan yang masih berstatus istri Bima.
Pagi itu, Intan tiba di kantor lebih awal dari biasanya. Dia ingin menyelesaikan beberapa tugas sebelum rapat besar yang dijadwalkan oleh Mahendra. Saat dia sibuk dengan laptopnya, Mahendra muncul di depan mejanya dengan senyum ramah.
"Selamat pagi, Intan. Ada waktu untuk ngopi sebelum rapat?" tanya Mahendra dengan senyum kecil di bibirnya.
Intan tersenyum kecil. "Tentu, Pak. Saya juga butuh sedikit istirahat." Katanya dengan membalas senyum Mahendra.
Mereka berdua berjalan menuju pantry kantor dan mengobrol ringan sambil menikmati kopi. Mahendra, yang biasanya serius dan formal, tampak lebih santai dan hangat saat berbicara dengan Intan. Keduanya mulai saling mengenal lebih dalam di luar konteks pekerjaan.
"Aku benar-benar kagum dengan dedikasimu, Intan. Kamu menjalani semuanya dengan sangat profesional meskipun sedang menghadapi masalah pribadi," puji Mahendran.
"Terima kasih, Pak Mahendra. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik," jawab Intan dengan senyum malu.
Mereka menghabiskan beberapa menit dalam keheningan yang nyaman, menikmati kopi mereka sebelum kembali ke meja masing-masing.
Meskipun hubungan mereka semakin dekat, Intan tetap berusaha menjaga jarak karna dia belum resmi putus hubungan dengan Bima.
**
Sementara itu, di rumah, Bima merasa frustasi karna perginya Intan dari kehidupannya. Hubungannya dengan Rika, istri keduanya, tidak berjalan mulus. Mereka sering bertengkar, dan Bima merasa semakin tertekan. Suatu hari, dia memutuskan untuk menghubungi Intan dan mencoba membujuknya untuk kembali.
"Intan, bisakah kita bertemu dan bicara?" suara Bima terdengar penuh harap di telepon.
Intan ragu sejenak, lalu setuju. Mereka bertemu di sebuah kafe dekat kantor Intan.
"Ada apa? Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Intan dengan nada datar dan menatap Bima dengan malas.
Bima menatapnya dengan mata penuh penyesalan. "Intan, aku tahu aku telah membuat kesalahan besar. Aku ingin kita kembali bersama. Aku sangat menyesal." Mohonnya.
Tapi nasi sudah menjadi bubur, Bima menaruh membuat sayatan luka begitu besar di hati Intan.
Intan menarik napas panjang. "Bima, kamu sudah membuat keputusanmu. Kita tidak bisa kembali seperti dulu. Kamu telah menikah lagi dan aku tidak bisa menerima itu."
"Kamu memilih untuk menikah dibelakangku, seharusnya kamu pilih dia yang sudah kamu nikahi. Aku mundur. Untuk apa menyesali apa yang sudah terjadi? Semua sudah terlambat." Meskipun Intan terlihat biasa saja mengucapkan itu, tapi dalam hatinya masih ada rasa sedih.
Sedih jika mereka berpisah dengan cara tidak baik. Intan bisa menerima semua keburukan yang ada di Bima, tapi tidak dengan perselingkuhan. Bima selalu meyakinkan Intan jika anak bukanlah tujuan menikah, tapi bahagia yang menjadi tujuan mereka. Tapi Bima terpengaruh dengan ucapan Badriah yang selalu menghasut jika anak adalah tujuan dari menikah.
"Tapi aku butuh kamu, Intan. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu," kata Bima dengan suara bergetar menahan tangis.
Intan menatap Bima dengan tatapan tegas. "Bima, ini bukan hanya tentang kamu. Ini tentang kita berdua. Aku tidak bisa kembali setelah apa yang kamu lakukan." Putusnya.
Bima terdiam, merasakan beratnya keputusan Intan. Dia tahu bahwa dia telah menghancurkan kepercayaan yang ada di antara mereka.
**
Di rumah Bima, suasana semakin tegang. Ibunya, Badriah, sering melontarkan komentar pedas tentang Intan dan terus memaksa Bima untuk mempertahankan pernikahannya dengan Rika.
"Bima, kamu harus tetap bersama Rika. Dia bisa memberikanmu keturunan. Intan tidak bisa," kata Badriah dengan tegas.
"Ibu, ini bukan hanya soal keturunan. Ini soal perasaan dan kepercayaan. Aku menyesal telah menyakiti Intan," jawab Bima dengan nada frustrasi.
"Kamu terlalu lemah, Bima. Kamu tidak berpikir jauh ke depan. Apa gunanya menikah jika tidak bisa punya anak?" kata Badriah dengan nada sinis.
Bima mulai kehilangan kesabarannya. "Ibu, tolong hargai perasaanku. Intan adalah istri yang baik dan dia tidak pantas diperlakukan seperti ini."
Badriah menggelengkan kepala. "Kamu harus belajar menerima kenyataan, Bima. Rika adalah pilihan yang lebih baik untuk masa depanmu."
Perdebatan antara Bima dan ibunya semakin memanas. Bima merasa tertekan oleh tuntutan ibunya, sementara Badriah tidak mau mendengarkan alasan Bima, anaknya. Situasi di rumah semakin tidak nyaman dan membuat Bima semakin tertekan.
**
Di kantor, hubungan Intan dan Mahendra terus berkembang. Mereka mulai saling membuka diri dan berbagi cerita tentang kehidupan pribadi mereka. Mahendra, yang biasanya tertutup, mulai berbicara tentang masa lalunya dan bagaimana dia menjalani hidupnya sebagai seorang bos yang penuh tanggung jawab.
"Intan, aku pernah mengalami masa sulit juga. Kehilangan orang yang aku cintai dan harus belajar bangkit sendiri," cerita Mahendra suatu hari.
Intan merasa terharu mendengar cerita Mahendra. Dia melihat sisi lain dari bosnya yang selama ini tidak dia ketahui. "Terima kasih telah berbagi, Pak. Itu membuat saya merasa tidak sendiri."
Mahendra tersenyum. "Kita semua punya luka, Intan. Yang penting adalah bagaimana kita bangkit dan melanjutkan hidup."
Percakapan mereka semakin mendalam, dan tanpa sadar, mereka semakin dekat satu sama lain. Meskipun begitu, Intan tetap menjaga jarak agar tidak terjebak dalam situasi yang sama seperti sebelumnya. Setidaknya sampai semua urusan dengan Bima sudah selesai.
**
Suatu malam, setelah pulang kerja, Intan menerima telepon dari Bima. Kali ini, Bima terdengar lebih putus asa.
"Intan, tolong beri aku kesempatan lagi. Aku benar-benar menyesal," pinta Bima.
Intan menghela napas. "Bima, kita sudah bicara tentang ini. Aku tidak bisa kembali. Kita harus belajar menerima kenyataan."
Bima terdiam sejenak. "Aku tahu aku sudah menghancurkan segalanya, tapi aku masih mencintaimu, Intan."
"Aku juga mencintaimu, Bima. Tapi cinta saja tidak cukup. Kita butuh kepercayaan dan rasa saling menghormati, dan kamu sudah merusaknya," jawab Intan dengan suara tegar.
Setelah percakapan itu, Intan merasa lega. Dia tahu bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat, meskipun sulit. Dia harus belajar menghargai dirinya sendiri dan tidak membiarkan orang lain menginjak-injak perasaannya.
**
Di rumah, Badriah semakin marah melihat Bima yang terus mencoba mendekati Intan. Dia merasa bahwa Bima tidak bisa mengambil keputusan yang benar.
"Bima, kamu harus berhenti mengejar Intan. Dia bukan yang terbaik untukmu," kata Badriah dengan tegas.
"Ibu, ini hidupku. Aku yang akan menjalaninya. Tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki kesalahan," jawab Bima dengan suara keras.
"Kesempatan apa? Intan sudah tidak ada di sini. Kamu harus fokus pada Rika dan masa depanmu," balas Badriah dengan nada memaksa.
Bima merasa semakin tertekan. tetapi tekanan dari ibunya membuatnya semakin sulit untuk berpikir jernih. Dia mulai merasa bahwa hidupnya tidak lagi berada dalam kendalinya.
**
Di tempat lain, Intan merasa lega telah membuat keputusan yang tepat untuk tidak kembali kepada Bima.
Suatu hari, Mahendra mengajak Intan untuk makan siang di luar kantor. Mereka berbicara tentang banyak hal, mulai dari pekerjaan hingga kehidupan masing-masing.
"Aku suka dengan orang yang tidak terpuruk terlalu lama dalam kesedihan. Kamu sudah melaluinya," kata Mahendra dengan tulus.
"Terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha yang terbaik untuk menjalani hidup," jawab Intan dengan senyum.
Mereka menghabiskan waktu makan siang dengan penuh kehangatan dan canda tawa. Intan merasa nyaman berada di dekat Mahendra,
**
Di rumah, Bima terus berusaha mencari cara untuk memperbaiki hubungan dengan Intan. Dia tahu bahwa dia harus berjuang keras untuk mendapatkan kepercayaan Intan kembali. Namun, tekanan dari ibunya membuatnya merasa terjebak dalam situasi yang sulit.
Suatu malam, Bima dan ibunya kembali berdebat hebat. Bima merasa bahwa ibunya tidak memahami perasaannya dan terus memaksa dia untuk tetap bersama Rika.
"Ibu, aku butuh waktu untuk berpikir. Tolong jangan terus memaksaku," kata Bima dengan suara keras.
"Bima, kamu jangan ngeyel. Ikuti kata ibu. Lagi pula apa bagusnya wanita yang tidak punya anak?" Badriah masih mengolok-olok Intan yang belum bisa hamil.
Bima merasa frustasi dan marah. Dia tahu bahwa hidupnya harus berubah, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Dia hanya bisa berharap bahwa suatu hari nanti, dia bisa menemukan jalan keluar dari semua ini dan mendapatkan kembali kebahagiaannya.