Malam itu, Intan dan Mahendra memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran mewah di pusat kota. Mereka merayakan kesuksesan proyek besar yang baru saja mereka selesaikan. Mahendra mengenakan setelan jas hitam yang rapi, sementara Intan tampil anggun dengan gaun elegan. Suasana restoran yang hangat dan romanti.
"Kamu benar-benar luar biasa, Intan. Tanpa kamu, proyek ini tidak akan berhasil," puji Mahendra sambil mengangkat gelasnya.
"Terima kasih, Pak Mahendra. Ini kerja tim," jawab Intan dengan senyum. Mereka bersulang dan menikmati hidangan mewah yang disajikan. Intan tidak mau berbesar kepala atas pujian dari Mahendra.
Saat mereka sedang menikmati makan malam, tiba-tiba Bima datang di depan pintu restoran. Matanya menyalang saat melihat Intan duduk bersama Mahendra. Tanpa berpikir panjang, Bima mendekati meja mereka dengan langkah cepat.
"Intan! Apa yang kamu lakukan di sini?" seru Bima dengan suara keras, membuat beberapa tamu restoran menoleh memperhatikan mereka.
Intan terkejut dan berdiri. "Bima, apa yang kamu lakukan di sini?"
"Harusnya aku yang tanya kamu! Kamu makan malam dengan pria kaya sambil bersenang-senang? Pantas saja kamu bisa beli jam tangan mewah itu!" tuduh Bima dengan suara yang penuh kemarahan.
Intan menatap Bima tidak kalah marahnya. Perkataan Bima seperti sebuah hinaan bagi wanita untuknya.
Mahendra berdiri mendekati Intan, seperti menjadi tameng untungnya. "Ini bukan tempat untuk berdebat."
"Siapa kau berani melaranhku! Aku tahu sekarang. Intan sengaja mendekati pria kaya untuk mendapatkan uang. Kamu pikir aku bodoh?" Bima melanjutkan tuduhannya tanpa memperdulikan kata-kata Mahendra.
Intan tidak terima dengan tuduhan itu. "Bima, kamu tidak tahu apa-apa. Jangan asal menuduh. Yang selingkuh itu kamu dengan Rika!"
Bima tersentak, wajahnya memerah. "Intan, aku—"
Intan memotong ucapan Bima, karna menurutnya pria itu sudah ngawur. "Sudah cukup, Bima. Aku tidak ingin mendengarkan lagi. Kamu yang harus berkaca pada dirimu sendiri sebelum menuduh orang lain. Kamu yang mengkhianati pernikahan kita, bukan aku."
Setelah mengatakan itu, Intan mengambil tasnya dan berjalan keluar dari restoran. Mahendra mengikuti di belakangnya.
**
Beberapa hari kemudian, Intan menerima pesan dari nomer yang tidak Intan simpan. Dan ternyata Rika, istri kedua Bima yang mengirim pesan untuknya.
Wanita itumeminta bertemu. Awalnya Intan ragu, tapi akhirnya ia setuju untuk bertemu dengan Rika.
Mungkin Intan ingin mengurus hal terakhir dengan inu.
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang di sudut kota.
"Intan, aku ingin bicara denganmu," kata Rika saat mereka duduk.
"Apa yang ingin kamu bicarakan, Rika?" tanya Intan dengan nada dingin dan acuh. Intan sendiri sebenarnya sudah tahu apa yang akan di katakan Rika, tapi dia memilih untuk diam agar Rika bisa menyampaikan ucapannya langsung.
Rika menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Aku tahu kamu sengaja bersikap dingin pada Bima agar dia tergila-gila padamu. Kamu menikmati perhatian dari dua pria sekaligus, bukan?" Tuduhnya tak berdasar.
Intan menyembunyikan terkejutnya setelah mendengar ucapan Rika. Tapi Intan memilih tidak memperlihatkannya.
"Apa yang kamu katakan? Aku tidak pernah bersikap dingin pada Bima dengan sengaja. Dan aku tidak pernah menikmati perhatian dari dua pria sekaligus. Bima yang menghancurkan pernikahan kami dengan menikahi kamu di belakangku."
Rika menatap Intan dengan tatapan tajam. "Lalu kenapa kamu tidak mau menerima Bima kembali? Apakah karena kamu sudah nyaman dengan Mahendra?"
Intan menghela napas panjang. "Aku sudah lelah dengan semua ini. Aku tidak ingin kembali dengannya. Aku juga sedang mengurus perceraian kami. Kamu tidak perlu khawatir. Bima akan bersamamu seutuhnya tanpa ada aku di dalamnya."
Rika terdiam, meresapi kata-kata Intan. "Jadi, kamu benar-benar tidak ingin kembali dengan Bima?" Tanyanya memastikan.
"Benar. Aku ingin hidupku tenang tanpa drama dan pengkhianatan," jawab Intan dengan tegas.
"Baiklah," kata Rika akhirnya. "Aku akan mencoba mempercayaimu. Tapi jangan pernah ganggu hidup kami lagi."
Intan tersenyum tipis. "Tidak ada alasan untuk aku mengganggu kalian. Aku hanya ingin menjalani hidupku sendiri."
"Tapi kenapa kamu terlihat panik? Seolah aku akan mengambil Bima seutuhnya? Lalu, kalau aku ingin kembali, apa kamu bersedia pergi dari kami?"
Intan sengaja mengatakan hal itu kepada Rika. Dia hanya ingin memancing w************n itu.
Dan ya, Rika terpancing dengan umpan Intan.
Entah kenapa Intan memiliki ide gila kepada mereka.
**
Suatu hari, Mahendra mengajak Intan untuk makan siang di luar kantor. Mereka memilih sebuah kafe kecil yang nyaman di dekat kantor.
"Intan, aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku ingin berbicara tentang sesuatu yang penting," kata Mahendra sambil memandangi Intan dengan serius.
"Apa itu, Pak Mahendra?" tanya Intan penasaran.
Mahendra diam sejenak seperti sedang berpikir.
"Tidak jadi."
Intan tidak bertanya lebih kepada Mahendra. Dan memilih untuk menghabiskan makanannya.
**
Di rumah Bima, situasi semakin tegang. Setelah pertemuannya dengan Intan, Rika mulai merasa tidak nyaman dengan pernikahannya. Dia tahu bahwa Bima masih memiliki perasaan untuk Intan. Dan hal itu membuat Rika tidak suka.
"Rika, apa yang kamu pikirkan?" tanya Bima suatu malam saat melihat Rika termenung.
"Aku hanya berpikir tentang kita, Bima. Apakah kita benar-benar bisa bahagia bersama?" jawab Rika dengan nada sedih.
Bima menarik napas panjang. "Aku tahu ini sulit, tapi aku berusaha. Aku ingin kita bisa bahagia." Bima seperti buaya ulung yang mampu merangkai kata-kata untuk mengikat betina.
"Tapi kamu masih mencintai Intan, bukan?" tanya Rika dengan tatapan tajam.
Bima terdiam sejenak. "Intan adalah bagian dari masa laluku yang sulit dilupakan."
Rika menatap Bima dengan marah. Dia tidak suka akan fakta itu. "Aku ingin kita bisa bahagia, Bima. Lupakan wanita itu. Tujuan kita menikah kan untuk membuat anak. Memberikan cucu untuk ibu, kan?"
Bima memilih untuk diam tidak menjawab Rika. Awalnya memang tujuan mereka seperti itu. Tapi Bima sadar jika yang dibutuhkannya sekarang bukanlah anak, tapi Intan disisinya.
**
Suatu hari, Mahendra mengajak Intan untuk menghadiri acara perusahaan di sebuah hotel mewah. Mereka bersiap dengan antusias, mengenakan pakaian terbaik mereka.
"Intan, kamu terlihat sangat cantik malam ini," puji Mahendra saat mereka bertemu di lobi hotel.
"Terima kasih, Pak Mahendra. Anda juga tampak tampan," jawab Intan dengan malu-malu.
Mereka memasuki aula hotel dan bergabung dengan rekan-rekan kerja lainnya. Suasana acara yang meriah membuat Intan merasa lebih baik dan lebih percaya diri.
Di tengah acara, Mahendra mendekati Intan dan berbisik, "Maukah kamu menari denganku?"
Intan tersenyum dan mengangguk. "Tentu, Pak Mahendra."
Mereka berdua berjalan ke lantai dansa dan mulai menari dengan iringan musik yang lembut. Di tengah keramaian, mereka merasa seperti hanya ada mereka berdua.
"Intan, aku sangat senang kamu ada di sini," kata Mahendra sambil menatap mata Intan.
"Aku juga, Pak Mahendra. Terima kasih telah selalu mendukung saya," jawab Intan dengan hangat.