Delapan

1823 Kata
KIARA: >>>>> Setelah membersihkan tubuh di kamar mandi, aku keluar kamar untuk melihat siapa tamu yang kurang sopan itu. Bertamu kok di waktu yang tidak sewajarnya bertamu. Membuka pintu kamar, kulihat Delisha sedang menangis sesenggukan di pelukan kakaknya. Yang menarik perhatianku adalah, di sampingnya sudah ada koper berukuran sedang warna pink pastel. Perasaanku nggak enak. Aku hanya menatap bingung kakak beradik di hadapanku ini. Muncul sedikit rasa tidak terima di hatiku. Namun aku berusaha mengenyahkan rasa itu, karena tidak seharusnya rasa aneh itu tumbuh dan menjadi penyakit hati yang akan memperkeruh keadaan. Kulihat Dastan memapah adiknya yang masih sesenggukan duduk di sofa di depan televisi. Delisha menurut, mengikuti langkah kakaknya tanpa berniat melepas pelukan di pinggang Dastan meski barang sebentar saja. "Please, Kak! Gue mau tinggal sama elo di sini," ujar Delisha sembari merengek. Aku berdeham pelan. Dastan lebih dulu melihat keberadaanku. Melalui tatapannya, dia seolah sedang memintaku duduk di sampingnya sekarang juga. Aku hanya menatap Delisha dan Dastan secara bergantian. Lalu kembali menatap Dastan dengan tatapan penuh tanya. Menuruti perintah suamiku sepertinya lebih baik untuk saat ini. "Boleh ya, Mbak?" tanya Delisha. Kali ini nada bicaranya terdengar begitu memohon, ditambah dengan gerakan menangkupkan kedua telapak tangannya, tak ketinggalan menampilkan wajah memelas. Ke mana tatapan sinis yang dia tampilkan padaku beberapa malam yang lalu? Aku tidak bisa berpikir jernih malam ini, tubuhku terlalu lelah setelah pergulatan cinta dengan suamiku. Jadi aku biarkan semua ini berjalan apa adanya saja sekarang. Aku tidak mungkin mengusir Delisha seenak perutku. Bagaimanapun cemburunya, aku masih bisa berpikir waras dalam hal ini. Lagi pula untuk apa aku cemburu pada adik iparku sendiri. Mengenyahkan kecurigaan yang dulu sempat tercetus soal penyimpangan kedekatan yang terjadi antara Dastan dan Delisha, aku hanya bisa menghela napas, berdeham pelan sebelum mengutarakan jawabanku. "Kalau mbak, terserah kakak kamu." Delisha merengut. "Kata kakak, dia mau izin sama mbak dulu, gitu," ujarnya dengan nada bicara merajuk. "Ya sudah kalau gitu. Mbak kasih izin Dicha untuk tinggal. Tapi janji, nggak boleh bandel, dan ikut peraturan yang ada di apartemen ini." "Oke," tukas Delisha, tiba-tiba menghambur ke pelukanku. Ya Allah!!! Semoga aku bisa menghadapi anak dengan sikap manja yang luar biasa ini. Terutama dugaanku dulu sebelum menikah dengan Dastan, soal syndrome brother complex yang sepertinya baik Dastan maupun Delisha tidak ada yang menyadari akan hal itu. Kulihat dari gerakan bibirnya, Dastan mendesiskan ucapan terima kasih padaku. Dan aku hanya bisa menanggapinya dengan satu kali anggukan. Aku lantas masuk kamar terlebih dulu, meninggalkan Dastan yang masih ingin mengobrol dengan Delisha. Aku sendiri masih belum tahu alasan apa yang membuat adik iparku itu ngotot pengin tinggal di tempat kakak laki-lakinya yang sudah beristri. Meski aku cukup dekat dengan adik laki-lakiku, tapi semenjak kami berdua beranjak remaja saling membatasi diri terutama bila menyangkut kontak fisik. Aku dan Andra berpelukan hanya pada momen-momen tertentu, seperti saat hari raya idul fitri. Itupun hanya sebentar saja. ••• DASTAN: ~~~~~ Di dalam kamar, Kiara nggak menuntut penjelasan apa pun dari gue soal kedatangan Delisha yang tiba-tiba malam ini. Kiara langsung berbaring seperti biasanya, meringkuk di balik selimut dengan posisi membelakangi gue. "Kamu marah Dicha datang malam-malam gini terus minta tinggal sama kita secara tiba-tiba?" tanya gue setelah ikut bergabung dengan selimut Kiara. Gue tahu dia belum benar-benar terlelap. "Seharusnya kamu langsung omongin ke aku kalau memang Dicha ada niatan tinggal di sini." "Aku mau ngomong. Cuma timingnya nggak tepat dan aku nggak nyangka kalau Dicha bakal datang secepat ini. Padahal aku sudah bilang kalau masih mau ngomongin dulu sama kamu." Kiara tak menjawab lagi. Dia lebih memilih menyegerakan tidurnya. Dia terlelap seiring usapan gue di pangkal lengannya yang terbuka, karena malam ini dia mengenakan daster yang model lengannya hanya sebatas menutupi pundaknya saja. Sebenarnya gue nggak pernah keberatan adik gue tinggal satu atap sama gue. Gue malah seneng, itu artinya dia masih membutuhkan perlindungan gue. Gue mikirnya sederhana saja, kemana lagi dia harus meminta perlindungan selain ke gue. Gue hanya sekadar memberi peringatan kecil pada Delisha kalau dia sudah punya kakak ipar saat mengatakan akan membicarakan dulu dengan Kiara soal keinginannya tinggal bersama gue. Gue bersyukur tiada tara Kiara kelihatannya nggak keberatan menghadapi keputusan Delisha yang agak kekanakan itu. ••• Kiara: >>>>> Aku menoleh sekilas saat kedua lengan kukuh memelukku dari belakang. "Morning sayang," ucap Dastan setengah berbisik di telingaku. Aku sudah nggak pernah terkejut pada kebiasaan Dastan yang satu itu setiap pagi. Sejak aku pindah ke Jakarta dia selalu rutin melakukan hal itu. Katanya setiap pagi dia harus meyakinkan dirinya kalau aku nyata berada di sekitarnya, bukan sekadar bunga tidur apalagi halusinasi. Jadi setiap dia membuka mata di pagi hari dan nggak menemukanku di sisinya, maka dapur adalah tempat pertama yang ditujunya. Ya, memang rutinitasku begitu. Setiap selesai solat subuh, aku langsung berkutat di dapur menyiapkan sarapan untuk Dastan. "Dilepas nggak nih? Mau sarapan menu lengkap apa cuma roti lapis selai aja?" Bukannya melepaskanku, Dastan malah mengeratkan pelukannya, mengendus tengkukku. "Harumnya istriku," ujarnya. "Udah mandi dong. Kamu mandi gih. Belum subuhan loh." "Give me one kiss," bisiknya tepat di samping telingaku. Membuat tubuhku sedikit meremang. "Kamu lupa di apartemen ini nggak cuma kita berdua sekarang?" "Dicha masih molor jam segini." "Kalau tiba-tiba bangun gimana?" Dastan bergeming. Percuma mendebatnya. Aku lantas memutar tubuh yang masih dalam kungkungannya. Dia menyeringai puas saat aku mengecup kedua pipinya. Membuatku gemas dan tersenyum simpul. Dastan melepas tangannya dari pinggangku dan mengecup bibirku. "Makasih sayang," ujarnya lalu berjalan meninggalkan dapur menuju kamar. Dastan memang seperti itu, orangnya ekspresif, possesif dan terkadang over protektif. Dan satu lagi, dia juga pemaksa dalam banyak hal. Bukan pemaksa sampai yang berbuat kasar dan seenaknya sendiri. Cuma ya gitu, apa yang diinginkan harus didapatkannya dan sulit sekali didebat apalagi diprotes kalau itu menyangkut maunya. Sebenarnya menyiapkan sarapan untuk Dastan itu tidak perlu sesuatu yang ribet. Cukup sajikan nasi hangat, telur ceplok setengah matang dan kecap manis, dia sudah bahagia dengan perut kenyangnya. Tak lupa secangkir kopi hangat sebagai menu pencuci mulut. Dastan masih belum bisa mengurangi kopi dan juga rokok. Syukurnya kalau sedang bersamaku dia sama sekali nggak merokok. Dia merokok hanya di kantor atau saat sedang bersama teman-temannya. Sejak awal dekat dengan Dastan, aku nggak pernah melarang dia merokok. Aku dulu tanya dia perokok atau bukan? Dia bilang iya. Lantas aku bilang kalau nggak suka bau rokok. Itu saja. Dia langsung mengerti kode yang aku berikan. Aku bukan antipati sama perokok. Adik laki-lakiku juga perokok, lingkungan kerjaku juga dipenuhi oleh perokok berat dan rasanya jarang ada laki-laki jaman sekarang yang nggak merokok. Aku hanya tidak kuat bau asapnya. Menjijikkan dan membuat sesak dadaku. "Kak Dastan sudah berangkat kerja, Mbak?" Terdengar suara Delisha dari pintu kamarku. "Udah setengah jam yang lalu," jawabku. Delisha menuju balkon kamar ikut bergabung denganku yang sedang menyemprot koleksi bunga anggrekku. Dia berdiri di sampingku sambil bersendekap dan menyandarkan pinggangnya ke pagar pembatas. Delisha hanya mengenakan tanktop hitam, celana sepaha, rambut dicepol asal-asalan dan matanya masih sayu. "Kenapa nggak bangunin aku sebelum kakak berangkat, Mbak?" tanyanya. Aku menghentikan aktivitasku, menoleh pada Delisha. "Mau mbak bangunin. Tapi kata kakakmu, kamu biasa bangun siang," ujarku. Delisha seperti sedang mendengkus pelan. "Jadi kayak taman bunga ya sekarang balkon ini," ujarnya. Nada bicaranya terdengar seperti sedang mencemooh. "Dastan suka balkonnya yang sekarang. Lebih manusiawi katanya." Delisha hanya tertawa lalu meninggalkan balkon dan keluar kamar. Aku hanya bisa menggeleng dan menyuruh hatiku supaya tetap sabar menghadapi si bungsu manja dan belum dewasa itu. Semoga saja stok kesabaranku nggak habis sebelum waktunya. Sekitar pukul sepuluh pagi Delisha keluar kamar tamu dengan keadaan sudah mandi dan mengenakan pakaian rapi. Dia mengatakan akan menemui teman lamanya dan pulang agak malam. Saat aku menawarinya sarapan dia menolak dengan alasan terburu-buru. Aku nggak terlalu ambil pusing soal ke mana perginya anak itu. Dia bukan lagi anak umur sepuluh tahun yang mesti diawasin aktivitasnya saat berada di luar rumah. (***) Sudah tiga hari ini aku tertarik untuk mengawasi tingkah laku Delisha selama di dalam apartemen. Dia nggak terlalu banyak bicara saat hanya sedang berdua saja denganku. Mungkin karena akunya juga jarang mengajaknya mengobrol dengan akrab. Beda sekali saat Delisha sedang bersama Dastan. Dia bisa bercerita banyak hal dan bercanda hingga tertawa lepas. Dia sama sekali nggak sungkan bersenda gurau dengan kakaknya itu di depanku. Malah akunya yang risih sendiri. Terlebih saat Delisha sedang bergelayut manja pada Dastan tanpa rasa malu atau sungkan padahal ada aku di sekitar mereka. Aku ingin menegur tapi belum menemukan waktu yang tepat membicarakan hal itu dengan Dastan. Beberapa hari ini Dastan kembali sering pulang malam dengan penampilan kusut dan badan bau rokok yang sangat menyengat. Akhir bulan membuatnya setres berat. Aku memilih membiarkan saja dulu persoalan ini sampai menemukan waktu yang paling tepat. Sementara ini tingkah laku Delisha masih dalam batas normal menurutku. ••• Dastan: ~~~~~ Selama satu minggu tinggal bersama gue, Delisha nggak menunjukkan gelagat yang aneh-aneh. Dia bertingkah wajar saat ada gue. Memang kelakuan manjanya nggak berubah, masih seperti biasanya. Gue sudah berupaya mengingatkan Delisha setiap kali dia bersikap manja dengan mengatakan, "jangan manja deh, nggak malu tuh sama Mbak Kia?" Mungkin lama-lama Delisha sungkan juga pada Kiara saat ingin bermanja-mana sama gue. Dia berangsur mengurangi sikap manjanya. Meski belum sepenuhnya hilang. Ya nggak bisa drastis. Namanya juga adik pengin manja ke kakaknya. Wajarlah. Daripada bertengkar mulu sampai musuhan, trus nggak tegur sapa hanya karena masalah sepele. Apa kata dunia, man. Selain mengingatkan soal sikap manjanya yang kadang kelewatan, Delisha juga sering gue ingatkan untuk sesekali membantu pekerjaan rumah tangga yang sedang dikerjakan oleh Kiara. Seperti mengubah kebiasaannya bangun siang, merapikan kamar sendiri, membantu pekerjaan Kiara di dapur dan mencuci sendiri piring bekas makannya. Nggak bisa instant memang, tapi secara bertahap. Gue yakin Delisha pasti akan berubah di tangan Kiara. Gue berharap sih begitu, man. Fyi saja. Kiara itu kan dingin, tegas dan datar banget orangnya. Pas bangetlah menghadapi adik gue yang tipekal pemberontak dan manja itu. Kata Kiara, tiga hari ini Delisha sudah mulai jarang meninggalkan apartemen, bahkan jarang keluar dari kamar tamu yang menjadi kamarnya selama tinggal di tempat gue. Padahal biasanya itu anak sekalinya keluar bisa sampai seharian. "Tumben lo adem ayem tanggal segini? Biasanya heboh ngechat gue, ngerayu-ngerayu, ujung-ujung minta transferan," ujar gue sambil bercanda. Hari ini memang jadwal gue menerima gaji. "Udah ditransfer bunda. Katanya gue nggak boleh ngerepotin elo lagi," jawab Delisha kemudian sekilas melirik Kiara sebelum meninggalkan meja makan menuju kamar tamu. Kiara mengangkat kedua bahunya saat gue memberinya kode 'Dicha kenapa?' melalui gerakan wajah dan tatapan mata gue. Aneh saja rasanya. Biasanya dia yang paling hapal tanggal gue gajian, dan teror todongannya akan datang bersamaan dengan masuknya sms dari bank payroll gaji gue. Memang, sejak gue menikah dia sudah nggak sehoror itu dalam meneror gue. Namun gue tetap memberikan Delisha sebagian rezeki yang gue dapat setiap bulannya seperti biasa, jumlahnya pun tetap, dan yang pasti Kiara juga tahu soal itu. Kata nyokap membagi sedikit rezeki kita untuk anak bungsu dalam keluarga itu, balasannya berkali-kali lipat nanti ke rezeki kita. Amin. ~~~ Find me on IG: makvee79 ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN