Tujuh

1977 Kata
Kiara: >>>>> Aku nggak sadar Dastan masuk kamar pukul berapa. Saat tiba-tiba terjaga seperti ini, dia sudah berada di belakang punggungku sambil memeluk erat pinggangku. Perlahan aku mencoba menyingkirkan tangan besarnya untuk memenuhi hasrat ke kamar mandiku. Setelah buang air kecil di kamar mandi yang letaknya terpisah dari kamar, aku mampir ke dapur untuk mencari minuman yang bisa menyegarkan tenggorokanku. Jam dinding di rumah ini menunjukkan pukul tiga dengan langit di luar jendela masih gelap sepenuhnya. Masih dini hari rupanya. "Cha? Kamu ngapain?" tanyaku saat melihat Dicha duduk berjongkok di depan kulkas yang sedang terbuka lebar. Aku memang belum bertemu dengan adik iparku itu sejak sampai rumah ini. Dicha tersenyum tipis kemudian berdiri. Tubuh tingginya menjulang saat berada di hadapanku. Tak menjawab pertanyaanku dia menutup pintu kulkas dengan kasar kemudian berlalu dari hadapanku. Tak ketinggalan sengaja menyentuhkan pangkal lengannya dengan pundakku. Aku hanya menghela napas pelan dengan perlakuan kurang sopan dari gadis yang usianya cukup jauh di bawahku. Aku memang belum akrab dengan gadis itu. Bertemu saja baru beberapa kali. Dan dari pertemuan awal kami memang kurang bersahabat waktu itu. Dia seperti membangun tembok tinggi untuk aku. Kelihatan sekali kalau dia juga kurang suka padaku, tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk melampiaskan ketidak sukaannya padaku. Dan aku rasa sikap apatisnya memang tercipta untuk menghadapi perempuan-perempuan yang dekat dengan kakaknya. Aku ingat banget waktu acara pesta pernikahan digelar di Jember. Dia menolak dengan alasan yang terkesan sangat dibuat-buat saat kuminta menjadi bridesmaid menggantikan sepupuku yang mendadak ada tugas ke Singapura. Beruntung ada Silvia, adik perempuan salah satu sahabat Dastan yang mau menjadi bridesmaidku. Delisha sendiri juga terlihat kurang bersahabat dengan Silvia. Aku 'ngeh' nya ketika pengambilan foto bersama, Delisha dan Silvia sama-sama tidak mau berada di satu frame yang sama. Saat itu Dastan sendiri tidak berminat sama sekali menjelaskan ada permasalahan apa yang terjadi di antara adik perempuannya dan adik perempuan sahabatnya itu, yang kelihatan banget seperti dua orang sedang terlibat perang dingin. Setelah menikah, aku dan Dastan tidak pernah membahas soal sikap Dicha lagi. Aku tidak meributkan soal itu dengan harapan dia tidak bersikap sinis padaku setelah aku resmi menikah dengan Dastan. Namun sepertinya dugaanku salah. Sikap sinis Dicha padaku masih bertahan hingga detik ini. Aku berupaya positif thinking, mungkin saja dia sedang berada dalam kondisi setengah tidak sadar saat bertemu denganku di dapur. Tak terlalu mengambil pusing soal sikap Dicha tengah malam ini, aku kembali ke kamar dan melanjutkan tidurku yang terganggu gara-gara panggilan alam. *** Saat kembali terjaga di pagi hari, aku mendapati Dastan sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Dia sedang berdiri di depan cermin yang memantulkan refleksi separuh badannya. "Masuk kerja beneran? Kirain cuma bohongan," ujarku, beranjak dari tempat tidur, melangkah ke tempat Dastan sedang merapikan dasinya, lalu membantu menyelesaikan pekerjan suamiku itu. "Iya sayang. Nggak sampai sore kok. Kamu ditemenin bunda dulu ya. Oya, Dicha ada di rumah loh." "Iya udah ketemu semalam. Tapi sikapnya kayak kurang bersahabat." "Dia sedang ada masalah kayaknya. Jangan tersinggung ya, sayang." Aku mengangguk seraya membersihkan debu tak kasat mata di bahu suamiku yang sudah terbalut jas abu-abu tua, senada dengan warna celana bahannya. "Ganteng," gumamku pelan. "Kamu ngomong apa barusan?" "Nggak ngomong apa-apa." "Hayo jawab? Ngomong apa?" Aku segera melarikan diri sebelum Dastan terus memaksa supaya aku mau menjawab pertanyaannya. Dia tak lagi memaksa setelah mendengar ketukan pelan di pintu kamar. Bunda mengingatkan supaya Dastan segera berangkat, karena hari sudah menunjukkan hampir pukul enam. Selesai mengantar Dastan ke mobil sekaligus menunguinya hingga berangkat, aku menuju kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi lalu ikut menemani bunda duduk santai di kebun belakang rumah. "Tumben pagi gini udah bangun, Cha?" tegur bunda saat mendapati Dicha duduk di sampingnya sambil menguap lebar tanpa menutup mulutnya. "Kakak udah berangkat, Bun?" "Udah setengah jam yang lalu." Dicha berdecak kesal lalu menjawab, "padahal mau nebeng." "Mau ke mana memangnya? Nanti bunda yang antar. Nih, ada Mbak Kiara juga di sini. Sekalian aja kita jalan-jalan bareng," ujar bunda antusias. "Males," jawab Dicha kemudian berlalu tanpa menyapaku sedikitpun. Bunda hanya mengomel panjang atas sikap Dicha yang sepertinya sudah biasa seperti itu. Aku belum berani membahas soal itu dengan bunda. Sudah bukan ranahku lagi ikut campur urusan adik iparku itu. Dastan yang tidak pernah betah tinggal lama-lama di rumah orang tuanya, setelah Ayah kembali dari Jambi dia mengajakku pulang ke apartemen. Bahkan untuk makan malam bersama di rumah orang tuanya tidak dia lakukan. Dengan dalih ada acara makan-makan dengan orang kantornya. Padahal sebenarnya tidak ada acara apa-apa (***) Hari ini sudah empat hari berlalu sejak aku mengunjungi rumah orang tua Dastan. Dia tidak pernah lagi pulang larut seperti saat-saat pertama aku tinggal di Jakarta. Bahkan hari ini belum pukul enam petang dia sudah ada di apartemen. Syukurlah aku sudah masak untuk makan malam kami, meskipun sederhana tapi Dastan suka. Dia memang tidak pernah ruwet soal urusan perut. Seperti biasanya, aku dan Dastan makan malam dalam suasana hening. Namun kali ini Dastan makan lebih cepat dari biasanya. Dibandingkan dengan pria-pria yang ada di sekitarku, Dastan memang tergolong lama kalau soal makan. Malah terkadang lebih dulu aku yang menandaskan makanan di piringku. Dia memang sangat menikmati setiap suap yang masuk ke dalam mulutnya. Alasannya saat ditanya kenapa kalau makan kok lama, jawabannya sederhana 'ngapain buru-buru? Bukan bekerja apalagi sedang mengikuti kontes makan cepat'. Setelah mencuci piring dan membereskan meja makan, aku tidak menemukan Dastan di depan televisi seperti kebiasaannya jika sudah selesai makan. Kulihat, pintu kamar terbuka setengah, mungkin dia berada di dalam kamar. Akupun menyusulnya masuk kamar tapi tidak menemukan Dastan di atas ranjang. Sadar tirai pintu balkon menggelepar tertiup angin sepoi-sepoi, aku tersenyum, melangkah menuju balkon dengan satu kopi hitam di tangan kanan untuk suamiku dan satu teh hangat di tangan kiri untukku. Dastan menerima cangkir dari tanganku, lalu menghirup aroma kopi yang terhembus melalui asap yang masih mengepul di atas permukaan kopi. Perlahan-lahan dia mulai menyesap kopi itu. "Kopi buatan kamu terasa beda ya?" ujarnya seraya tersenyum lembut. "Beda gimana? Karena aku yang buat, gitu?" Dastan tersenyum lebih lebar, membuat mata sipitnya semakin terlihat hampir segaris. "Serius. Selama ini, buat aku semua rasa kopi ya sama, campuran rasa pahit dan manis, terlepas dari siapapun yang membuat. Tapi kopi buatan kamu, bikin nagih," ujarnya lagi, menyesap kembali kopi hangatnya. "Emang aku campurin narkotika ke dalamnya, biar kamu ketagihan," jawabku asal. Dastan tergelak mendengar ucapanku. Lalu menggeleng, tanda tidak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. "Kalau kamu kekeh merasa seperti ada yang beda, nggak salah aku dekat sama seorang barista," ucapku lagi. Dastan berhenti tertawa dan mengernyitkan keningnya. Matanya terlihat malas saat menatapku. "Mantan kamu yang mana lagi itu yang jadi barista?" tanyanya ketus. Gantian aku yang sekarang tergelak melihat respon mudah cemburunya itu. "Dih, kayak aku yang kebanyakan mantan aja. Andra tuh, yang pernah jadi barista," ujarku membela diri. "Oya?" "Iya, dari Andra aku bisa tahu cara bikin kopi yang bener. Lidah dia itu peka banget kalau soal kopi. Dia bisa membedakan rasa kopi tumbuk sama kopi sachet, rasa kopi yang dibuat dengan biji kopi berkualitas atau yang biasa aja. Malah dia punya grinder di rumah untuk bikin bubuk kopi sendiri. Perhatiannya akan seketika teralihkan jika sudah menyangkut soal kopi dan filosofinya. Sayangnya Papa melarang Andra untuk menggeluti dunia barista. Kapan-kapan kamu harus nyobain kopi buatan Andra." "Aku memang penikmat kopi, tapi nggak sampai segitunya banget. Andra pernah jadi barista kapan, Kia?" "Waktu kuliah di Bandung. Selain kuliah dan ngeband dia juga tertarik pada dunia barista. Malah cita-citanya dulu pengen punya coffe shop gitulah. Tapi lagi-lagi nggak didukung sama almarhum Papa." "Ooh," jawab Dastan manggut-manggut mengerti jalan ceritaku. Dastan kembali terdiam dalam lamunannya. Entah apa yang dia pikirkan saat ini. Dia duduk menyandar di pagar beton pembatas, sambil menatap langit malam di atas kepala kami, kosong. Aku hanya bisa memandangi ekspresi datar yang jarang sekali aku lihat pada Dastan yang biasanya ekspresif. "Masuk yuk. Adem, di sini," ujarku, mengajak Dastan karena aku memang tidak pernah tahan pada hawa angin malam. "Iya, sekalian nyari yang anget-anget di kamar," tukas Dastan dengan seringai devilnya, spontan aku mengernyitkan kening menanggapi ucapan Dastan. "Apa? Ada yang salah?" Dastan menatapku dengan intens, membuatku terpaksa memutus kontak mata darinya. Jantungku selalu berdegup kencang jika ditatap seperti ini. Padahal dia sudah menjadi suamiku, tapi masih saja aku selalu salah tingkah jika ditatap seperti sekarang ini oleh suamiku. Aku tak mengacuhkan Dastan, melanjutkan langkah masuk ke kamar. Terdengar bunyi pintu ditutup pelan menyusulku. Langkah panjang Dastan bisa dengan cepat mencapai aku yang hendak menuju kamar mandi. Dastan menarik lenganku, lalu merengkuh tubuhku ke dalam gendongannya. Hal mudah bagi Dastan, mengingat tubuhku yang hanya tiga perempat besar tubuhnya. Dastan menjatuhkan tubuhku perlahan ke tempat tidur, kemudian dia juga ikut berbaring di sampingku. Kami saling memandang dalam keremangan cahaya kamar. Meski lampu yang tersisa hanya lampu nakas, aku masih bisa melihat dengan jelas wajah suamiku, yang selalu aku kagumi, dan aku anggap sebagai laki-laki paling tampan di dunia. "Aku ganteng banget ya?" tanya Dastan iseng sambil menahan senyumnya. Diiringi senyum aku mengangguk pelan, tanganku terulur untuk mengusap pipinya. "Aku mau kamu, Kiara," ujar Dastan dengan suara agak serak, menggenggam tanganku yang masih ada di atas pipinya. Aku terdiam, dan mencoba berdamai dengan ketakutanku. Tenang Kiky, tenang. Rapalku dalam hati. "Boleh?" tanyanya sekali lagi. Aku pun menjawab dengan anggukan pelan, dia tersenyum membalas membelai pipiku dengan lembut. Wajah kami semakin dekat dan kedua bibir kami pun saling bersentuhan. Bibir tipisnya begitu pas beradu dengan bibirku. Bibirku yang tadinya dingin karena terpaan angin, seketika menghangat bila bertemu dengan bibirnya. Malam ini kami melakukan kewajiban suami istri itu lagi. Setelah selama dua bulan ini aku berkubang dalam ketakutan yang sebenarnya aku buat sendiri, akhirnya keberanian itu muncul secara alamiah. Rasa takut itu berubah menjadi mendamba seiring dengan sentuhan yang ia berikan pada setiap inci tubuhku. Meski tubuhku meremang tak karuan karena ulah Dastan, aku selalu suka caranya menciumku, menyentuhku dan memperlakukanku di atas ranjang. Dastan selalu sabar dan tidak tergesa untuk mencapai kepuasannya. Memang sudah dua bulan dia tidak mendapatkan 'jatah', tapi hal tersebut tidak lantas membuatnya brutal dan memperlakukanku dengan seenaknya. Dia tetap memperlakukanku dengan lembut dan hati-hati. Sama seperti saat kami melakukannya untuk yang pertama kali. Setiap kali bercinta, dia pasti membantuku mencapai puncak kepuasanku terlebih dulu, baru setelah itu menuntunku untuk ikut merasakan kenikmatan yang ia rasakan ketika dirinya juga telah mencapai puncak kepuasannya. Setelah setengah jam lebih bergelung bersama dengan beberapa posisi, dia mengangkat tubuhku naik ke atasnya. Saat merasa nyaman di posisi ini, kami mulai berusaha untuk saling memberikan yang terbaik. Deru napas dan erangan kami saling bersahutan memenuhi kamar. Tak butuh waktu lama, kamipun mencapai klimaks bersama-sama. Erangan panjangnya saat mencapai pelepasan, selalu bisa menghangatkan hatiku, pertanda bahwa dia puas dan begitu menerima apa yang aku berikan untuknya. Aku pun mencium bibirnya sebagai tanda terima kasihku, karena memberikan yang terbaik untukku. "Aku sayang kamu," ucapnya seraya mengusap punggung polosku. "Aku juga," jawabku dengan suara masih terengah-engah, lalu memeluknya dengan erat. Lama kami terdiam di posisi ini, mengumpulkan tenaga agar bisa beranjak dari tempat tidur. Namun aku terlonjak kaget, saat bel apartemen berdering berkali-kali. "Mau ke mana, sayang?" gerutu Dastan menahan tubuhku agar tetap berada di atasnya. "Ada tamu." "Biarin aja dulu. Nggak terlalu penting kayaknya." "Nggak penting gimana, ngebel berkali-kali gitu." Tak memedulikan kekesalan Dastan, aku segera beranjak dari tubuhnya, meraih pakaian yang memang selalu diletakkan tidak terlalu jauh dari jangkauanku, agar setelah selesai berhubungan aku bisa dengan mudah memakainya kembali. "Jam dua belas malam ini? Siapa yang bertamu malem begini?" tanyaku, sambil mengenakan daster batik kebanggaanku. Dastan mengedikkan bahunya dengan malas, segera membersihkan 'miliknya' dengan tisu, mengenakan boxer serta kaus oblongnya untuk melihat siapa tamu tersebut. "Nggak tahu, biar aku aja yang buka pintunya," ujarnya lalu keluar dari kamar. Sedangkan aku, menuju kamar mandi untuk segera membersihkan diriku dari sisa-sisa percintaan kami. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN