Dastan:
~~~~~
Hari ini gue ada meeting akhir bulan dengan dewan direksi dan seluruh kepala divisi untuk membahas kinerja bulan ini, juga planning bulan berikutnya. Gue selesai meeting pukul sebelas malam, dan baru sampai apartemen pukul dua belas malam lebih. Lampu apartemen sudah remang-remang saat gue datang. Kiara mungkin sudah tidur, karena biasanya kalau belum tidur dia menunggu kedatangan gue sambil menonton televisi.
Langkah gue berhenti sebentar saat melewati kamar Delisha, daun pintu kamarnya tertutup rapat, sepertinya dia juga sudah tidur. Gue lalu mengurungkan niat untuk mengganggunya. Saat langkah gue hampir mendekati pintu kamar gue yang nggak tertutup rapat, terdengar ada suara orang sedang berbincang-bincang di kamar. Setelah semakin dekat dengan pintu terdengar suara Delisha sedang menanyakan sesuatu hal pada Kiara. Gue bersyukur dan tersenyum lega karena bisa menyatukan dua perempuan berbeda sifat dan karakter itu. Baru kali ini gue dengar Kiara dan Delisha mengobrol santai seperti ini. Biasanya keduanya bicara hanya seperlunya saja.
Gue nggak lantas masuk kamar, ingin menguping pembicaraan keduanya dari balik tembok. Gue penasaran apa yang diobrolkan keduanya. Sambil melepas semua atribut kantor gue, mulai dari jas, dasi, jam tangan, sampai kemeja. Menyisakan celana bahan dan kaus dalam saja yang melekat di tubuh gue.
"Enak ya jadi kamu, Mbak. Bisa dapat kasih sayang Kak Dastan seutuhnya."
"Kamu kenapa ngomong gitu, Cha? Dastan juga sayang banget sama kamu. Apalagi kamu adek kandungnya."
"Jujur ya Mbak, di antara perempuan yang aku pergokin jalan sama kakak, cuma Mbak Kia yang bisa bikin aku nggak punya alasan untuk segera disingkirkan dari sisi kakak."
"Oya? Memang ada berapa perempuan yang sudah kamu pergokin jalan sama kakak kamu?"
Delisha terbahak sebelum menjawab. "Ada deh. Nanti bakal ada perang dunia ketiga lagi antara Mbak Kia dengan Kakak kalau aku sebutin jumlahnya. Yang jelas kalau kebanyakan anak muda itu menyembunyikan hubungan asmaranya dari orang tua, kalau kakak menyembunyikan kekasihnya dari aku."
Kiara balas tertawa kemudian menimpali ucapan Delisha. "Pacarnya Dastan yang pernah kamu ganggu sebelum Mbak siapa?"
"Terakhir itu Kakaknya sahabat aku."
"Yang anak bos dan sekarang udah pindah ke Milan?"
"Bukan, Mbak. Aku nggak tahu malah soal itu. Mungkin pas aku udah kuliah di Bandung jadi nggak terlalu mencampuri urusan kakak lagi. Perempuan yang aku maksud tadi namanya Kak Anya. Untung aku sahabat adiknya, kalau bukan mungkin udah habis aku dimutilasi titisan Cleopatra itu."
"Cleoptra? Kayaknya cantik banget sampai kamu bilang titisan cleopatra?"
"Ya gitu deh, Mbak. Jujur-jujuran nih ya. Mantan-mantannya Kak Dastan itu nggak ada yang di bawah standar."
"Kalau Mbak Kiara masuk standar atau jauh di bawahnya?"
Gue cukup kaget saat Kiara bertanya seperti itu. Saat Delisha tak juga memberi jawaban atas pertanyaan Kiara, hampir saja gue memutuskan masuk lalu memarahi Delisha yang sudah berbicara sembarangan. Namun langkah gue tertahan oleh rasa penasaran gue yang tinggi untuk tahu jawaban Delisha.
"Di bawah standar atau nggak, yang jelas Mbak Kia yang sudah berhasil merebut perhatian kakak sepenuhnya dari aku," jawaban Delisha akhirnya sambil mengerucutkan bibirnya.
"Kamu cemburu sama Mbak Kiara?"
"Iya pakek banget, dulunya. Tapi sejak lihat kehidupan kakak yang jadi jauh lebih baik dari sebelum sama mbak, aku udah nggak cemburu lagi."
"Tenang aja, mbak nggak akan merebut kakak kamu. Sampai kapanpun Dastan adalah kakak kamu. Nggak ada istilah mantan saudara, mantan ayah, mantan ibu. Yang ada itu cuma mantan istri, mantan suami, dan mantan pacar. Bener nggak?"
Gue dengar Delisha cuma tertawa lirih mendengar komentar Kiara. Gue masih betah di sini, tempat gue menguping saat ini.
"Kenapa kamu bisa berpikir mbak akan merebut kakakmu, Cha?"
"Karena semenjak kenal mbak, dunia kakak itu kayak yang teralihkan."
Kali ini gue dengar Kiara yang tertawa lirih mendengar argumen Delisha.
"Perempuan mana yang nggak mimpiin punya pasangan kayak kakak. Udah ganteng, mapan, dan sayang keluarga. Dia punya segalanya yang diimpikan oleh perempuan-perempuan di luar sana."
"Iya, suatu saat kamu pasti akan dapat pendamping hidup yang seperti kakak kamu," jawab Kiara dengan nada bicara yang sangat bijak. Gue tersenyum bangga dengan jawaban bini gue.
"Amin," jawab Delisha.
Kaki gue sudah nggak bisa diajak kompromi, kondisi tubuh gue sudah sangat kacau rasanya. Badan gue terasa lengket semua pengin cepat mandi, akhirnya gue pilih masuk kamar.
"Loh kamu kapan datangnya? Aku nggak dengar pintu dibuka."
Sambut Kiara seraya mencium punggung tangan gue, dan gue balas mengecup keningnya. Awalnya dia sempat menolak, mungkin malu karena ada Delisha. Tapi gue anggap saja tuh bocah nggak ada. Delisha cuma bisa mencebikkan bibir bawahnya, gue mencoba menahan senyum melihat ekspresi adik gue.
"Keluar lo, gue mau istirahat!" hardik gue pada Delisha.
"Kalau mau istirahat ya istirahat aja, ngapain ngusir gue? Dosa apa gue Ya Allah?" jawab Delisha dengan wajah sok dibuat menyedihkan.
"Mau gue seret lo?" tukas gue sambil melotot.
Delisha terbahak. "Lo pasti mau minta jatah, ya 'kan? Mau bikin ponakan buat gue 'kan lo?" ujarnya, masih setia duduk santai di atas ranjang gue, sedangkan Kiara sudah berada di depan lemari pakaian, sedang menyiapkan pakaian bersih untuk gue. Bisa gue dengar dia sedang terkekeh saat ini.
"Anak kecil tahu apa lo?"
"Tahu dong. Entar ya, kalau gue sudah punya suami. Lihat aja, gue bakal cipokan di depan lo!"
Delisha langsung kabur setelah mengatakan hal konyol yang entah dia mempelajarinya dari siapa. Gue nggak mengejarnya karena Kiara terlebih dahulu menahan lengan gue.
"Sudah, biarin aja. Kamu udah makan?"
"Sudah tadi di kantor."
"Yo wis, kamu mandi dulu aja kalau gitu, trus istirahat."
"Mandiin sayang."
"Oooh ..., mau diguyur?"
"Berendam bareng yuk." Kiara memutar bola matanya dengan jengah.
Tidak akan semudah itu dia menolak kemauan gue. Dengan ekstra kesabaran dalam menghadapi gue, Kiara mau menemani gue berendam air hangat malam ini. Di bathub Kiara menceritakan apa yang sejak tadi dia obrolkan bersama Delisha.
Kiara menceritakan soal Delisha yang benar-benar ketakutan jika harus tinggal berjauhan dari orang tua, terutama gue. Meski kecerdasan Delisha mumpuni untuk kuliah di luar negeri, tapi nyalinya terlalu kecil tinggal seorang diri di luar negeri. Delisha sudah cukup bertahan jika hanya sejauh Bandung, tapi untuk jarak sejauh Jerman, Delisha menyerah. Hal yang paling membuatnya takut adalah, ketika ada laki-laki di sana menatapnya dengan tatapan siap menerkam, sedangkan dia sendirian hidup di sana, tanpa saudara dan keluarga satupun. Membuat rasa traumanya kembali menghantui, dan hal itu membuatnya nggak bisa konsentrasi kuliah.
"Dia bilang pernah dekat dengan dua cowok waktu masih kuliah di Bandung. Salah satu dari cowok itulah yang menjadi alasan Dicha menerima beasiswa ke Jerman waktu itu. Ternyata cowok itu kayak mengabaikan Dicha. Jadi Dicha semacam frustrasi, menyesal karena sudah terlalu gegabah mengambil keputusan itu. Usia Dicha dengan cowok-cowok itu juga terpaut jauh sama Dicha," kata Kiara sembari menggosok punggung gue.
Seketika gue memutar tubuh gue. Membuat aktivitas Kiara terhenti. "Dua orang cowok? Pacaran? Jadi itu alasan Dicha mengambil beasiswa ke Jerman? Dia nggak pernah mengatakan apa pun soal itu. Emang beda berapa tahun?" cecar gue.
Dengan sabar Kiara menjawab, "dua-duanya beda sekitar delapan dan sembilan tahun. Katanya nggak sampai pacaran. Tapi entahlah. Aku nggak yakin soal itu. Kalau memang nggak pacaran untuk apa Dicha melarikan diri akibat patah hati, sampai jauh-jauh ke Jerman."
"Astaga, lebih tua dari aku dong? Kenapa Dicha nggak pernah ngomongin soal cowok-cowok itu sama aku? Aku harus tanya langsung sama dia," ujar gue geram, beranjak dari bathub. Kiara menahan bahu gue, meminta untuk tenang.
"Kamu yang tenang! Lagian ini sudah malam. Kamu juga lagi kacau karena kelelahan. Yang ada kamu malah makin memperburuk keadaan."
"Pasti ada apa-apa, Kia. Dicha itu trauma sama cowok sejak insiden hampir diperkosa saat dia SMA. Lalu tiba-tiba dia cerita sama kamu kalau alasan dia ke Jerman karena salah satu cowok itu. Belum lagi cowok-cowoknya itu beda usianya sejauh itu. Aku pernah b***t, jadi sudah hatam sama wataknya laki-laki b***t. Astaga..., mana bisa tenang aku, Kia. Dicha pasti udah diapa-apain sama cowok yang bikin Dicha sampai kabur-kaburan seperti itu."
Booom...Gue meledak. Sama sekali nggak bisa mengontrol emosi gue. Gue kehabisan kesabaran menunggu besok untuk mengetahui siapa dua laki-laki yang berani-beraninya mendekati adik gue.
Kiara mendengkus keras dan berdecak. Kesal pada emosi gue yang mudah tersulut jika menyangkut Delisha. Alarm protektif gue memang bisa menyala otomatis kalau sudah menyangkut perempuan-perempuan terdekat gue.
"Jangan kejauhan deh mikirnya. Aku sudah mencoba mendesak Dicha. Dia sampai sumpah-sumpah kalau nggak diapa-apain sama cowok-cowok itu. Justru cowok-cowok itu bersikap dewasa dan baik sama Dicha. Kamu sebenarnya yang terlalu over protektif sama dia."
"Aku yang terlalu over protektif? Ya wajar dong. Salahnya di mana? Aku ini kakaknya. Aku bertanggung jawab penuh atas kenyamanan dan keselamatan adik perempuanku."
"Aku tahu. Tapi menjadi nggak wajar kalau ternyata Dicha mengganggap lebih semua perlakuan kamu ke dia."
Emosi Kiara ikut tersulut. Dia beranjak dari bathub, meraih jubah mandinya lalu keluar kamar mandi begitu saja. Gue makin bertanya-tanya apa yang salah dari ucapan gue sampai membuat Kiara jadi nggak berminat lagi melanjutkan acara berendam kami.
Bergegas mandi, mengenakan pakaian tidur yang sudah disiapkan oleh Kiara, gue menyusul kembali ke kamar. Gue lihat Kiara sedang duduk di depan meja rias, sibuk dengan aktivitas perawatan wajahnya sebelum tidur.
"Aku nggak bisa tidur sebelum kamu menjelaskan semuanya, Kia," gue mengguncang bahu Kiara yang sudah nyaman di posisi siap tidurnya.
"Aku capek. Besok aja dibahas lagi."
"Sekarang aja."
Kiara membalikkan tubuhnya lalu menatap gue dengan kesal. Gue hanya balas menyeringai lalu meminta Kiara merebahkan kepalanya di atas pangkal lengan gue yang sudah terulur di atas bantalnya.
°°°
Kiara:
Pillow talk malam ini membahas soal Delisha. Baiklah. Hal ini memang harus segera diluruskan. Dastan harus segera menyadari soal batasannya terhadap Delisha kalau tidak mau adik perempuannya itu terus berada di bawah bayang-bayang sindrome brother complex, sesuai kecurigaanku selama ini.
"Kamu minta dijelasin soal apa? Dicha nggak nyebutin nama cowok-cowok itu. Dia juga nggak menyebutkan profesi atau pekerjaan cowok itu. Jadi aku nggak bisa ngasih informasi lebih soal siapa cowok-cowok itu sama kamu."
Dastan mengusap wajahnya kasar dengan salah satu telapak tangannya. Kelihatan sekali dia sedang frustrasi memikirkan siapa dua laki-laki yang dimaksud oleh Delisha.
"Trus tadi apa maksud kamu mengatakan nggak wajar kalau Dicha ternyata mengganggap lebih semua perlakuan aku ke dia?"
"Kamu nyadar nggak kalau Dicha itu terlalu berlebihan dalam menyayangi, mengagumi dan menggantungkan hidupnya sama kamu?"
Dastan diam. Dia lantas menjawab tidak. Dia bersikukuh kalau semua perlakuan dia pada Delisha masih dalam batas wajar.
"Kalau aku bilang dia punya hasrat lebih sama kamu, pernah tercipta rasa lain dan lebih dari sebatas adik ke kakaknya, kamu percaya?"
Dastan terbatuk seperti tersedak sesuatu di kerongkongannya. Batuknya semakin menjadi. Membuat dia menarik lengannya dari bawah kepalaku, duduk sebentar, meraih gelas dari atas nakas kemudian meneguk isinya hingga tandas
"Aku curiga Dicha mengalami brother complex, dia tadi ngaku kalau pernah ada rasa lain sama kamu. Dia terlalu mengagumi dan mendewakan kamu, hingga jatuh cinta pada kakak kandungnya sendiri ..."
Dastan terlihat begitu syok mendengar penjelasanku. Aku lalu beranjak dari tidur dan duduk bersila menghadap punggungnya yang biasa tegap, kini terlihat sedikit membungkuk.
"Dicha pernah jatuh cinta sama aku? Cinta dalam artian cinta ke lawan jenis?"
Setelah mengajukan pertanyaan itu, Dastan memutar 45 derajat tubuhnya. Menatapku dengan tatapan yang sulit terbaca. Wajahnya lesu dan mata sipitnya terlihat sendu.
"Ayah sepertinya menyadari soal itu. Makanya beliau bersikap keras terhadap kedekatan kalian berdua."
Dastan hanya bisa mendesah pasrah. Dia meringsek ke atas ranjang. Tubuhnya meringkuk lemah sambil memeluk perutku. "Aku kira selama ini yang aku lakukan untuk Dicha adalah hal yang paling tepat sebagai wujud tanggung jawabku sebagai kakak laki-laki. Ternyata aku salah. Sekarang aku mesti gimana Kia?" ujarnya dalam pelukanku.
Aku mengusap punggung hingga rambut hitam dan tebalnya. Berusaha menenangkan perasaaan Dastan yang saat ini pasti dalam kondisi terpukul.
"Kamu boleh tenang. Rasa yang pernah disimpan Dicha untuk kamu sudah berangsur pudar. Pelan-pelan Dicha mencoba menepis perasaan anehnya ke kamu, dan kata Dicha salah satu dari laki-laki yang pernah dekat dengan dia yang menyadarkan dia kalau perasaannya ke kamu itu salah. Dia yang banyak membantu Dicha lepas dari bayang-bayang jatuh cinta pada kakak kandungnya."
"Siapa laki-laki itu ya?"
"Aku juga belum tahu. Tapi aku yakin pelan-pelan Dicha akan terbuka soal itu. Kamu sabar dulu ya."
"Iya sayang. Makasih ya."
---
^vee^