Enam

1722 Kata
Dastan: ~~~~~ Sebenarnya benar-benar nggak enak banget sama Kiara. Di saat dia baru tinggal di Jakarta, baru mulai beradaptasi dengan tempat barunya, seharusnya gue menemani hari-harinya, atau seenggaknya punya waktu lebih banyak untuk dihabiskan bareng dia. Tapi yang ada gue malah disibukkan oleh pekerjaan kantor yang rasanya nggak ada habisnya. Kalau waktu nggak ada Kiara fine-fine saja gue mengerjakan semua pekerjaan itu. Mau lembur sampai tidur di kantor juga gue oke. Sekarang kondisinya beda, man! Meeting inilah, itulah, seolah muncul bersamaan yang bikin muak sebenarnya. Masalah sepele yang harusnya bisa diselesaikan di divisi masing-masing, masih saja harus memerlukan campur tangan gue. Padahal saat gue ada di posisi mereka, nggak pernah sekalipun gue merecoki GM, seperti mereka sekarang ini. Dulu saat gue masih menjabat sebagai manajer produksi, gue selalu berusaha menyelesaikan masalah di divisi gue ya dengan tangan gue sendiri. "Nurma, saya minta pending semua meeting sampai akhir bulan kecuali untuk meeting dengan direksi. Dan hanya meeting akhir bulan dengan seluruh kepala divisi yang akan diprioritaskan," ujar gue, menghubungi Nurma setelah melihat jadwal yang sudah disusun oleh sekretaris pribadi gue untuk satu bulan ke depan. "Baik, Pak." "Satu lagi, sampaikan kepada seluruh kepala divisi untuk berkumpul di meeting room selesai makan siang ya." "Baik, Pak." Gue menyiapkan materi singkat untuk disampaikan saat mengumpulkan semua manajer divisi siang ini. Ponsel di atas meja gue berdering. Nama Bunda tampil di layar ponsel. Padahal gue berharapnya itu Kiara yang menelepon. "Ya, Bun?" "Lagi di mana, Kak?" "Di kantor dong. Masa jam kerja gini di apartemen." "Yakali aja kamu bolos demi bisa nemenin istri kamu." "Maunya gitu, Bun. Tapi susah. Kenapa telepon?" "Nanti malam nginap di rumah." "Besok aja deh, pas pulang kantor aku sama Kia langsung ke rumah bunda." "Malam ini aja. Kamu kalau besok masih ngantor, ya ngantor aja. Susah amat diturutinnya. Bunda cuma minta nginap, bukan nyuruh kamu tinggal di rumah, Kak." "Ya besok aja. Aku besok masih kerja, Bunda. Kalau berangkat kerja dari rumah, bisa-bisa aku berangkat subuh." "Salah sendiri nggak pernah ngajak istri kamu nginap di rumah selama dia di Jakarta. Masa cuma diajakin mampir doang. Emangnya rumahnya bunda pom bensin apa?" "Bunda kebanyakan nonton sinetron, nih, ngomongnya lebay." "Seraaah ..., Bunda tunggu nanti malam ya. Bye, Kak." Klik. Panggilan telepon nyokap terputus begitu saja. Gue nggak bisa apa-apa selain memenuhi permintaan nyokap, daripada gue dicap anak durhaka. Mending berangkat subuh aja deh, aku rapopo. Setengah jam kemudian, jam makan siang berakhir. Gue lebih dulu masuk meeting room dan duduk sendirian. Nggak lama kemudian satu per satu kepala divisi masuk. Alvino sebagai Manajer Produksi, Haffandi sebagai Manajer Pemasaran, Lukman sebagai Manajer Keuangan, Martinus sebagai Manajer HRD, Cindy sebagai Manajer Public Relation. Kali ini gue nggak membahas masalah pekerjaan, gue cuma minta kepada para kepala divisi untuk membiasakan diri mengarahkan anak buahnya agar menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya. Biar gue juga bisa pulang cepat, man. "Saya minta mulai hari ini, tidak ada lembur. Semua laporan harus ada di meja saya pukul lima sore, paling lambat pukul setengah enam sudah ada di tangan saya. Saya tidak akan menyetujui pengajuan lembur, di luar perintah yang saya tujukan langsung melalui surat tugas secara tertulis. Jika tidak ada perintah langsung dari saya, tapi karyawan tersebut masih nekat lembur, maka saya anggap karyawan tersebut lalai, dan akan ada punishment-nya nanti," ucap gue setegas mungkin. Saat di tempat kerja seperti ini, gue nggak pandang bulu. Meski dua sahabat gue sekarang ada di hadapan gue, tetap gue perlakukan sama dengan yang lain, tanpa membeda-bedakan. Gue juga bersyukur banget, karena kedua sahabat gue selalu mendukung setiap keputusan gue, tanpa men- judge gue songong apalagi sok bossy. "Baik, Pak!" jawab seluruh kepala divisi yang hadir di ruangan ini kompak. Setelahnya gue mengakhiri meeting kilat ini dan bergegas menyelesaikan pekerjaan yang tersisa, supaya bisa pulang lebih awal untuk menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kiara. Gue yakin, Kiara ngotot pengin buru-buru kerja lagi juga pasti karena sudah hampir mati bosan diam sendiri di apartemen tanpa ada kegiatan lain, selain mengurusi apartemen. Seharusnya gue bisa lebih mengerti Kiara, karena dia pasti belum terbiasa seperti ini, mengingat dia selalu punya beragam aktivitas selama tinggal di Jember. Me: siap2 ya. Jam 6 aku sampai apartemen, kita langsung ke rumah bunda. My Wife: oke. Gue cuma bisa geleng-geleng kepala setiap kali mendapat pesan singkat yang benar-benar singkat kayak gini dari Kiara. Sikap dingin dan datarnya masih melekat meski kami sudah menjadi sepasang suami istri. Kiara adalah perempuan yang jauh dari kata romantis, apalagi manja menurut gue. (***) Gue dan Kiara tiba di rumah nyokap sekitar pukul delapan malam. Di rumah ternyata ada adik gue, Delisha. Seharusnya dia di Jerman sedang mengejar gelar magisternya. Dan sekarang bukan waktunya dia liburan. Pasti ada sesuatu yang nggak beres sedang menimpa adik perempuan gue itu. "Dicha kenapa ada di rumah, Bun?" tanya gue pada bunda yang sedang asyik dengan serial indianya, sendirian. Bokap sedang ke Jambi, ikut mendukung kampanye teman semasa kuliahnya yang sedang mencalonkan diri menjadi wakil kepala daerah salah satu kota di Jambi. "Itulah kenapa Bunda nyuruh kamu pulang, Kak. Bunda nggak ngerti gimana cara menghadapi kelakukan ajaib adik kamu itu," jawab bunda masih dengan pandangannya fokus ke layar televisi. Gue mengernyitkan kening, tanda nggak mengerti dengan apa yang nyokap ucapkan. Akhirnya gue baru bisa memaksa Bunda untuk cerita, setelah serial india di hadapan Bunda sudah selesai. Oh God, nyokap gue ya. "Dicha nggak betah kuliah di luar negeri. Udah, cuma itu aja yang Bunda tahu," ujar nyokap setelah penantian sabar gue menunggunya selesai nonton. "Tapi aku yakin ada hal lain yang sedang coba Dicha sembunyikan deh, Bun." Nyokap cuma mengedikkan bahunya, menyapa Kiara menjadi hal yang lebih berfaedah baginya daripada membicarakan alasan Delisha ada di rumah di waktu yang nggak wajar seperti saat ini. Delisha itu memang tertutup dari bokap dan nyokap. Saat dia mendapatkan beasiswa ke Jerman, orang pertama yang tahu kabar itu gue. Namun dia menerima beasiswa untuk kuliah keluar negeri atas kemauannya sendiri. Bokap, nyokap dan gue sendiri nggak terlalu mendukung saat itu. Dan sekarang dia sendiri yang bilang nggak sanggup jauh dari rumah. Aneh banget. Gue meninggalkan nyokap yang sedang mengobrol seru dengan Kiara. Menemui Delisha untuk mencari jawaban langsung dari mulut gadis itu. "Kenapa lo balik ke Indo? Sekarang bukan waktu liburan lo, kan?" tanya gue to the point saat memasuki kamar adik gue. "Gue out," jawabnya santai, menghambur memeluk gue. Gue melepas paksa pelukan Delisha. "What? Gue serius ini!" tukas gue. "Yaudah kalo lo nggak percaya." "Lo udah nyia-nyiain kesempatan. Lo tahu? Ribuan anak di luar sana yang pengin jadi kayak lo. Cantik, berbakat, cerdas, bisa sekolah gratis ke luar negeri. Kalau Ayah tahu, habis lo!" Delisha hanya diam dan menatap kosong ke layar laptopnya. Sama sekali nggak menghiraukan omongan gue yang udah sepanjang Tol Jagorawi. "Cha? Lo dengerin gue nggak? Bukannya dulu lo sendiri yang ngotot pengen ke Jerman, sekarang malah balik lagi ke Indonesia. Kenapa lo jadi labil gini?" "Terserah Ayah mau apa. Ini udah keputusan gue. Udah cukup gue bikin Ayah-Bunda bangga. Sekarang giliran gue, yang akan nentuin jalan hidup gue sendiri, Kak." Tiba-tiba saja, nada suaranya meninggi dan Delisha sudah meneteskan air matanya. "Gue nggak mau jauhan sama lo," ujarnya sambil sesenggukan. Fix, ada hal besar yang sedang coba disembunyikan oleh Delisha. Dia nggak mungkin sembarangan mengambil keputusan konyol seperti itu tanpa dipikir matang-matang dampaknya di masa yang akan datang. "Gue mau tinggal di Jakarta aja, mau cari kerja. Gue pengin kayak elo, Kak. Lo bisa bebas nentuin jalan hidup lo sendiri, tanpa ada campur tangan Ayah. Gue mau hidup kayak gitu." "Itu sama aja elo ngasih hukuman gantung ke gue, Cha. Kalau sampai Ayah tahu alasan lo balik karena itu, gue yakin Ayah nggak bakal ngijinin lo ketemu gue lagi." Alasan gue rasanya masuk akal bagi anak yang selalu salah di mata bokapnya. "Gue mau tinggal di apartemen lo, Kak." Gue kaget dengan keputusan Delisha yang sangat tiba-tiba ini. Asli penasaran. Apa yang sebenarnya terjadi pada adik gue, yang selama ini terlihat baik-baik saja? "Tapi gue udah nggak sendiri lagi, Cha. Lo kan tahu istri gue sudah tinggal di Jakarta sekarang." "Trus kenapa? Apa lo mau nyia-nyiain gue, demi istri lo itu?" "Kenapa lo ngomong gitu?" Gue mencoba untuk sabar menghadapi manjanya seorang Delisha jika sudah seperti ini. "Trus gue mesti ngomong gimana? Gue cuma mau tinggal sama Kakak gue, bukan minta tempat penampungan. Lo yang selalu janji, akan ada di samping gue sampai kapanpun?" Tangis Delisha semakin menjadi-jadi. Ini anak kenapa, Ya Tuhan. Kenapa bisa jadi ajaib gini, coba? Nggak ngerti gue. "Ya udah, stop nangisnya, Cha. Gue akan omongin dulu sama Kiara, sama Ayah juga pastinya," jawab gue melemah seraya membelai rambut panjangnya yang berwarna kecoklatan. Hal yang biasa gue lakukan ketika menghadapi watak Delisha yang terkadang keras dan super manja, seperti sekarang ini. "Ngapain pakai izin segala? Itu kan apartemen lo, lagian gue adik lo, bukan 'simpenan' lo. Jadi Mbak Kiara itu harus ngizinin dong." Astaga... Gue mengusap wajah dengan tangan gue. Mulai nggak sabaran menghadapi Delisha. "Iya, tapi tetep..., gue mesti ngomong dulu, Cha." Iyalah biar bagaimanapun, gue tetap harus ngomong dulu. Bisa panjang urusannya kalau sampai gue nggak ngomong apa-apa ke bokap dan Kiara. Ini ceritanya bukan cuma bakal menghadapi amukan bokap nantinya, tapi juga kesalahpahaman dari Kiara, apalagi kalau sampai dia mendengar setiap kalimat yang diucapkan oleh Delisha tadi. "Seraaah ... Gue tetep akan tinggal sama lo. Titik!" Delisha menutup laptop, lalu meletakkannya di atas nakas. Dia memilih bergelung dengan selimut daripada mendengar bantahan gue lagi. Gue meninggalkan kamar Delisha dan kembali ke kamar gue sendiri. Karena nggak enak juga, membiarkan Kiara yang saat ini lagi-lagi sendirian saja. Kiara memang belum terbiasa dengan rumah ini. Bukan karena nyokap gue jahat sama menantu, tapi Kiara pasti masih canggung, ditambah lagi karakter Kiara yang memang agak kaku saat menghadapi orang-orang baru dan lingkungan baru. Rumah gue memang terbilang cukup baru bagi Kiara, karena memang bisa dihitung dengan jari berapa kali dia pernah menginap di rumah ini. Justru gue yang sering menginap di rumah orang tua Kiara dan cukup dekat dengan lingkungan keluarganya. Oh...God! Padahal niat awal gue pulang cepat supaya bisa menghabiskan waktu lebih banyak dengan Kiara. Yang ada gue dapat masalah baru, dan lagi-lagi harus mengurangi waktu kebersamaan gue dengan Kiara. Karena ternyata, Kiara sudah terlelap dalam tidurnya saat gue masuk kamar. ~~~ ^vee^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN