Dastan:
~~~~~
Seringkali gue merasa takut kalau-kalau cuma sedang bermimpi saat Kiara berada di sekitar gue. Jadi setiap terjaga di pagi hari yang pertama kali gue cari adalah Kiara, bukan ponsel atau apa pun. Hanya untuk memastikan kalau gue nggak sedang bermimpi.
Seperti pagi ini gue terjaga lebih awal dari alarm ponsel. Saat membuka mata mendapati Kiara nggak ada di samping gue, seketika terduduk sebentar mengumpulkan nyawa, lantas mengedarkan mata mencari Kiara. Tapi nihil. Kiara nggak ada di seluruh penjuru kamar ini. Dapur menjadi tujuan berikutnya mencari keberadaan Kiara. Sama seperti kamar, di dapur juga nggak ada.
"Kia??? Kiara?" Gue menyerukan namanya beberapa kali. Mata gue beredar ke sekeliling apartemen mencari keberadaan Kiara.
"Assalamualaikum." Terdengar suara salam dari balik pintu apartemen. Kiara masuk dengan membawa beberapa kantong belanjaan berisi beraneka macam sayuran dan bahan-bahan masakan lainnya.
Ekor mata gue bergerak mengikuti langkah Kiara. Dia menuju dapur dan meletakkan seluruh kantong belanjaanya di atas meja dapur.
"Kamu dari mana?" Gue sudah berada di belakangnya dan memeluk pinggang Kiara yang sedikit lebih berisi dari sebelum hamil, but i like it. Dia sama sekali nggak terkejut. Bahkan bersikap biasa saja sambil melepaskan kaitan tangan gue yang ada di depan perutnya.
"Dari supermarket," jawabnya datar.
"Kenapa nggak pamitan sama aku? Kan bisa aku anter."
"Kamu tidur."
"Ya bangunin dong, sayang."
"Udah. Tapi kamu ngebo tidurnya."
"Kamu banguninnya gimana emang? Kalau cuma ditepok-tepok aku malah tambah nyenyak tidurnya. Coba diginiin," ujar gue sambil mencium dengan gemas salah satu pipi Kiara. "Pasti langsung bangun," canda gue.
Kiara berdecak lalu menatap malas ke gue. Dia mengusap pipinya yang baru saja gue cium. "Belum gosok gigi main cium-cium, jorok!"
Bukannya marah gue malah kembali memeluk Kiara lalu mengangkat tubuhnya, memangkunya setelah gue duduk di kursi makan. Kiara hanya mendesah pasrah nggak banyak protes. Kedua tangannya menggantung di pinggir tubunya. Sama sekali nggak berminat menyentuh apa lagi membalas pelukan gue.
"Sewot aja bawaannya pagi-pagi? Ada masalah?" tanya gue sambil mengusap punggungnya.
"Kamu masalahnya."
Kedua mata gue terbuka lebih lebar. "Aku? Kenapa dengan aku?" gue menatap diri gue sendiri.
Kiara memberi jawaban dengan berdecak kesal ditambah dengan memutar kedua bola matanya.
"Kalau dijawab tck, tck, tck lagi, bibirmu aku habisin loh, Kia." Gue mencoba menahan senyum saat mengatakan hal tersebut. Dia malah balas menatap gue dengan ekspresi datar.
"Kamu kenapa sayang?" tanya gue berusaha menampilkan wajah serius kali ini.
"Kamu kena amnesia? Abis kejedot di mana kepala kamu? Atau emang sengaja lupa kalau habis ngomong kasar sama aku semalam?"
Kiara bergegas turun dari pangkuan gue. Tapi gue menahan pergerakannya. "Maaf. Aku semalam capek dan ngantuk berat, jadi nggak nyambung kamu ngomong apa."
"Klasik."
"Eh, beneran loh. Trus sekarang aku mesti gimana biar dapat maaf dari kamu?"
"Aku mau cepet masuk kerja. Kamu nggak boleh protes kayak semalam apalagi ngelarang-ngelarang."
"Cuti kamu masih sisa sebulan lebih kan, Kia? Istirahat aja dulu sampai kamu bener-bener pulih."
"Aku baik-baik saja, Dastan."
"Kalimat aku baik-baik saja sudah ratusan kali kamu ucapkan waktu kamu hamil. Nyatanya kamu nggak baik-baik saja, Kiara. Bahkan kamu nggak sadar kalau bayi dalam kandungan kamu sudah nggak ada pergerakan sejak berjam-jam sebelum akhirnya kamu keguguran. Iya kan?"
Kali ini Kiara benar-benar turun dari pangkuan gue. Meski tampilan wajahnya dingin, tapi gue yakin saat ini kedua matanya berkaca-kaca saat menatap gue. Dia bergerak mundur saat gue berusaha mendekat.
"Jadi kamu nyalahkan aku atas kematian calon bayi kita?"
"Aku nggak nyalahin kamu. Please, kamu jangan salah paham dong."
"Tapi dari cara kamu ngomong arahnya ke situ. Iya, semua memang salah aku. Puas?"
Kiara berbalik badan, kembali ke meja dapur dan mengeluarkan isi belanjaannya dari kantong plastik. Gue bisa melihat dari tempat gue berdiri kalau dia melakukan semuanya dengan penuh emosi. Dia mengeluarkan barang-barang dari kantong plastik dengan kasar. Lalu tiba-tiba saja dia terduduk dan menangis sejadi-jadinya.
"Aku sudah berusaha keras berhenti menyalahkan diri sendiri atas kematian calon bayi kita. Tapi kenapa kamu malah kembali mengingatkan hal yang seharusnya sudah berhasil aku lupakan?" ucapnya dengan kepala tertunduk.
Gue bergerak secepat mungkin menuju posisinya sedang duduk di lantai untuk memeluk Kiara. Dia nggak memberontak. Justru membalas pelukan gue. "Maafin aku. Aku sama sekali nggak bermaksud lalai atau terlalu santai pada kondisi kandungan aku. Aku hanya nggak mau terlalu kepikiran yang malah nantinya bikin aku setres dan berdampak buruk sama perkembangan bayi kita. Aku nyembunyiin semua keluhanku dari kamu bukan karena nggak mau berbagi masalah sama kamu. Aku cuma nggak mau sampai kamu kepikiran lalu mengganggu konsentrasi pekerjaanmu."
Kiara menangis sesenggukan dalam pelukan gue. Gue bingung menghadapi Kiara yang memang sangat jarang menunjukkan kesedihan dan emosinya. Gue cuma mikir, sepertinya dia sedang meluapkan semua yang ia pendam semenjak kehilangan calon bayi kami.
"Aku nggak marah, jadi kamu nggak perlu minta maaf Kiara."
Kiara melerai pelukannya, wajahnya terlihat sembap dan masih sesenggukan sesekali. Gue membantunya mengusap jejak air mata yang terbentuk jelas di kedua pipinya. Dia tersenyum tipis, beranjak dari duduknya lalu melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.
"Aku benar-benar baik-baik saja. Aku hanya butuh kegiatan dan sedikit kesibukan untuk melupakan kesedihan yang rasanya nggak ada habisnya ini," keluhnya.
"Kalau kamu sendiri sudah yakin dengan kondisi kesehantamu, aku nggak akan nahan kamu. Sekarang, apa yang bisa aku lakukan untuk istriku yang paling cantik ini supaya nggak sedih lagi?" ujarku seraya mengerlingkan sebelah mata gue.
Kiara malah tertawa, mengusirku dari dapur, lalu menyuruhku mandi daripada mengganggu aktivitasnya di dapur. Gue tersenyum lega sebelum masuk kamar, menoleh sebentar ke dapur dan mendapati wajah Kiara sudah normal seperti sedia kala. Secepat itu ekspresinya berubah.
Kadang kala gue mikir, selain irit ekspresi, ternyata Kiara itu minim emosi. Satu yang mesti gue syukuri, meski dia susah menunjukkan perasaannya seperti rasa sedih dan rasa cintanya, tapi rasa empati dan belas kasihan yang dimiliki Kiara masih terbilang normal. Caranya dia berinteraksi juga masih bisa dikategorikan normal meski cukup kesulitan dalam hal beradaptasi dengan lingkungan baru. Ternyata masih banyak hal yang harus gue pelajari tentang Kiara. Mengingat waktu pertemuan kita sebelum menikah memang sangat sedikit. Namun gue nggak perlu berkecil hati, karena gue punya waktu seumur hidup untuk mengenal istri gue lebih jauh lagi.
***
Malam harinya saat kami telah menyelesaikan acara makan malam. Kiara menjelaskan kembali soal konsekuensi yang harus dia dijalani demi bisa mutasi ke Jakarta. Kali ini kami berdua benar-benar menghadapi persoalan ini dengan kepala dingin, tidak dengan tubuh sedang letih hingga mudah tersulut amarah seperti semalam.
Satu hal yang masih nggak gue pahami soal hukum kepegawaian dunia perbankan ini. Mana bisa coba saat seseorang mengajukan mutasi harus rela menerima konsekuensi semacam turun jabatan. Sedrastis itu lagi. Bikin gue merasa bersalah setengah mati kalau sudah begini ceritanya. Tapi salah gue juga, kenapa nggak mencoba menanyakan pada Kiara soal konsekuensi dari mutasi yang dia katakan semalam jauh hari sebelumnya.
Demi menebus rasa bersalah gue, akhirnya gue memenuhi permintaan Kiara, mengantarnya mengunjungi kantor barunya yang ternyata nggak terlalu jauh dari apartemen. Gue mencoba memberi dukungan pada Kiara dengan cara ini. Memenuhi keinginannya untuk bisa segera bekerja lagi. Mungkin dengan pekerjaan, Kiara mampu melupakan kesedihan yang katanya nggak ada habisnya.
Waktu itu gue juga melakukan hal yang sama dengan yang ingin dilakukan oleh Kiara. Menyibukkan diri dengan pekerjaan supaya nggak mengalami kematian mendadak karena kesedihan yang mendalam. Kata orang-orang kantor, gue kerja seperti orang kesurupan. Nggak kenal waktu, nggak merasakan yang namanya rasa capek dan yang paling buruk gue sama sekali nggak bisa mengontrol emosi saat baru kehilangan Anandara. Gue seolah meluapkan kemarahan gue pada sang Pencipta dengan cara bekerja tak kenal lelah dan tak kenal waktu. Beruntung Kiara datang tepat waktu. Kalau nggak, mungkin hidup gue bakal makin kacau saat ini.
(***)
Pagi ini gue memenuhi janji yang sudah gue cetuskan semalam. Gue mengantar sekaligus menemani Kiara sampai dia selesai dengan urusan di kontor barunya. Saat Kiara masuk ke ruangan yang katanya ruangan kepala unit di kantor ini, gue menunggu di deretan kursi stainless yang memang disediakan untuk para nasabah yang akan melakukan transaksi di teller.
Gue memerhatikan seorang teller perempuan, sedang melayani salah seorang nasabah. Nasabahnya pria paruh baya, agak genit menurut gue, dan memanggil teller tersebut dengan sebutan 'dik', sambil senyum-senyum nggak jelas. Sesekali pria itu menyisir rambut klimisnya dengan sisir kecil, yang diletakkan di kantong belakang celananya. Gue bertanya dalam hati, berarti orang-orang seperti ini yang bakal bini gue kasih pelayanan nantinya.
Saat teller menjelaskan sesuatu, si pria mencoba menyentuh tangan perempuan tersebut, untungnya nggak digampar ama itu teller. Teller itu nggak marah hanya tersenyum hormat pada nasabahnya. Astaga, awas aja kalau di depan mata gue Kiara digituin, gue yang bakal gampar itu orang.
"Cap jempolnya di sini ya pak. Mari saya bantu," ucap teller itu dengan sopan, masih pada pria tua ganjen tadi.
Gue mencoba menahan tawa, karena nggak kuat, akhirnya gue memilih keluar dari ruangan. Ya Tuhan, di era globalisasi seperti ini, ditambah lagi dengan gaya pria setengah tua itu yang perlente, ternyata dia nggak bisa tanda tangan, dengan kata lain dia nggak bisa baca tulis bukan? Astaga, buruh pabrik di tempat gue yang gayanya biasa-biasa aja, masih bisa ini kalau hanya sekadar tanda tangan, baca, dan tulis. Begitulah kalau antara gaya dan kemampuan nggak bisa berjalan seiringan, akhirnya timpang.
Setelah pria tadi keluar, gue masuk lagi, dan mendapati Kiara keluar dari sebuah pintu dengan seorang pria. Nggak bisa dikatakan tua, karena gue yakin usianya nggak terlalu jauh dari gue. Mengenakan kemeja batik, dan menatap bini gue dengan tatapan, ach...lapar. Jelas gue bisa baca tatapan macam apa itu, karena sesama laki-laki pasti mempunyai insting yang kuat jika menyangkut soal wanita, apalagi wanita itu punya gue, istri gue woy!
"Sampai jumpa awal bulan ya Mbak Kiara. Saya beruntung sekali diberikan teller senior seperti Mbak Kiara. Saya usahakan Mbak nggak lama kok di teller, saya akan berusaha mengembalikan Mbak ke posisi terahir sebelumnya," ucap laki-laki itu sambil menampilkan senyum yang kelihatan sekali dibuat-buat.
Bener-bener dah.
"Sama-sama Pak Ferdian. Nggak perlu repot-repot membantu saya mendapatkan promosi jabatan, jika memang rejeki saya, ya saya bisa mendapatkan promosi, kalau nggak ya dijalani saja yang sekarang."
Gue beranjak dari duduk, saat Kiara mendekat. Gue jalan lebih dulu menuju ke pintu kaca dan segera keluar. Ternyata laki-laki itu terus aja mengantarkan Kiara sampai keluar.
"Oya, ini suami saya, Pak."
"Dastan."
"Ferdian."
Kami berjabat tangan. Orang ini menatap gue dengan tatapan aneh menurut gue. Setelah berjabat tangan, gue segera menggenggam tangan Kiara dan mengajaknya untuk segera meninggalkan tempat ini.
"Itu siapa?" tanya gue saat mobil sudah cukup jauh meninggalkan kantor baru Kiara.
"Kepala unit di sana. Masih muda loh dia. Usianya baru masuk 32 tahunan," jawab Kiara antusias.
"Udah married?" tanya gue dengan malas-malasan.
"Nggak tahu, sih, nggak tanya-tanya."
Seketika ekspresi antusias di wajahnya menguap entah ke mana, setelah mendengar pertanyaan gue. Salah, gue tanya gitu?
"Ya kan kamu bisa lihat di jarinya ada cincin kawin nggak?"
"Emang mata aku jelalatan sampai ngelihatin ke jari-jarinya?" Kiara mendengus kesal. Lagian juga ini mulut gue, kenapa bisa-bisanya menanyakan hal yang sama sekali nggak penting kayak gini. Jelaslah Kiara gedeg sama gue.
"Bisa kerja dalam masa cuti kamu, Kia?"
"Iya bisa, awal bulan depan. Sisa cutiku udah langsung dibatalin tadi."
"Masih seminggu lagi dong?"
"Iya," jawab Kiara singkat, padat dan jelas. Sekalian saja langsung, umum, bebas dan rahasia seperti slogan Pemilu tahun sembilan puluhan. Sepertinya dia masih marah sama gue. Akhirnya sisa perjalanan kami diisi dengan keheningan.
Setelah mengantar Kiara kembali ke apartemen, gue kembali lagi ke kantor. Meninggalkan Kiara lagi sendirian di apartemen. Ada tatapan nggak suka darinya waktu tadi melepas gue di pintu apartemen. Gue cuma bisa ngasih kecupan sekilas di bibirnya dan berjanji hari ini akan pulang lebih awal.
~~~
^vee^