Dastan:
~~~~~
Pagi ini adalah hari pertama Kiara masuk kerja. Gue menyempatkan diri mengantarnya sampai kantor. Delisha bersikeras ingin mengantar Kiara. Katanya biar sekalian tahu lokasi kantornya. Namun gue menolak karena ini best moment buat gue bisa mengantar istri berangkat kantor selama menikah. Mau gimana lagi, semenjak menikah, gue ketemu Kiara hanya saat weekend saja.
Saat mobil gue berhenti di depan pintu kantor, gue melihat laki-laki yang tempo hari mengaku sebagai kepala unit. Dia sedang mengobrol santai dengan security bank.
"Ngapain itu bos kamu, sayang? Jangan bilang dia mau menyambut kedatangan istriku yang cantik jelita ini?"
Kiara mencibir. "Yo emboh. Aku turun ya. Assalamualaikum," jawab Kiara sambil mencium punggung tangan gue dan gue bales mengecup keningnya. Dia nggak menolak, karena posisi kami saat ini masih di dalam mobil.
Susah bener bini gue diajak romantis-romantisan ala-ala film.
Gue nggak langsung melajukan mobil, menunggu sampai Kiara masuk kantornya. Benar saja, laki-laki itu mengekori Kiara masuk kantor. Padahal gue lihat dia tadi kelihatan sok sibuk mengobrol dengan security. Mematikan alarm protektif dalam diri yang sempat menyala, dengan malas gue melajukan mobil meninggalkan kantor Kiara menuju kantor gue sendiri.
•••
Kiara:
~~~~~
So far orang di unit ini menyambutku dengan baik. Aku pasti akan canggung dengan pekerjaan baruku ini, karena terakhir aku berada di posisi teller, kira-kira sekitar 5 atau 6 tahun yang lalu, posisi pertama saat mengawali karirku di dunia perbankan 8 tahun silam. Aku menduduki posisi teller sekitar 2 tahun dulu, sampai akhirnya berpindah ke divisi audit internal.
Banyak hal yang harus aku pelajari, ditambah lagi karena banyak system baru yang harus aku kuasai lagi. Meski head teller-nya lebih muda dariku dan pengalamannya di dunia perbankan masih belum terlalu lama, hal itu tidak lantas membuatku besar kepala dan tidak mau diajari ini dan itu. Aku tetap menghormati dia sebagai atasanku. Namanya Citra, usianya 27 tahun dan sudah menikah.
Hampir rata-rata penghuni di unitku ini sudah menikah, kecuali customer service baru bernama Lingga yang memang masih fresh graduate dan Ferdian kepala unitnya sendiri. Aku baru tahu kalau dia juga pemghuni baru di unit ini. Dia promosi jabatan beberapa bulan yang lalu dan pindah ke unit ini. setelah sebelumnya menjabat sebagai account officer di salah satu unit wilayah Bandung.
Heran juga sebenarnya, laki-laki mapan seperti dia belum menikah di usianya yang sudah masuk angka 32 tahun. Aku berusaha jaga jarak dengan Pak Ferdian, termasuk siapapun di sini. Aku akan mengobrol seadanya dan tidak perlu terlalu terbuka untuk hal di luar pekerjaan. Selain susah beradaptasi, aku orangnya juga tergolong mudah insecure pada lingkungan baru. Jadi berusaha jaga jarak pada orang-orang yang baru aku kenal.
•••
Dastan:
>>>>>
Saat jam makan siang tiba, gue berusaha menghubungi Kiara. Tapi hasilnya nihil. Pesan singkat yang gue kirim tadi sesampainya di kantor sampai sekarang masih juga belum dia baca. Gue coba lagi, hasilnya tetep saja. Sekarang malah di telepon pun nggak bisa.
Alvin mengirim chat di group yang beranggotakan gue dan Fandi. Mengajak makan siang bersama di kafetaria, karena pagi tadi Kiara nggak sempat menyiapkan bekal buat gue. Masih dalam masa transisi dari ibu rumah tangga jadi wanita karier kembali, katanya. Jadi ritme kerjanya masih sedang menyesuaikan.
Baiklaaah.
"Fan, lo kan asli Bandung. Mungkin aja gitu pernah punya teman namanya Regi?" tanya gue pada Fandi saat kami sudah berkumpul di meja khusus smooking room.
"Regi siapa? Regina mantannya Farhat Abbas?" jawab Fandi asal.
"Anjiiir...." Alvin yang mendengar jawaban Fandi seketika menimpuk kepala Fandi dengan bungkus rokoknya.
"Makanya yang jelas dong! Dastan noh timpuk, biar sadar kalau Bandung itu luas, lo kate gue tukang sensus penduduk, heh?" Fandi terlihat nggak terima ditimpuk oleh Alvin, tapi bungkus rokok milik Alvin tadi dibuka juga, lalu diambilnya sebatang. Yang sableng Fandi apa gue coba?
"Gaya lo tinggal di elite apartemen, tapi rokok masih aja numpang," cibir gue. Alvin hanya tertawa lalu meminta kembali bungkus rokoknya dari Fandi.
"Biar lah, pak. Kaum duafa dia. Kita anggap amal jariyah aja," jawab Alvin datar, setelah menerima bungkus rokoknya lalu mengambil sebatang untuk dirinya sendiri.
Alvin memang paling jago kalau bikin Fandi kicep.
"Taiii. Kaum duafa banget sebutannya. Masih sanggup gue kalau cuma mau beli gudangnya rokok, sekalian aja sama SPG-nya gue beli," Fandi kesal tapi terbahak setelahnya.
"Banyak bacot lo! Kenal nggak sama Regi?"
"Kagak. Bandung luas woy!"
"Berarti chanel lo yang sempit! Katanya paling populer se Bandung."
Fandi terbahak sekencang-kencangnya. "s**t! Savage banget emang lo! Memang cowok apa cewek si Regi yang lo tanyain itu?"
"Cowok."
"Ahelaaah..., gue kira cewek. Udah bosen straight lo cowok yang ditanyain?"
"Stroke gue lama-lama, nanya ke elo."
Fandi tertawa terbahak sedangkan Alvin menatap gue iba. Sialan memang Fandi ini.
"Regi siapa memangnya? Apa ada hubungannya sama Kiara?" tanya Alvin lebih bijak. Dia memang selalu bisa jadi penyelamat gue dari Fandi.
"Nggak ada. Dia pernah dekat sama adik gue."
Alvin yang akan menyesap kopinya tiba-tiba menghentikan aktivitasnya itu. "Hah, Delisha?" tanya Alvin dengan ekspresi terkejut yang jarang sekali gue lihat dari wajah datarnya.
"Lah sapa lagi adik gue? Adik beneran ini, bukan adek-adek an kayak Fandi." Gue dan Alvin tertawa bersamaan melihat ekspresi kalah telak di wajah Fandi saat ini.
"Taik lo pada. Bentar, coba gue hubungi teman gue di Bandung. By the way selain nama Regi ada informasi yang lain mungkin?"
Gue menggeleng. Fandi meninggalkan ruangan. Tinggal gue dan Alvin saat ini.
"Ngapain lo nyari tahu soal Regi? Dia siapanya Delisha?"
"Cowok itu pernah dekat dengan Delisha?"
"Dekat gimana? Pacaran? Apa cuma temenan?"
"Nggak paham juga. Kata Kiara, si Dicha itu pernah dekat dengan dua laki-laki selama kuliah di Bandung. Yang satu nggak disebutin namanya, satu lagi ya Regi itu. Feeling gue mereka pernah pacaran dan mungkin sekarang udah jadi mantan."
"Selain itu Delisha cerita apa lagi?"
Gue makin heran dengan sikap Alvin. Dia begitu ingin tahu soal Regi. Dia juga seperti sedang mengkhawatirkan suatu hal yang berakibat fatal baginya bila diketahui orang lain.
"Dicha ceritanya sama Kiara cuma itu aja. Gue belum tanya langsung sama Dicha. Gue mau tahu sendiri, orang macam apa yang berani-beraninya dekatin adik gue."
"Mulai lagi lo sok jadi detektif. Kumat penyakit over protective lo. Delisha itu udah gede, biasakan dia menjaga dirinya sendiri. Kalau lo masih aja terus bersikap over protective ke dia, selamanya dia nggak akan bisa move on dari lo, selamanya dia akan ketergantungan sama lo."
"Move on? Istilah yang lo pakek kayaknya lebih tepat untuk orang yang baru putus pacaran deh, Al. Bukan sebutan buat gue dan Dicha." Kening gue mengernyit menunggu jawaban kelanjutan dari Alvin.
Dari cara bicaranya menyampaikan pendapat soal Delisha, Alvin seolah begitu mengenal dan mengetahui permasalahan sindrome brother complex yang pernah menimpa Delisha.
"Kok lo bisa paham banget sama kondisi psikologis Dicha, Al? Padahal gue belum cerita banyak soal masalah yang pernah menimpa adek gue," tanya gue heran.
Alvin tertawa canggung sebelum berkata-kata. "Heh pak, gue kenal kalian berdua nggak cuma sebulan dua bulan loh. Apalagi Delisha. Gue kenal anak itu sejak dia masih suka lari-larian cuma pakai singlet dan celana dalam. Intinya, kurang-kurangin deh tuh sifat over protektif lo sama Delisha. Lo juga udah punya istri. Kalau sampai Kiara nggak bisa terima lo terlalu protektif sama adik lo gimana? Bisa jadi boomerang juga buat rumah tangga kalian. Sampai di sini lo paham kan maksud gue?"
"Iya gue paham. Tapi Delisha itu adik perempuan gue satu-satunya, Al. Gue akan terus menjaga dia sampai dia berkeluarga nanti. Setelah dia menikah baru tugas gue bisa digantiin sama suaminya."
"Monyet! Lo lupa kalau gue juga punya adek perempuan satu-satunya? Di antara kita bertiga cuma Fandi yang nggak punya adek beneran. Tapi gue nggak separah elo menjaga Silvia."
Lagi gue terdiam. Salah gue gitu terlalu menjaga adik gue sendiri? Gue cuma nggak mau kejadian buruk seperti saat Delisha sekolah menimpanya lagi. Gumam gue dalam hati.
"Tapi Silvia nggak pernah mengalami trauma yang pernah Delisha alami, Al."
"Oke. Lo pikir lagi, Delisha masih mending ada orang tuanya di Jakarta. Nah Silvia? Kami yatim piatu, cuma berdua di Jakarta. Tapi kami survive, gue tetap berusaha menjaga Silvia, tapi nggak sampai yang ikut campur urusan dia. Dia mau cerita tentang siapa yang sedang dekat dengan dia, ya gue dengerin, nggak cerita juga gue biarin. Karena gue tahu suatu saat Silvia juga pasti akan cerita ke gue.
"Dan gue kasih kepercayaan sepenuhnya, dia pasti bisa jaga diri baik-baik, terutama menjaga kehormatannya. Gue tetap mengawasi Silvia dengan cara gue, meski dari jauh. Lagian juga iya kalau dugaan lo bener cowok itu pernah pacaran sama Delisha? Kalau ternyata enggak?"
Gue mencoba mencerna semua yang Alvin ucapkan. Ada benarnya juga. Nggak lama kemudian, Fandi balik ke meja kami. Fandi menjelaskan dengan detail tentang Regi. Tapi dia menambahkan kalau Regi yang dia kenal ya Regi yang sedang dia ceritakan itu. Tapi Fandi sendiri juga nggak terlalu yakin Regi itu adalah Regi yang sama dengan yang pernah dekat dengan Delisha.
"Akurat banget berita lo? Cocok lo jadi wartawan?" tukas Alvin seraya memberikan tepuk tangan untuk Fandi, dan Fandi membalas dengan meletakkan telapak tangannya di depan d**a sambil menunduk.
"Terima kasih kakak ipar, berarti Fandi sudah layak mendampingi adek Silvia. Kami punya kemampuan yang sama di bidang menggali sebuah informasi yang akurat."
"Kakak ipar pale lo!" Alvin seketika menoyor kepala Fandi. Fandi hanya balas mencibir.
"Bah, adek lo demen banget sama yang jauh lebih tua dari dia. Bang Alvin! Baiknya maju duluan lo, jadi adik iparnya kakak Dastan. Sebelum adek Dicha disamber om-om lain, kan mending sama om Alvin. Ya nggak om Alvin?" celetuk Fandi di akhir ucapannya.
Alvin tiba-tiba terbatuk, padahal dia nggak sedang makan atau minum sesuatu. Tapi batuknya mengalahkan tenggorokan keselek kopi panas. Sikap Alvin sejak gue membicarakan soal Delisha memang sangat aneh, hanya saja gue nggak terlalu memikirkan soal itu.
"Bangkeee!? Mati aja lo, Fan!" hardik Alvin di sela batuknya, kemudian keduanya kembali berdebat kusir. Astaga, stroke beneran gue habis ini, lihat kelakuan ajaib dua orang di hadapan gue.
Akhirnya gue memilih untuk kembali lebih dahulu ke ruangan kerja gue, karena Nurma mengabari ada berkas yang harus segera gue bubuhi tanda tangan. Di dalam lift, ponsel gue berbunyi sekali tanda pesan singkat masuk.
My Wife: maaf baru balas. Dari pagi sibuk. Awal bulan gini, ngga cuma melayani transaksi umum, tapi juga pensiunan.
Me: udah makan?
My Wife: udh. Kamu udh makan?
Me: udah. nanti dijemput jam berapa?
My Wife: nanti aku kabari ya.
Me: jng mendadak. Jarak kantor aku ke kantor kamu kena jalur macet lumayan parah.
Me: biar aku bisa on time jemputnya, jd kamunya ngga perlu nunggu lama2 jg sayang.
My Wife: oke.
See! She is my cold wife. Gue memasukkan kembali ponsel ke dalam saku celana. Nggak membalas lagi pesan singkat dari Kiara.
•••
Kiara:
~~~~~
Di hari kelima aku bekerja Dastan sudah memberiku warning terkait Ferdian. Meski peringatan itu ditujukan secara tidak langsung karena alasan cemburu, tapi aku tahu dari caranya menatap Ferdian setiap kali mengantar atau menjemputku. Kelihatan banget kalau Dastan sangat tidak suka aku terlalu dekat dengan atasanku itu.
Dastan bahkan janji kelingking akan setia mengantar dan menjemputku ke kantor. Kalau dia tidak bisa melakukan salah satunya, Dastan akan mengirimiku jemputan. Entah itu dengan sopir kantornya, ataupun transportasi daring.
Awalnya aku protes keras atas sikap over protektifnya itu. Aku bersikukuh untuk naik angkutan umum ataupun transjakarta saja kalau seandainya Dastan tidak bisa menjemputku. Lingga dan Citra sudah mengajariku bagaimana caranya menggunakan sarana transportasi umum untuk sampai ke apartemenku dengan selamat. Tapi yang ada kami malah berdebat tidak ada ujungnya. Dan berakhir dia yang menang. Dastan memang negosiator ulung dan pemaksa yang hebat. Nggak ada duanya pokoknya, untuk dua kelebihannya itu.
Dastan mulai bersikap seperti itu karena aku pernah satu kali diantar pulang oleh Ferdian. Dia muring-muring tidak jelas, bahkan memberiku ultimatum, jika sekali lagi diantar pulang oleh Ferdian, maka Dastan sendiri yang akan bilang pada Ferdian, agar tidak menggangguku. Astaga, siapa juga yang niat mengganggu. Sepertinya aku harus banyak belajar sama Delisha, bagaimana cara menghadapi sikap over protective dan possesif seorang Dastan.
Mungkin inilah sifat dasar dan karakter aslinya Dastan. Selama kami berjauhan, dia mungkin berusaha menjadi pria sabar dan pandai menahan emosi, agar tidak sampai muring-muring di saat kami terpisahkan oleh jarak dan waktu yang cukup membuat lelah jiwa dan raga.
"Mbak Kiara bisa ikut gathering di puncak minggu depan? Kalau bisa, ikut rombongan mobil saya saja, saya sendirian. Nanti bisa ajak teman yang lain untuk menemani." Ferdian menawarkan tumpangannya, saat aku baru selesai melaksanakan solat dhuhur.
Memang, minggu depan akan diadakan gathering tahunan di puncak. Pesertanya adalah seluruh karyawan yang tergabung dalam satu kantor wilayah yang sama dengan unitku, beserta keluarganya. Dan sekarang Ferdian menawarkan tumpangan kepadaku, kalau aku sampai mengiyakan hal itu, namanya nyari perkara sama Dastan. Lupakan saja.
"Kemungkinan suami saya bisa ikut, jadi saya diantar suami saya saja." Aku berkilah, padahal Dastan saja tidak tahu menahu soal gathering itu, jadi boro-boro dia bisa mengantar.
"Sayang sekali ya. Oke kalau gitu."
Ferdian membalikkan tubuhnya dan meninggalkanku untuk kembali ke ruangannya. Aku hanya mengembuskan napas lega, syukurlah Ferdian tidak punya hobi memaksakan kehendaknya seperti Dastan.
~~~
^vee^