"Mau jalan kemana?" tanya Daniel saat ia dan Floria sampai diparkiran.
"Kemana aja asal sama kamu." kata Floria sambil memasang helm dikepalanya.
Daniel menyentil kaca helm yang sebelumnya sudah Floria tutup. "Ke pelaminan aja kalo gitu." goda Daniel sambil mengerlingkan sebelah matanya.
Rona merah tercetak di kedua pipi Floria, ia memukul lengan Daniel pelan. "Apaan deh ih. Ayo ah, katanya mau jalan."
"Ih kamu aja sendiri, aku sih naik motor." kata Daniel.
Floria terkekeh kecil sambil memukul lagi lengan Daniel. "Yaudah kalo gitu, aku jalan aja." katanya sambil melenggang pergi namun langsung ditahan oleh Daniel.
"Becanda , Sayang. Ayo naik." kata Daniel yang terlebih dahulu naik.
Floria menjulurkan lidahnya, lantas naik ke atas motor Daniel.
"Pegangan dong." kata Daniel.
Floria menurut, ia memegang bahu Daniel.
Daniel berdecak, ia menarik kedua tangan Floria—melilitkannya dipinggangnya membuat Floria membelalakan matanya. Diparkiran masih banyak anak-anak yang lainnya dan Daniel malah menarik tangannya hingga memeluk cowok itu dari belakang.
Setidaknya, dengan kehadiran Floria, Daniel bisa sedikit lebih tenang dan mencoba melupakan sejenak masalah yang coba ia hadapi.
Entah sampai kapan ia dan Floria bisa terus bersama. Yang jelas, Daniel ingin terus bersama dengan gadis yang sedang memeluknya dari belakang itu.
*****
Daniel memasuki rumahnya pada pukul enam kurang sepuluh menit. Ia dan Floria tadi jalan-jalan untuk menghilangkan penat yang bersarang besar dikepala Daniel. Mencoba beberapa permainan di timezone dan menonton film romantis bersama.
"Dari mana kamu?" suara berat Dimas terdengar begitu Daniel berada di ruang keluarga.
Daniel tidak menjawab pertanyaan Dimas. Ia menyalimi tangan semua yang ada disana, termasuk Omanya yang sudah keluar dari rumah sakit tadi siang.
"Kamu dari mana, Sayang?" suara lembut Nina terdengar.
"Ke rumah Cakra, Oma." jawabnya bohong.
Dimas berdehem. "Ini yang kamu bilang Cakra, Daniel?" tanya Dimas lalu ia melempar dua lembar foto.
Daniel menoleh, itu adalah foto dirinya dan Floria saat tadi di timezone.
"Maafin Daniel, Oma." kata Daniel begitu melihat wajah Nina murung.
"Oma mau istirahat." kata Nina yang seperti orang kecewa.
Nina kecewa? Jelas. Daniel menerima perjodohan itu tapi dia malah masih berhubungan dengan Floria. Nina mengerti Daniel masih belum terbiasa. Tapi, tidak bisakah Daniel menghargai Nina?
"Daniel antar ya, Oma?" kata Daniel.
Nina hanya diam, membiarkan Daniel mendorong kursi rodanya menuju kamar.
"Daniel minta maaf, Oma. Daniel udah bohong sama Oma." kata Daniel dengan nada menyesalnya.
Nina menghela nafasnya panjang. "Oma yang salah." ujarnya membuat Daniel mengerutkan keningnya.
"Oma yang maksa kamu sampai kamu harus melakukan kebohohongan seperti ini." ujar Nina lagi.
"Maaf, Oma."
"Oma sudah atur pertemuan dengan keluarga perempuan yang akan dijodohkan sama kamu, dan itu besok malam. Oma harap kamu gak lari dan gak perlu bohong supaya menghindari pertemuan itu." ujar Nina tegas sambil beranjak dari kursi rodanya menuju kasur.
Diluar dugaannya, Daniel kira Nina akan membatalkan perjodohan itu karena Daniel berbohong yang disebabkan oleh Daniel yang terpaksa menerima perjodohan itu.
Daniel menelan ludahnya. Ia paling takut jika intonasi suara Nina seperti itu. Meski pun usianya tidak lagi muda, namun suara tegasnya tetap menyeramkan.
Perlahan, Daniel mengangguk kaku. "Tapi Daniel gak—"
"Harus janji!" potong Nina cepat, karna ia sudah hafal diluar kepala, dan Daniel akan mengatakan jika ia tidak janji.
Daniel mengerjapkan matanya beberapa kali, menggaruk kepalanya tidak gatal. "Yaudah, Daniel ke kamar dulu ya."
Nina hanya mengangguk.
Daniel beranjak, namun Nina mengatakan sesuatu membuatnya berhenti sejenak dan menegang.
"Oma harap kamu mengerti dengan posisi gadis bernama Floria itu. Akhiri dengan segera!"
*****
Daniel mengacak-ngacak rambutnya yang basah karna sehabis mandi.
Saat ini, ia duduk di balkon kamarnya dengan ponsel digenggamannya. Ucapan Omanya masih terngiang-ngiang dikepalanya.
Haruskah semua keluarganya tahu bahwa Daniel tidak bisa tanpa Floria sekarang? Haruskah?
Daniel memejamkan matanya. Dalam hati, Daniel mengumpat sejadi-jadinya.
Bagaimana mungkin ia harus memutuskan Floria. Untuk berjauhan saja, rasanya Daniel tidak sanggup melakukannya.
Daniel menempelkan telepon ditelinga kanannya, tak lama panggilan kepada Cakra terhubung.
"Apaan?" tanya Cakra disebrang sana.
Tiba-tiba saja, tenggorokan Daniel tercekat. Rasanya masih tidak sanggup untuk menceritakan semuanya walau kepada Cakra. Namun, saat ini Daniel membutuhkan sahabatnya itu.
"Gue—"
"Apaan deh, Dan, gue lagi ngarang puisi, nih, tugasnya Bu Ela belum kelar."
"Gue mau curhat sesuatu sama lo."
"Gaya-gayaan lo curhat, bangke tikus. Yaudah cepetan apaan?"
"Gue dijodohin." kata Daniel.
Cakra yang disebrang sana sedang minum langsung tersedak. Terdengar suara batuk-batuk dari sebrang sana membuat Daniel mengerutkan keningnya.
"Kenapa lo? Keselek puisi lo yang amsrud." cibir Daniel.
"Apa tadi lo bilang? Gue gak salah denger?" tanya Cakra yang disebrang sana sedang mengorek-ngorek telinganya, takut pendengarannya yang salah.
"Lo gak salah denger. Gue harus gimana sekarang?"
Terdengar suara helaan nafas dari sana. Cakra menelan ludahnya dan merubah posisi duduknya menjadi tegak. "Ya gimana ya, gue gak tau sih, gue gak berpengalaman soalnya. Ya lo tolak aja gitulah."
Daniel mendengus keras. "Itu yang pertama gue lakuin, njing. Gue gak mungkin curhat menye-menye sama lo kalo emang langsung beneran dibatalin sama Oma gue." jelas Daniel.
Cakra disebrang sana mengerutkan keningnya. "Wait, kok jadi ke Oma lo sih?" tanya Cakra bingung.
"Ini semua emang rencana Oma sama Almarhum Opa gue sejak lama banget, bahkan mungkin sejak gue belum berojol."
"Semacam perjanjian gitu?"
"Meybe." kata Daniel sambil mengangkat bahunya, padahal Cakra tidak mungkin melihatnya.
Disana, Cakra beranjak dari kursi belajarnya menuju jendela. "Agak susah sih kalo gitu ya. Biasanya emang bakal tegas dan keras gitu. Apalagi itu udah direncanain dari kapan taun."
Daniel menghela nafasnya. Ucapan Cakra benar. Ini memang susah, bahkan sangat susah melebihi soal matematika log-log gitu. Cowok itu memijat pelipisnya.
"Kalo lo dijodohin, gimana soal Floria? Lo kasih tau dia juga?" tanya Cakra kemudian.
Daniel menggeleng meski pun Cakra tidak melihatnya. "Gue gak berani kasih tau semua ini sama dia. Gue gak mau bikin dia sedih karna harus pisah sama gue. Gue minta sama lo, lo jangan kasih tau soal ini ke Floria ya?"
"Iya, gue gak bakalan kasih tau ini soal ke Floria. Gue gak bisa banyak bantu ini sama lo, karna gue sendiri gak tau harus bantu apa. Gue doain lo yang terbaik aja soal ini dan semoga gak makin rumit."
"Thanks, Cak, lo emang sohib ajib gue. Jangan kasih tau siapa-siapa juga ya, cukup lo yang tau soal ini."
"Lo jangan panggil gue Cak, kesannya nama gue Cicak, gitu." kata Cakra sembari mendengus.
Daniel tertawa, Cakra sedikit menghiburnya. "Kalo gue panggil lo Ra, malah kaya keliatan Rara."
"Sianjing lo ya emang."
Daniel tertawa lagi.
"Eh btw, ceweknya siapa? Lo kenal atau kita kenal? Seumuran juga sama lo?" tanya Cakra bertubi-tubi.
"Gue gak tau, gue belum pernah ketemu sama dia, besok baru ketemu. Najis banget, pertemuan keluarga gitu, formal banget."
"Hahahaa, semoga gak zonk ya ceweknya. Moga-moga bohay."
"Najis, otak lo, Cak."
"Cak-cak mulu lo."
"Bodo amat."
"Udah ah, ada lagi gak? Puisi gue belum kelar."
"Udah deh, thanks ya."
"Iya."
Kemudian Daniel memutuskan sambungannya. Lagi-lagi Daniel menghela nafasnya sebelum ia merebahkan tubuhnya di atas kasur.
*****