Dikhianati

1785 Kata
Kaluna duduk di kursi kebesarannya dengan mata yang menatap lawan bicaranya penuh dengan intimidasi. Wanita berparas cantik itu benar-benar tidak mengerti dengan perubahan asistennya tersebut. "Jawab, Er! Aku minta kamu ke ruanganku untuk jelasin semuanya. Bukan diem aja dari tadi. Cepat jelaskan semuanya!" Erika masih diam membisu dengan kepala yang masih menunduk. Tapi raut wajahnya sama sekali tidak ada ketakutan meskipun tengah berada di hadapan Kaluna. Tangannya sibuk meremas ujung pakaiannya di bawah sana. "Masih nggak mau jawab juga?" tanya Kaluna. Emosi Kaluna sudah hampir saja meledak karena Erika terus saja diam membisu. "Sumpah demi apa pun, aku nggak ngerti sama jalan pikiran kamu Er. Sebelumnya aku sudah buat pengumuman kan di grup kalau kita udah close pemesanan gaun pengantin. Lupa kamu?" Erika sontak menaikkan pandangannya dan menjawab, "nggak, aku nggak lupa Mbak." "Kalau nggak lupa terus kenapa kamu iyain saat ada orang yang mau pesan gaun pengantin? Kamu bahkan nggak nanya aku dulu. Sinta juga nggak tau kalau ternyata orang tadi itu bahas soal pemesanan gaun pengantin sama kamu. Kamu tuh gimana sih Er? Semuanya bisa keteteran kalau gini caranya. Bahkan gaun pengantin buat Mbak Vinia juga belum selesai, sekarang kamu nambah-nambahin kerjaan aku dengan nerima klien baru lagi. Otak kamu di mana sih?" "Mbak, aku bisa handle klien yang tadi. Jadi Mbak nggak perlu marah-marah begini. Aku bisa kok pikirin desain buat gaunnya Kak Meta. Tinggal Mbak Luna kasih kepercayaan dan wewenang Mbak ke aku. Aku bisa Mbak—" "Nggak Er, kamu nggak bisa handle klien sendiri. Kamu itu asisten aku, jadi ya tugas kamu itu di belakangku bukan handle klien sendiri. Kalau gitu caranya buat apa aku memperkerjakan kamu sebagai asisten kalau ujung-ujungnya aku kerja sendiri nggak ada yang bantuin ini itu? Mikir dong." Mendengar ucapan Kaluna yang seperti itu membuat Erika panas. Dia merasa tidak adil dengan semuanya. Dia sudah ikut dengan Kaluna bertahun-tahun. Tapi pekerjaan dia stuck di situ terus tidak ada kemajuan. Dia selalu merasa di bawah Kaluna. Padahal dia sangat berharap bisa menghandle klien sendiri. "Mbak, bertahun-tahun aku ikut kamu, tapi kenapa sih Mbak Luna susah banget ngasih aku kepercayaan buat handle klien sendiri dan ngajuin desain gaunku ke klien? Kenapa Mbak? Padahal aku bisa." "Bukan soal kepercayaan atau apa ya Er. Masalahnya kamu kerja di sini itu sebagai asistenku! Ngerti nggak artinya asisten? Tugas kamu ya bantuin aku, bukan ngarepin ngurus klien sendiri." "Mbak—" "Kamu kalau nggak mau atau udah nggak betah jadi asistenku, lebih baik resign aja deh dari sini. Percuma aku punya asisten kalau asistenku sibuk minta dikasih klien sendiri. Kamu pikir ini butik milik siapa?" Skakmat! Kaluna memang tidak pernah main-main jika sudah begini. Jujur dia kecewa dengan pikiran Erika yang sekarang. Bagaimana bisa seorang asisten minta untuk mendapatkan klien sendiri dan mengajukan desainnya sendiri? Gila saja. Tugasnya ya membantunya di belakang, bukan minta klien sendiri. Jika seperti itu, tentu saja Kaluna yang rugi. Lebih baik dia tidak punya asisten sekalian jika ujung-ujungnya ingin berdiri sendiri. "Kalau kamu nggak mau jadi asisten, gampang kok Er, keluar aja dan buka usaha sendiri. Aku nggak mau rugi lah. Sekalian aja aku kerjain semuanya sendiri tanpa asisten." lanjut Kaluna. Kesabarannya benar-benar sudah habis. "Bener ya apa kata Mbak Milana, kalau Mbak Kaluna ini emang egois. Bukannya ngedukung asistennya yang punya potensi tapi justru ngejatuhin mentalnya. Segitu nggak percayanya kah Mbak kalau aku bisa handle klien sendiri?" Kaluna tersenyum kecut. "Kamu tuh paham nggak sih Er? Dari awal kamu itu ngelamar kerja di sini sebagai asisten dan harusnya kamu paham apa tugas kamu. Bukannya ngelunjak dengan minta bisa handle klien sendiri. Sementara kerjaan yang lainnya aja belum beres dan aku butuh kamu sebagai asisten buat bantuin aku. Kalau kamu pengen, ya tinggal keluar aja. Buka butik sendiri. Buka jasa sendiri." "Bilang aja kalau emang Mbak Kaluna takut kalah saing kan?" Mendengar balasan tersebut, Kaluna langsung terkekeh. "Takut kalah saing kamu bilang? Sama sekali nggak, Erika. Kamu boleh ngatain aku egois, tapi aku tidak pernah berpikiran sampai takut kalah saing sama kamu. Kalau kamu dari awal jujur, resign dan buka jasa sendiri, aku pasti akan support kok. Tapi cara kamu begini ya jelas aku marah. Karena kamu di sini itu kerja sama aku, di bawah aku. Jadi ya ikutin peraturan dari aku lah. Aku bos kamu, ngerti nggak?" Erika total bungkam. Dia berakhir mengalihkan wajah dengan rasa kesal yang semakin membakar emosinya. "Kapan mau ngajuin surat resign? Atau perlu aku pecat aja langsung sekarang?" Erika terperangah dengan jawaban Kaluna. Dia pikir Kaluna akan tetap mempertahankannya, karena seperti sebelumnya jika Kaluna butuh asisten untuk membantunya. Tapi kenyataannya justru Kaluna tetap ingin dia keluar dari sana. "Kenapa diam? Nyesel udah bertingkah? Tapi bukannya malah makin malu ya kalau tetap kerja di sini? Aku udah hilang respect sama kamu." lanjut Kaluna jujur. "Oke Mbak, aku keluar!" sahut Erika dengan lantang. Dia lantas buru-buru keluar dari ruangan Kaluna dan sesegera mungkin membuat surat pengunduran diri. Sementara itu, Kaluna yang baru saja mencoba untuk meredamkan emosinya mendadak mendapatkan pesan dari Miss Jenar jika Cici sampai sekarang belum ada yang jemput di sekolahnya. Padahal, harusnya kelas selesai sejak tiga jam yang lalu. "Mbak Milana ke mana sih? Gila! Anak sendiri malah ditelantarin begini!" Kaluna langsung buru-buru pergi menjemput Cici ke sekolahnya. Kaluna pikir, setelah dari butiknya tadi, sang kakak langsung menjemput Cici di sekolah. Sebab yang dia tau Milana memang hari ini mengambil jatah libur kerja. Sekarang, Kaluna tidak tau ke mana sang kakak berada. Bahkan Milana tidak bisa dihubungi. Itu benar-benar membuat Kaluna kesal bukan main. +++ Setelah berhasil menjemput Citra, Kaluna langsung mengantarnya ke rumah. Entah mengapa dia yakin jika sang kakak pasti sudah berada di rumah. "Mama ke mana sih Tante? Kenapa tidak jadi jemput Cici? Padahal Cici sudah menunggu. Katanya libur kerja, kenapa tiba-tiba tidak bisa jemput?" "Mama kamu pasti ketiduran di rumah, Ci. Udah, nggak usah cemberut begitu. Mau mampir beli makan dulu? Laper kan?" Citra menggelengkan kepalanya. "Cici mau makan di rumah saja. Nanti buatkan telur mata sapi ya Tante?" "Oke, nanti Tante buatkan telur mata sapi. Dikasih kecap juga nggak nanti nasinya?" "Iya dikasih dong! Kan Cici suka makan nasi sama kecap!" jawabnya begitu antusias. Karena Citra memang sangat menyukai makanan sederhana itu. Kaluna lantas tersenyum dan mengusak puncak kepala sang keponakan dengan sayang. Lalu kemudian kembali fokus ke depan. Hingga beberapa menit kemudian, dia sampai di rumah sang kakak. Kaluna cukup terkejut saat melihat ada dua mobil yang terparkir di halaman rumah tersebut. Satu mobil yang dia ketahui adalah milik sang kakak, namun yang satunya seperti mobil baru dan Kaluna tidak tau mobil milik siapa itu. Kaluna berpikir jika mungkin sedang ada tamu di dalam. Tapi Kaluna tetap tidak membenarkan sang kakak yang sampai menelantarkan anaknya sendiri hanya karena ada tamu. "Cici bisa kan ganti baju sendiri di kamar?" "Bisa dong, kan Cici sudah besar." "Bagus, sana ganti baju dulu. Tante mau nyiapin makan siang buat Cici, oke?" Citra mengangguk patuh, lalu berlari menuju kamarnya untuk berganti pakaian. Sedangkan Kaluna bukannya langsung ke dapur, tapi justru ke kamar sang kakak. Dia penasaran, jika mobil yang di depan adalah milik orang lain, lalu ke mana tamunya? Sama sekali tidak ada orang di ruang tamu atau di ruang tengah. Jadi, Kaluna mencoba untuk mencari sang kakak ke kamarnya. Hanya saja, saat sampai di depan kamar sang kakak, Kaluna mendengar suara-suara aneh. Ditambah lagi suara erangan dari dalam kamar tersebut membuat dahi Kaluna semakin mengerut curiga. Lantas dengan segala keberanian, Kaluna langsung masuk sebab pintu kamarnya sama sekali tidak dikunci. "Mbak—" Kaluna syok bukan main saat melihat sang kakak sedang bergelut panas di atas ranjang bersama seorang pria. Pria yang benar-benar dia kenal siapa orangnya. "Beneran udah gila!" seru Kaluna, lalu setelahnya langsung menutup pintunya dengan cara dibanting kasar. Kaluna buru-buru ke kamar Cici untuk membawa sang keponakan pergi saja dari sana. Namun, karena Cici masih berganti pakaian, Kaluna harus membantunya dulu agar lebih cepat. "Tante kenapa?" "Udah ayo buruan Ci, pakai sandalnya. Kita cari makan di luar. Gasnya habis, Tante nggak bisa pasang tabung gasnya yang baru. Ayo!" Baru saja Kaluna menggandeng tangan sang keponakan, Milana tiba-tiba muncul di depan kamar Citra bersama pria itu— Rio. Ya, Rio mantan kekasih Kaluna. Dunia benar-benar sudah gila. "Mau di bawa ke mana?" "Cari makan." "Nggak, biarin Cici makan di rumah. Gue nggak ngasih lo izin buat bawa anak gue pergi." "Mbak—" "Nggak usah ngajakin gue debat, Luna!" Pandangan Kaluna lantas ke arah sang keponakan yang nampak bingung dengan situasi saat ini. Tapi Kaluna mencoba menjelaskan jika dia tidak jadi mengajaknya keluar. Setelah memberikan penjelasan pada sang keponakan, Kaluna bergegas keluar dari sana. Dia malas bertatap muka dengan sang mantan kekasih yang ternyata bermain gila dengan sang kakak. Langkah Kaluna begitu lebar agar cepat sampai ke halaman depan. Tapi sayangnya, pria gila itu justru menyusul Kaluna. "Gimana Lun? Kaget kan?" Kaluna sontak menghentikan langkahnya. Dia balik badan dan tersenyum kecut saat melihat raut wajah angkuh sang mantan kekasih. "Gimana rasanya saat tau gue ada main sama kakak lo? Kesel ya? Kaget ya? Gue tau lo pasti kesel. Keliatan dari ekspresi lo tadi yang kaget." "Wajar kalau gue kaget. Karena apa? Karena bisa-bisanya kakak gue mau-mauan dibodohi sama cowok modelan kayak lo!" Rio tertawa, "asal lo tau Lun, gue udah sering main sama kakak lo saat kita masih pacaran. Dia benar-benar beda sama lo. Ternyata juga bukan cuma gue yang capek sama sifat lo, tapi kakak lo juga." Awal mula perselingkuhan itu terjadi sebab Rio dan Milana saling curhat. Dan keduanya sama-sama tidak suka dengan sifat Kaluna yang keras. Rio merasa tidak ada harganya di hadapan Kaluna, dan Milana yang merasa Kaluna egois membuat mereka berdua akhirnya menjalin hubungan di belakang Kaluna. Rio suka wanita yang manja dan sangat membutuhkannya. Jadi, dia senang jika Milana bergantungan padanya. Namun, tentu saja Rio masih punya banyak selingan di luar sana. "Gue sama sekali nggak peduli. Nggak penting juga buat gue. Puas-puasin deh, semoga kakak gue nggak kena penyakit aja sih. Kan lo suka celap-celup sana-sini." Raut wajah Rio sontak berubah kesal saat Kaluna mengatakan hal barusan. Dia tidak terima dikatai seperti itu oleh wanita sok keras dan mandiri seperti Kaluna. "Ups, omongan gue terlalu jujur ya? Sorry deh, tapi lebih baik lo buruan cek dan lakuin pemeriksaan. Ngeri penyakit," ujar Kaluna, lalu di akhiri dengan seringaian tipis bak mengejek. Lalu Kaluna langsung buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan pergi dari sana karena tidak mau semakin memperpanjang perdebatan. Kaluna sebenarnya marah, sangat marah. Tapi bukan marah karena cemburu. Sama sekali tidak cemburu. Dia marah karena ternyata saudaranya sendiri mengkhianatinya secara tidak langsung. Bahkan tidak ada rasa bersalah dari tatapan matanya. Kaluna benar-benar tidak mengerti. Mengapa hari ini dia dibuat syok dua kali? Orang-orang terdekatnya benar-benar menciptakan luka untuknya. Erika yang mau seenaknya, dan sang kakak yang ternyata mengkhianatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN