Kaluna masih sibuk mencorat-coret kertas yang ada di hadapannya. Entah mengapa, sebuah ide terlintas di dalam pikirannya. Sebelum moodnya berantakan, Kaluna terus fokus pada gambarnya.
Sampai-sampai dia mengabaikan beberapa notif pesan masuk yang banyak sekali. Alih-alih untuk memeriksanya sebentar, Kaluna justru tetap fokus pada coretan tangannya.
Hingga suara ketukan pintu yang berhasil menarik perhatian Kaluna. Bahkan sampai menghentikan gerak tangannya untuk menoleh ke arah pintu.
"Eh, Sin? Kok belum pulang?"
Kaluna reflek menaruh seluruh atensinya pada Sinta yang saat ini berjalan masuk ke dalam ruangannya.
"Nggak tega ninggalin Mbak Luna sendirian di sini. Mbak Luna masih lama ya?"
"Astaga Sin, tadi kan aku udah bilang, pulang langsung aja nggak masalah. Erika udah pulang kan?"
Sinta mengangguk dengan cepat. "Dia sih pulang lebih awal Mbak. Bahkan sebelum Mbak Luna bilang buat tutup butik aja,"
"Loh, Erika pulang sebelum waktunya aku suruh pulang?" tanya Kaluna. Sebab dia sendiri sama sekali tidak merasa jika Erika berpamitan padanya untuk pulang lebih awal.
"Kok Mbak Luna jadi tanya ke aku begini? Berarti si Erika nggak pamitan sama Mbak Luna ya? Aku pikir dia udah izin dan pamitan sama Mbak loh,"
"Enggak Sin, nggak ada bilang apa-apa dia. Ke ruanganku juga enggak tuh." sahut Kaluna santai. Meskipun sebenarnya dia bingung juga dengan sikap Erika yang akhir-akhir ini berubah.
"Wah, nggak bener tuh Erika. Bisa-bisanya nggak pamit sama Mbak Luna. Dia pikir nih butik punya dia kali ya?"
Kaluna tersenyum kecil dan menyahut, "dah, nggak usah diperpanjang. Mungkin dia emang lagi capek Sin, jadinya pulang lebih awal."
"Tapi kan tetep aja nggak sopan dong Mbak. Dia kan di sini kerja sama di bawah Mbak Luna. Harusnya pamitan dong,"
"Udah Sin, kenapa jadi kamu yang emosi sih? Lucu deh kamu,"
"Ih Mbak, serius. Tegur aja deh coba, jangan didiemin, ntar ngelunjak lama-lama. Lagian nih ya Mbak, dia itu jadi aneh banget sekarang."
"Aneh gimana maksudnya?" tanya Kaluna yang penasaran. Meskipun sebenarnya dia juga berpikiran hal yang sama. Erika memang sedikit berbeda akhir-akhir ini.
Namun, Kaluna memendamnya karena tidak ingin berburuk sangka. Tapi saat mendengar Sinta juga merasa ada yang aneh dengan Erika, tentu dia ingin tau keanehan apa yang dirasakan oleh Sinta. Dia ingin tau sudut pandang dari orang lain mengenai Erika.
"Aneh Mbak. Dia jadi cuek banget, terus nyebelin banget. Padahal beberapa bulan lalu waktu aku gabung di sini, dia baik banget dan asyik gitu di ajak ngobrol. Tapi sekarang ngeselinnya minta ampun."
Kaluna sontak tersenyum tipis. Dia memang merasakan hal yang sama. Apalagi Erika sekarang kerap kali menolak ajakannya untuk makan siang bersama. Padahal dulu sebelum Sinta bekerja di butiknya, Erika selalu hangat dan sering ke mana-mana bersamanya.
"Mungkin dia lagi ada masalah, jadi yang dipikirkan banyak Sin. Biasanya orang yang lagi banyak masalah cenderung mudah emosi dan ngeselin banget. Jadi ya, maklumin aja nggak sih? Selagi nggak menganggu pekerjaan."
"Tapi Mbak—"
"Udah, jangan ajakin aku ngegosip terus Sin." potong Kaluna dengan cepat. "Ayo, pulang aja sekarang. Udah malem ini," ajaknya.
Kaluna sudah tidak bisa berpikir lagi jika sudah seperti ini. Apalagi dia menyadari jika sekarang sudah hampir jam 9 malam.
"Mbak Luna ngajakin pulang karena emang nggak mau aku ajakin ngegosip kan? Padahal seru tau kalau ngegosip sama aku. Apalagi yang aku omongin ini fakta Mbak. Erika emang sus banget,"
"Udah, dibilangin berhenti." sahut Kaluna. Wanita itu bangkit dari duduknya setelah membereskan semua yang ada di atas mejanya. "Kamu dijemput atau pesen ojek online Sin? Atau mau bareng aku pulangnya?"
"Dijemput sama kakak sepupuku Mbak. Sebenarnya sih, dia udah nungguin dari tadi di depan."
"Astaga, kenapa nggak pulang aja dari tadi Sin? Kasihan kan kakak kamu."
"Santai dia Mbak. Paling ngomel dikit,"
Kaluna hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban dari Sinta barusan. Tapi tetap saja, Kaluna jadi merasa tidak enak hati, sebab awalnya Sinta bisa pulang lebih awal, tapi justru pulang terlambat karena menunggunya.
+++
Sementara itu, di lain tempat, tampak seseorang tengah sibuk dengan beberapa berkas dan matanya terus terfokus pada layar laptopnya.
Pakaiannya yang semula rapi menjadi sedikit berantakan, sebab kedua lengan kemejanya digulung sampai ke siku.
"Gat, nggak balik lo? Udah hampir jam 9 lewat nih."
Jagat langsung menaikkan pandangannya saat suara Sean—sang personal assisten terdengar. Jagat sama sekali tidak masalah saat sang PA begitu santai berbicara dengannya. Sebab Sean sebenarnya adalah teman Jagat juga semasa kuliah dulu. Jadi, sudah dapat dibayangkan sedekat apa mereka berdua.
"Shitt! Gue beneran nggak sadar sampai udah jam segini."
"Lo terlalu fokus ngerjain itu semua. Udah, mending lo balik sekarang deh. Kasihan anak lo, pasti udah nungguin lo balik dari tadi." sahut Sean yang berjalan mendekat ke arah meja kerja pria itu.
"Hp gue lowbat ternyata. Pantesan si Siti nggak ada nelpon dari tadi." ujar Jagat yang baru saja mengetahui jika ponselnya ternyata kehabisan daya.
Biasanya, jika dia belum pulang sampai jam 7 malam, Siti pasti akan menghubunginya. Itu pun bukan Siti yang hendak bicara dengannya. Melainkan Keyra.
Sang anak pasti akan sangat cerewet jika dia tidak pulang tepat waktu. Dan sekarang, Jagat harus menyiapkan diri jika esok pagi sang anak akan marah padanya.
"Mampus dah lo! Keyra ngambek pasti tuh. Yakin gue," seru Sean yang membuat Jagat mencebik.
Sean sontak tertawa, sebab seperti yang sudah-sudah, Keyra memang mudah sekali merajuk jika Jagat pulang terlambat. Kecuali jika sebelumnya Jagat sudah bilang terlebih dahulu. Maka Keyra akan mengerti dan tidak akan kecarian.
"Siap-siap aja dah, lo dicuekin seminggu sama Keyra."
"Diem lo anjir! Harusnya lo ngingetin gue dari kapan jam lah brengsekk. Sengaja ya biar gue lembur sampai malem begini?"
"Dih? Kok ngamuk ke gue setan?!" pekik Sean yang tidak terima. "Yang harusnya kesel tuh gue dah kayaknya Gat. Gara-gara lo nih, gue juga pulangnya mundur ya anjir."
"Yang sopan lo sama gue. Ingat, ini masih di kantor ya anak setan." balas Jagat tidak mau kalah.
"Maaf, ampuni saya Bapak Jagat." sahut Sean yang kembali bersikap sopan. Tapi detik kemudian wajahnya langsung berubah. "Emang sialan lo. Resign aja dah gue,"
"Resign aja nggak ada yang ngelarang. Tapi gue cuma mau ngingetin, lo punya cicilan mobil, rumah, sama inget juga rencana lo mau nikahin Stella."
"Nggak usah dijabarin juga kali woi?"
Jagat sontak bangkit dari duduknya. Seringaian muncul disudut bibirnya, lalu tersenyum pongah menatap Sean yang tengah menahan kesal.
"Besok langsung buat aja iklan lowongan kerja sebagai PA—"
"Lowongan apaan anjir! Yang bener aja lo."
"Lah, katanya lo mau resign? Gimana sih?" sahut Jagat santai, namun Sean langsung mencak-mencak tidak jelas.
"NGGAK JADI!"
"Oh," balas Jagat singkat, namun berhasil membuat Sean uring-uringan.
Keduanya memang sering bercekcok ringan seperti ini. Sean yang suka sekali meledek, dan Jagat yang selalu mampu memancing emosi.
"Dah, gue balik duluan. Beresin semua berkas gue ya, thanks!" ujar Jagat sembari menepuk pundak Sean dan berjalan santai keluar ruangan.
"Untung bos gue lo di sini ya anak setan!" teriak Sean yang mana masih bisa didengar oleh Jagat.
Namun, Jagat hanya cengengesan dan tetap melanjutkan langkahnya. Dia harus segera pulang sekarang juga.
+++
Jagat sudah menambah laju kecepatan mobilnya, agar cepat sampai ke rumah. Hanya saja di tengah perjalanan, fokus Jagat teralihkan pada sosok perempuan yang sedang berdiri di pinggir jalan.
Jagat tentu saja hafal dengan wajah wanita tersebut. Wanita yang tidak sengaja dia temui sebanyak dua kali. Di cafe Evan dan juga di sekolahan anaknya. Yang tidak lain adalah Kaluna. Meski Jagat belum tau nama perempuan tersebut, tapi dia cukup hebat untuk mengingat wajah cantik Kaluna.
Maka dari itu, dengan kesadaran penuh, Jagat langsung menepikan mobilnya. Berhenti tepat di belakang sebuah mobil berwarna hitam yang juga terparkir di sana.
Dari dalam mobil, Jagat bisa melihat jika wanita tersebut menatap ke arah mobilnya dengan tatapan datar. Barulah saat dia keluar dan matanya bersitatap dengan wanita tersebut, Jagat langsung mendapatkan tatapan dingin dengan dahi wanita itu yang mengkerut.
"Mbak? Kenapa berdiri di pinggir jalan sendirian?"
Jagat dengan begitu berani langsung melemparkan tanya pada wanita tersebut. Membuat sang puan langsung menatapnya semakin dingin.
"Ini mobil Mbaknya?"
"Iya," jawab puan tersebut singkat.
"Mogok ya Mbak? Mau saya bantu?"
"Nggak perlu,"
"Mbak nggak usah takut sama saya. Mbak inget saya kan? Yang tempo hari ketemu Mbak di sekolahan? Saya—"
"Saya nggak inget." sela sang puan dingin dan Jagat justru tersenyum tipis. Sama sekali tidak merasa tersinggung.
"Tidak masalah kalau nggak inget Mbak. Tapi saya boleh bantu? Saya cukup mengerti soal—"
"Nggak perlu. Tuh..."
Jagat langsung menoleh ke samping saat mata sang puan memberinya kode untuk melihat ke samping.
Ternyata, Kaluna sudah menghubungi orang untuk mengurus mobilnya yang mogok. Orang-orang yang sudah mengenal Kaluna pasti paham seperti apa wanita tersebut.
Kaluna selalu melakukan apa pun yang dia bisa. Dia tidak terbiasa meminta bantuan selagi dia bisa melakukannya sendiri. Terkadang kebiasaannya yang seperti itu justru membuat beberapa orang menganggapnya sok mandiri dan sok bisa melakukan segalanya sendiri. Seolah tidak membutuhkan orang lain.
"Oh, sudah panggil orang ya? Kalau gitu, mau saya antar pulang Mbak? Siapa tau—"
Suara mesin mobil milik Kaluna membuat Jagat langsung menghentikan ucapannya. Bahkan Kaluna langsung melangkah mendekat ke mobilnya, mengabaikan Jagat yang masih berdiri di tempatnya.
"Makasih ya Pak, ini uangnya."
"Loh, uang apa ini Mbak? Bukannya sudah bayar ya tadi?"
"Anggap saja uang lelah Pak. Saya udah ngehubungin bapak malam-malam begini. Apalagi jaraknya lumayan jauh. Nggak apa-apa, itu ambil saja."
"Makasih kalau begitu Mbak. Saya pulang duluan."
Kaluna hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Lalu buru-buru masuk ke dalam mobilnya, mengabaikan Jagat yang berdiri memandangnya.
"Beneran cowok aneh, gila. Sok kenal banget," gumam Kaluna selagi memasang seatbelt.
Sementara itu, Jagat hanya tersenyum kecil saat melihat mobil wanita itu semakin jauh meninggalkannya.
Jagat sama sekali tidak marah atau pun sakit hati karena sikap wanita itu yang terkesan sangat cuek dan tega. Tapi Jagat justru merasa maklum, sebab pastinya wanita itu mengira jika dia adalah orang yang mungkin bisa berniat jahat.
"It's okay, Jagat. Besok coba lagi!" ujarnya menyemangati diri sendiri.
Pria itu sudah bertekad untuk mendekati wanita tersebut lagi. Bahkan, dia rela tiap pagi mengantar Keyra ke sekolah lebih awal agar bisa bertemu dengan wanita tersebut.
Besok pagi, Jagat bersumpah harus benar-benar bisa mengetahui siapa nama wanita tersebut.