Hal yang paling Kaluna tidak sukai dari sang kakak adalah sikapnya yang suka sekali menyuruhnya melakukan ini itu secara mendadak.
Seperti pagi ini, Milana tiba-tiba datang ke rumahnya sambil membawa tas gendong yang tidak terlalu besar, berisi pakaian ganti milik Cici. Melihatnya saja, Kaluna sudah tau maksud dan tujuan sang kakak datang saat ini.
"Tolong ya, anterin Cici ke sekolahnya hari ini. Gue ada urusan pagi ini. Bisa kan?"
"Mbak—"
"Sekalian pulangnya lo jemput deh. Palingan sore baru gue jemput di butik lo," sela Milana seolah tak memberikan kesempatan Kaluna untuk menolak ucapannya.
Kaluna pasrah dan mengangguk. "Ya udah,"
"Bisa nggak?"
"Kalau gue bilang nggak bisa pun, pasti lo bakalan tetep maksa gue juga kan Mbak? Nggak pernah ada opsi buat gue nolak. Sejak dulu bahkan."
Kaluna berakhir meledak setelah sekian lama memendam. Tentu saja dia bicara seperti itu tidak di hadapan sang ponakan. Cici sedang duduk di ruang tamu, sambil sibuk bermain game. Jadi fokusnya hanya pada game yang ada di depannya.
"Lagian lo kenapa sih nggak cari nanny baru buat jaga Cici?"
"Lo pikir gampang nyari orang yang cocok? Nggak gampang Lun. Makanya lo cobain diposisi gue, serba bingung dan capek. Gue nggak mau anak gue dijagain sama orang yang nggak bener. Takut-takut ntar kalau terjadi sesuatu sama Cici yang ada ntar si Yoga bakal nuntut hak asuh. Gue nggak mau!"
"Mbak, cari aja orang yang bisa lo percaya. Lagian ini demi kebaikan lo juga kok. Lo nggak pusing mikirin Cici kalau lagi sibuk kerja. Dan Cici nggak bakalan jadi kayak barang operan begini."
"Lo ngomong begitu gampang banget Lun. Ntar kalau lo udah nikah dan punya anak, lo rasain sendiri deh. Dan lo bakalan ngerti apa yang gue takutin,"
Kaluna mengalihkan wajah. Tentu saja dia tak mau berada diposisi kakaknya. Apalagi harus bertukar nasib.
Pernikahan? Ck! Kaluna hanya akan tertawa. Dia tidak akan menikah apalagi punya anak. Tidak akan.
"Sorry, gue nggak minat."
"Terserah deh, pokoknya gue titip Cici. Kalau Yoga nyamperin di butik lo, usir aja."
Kaluna hanya berdehem pelan, lalu memilih untuk memperhatikan sang kakak yang sedang menasehati sang anak.
Kaluna tak pernah menyangka jika kakaknya yang menyebalkan itu ternyata bisa juga bersikap layaknya orang bijak dan dewasa di depan anaknya. Tapi berbanding terbalik jika sudah di hadapannya.
"Gue titip Cici," ujar Milana, lalu langsung pergi begitu saja dari hadapan Kaluna.
Satu hal yang ada di dalam benak Kaluna saat ini, yaitu Milana yang tidak pernah berubah sejak dulu.
"Tante Luna?"
Sang pemilik nama langsung menoleh begitu saja. Tersenyum ke arah gadis kecil yang sedang duduk tenang di atas sofa.
"Kenapa sayang? Cici mau apa? Sudah sarapan belum?"
"Sudah. Cici cuma mau bilang, nanti sebelum ke sekolah tolong mampir di minimarket. Cici mau beli brownies kering."
"Brownies kering?" ulang Kaluna seraya mendekat.
Gadis kecil itu sontak mengangguk. "Kemarin teman Cici bawa itu ke sekolah. Cici dikasih dan ternyata enak. Jadi nanti Cici mau beli dua, buat Cici satu dan satunya lagi buat teman Cici."
"Oke, kita nanti beli itu ya. Tapi tunggu sebentar, Tante Luna mau ganti baju dulu. Cici di sini aja, jangan ke mana-mana, oke?"
"Oke! Cepat ya Tante, nanti keburu terlambat. Cici tidak mau sampai terlambat, karena nanti harus mampir beli brownies kering dulu."
"Iya, anak manis. Tunggu sebentar, Tante tidak akan lama."
Kaluna segera masuk kembali ke kamarnya dan buru-buru mengganti pakaiannya. Lalu merias sedikit wajahnya agar tidak pucat. Karena setiap kali dia tak memakai makeup, pasti akan dikira seperti mayat hidup.
+++
"Terimakasih Miss Jenar. Tolong hubungi saya semisal ada apa-apa dengan keponakan saya. Maaf jika merepotkan,"
Kaluna tersenyum ramah setelah memberikan nomor ponselnya pada Miss Jenar, selaku wali murid di kelas Cici.
"Sama-sama Bu Kaluna."
"Baik kalau begitu, saya permisi Miss Jenar." pamitnya lalu buru-buru keluar dari sana.
Kaluna sudah sedikit merasa lega, sebab dia bisa bertemu dengan wali kelas Cici pagi hari ini. Setidaknya jika ada apa-apa, wali kelas Cici akan langsung menghubunginya.
Baru saja kakinya melangkah keluar dari gerbang sekolah, Kaluna mendadak menghentikan langkahnya saat seseorang menghadangnya.
"Mbak yang di cafe tempo hari kan?"
Kening Kaluna berkerut. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, tidak ada orang. Hanya ada dia dan seorang pria yang ada di hadapannya kini mengajaknya bicara. Yang mana jujur saja membuat Kaluna bingung.
"Saya lihat Mbak waktu itu di cafe temen saya. Mbak yang—"
"Maaf, Masnya salah orang." sela Kaluna.
Dia kembali melanjutkan langkahnya untuk mencapai mobilnya yang terparkir di luar. Namun, pria itu kembali mengikutinya.
"Mbak, bener kok, saya nggak mungkin salah orang. Saya hafal banget sama muka Mbak,"
"Masnya udah gila ya?"
"Mbak kan yang waktu itu nyiram—"
"PAPAAA!"
Suara teriakan anak kecil membuat pria itu langsung menolehkan kepalanya ke arah suara.
Seolah mendapatkan kesempatan, Kaluna langsung buru-buru kabur sebelum pria itu kembali mengganggunya.
Setelah berhasil masuk ke dalam, Kaluna dengan cepat melajukan mobilnya. Selain agar bisa kabur dari orang itu, Kaluna memang sudah ada janji temu dengan klien untuk membahas final desain dress yang sudah dia buat.
"Beneran cowok aneh. Gila kali ya?"
Sumpah demi apa pun, Kaluna tak pernah membayangkan bisa bertemu dengan orang aneh macam pria tadi. Bahkan ini pertama kalinya dia bertemu dengan orang aneh yang sok-sokan mengenalnya.
"Ngelihat gue di cafe katanya? Gila kali ya? Ada orang aneh kayak begitu? Kurang kerjaan banget."
Kaluna masih saja mendumal, karena memang orang aneh itu membuat moodnya sedikit buruk. Belum lagi dia harus mengejar waktu agar sampai lebih dulu di butik daripada dengan kliennya.
Sementara itu, Jagat saat ini tengah mendapatkan tatapan kesal dari sang anak. Membuatnya kikuk, sebab Siti juga ikutan menatapnya aneh.
"Jangan ngelihatin Papa kayak begitu dong sayang,"
"Papa nih genit banget ya?"
Mata Jagat membulat begitu mendengar ucapan Keyra barusan. Dari mana anaknya tau soal genit-genit begitu?
"Mana ada Papa genit? Papa nggak genit," bantah Jagat yang langsung merendahkan tubuhnya. Menyamakan tingginya dengan Keyra.
"Terus kenapa tadi Papa tiba-tiba mengejar perempuan? Papa memangnya tidak malu ya dilihat orang banyak? Memangnya Papa kenal siapa dia? Kok genit?"
"Sayang, itu bukan genit. Papa hanya—"
"Rara tidak suka ya kalau Papa genit!" potong Keyra dengan tegas.
Pipinya mengembung dengan bibir yang mengerucut. Dia sebenarnya malu karena tadi ada beberapa orang yang melihat Jagat menghentikan seorang perempuan.
"Maafkan Papa, oke?"
"Oke, tapi jangan diulangi lagi ya? Rara malu, masa Papa Rara genit?"
Astaga! Jagat ingin sekali menenggelamkan wajahnya sendiri ke dalam bak kamar mandi saat ini juga.
Bagaimana cara dia menjelaskan pada sang anak jika tadi dia itu bukannya genit. Tapi hanya ingin berniat untuk berkenalan dengan wanita yang dia lihat di cafe tempo hari. Wanita pemberani yang begitu tegas saat memergoki kekasihnya berselingkuh.
Tapi ya sudah, Jagat hanya mengangguk saja. Mengalah pada sang anak, meskipun memang faktanya dia tidak genit.
+++
Sinta sedikit bersantai di tempatnya selagi Kaluna sedang meeting dengan klien di lantai atas. Gadis itu menggigit bibir bawahnya ketika baru saja membaca pesan masuk dari Erika—asisten Kaluna.
Sinta memilih untuk tak membalasnya, karena dia juga bingung harus berapa kali menolaknya. Tapi Erika tetap saja terus menekannya.
"Sengaja ya cuma baca chat gue?"
Sinta menoleh dan terkejut saat Erika tiba-tiba sudah ada di dekatnya. Padahal dia tak mendengar adanya langkah kaki barusan.
"Ya gimana mau bales Er, jawabannya tetap sama kayak yang sebelumnya. Gue nggak bisa nge-acc itu. Mbak Kaluna bilang kalau kita nggak bisa ambil, karena takut keteteran. Klien terakhir buat pemesanan gaun pengantin ya pegang punya Mbak Vinia, itu yang lagi meeting di atas sama Mbak Kaluna."
Sinta sampai lelah menjelaskan berkali-kali pada Erika yang masih ngotot menyuruhnya untuk menerima orderan masuk dari salah seorang klien baru.
Padahal, Kaluna sudah menginfokan melalui grup untuk close order pembuatan gaun pengantin. Karena sesuai dengan motto Kaluna yang selalu mengedepankan kualitas. Kaluna tak pernah mau sampai pekerjaannya keteteran atau tidak maksimal.
"Meskipun lo nggak masuk dua hari, gue yakin sih lo pasti baca pesan Mbak Luna di grup juga kan?"
"Tinggal terima aja apa susahnya sih? Lagian cuma gaun doang. Gampang lah itu, gue juga bisa pegang klien kok."
"Gue nggak bisa nurutin kemauan lo. Kalau mau, lo bilang aja ke Mbak Luna. Semua keputusan ada di Mbak Luna, Er. Kalau emang Mbak Luna setuju, gue bakal nurut kok." sahut Sinta yang masih bersikeras menentang ucapan Erika. "Lagian nih ya, sejak kapan juga Mbak Luna ngasih lo wewenang buat pegang klien? Lo kan asistennya Mbak Luna."
Erika hanya diam dan memilih untuk pergi dari sana. Tingkahnya yang aneh itu jelas mengundang banyak tanya di dalam benak Sinta. Apalagi Erika yang terus ngotot menginginkan agar bisa pegang klien sendiri.
"Dasar aneh banget. Nggak jelas nih Erika lama-lama. Ngeselin banget juga! Sok bossy!"