Kaisar tampak berpikir sejenak, pria itu menimbang-nimbang tawaran Laskar. Namun, kurang dari lima menit, kepala Kaisa menggeleng, menolak tawaran tersebut.
"Nggak, deh. Makasih. Sekarang udah nggak zaman main comblang-comblangan atau perjodohan kayak Siti Nurbaya sama Datuk Maringgih," jelas Kaisar menolak. "Gue yakin, nanti juga Harmonia pasti luluh lihat muka ganteng gue. Nggak perlu dipaksa kali," lanjut pria itu menambahkan dengan percaya diri, terbukti dari senyum asimetris yang terukir di bibirnya.
Laskar berdecak, tidak setuju dengan kalimat jumawa yang baru meluncur dari mulut Kaisar. "Ck! Dari kemarin-kemarin juga gitu terus ngomongnya. Sekarang, gue tanya dulu mana buktinya?"
Kaisar mendelik. Pria itu baru saja membuka mulut dan hendak membalas ucapan Laskar, tetapi sang lawan bicara sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya. "Gue saranin, sih, lo hati-hati aja. Kalau lo nggak gerak cepat, bisa-bisa nanti adik gue keburu disalip sama yang lain."
Kaisar langsung menoleh ke samping, menatap Laskar dengan ekspresi pias setelah mendengar kalimat pria itu. Ia tidak mampu membayangkan bagaimana jika ucapan Laskar benar-benar terjadi. Itu pasti menjadi mimpi terburuk untuknya.
"Otak lo nggak usah imajinasi yang aneh-aneh," protes Kaisar membantah ucapan Laskar. "Harmonia nggak mungkin suka sama cowok lain. Gue udah kenal adik lo berapa tahun. Sama gue yang gantengnya paripurna begini aja nggak mempan untuk menggoda iman adik lo, apalagi cowok lain yang bukan tandingan gue," lanjut pria itu dengan penuh keyakinan, sekaligus memupuk kepercayaan dirinya.
Laskar terkekeh geli sambil menepuk pundak Kaisar, terlebih lagi ketika melihat ekspresi tegangnya. Pria itu tampak seperti orang yang sedang menahan BAB di mata Laskar. "Janganlah tegang-tegang gitu, Bro. Nanti ribet urusannya kalau urat batang leher lo ketarik. Gue nggak bisa bantu kretek-kretek nanti," goda Laskar dengan nada jenaka.
"Sialan lo!" maki Kaisar mendesis.
"Eits, nggak boleh nggak sopan gitu sama calon kakak ipar. Mau gue blacklist?" tanya Laskar pura-pura mengancam. "Minum dulu kopi lo biar rileks. Nggak perlu tegang gitu," lanjut pria itu sembari menunjuk ke arah kopi di tangan Kaisar dengan gerakan dagunya.
Kaisar menuruti ucapan Laskar. Pria itu menyeruput kopinya, berharap kecemasannya sedikit berkurang.
"Kar, lo nggak serius, 'kan?" tanya Kaisar.
"Yang mana?" balas Laskar bertanya dengan nada polos, seakan-akan tidak mengerti maksud Kaisar.
"Harmonia dikejar cowok," jawab Kaisar cepat. "Adik lo ada cerita apa-apa tentang lawan jenis?" lanjut pria itu mengorek informasi dari sang lawan bicara.
Laskar tampak berpikir. Namun, itu hanya sandiwara semata untuk mengecoh Kaisar. Ia suka melihat ekspresi ketidakberdayaan pria itu, sementara Kaisar sendiri ingin sekali membuka lebar mulut Laskar dengan tangannya sendiri saking lamanya pria itu melontarkan jawaban.
Laskar menggeleng lalu menjawab, "Nggak ada, sih, tapi kayaknya lo harus mulai gerak lebih agresif, deh, tapi jangan buru-buru kayak kucing ngebet kawin. Adik gue belum selesai kuliah, masih nyusun tugas akhir."
"Kar, gue bilangin nih ... banyak tuh di luar sana yang nikah sambil kuliah," ujar Kaisar. "Bini lo juga nikah dulu baru kuliah kalau lo lupa," tambah pria itu mengingatkan.
Laskar berdecak. "Nggak usah bawa-bawa bini gue. Lo fokus aja kejar adik gue. Deketin boleh, asal jangan sampai tekdung aja," pesan pria itu. "Awas lo kalau macam-macam!" tambahnya dengan nada serius.
"Iya, iya. Bawel banget lo kayak emak-emak lagi bunting!" sungut Kaisar.
Kedua pria itu tertawa bersama sebelum melanjutkan pembicaraan ringan ala lelaki selama beberapa saat sebelum Kaisar memutuskan untuk kembali ke kantornya, sementara Laskar masih setia duduk di tempatnya, menatap punggung sang sahabat yang perlahan menghilang dari pandangannya.
Seandainya Harmonia bisa menerima perasaan Kaisar, tentu Laskar akan senang dengan hal tersebu. Ia sudah menganggap pria itu layaknya saudara sendiri, mengingat kebersamaan mereka ketika berkuliah di luar negeri dulu. Mereka berbagi kamar yang sama dan melakukan hampir apapun bersama. Rasanya, Kaisar adalah kandidat yang tepat untuk menggantikan peran ayahnya, saudara-saudaranya, dan dirinya dalam menjaga Harmonia.
*
Sebuah mobil sedan hitam mengkilap terparkir di halaman rumah kos sederhana. Sosok seorang pria berpakaian rapi khas orang kantoran keluar dari kendaraan tersebut dan mengundang beberapa pasang mata untuk menatap ke arahnya. Heran dengan sosok yang tampak sangat tidak cocok untuk berada di lingkungan tersebut. Pasalnya, hampir seluruh penghuni kos itu adalah anak kuliahan.
"Cari siapa, ya, Mas?" tanya sosok seorang lelaki berkacamata tebal pada Kaisar.
"Harmonia," jawab pria itu singkat.
"Oh, kayaknya dia belum balik dari kampus," balas lelaki itu.
"Iya, nggak masalah. Nanti saya telepon aja orangnya." Lelaki berkamacata itu mengangguk kemudian berlalu dari hadapan Kaisar setelah mengucapkan salam perpisahan.
Kedua tungkai Kaisar menaiki tangga menuju lantai dua. Pria itu langsung menuju ke kamar yang sudah pernah didatanginya beberapa kali, kamar Harmonia. Begitu sampai di depan kamarnya, Kaisar tahu bahwa sang pemilik kamar sedang tidak ada di dalam sana karena ia tidak menemukan sepatu yang biasanya dipakai oleh Harmonia di depan pintu maupun rak sepatu, menandakan bahwa gadis itu sedang pergi.
Tangan Kaisar mengeluarkan ponsel dari saku celana dan langsung menghubungi nomor Harmonia. Kaisar ingin mendengar suara merdu gadis itu, padahal kalau diingat-ingat, suara Harmonia tidak ada merdu-merdunya, malah lebih mirip dengan suara kaleng rombeng, begitulah kata keluarga gadis itu.
Panggilan pertama tidak diangkat. Itu adalah hal yang sudah biasa bagi Kaisar. Harmonia selalu susah dihubungi. Alasannya selalu sibuk. Kaisar juga tidak tahu apakah gadis itu benar-benar sibuk dengan dunia perkuliahannya atau hanya alasan untuk menghindarinya. Namun, pria itu tidak patah semangat dan mencoba untuk menghubungi sang pujaan hati lagi.
Gayung bersambut. Nada sambung yang terdengar di telinga Kaisar tadi, kini berganti menjadi suara Harmonia. Sepertinya suasana hati gadis itu sedang baik hari ini. Fakta tersebut sukses membuat Kaisar bersorak girang di dalam hati, apalagi ketika suara Harmonia menyapanya dari seberang sana.
"Halo?" sapa Harmonia.
"Halo, Ni ...."
"Kenapa Mas nelpon?"
"Halo, Ni ...."
"Iya ... kenapa, Mas?"
"Halo, ...."
Terdengar suara helaan napas Harmonia dari seberang sana. "Mas sebenarnya mau ngomong apa, sih? Kalau nggak penting, aku tutup nih teleponnya," sembur gadis itu galak.
Bukannya tersinggung dengan semburan Harmonia, Kaisar malah terkekeh seperti orang sinting. Namun, sedetik kemudian pria itu sudah kembali serius dan menghentikan keisengannya.
"Galak banget, sih. Untung sayang. Kalau nggak udah Mas makan kamu," ujar Kaisar mengeluh.
"Mas mau ngomong apa?" tanya Harmonia mengulang pertanyaan yang sudah sempat ia lontarkan sebelumnya dan mengabaikan keluhan Kaisar.
"Kamu lagi di mana?"
"Di kampus. Masih di lab."
"Lagi main sama mikroba-mikrobamu, ya?"
Harmonia berdeham sebagai jawaban. "Kamu pulang jam berapa? Mau Mas jemput nggak?" tanya Kaisar menawarkan.
"Nggak usah. Aku selesainya malam. Nanti aku pulang sendiri aja," tolak Harmonia.