"Gimana kabar Pelangi dan anak-anak?" tanya Kaisar begitu bagian kursi di sisi kirinya diisi oleh seseorang, Laskar.
"Datang-datang harusnya lo nanyain kabar gue dulu, bukan malah nanyain kabar bini sama anak-anak gue!" omel Laskar.
"Kabar lo nggak penting," balas Kaisar terkekeh. "Mata kepala gue bisa lihat jelas kalau lo baik-baik aja. Jadi, nggak usah kayak ABG yang lagi caper sama doi-nya," lanjut pria itu meledek sahabatnya.
Laskar mendengus seraya mendelik pada Kaisar. "Cengengesan! Nggak gue bantuin jadi informan lagi baru nyaho lo!"
Ekspresi Kaisar berubah seratus delapan puluh derajat. Lenyap sudah ekspresi jahil dan tengil di wajahnya, digantikan oleh ekspresi memelas seperti seekor anjing yang minta dikasihani.
"Janganlah! Nggak setia kawan banget lo!" protes Kaisar. "Mentang-mentang udah bebas dari penderitaan dan kawinin bini lo, sekarang lo malah mau ninggalin gue sendiri jadi jomblo ngenes begini? Sungguh teganya dikau!"
"Bacot sekali lagi, jangan salahin kalau kopi panas ini berakhir di muka lo," ancam Laskar. Meskipun wajah pria itu tampak datar dan serius, tetapi Kaisar tahu kalau Laskar tidak akan melakukan itu padanya.
"Calon kakak ipar gue suka banget pakai acara ngancam segala," cibir Kaisar.
"Kayak Harmonia mau aja sama lo."
"Pasti mau. Tunggu aja. Adik lo pasti akan cinta mati sama gue, Kar."
"Terserah lo, deh. Yang penting mimpi jangan ketinggian, nanti sakit kalau jatuh."
Laskar langsung meneguk kopi panas yang Kaisar belikan untuknya. Pria itu sudah hafal menu kopi yang biasa dipesannya. Antara Americano dingin atau panas.
"Kopinya lo beli di mana, sih?" tanya Laskar dengan alis dan kening yang mengerut. Susah payah menelan cairan berwarna hitam yang berasal dari gelas kertas di tangannya.
Bukannya menjawab, Kaisar malah balas bertanya. "Kenapa? Enakan ini, ya, daripada yang gue beliin biasanya?" tanya pria itu.
"Enak apanya!" hardik Laskar. "Kopinya rasa kertas! Nggak beres ini barista yang buat!"
"Oh, emang iya? Mana sini gue mau cobain juga." Kaisar mengambil alih gelas kopi dari tangan Laskar kemudian mencoba menyeruput sedikit.
"Anjir, kayak minum air bekas rendaman kertas," omel Kaisar setelah mencoba kopi yang dibelinya.
"Emang lo pernah minum air bekas rendaman kertas?" tanya Laskar.
Kaisar terkekeh lalu menjawab, "Ya, nggak pernahlah. Gila lo!"
"Ya, udah, gimana lo bisa bilang itu kayak air bekas rendaman kertas?"
"Udahlah, terserah apa kata lo. Gue bisa ikutan gila kalau ngobrol lama-lama sama lo."
Laskar mencibir. "Lah, lawak. Orang lo yang ngajak gue ke sini. Jangan sok playing victim lo."
"Jadi, itu kopi kertas dari mana?"
"Femime." Kaisar menunjuk ke permukaan gelas kertas sambil berkata, "Makanya ini dibaca."
"Salah graphic designer-nya. Siapa suruh ngedesain logo sekecil ukuran otak lo gitu."
"Kalau lo bukan Mas-nya Harmonia, pasti udah gue lempar ke planet lain dari kapan hari."
Laskar tidak membalas ucapan pria itu. Begitu juga dengan Kaisar. Kedua pria itu diam, larut dalam pikiran masing-masing selama beberapa menit hingga salah satu di antara mereka membuka suara.
"Tadi gue ketemu Harmonia di Femime," ujar Kaisar, padahal tanpa perlu dia bilang, Laskar juga sudah tahu mengenai hal tersebut. Jelas-jelas Harmonia yang mengatakan sendiri pada Kaisar kalau ia baru saja dari kantor Laskar.
"Ya, terus?"
"Kar, kenapa, ya, adik lo nggak pernah ngelirik gue sama sekali?" tanya Kaisar murung. "Memangnya gue sejelek itu, ya? Perasaan setiap gue ketemu orang baru, hampir semua dari mereka selalu muji-muji ketampanan gue."
"Tujuan utama lo nanya gitu ke gue sebenarnya mau minta dikasihani atau mau flexing?"
"Nggak dua-duanya, sih. Gue cuma mau adik lo lihat gue sebagai pria, bukan malah anggap gue kayak lo, abangnya."
Laskar mengangkat pundaknya. "Ya, kalau gitu, lo harus usaha lagi. Usaha lo kurang kali, Bro," ujar pria itu memberi saran. Namun, Kaisar tahu kalau kalimat tersebut hanya kalimat basa-basi semata karena tidak banyak yang bisa Laskar lakukan untuk membuat adiknya melirik pria itu.
"Emang lo nggak capek apa ngejar-ngejar adik gue terus? Semua cewek berlomba-lomba cari perhatian lo, sementara Harmonia malah nolak mentah-mentah."
Kaisar melayangkan tatapan protes pada Laskar, tidak setuju dengan ucapan pria itu. "Nggak ditolak. Belum diterima aja. Gue paham, adik lo butuh persiapan mental untuk menerima cinta gue. Lihat aja nanti. Lo jangan nyesel aja kalau kita udah jadi keluarga nanti."
Laskar terkekeh. "Nggak akan nyesel. Lumayan ... kehadiran lo 'kan bisa gantiin gue supaya nggak diisengin Harmonia lagi," ujar pria itu menggoda sahabatnya.
Kaisar menolehkan kepalanya ke sisi kiri, menatap wajah Laskar dari samping sembari tersenyum tipis. "Apa lo lihat-lihat?" hardik Laskaar ketika pandangan mereka bertemu. Ucapan pria itu langsung dibalas dengan acungan jari tengah oleh Kaisar.
"Wah, adik ipar kurang ajar."
"Peduli setan!"
"Kai," panggil Laskar dan langsung dibalas dengan dehaman singkat oleh Laskar.
"Lo butuh bantuan gue nggak?" tanya Laskar menawarkan.
Kening Kaisar mengerut, berusaha mencerna pertanyaan lawan bicaranya. "Maksud lo mau jadi mak comblang?"