“Aku gak pernah berpikir kalau Om Ferdinand mengesampingkan kehidupan pribadinya seperti yang kalian kira,” ucap Radit seraya ia berdiri. Seolah ia akan memaparkan sebuah pengumuman penting
“Maksudmu?”
“Maksudku … yah … kehidupan Om Ferdinand adalah Richelle. Kalo menurutku sih, kenapa Om Ferdinand gak nikah-nikah, ya karena Om Ferdinand sebenarnya pengen nikahin Richelle.”
“Hah? Aku?” ulang Richelle tak percaya.
Tiga pria lainnya tampak diam, menganalisis kebenaran ucapan Radit.
Mungkinkah pria itu benar-benar tak menikah karena yang ia inginkan adalah Richelle? Makanya ia tak pernah setuju dengan pria mana pun yang diperkenalkan oleh Richelle.
“Ah, ngada-ngada kamu, Dit,” timpal Daniel, tak percaya.
“Mau bukti?”
“Apa buktinya?”
“Syel, kamu inget gak waktu kamu SMA? Waktu itu kamu berantem sama Haikal. Makanya kamu jadi nempel banget sama aku. Apa-apa bareng aku, ke mana-mana aku anter jemput. Terus pernah satu malam, kamu nginep di rumah aku. Eh, tapi gak bisa dibilang nginep soalnya Om Ferdinand datang jam 1 lewat buat bawa kamu pulang. Padahal waktu itu kamu udah tidur. Dia datang tengah malem, padahal hujan lebat, jalanan licin, tapi masih jemputin kamu karena aku nyuruh kamu nginep. Om Ferdinand sampai menginterogasi kita waktu itu, nanyain apa kita pacaran, iya, ‘kan? Keliatan banget kalo Om Ferdinand gak suka kalo kamu pacaran sama aku. Padahal sebenernya kita biasa-biasa aja.”
Richelle menggaruk kepalanya. Ia sedikit mengangguk, membenarkan semua pertanyaan Radit.
“Aku juga ngira kalian pacaran waktu itu,” timpal Billy. “Bukan cuma Om Ferdinand yang berasumsi kayak gitu. Richelle jadi aneh, manja banget sama Radit. Wajar kalo Om Ferdinand beranggapan kalo kalian pacaran.”
“Kalo aku sih malah mikir waktu itu Richelle sengaja pura-pura nempel banget sama Radit biar Haikal cemburu, ruginya ternyata Haikal gak cemburu sama sekali.” Daniel menambahkan seraya tertawa.
“Wajar, ‘kan?” ujar Billy yang langsung diangguki oleh Daniel, bahkan oleh Haikal juga.
“Terus kenapa dia harus menunjukkan kemarahannya kalo Richelle pacaran sama aku? Kenapa dia keliatan mau ngejauhin aku dari Richelle, sampai jemput tengah malam? Padahal kan sama aja, Richelle nginep di rumahku dia aman-aman aja, pulang dia juga aman-aman aja.”
“Apa yang salah dari itu?” Haikal bertanya, menyanggahi asumsi Radit. “Menurutku wajar-wajar aja Om Ferdinand menjemput Richelle dari rumah kamu tengah malem. Om Ferdinand udah tau gimana bejatnya kamu, sementara Richelle masih bego banget waktu itu. Diapain aja pasti nurut-nurut aja.”
“Apa?” Richelle berdiri. “Kamu ngatain aku bego waktu itu?”
“Sampai sekarang pun masih, Syel,” tambah Haikal. Menambah geramnya Richelle. “Buktinya, kamu berhasil dibegoin sama Ronald. Kamu bahkan bayarin hutang-hutangnya.”
Oke, Richelle tak punya pembelaan apapun. Ia memang bodoh sekali.
Karena para pengawal di rumah Richelle menghilang, serta adanya kemungkin bahaya dari para debt collector yang bisa datang kapan saja, makanya tak ada yang meninggalkan rumah Richelle walau telah diusir.
“Kalian gak pulang?”
“Kamu ngusir kita, Syel?”
“Aku mau nginep, kali-kali aja debt collector yang kamu bilang itu datang lagi,” ujar Haikal.
“Kamu gak mau pulang, Dit?”
“Gak, aku mau jagain cewe yang dulu pernah dikira pacarku.”
“Kalo kamu, Bil?”
Billy sedikit tertawa. “Aku juga mau jagain cewe bego ini. Kasian kalo ada yang bego-begoin lagi.”
“Sial!” umpat Richelle. Arah matanya berubah ke arah Daniel. “Apa? Kamu juga mau nginep? Gak ditungguin tante-tante kamu itu?”
“Aku juga nginep. Mulai sekarang kamu memenuhi kriteria wanita yang kusuka.”
“Aku? Apa?”
“Lupain aja, kamu harus istirahat, Syel.” Daniel mengalihkan pembicaraan. Bahkan pria itu sudah meraih lengan Richelle lalu menuntunnya untuk dibawa masuk ke dalam kamar. Meninggalkan yang lain berbisik-bisik di belakang.
“Sekarang kan Richelle janda, makanya udah masuk kriteria demenan Si Daniel,” Radit berbisik pada Billy. “Demenan Si Daniel kan kalo bukan janda yah tante-tante.”
Haikal sedikit mendecak mendengar bisikan Radit. “Gak usah bahas-bahas soal status Richelle sekarang, Dit. Kalo Richelle denger dia bisa down lagi.”
“Kalo gak digampar karena emosinya Richelle belum stabil,” timpal Billy.
“Nah, iya.”
“Ini nih kenapa aku emang gak setuju Richelle cepet banget nikahnya, itu anak belum bener-bener dewasa. Tapi, kalo lagi dibutakan cinta mau gimana lagi. Dikasih tau kalo Ronald gak bener malah kita yang dimushin.” Billy mendesah panjang setelahnya. “Lagian apa hak aku buat ngomong kalo Ronald gak bener, kayak aku udah bener aja.”
“Bisa sadar diri juga,” ejek Radit.
“Emangnya kamu udah bener, Dit?”
“Gak,” Radit menggeleng. “Yang bener cuman kamu aja, Kal.”
Bahkan Haikal pun menghela napas. Sadar bahwa ia pun tak jauh berbeda dengan teman-temannya yang lain. Mungkin yang perlu ia lakukan saat ini adalah memastikan Richelle tetap waras setalah guncangan emosi yang menerpanya bertubi-tubi. Bagaimanapun, Richelle selalu akan menjadi princess kecil yang harus ia jaga.
“Semoga gak ada tetangga-tetangga nyinyir yang gosipin Richelle.”
“Maksudmu apaan, Dit?” tanya Billy saat ia mulai merebahkan badan di sofa.
“Ya gimana coba, Richelle janda. Suaminya mati bahkan belum sebulan, tapi di rumahnya udah ada empat bujangan. Apa kata para tetangga-tetangga Richelle coba?”
“Ngapain mikirin itu, Dit. Lagian kita udah bolak-balik masuk rumah ini dari jaman Richelle masih dikandung mamanya. Jangankan rumahnya, kamarnya Richelle pun udah kayak markas kita di sini.”
“Iya juga, sih.”
Sementara itu, di dalam kamar, Daniel menemani Richelle. Ia berniat meninggalkan kamar hanya setelah wanita itu tertidur. Ia duduk di tepian ranjang usai menyelimuti Richelle. Matanya memperhatikan Richelle lebih jeli kali ini, menangkap rona pucat di wajah Richelle.
“Kamu pucat, Syel.”
“Gak sempat dandan makanya pucat.”
“Aku khawatir kamu sakit.”
“Aku emang sakit.”
“Di mana, apanya yang sakit?” Daniel bertanya dengan serius. Pun matanya menatap dengan penuh perhatian pada Richelle. Tangan Richelle yang berada di balik selimut pun ia tarik keluar untuk mengeceknya.
“Semuanya,” ujar Richelle dengan lesu. “Semuanya sakit, Dan. Sakit banget. Aku ngeliat tanganku, keliatannya baik-baik aja, tapi rasanya sakit. Aku ngeliat kakiku, keliatannya baik-baik aja, gak ada luka, tapi kenapa sakit banget? Badan aku juga gak ada luka, tapi kenapa semuanya sakit? Dan, aku sakit apa? Di rumah sakit ada gak obat buat aku? Kamu bisa gak ngobatin aku?”
“Sepertinya bukan di rumah sakit obatmu, Syel,” jawab Daniel sambil mengelus punggung tangan Richelle. “Waktu, Syel. Obatnya adalah waktu. Kamu bakalan butuh waktu buat sembuh dari penyesalan, dari rasa kecewa, dan dari semua rasa sakit kamu.”
“Aku mengatakan dia berengsek, tapi aku tetap merasa sakit karena dia udah gak ada di sini. Aku membencinya karena merasa ditipu dan dibohongi, tapi aku juga berharap dia tetap hidup. Aku harap ada keajaiban entah apa itu, walau mustahil, aku berharap dia hidup. Aku harap dia gak ada di pesawat itu. Aku harap dia mabuk-mabukan di suatu tempat dan bukan dia pilot di pesawat yang kecelakaan itu. Atau aku harap dia ditolongin orang, kayak cerita-cerita di sinetron dan dia selamat.”
Richelle langsung mengipas-ngipas area wajahnya. Mencegah dirinya untuk menangis. Pria b******n yang meninggalkannya dengan hutang belasan milyar tanpa berkata apa-apa itu tak perlu ia tangisi.
“Aku gak mau nangisin b******n itu.”
“Kalo gitu jangan, sebaliknya kamu bisa mengumpatinya saja.” Daniel memberi saran.
Richelle menegapkan tubuhnya untuk duduk, kurang cocok saja rasanya kalau ia mengumpati mendiang suaminya sambil berbaring. Ia perlu berdiri lantas berteriak selantang mungkin, hingga terdengar ke alam lain, biar pria itu mendengarnya.
Wanita itu turun dari tempat tidurnya dengan terburu-buru, ia hampiri bingkai pernikahannya yang terpajang di dinding. Seolah ia akan berbicara langsung pada pria yang sedang tersenyum di foto itu.
“PENIPU!” teriak Richelle.
“Lanjut lagi, Syel. Katain aja sepuas kamu.”
“b******n! Kamu hanya memperalatku, bukan? Karena kamu tau kalo aku orang kaya, makanya kamu menikahiku buat bayar hutang-hutangmu. Begitu, ‘kan?”
Richelle mengepalkan tangannya sekuat tenaga lantas ia ayunkan ke arah foto itu. Hanya sepersekian senti sebelum kepalan tangannya bersentuhan dengan kaca di bingkai tersebut, ada tangan Daniel yang menangkapnya. Mencegah tangan Richelle terluka.
“Dasar bodoh, pria sialan itu sudah menyakiti hatimu, sudah membuat hidupmu seperti ini, apa kamu mau berakhir dengan luka di tanganmu juga? Sayang sekali kalau tangan cantik ini memiliki bekas luka. Maskapai penerbanganmu mungkin tak akan senang jika salah satu pramugarinya memiliki bekas luka, bisa mengurangi kecantikan yang selalu mereka elu-elukan.”
“Aku tidak berniat kembali ke Turki. Semua hal tentang Turki, aku ingin melupakannya, terutama b******n ini.”
Richelle membalikkan badan. Muak melihat foto Ronald yang bersanding dengannya.
“Aku akan meminta pelayan untuk menurunkan foto itu.”
“Baguslah, kamu harus menyingkirkannya.”
“Sepertinya aku juga harus menyingkirkan semua barang-barangnya yang masih ada di kamar ini.”
“Singkirkan semuanya, Syel. Lupakan dia.”
“Hmm ….” Richelle mengangguk pelan. “Sepertinya isi kamar ini pun harus kubuang, aku gak mau menyimpan jejaknya di rumah ini, terutama ranjang itu …,” tunjuk Richelle. “Sial, aku pernah … hhh … dengannya di ranjang itu.”
Daniel mendengkus kecil sebelum tertawa. “Kau menyesal sekarang?”
“Iya.”
“Apa yang kau sesali? Karena dia berumur pendek?”
“Bukan.”
“Lantas?”
“Karena dia hanya memanfaatkanku untuk membayar hutang-hutangnya, padahal aku setengah mati mencintainya.”
Daniel tertawa dengan puas. Akhirnya Richelle bisa sadar juga. Walau harus ditampar dengan kenyataan pahit sebelum ia sadar bagaimana buruknya pria yang ia perjuangkan mati-matian itu.
Pria itu meraih pundak Richelle, membaliknya agar berhadapan dengannya. Ia tersenyum sesaat, sepertinya hendak memberi wejangan pada Richelle.
“Lain kali, percayalah pada kami. Paham?”
“Baiklah.”
“Kau boleh jatuh cinta, tapi sisakan sedikit saja ruang di hatimu untuk mendengarkan kami, kalau tidak, kamu masih akan berakhir menjadi sebodoh ini.”
“Oh, baiklah,” ucap Richelle dengan cebikan. “Aku akan tidur di luar saja, bersama kalian.” Richelle menarik diri, berniat keluar dari kamar.
“Kenapa?”
“Sudah kubilang aku gak mau tidur dengan jejak si b******n itu di sini.”
Di depan kamar Richelle terdapat ruangan terbuka yang luas. Bagian atasnya dari kaca, makanya dari ruangan tersebut mereka bisa melihat langit. Terdapat banyak sofa panjang di sana, biasanya difungsikan sebagai tempat tidur oleh Haikal, Daniel, Billy, dan Radit kalau sedang menginap di sana. Sementara bagian lantainya dilapisi dengan karpet tebal, kadang mereka tidur bersama di sana.
“Loh, kok balik lagi? Gak istirahat, Syel?” tanya Radit sambil mengangkat kepalanya yang tadi sudah beradu dengan nyamannya bantal sofa.
“Katanya Richelle gak mau tidur di ranjang yang sama dengan ranjang yang pernah dia pakai bercinta dengan b******n itu,” jawab Daniel dengan tawa pendek setelahnya.
Rupanya ucapan Daniel membuat Radit amat tertarik. Buktinya pria itu sudah benar-benar bangkit, meninggalkan sofa yang tadi ia tiduri. Seolah siap sekali untuk mendengar bagaimana percintaan Richelle dengan mendiang suaminya. Walau hal itu agak kurang sopan untuk dibahas, apalagi di masa-masa berduka seperti ini. Tapi, kalau Radit sudah penasaran, mana bisa ia berpikir mana yang sopan dan tak sopan. Lagian sejak kapan mereka penuh sopan santun. Memang tidak.
“Syel, kayaknya kita belum pernah benar-benar membahas tentang mendiang suamimu itu,” ucap Radit seraya mendekati Richelle. Ia tarik agar mengikutinya lalu ia suruh duduk sebelum ia juga ikut duduk tepat di sampingnya. Tangannya ia lebarkan untuk merengkuh Richelle agar lebih dekat dengannya. “Bagaimana b******n itu, apa dia cukup hebat?”
Sebuah bantal mendarat di kepala Radit oleh ayunan tangan Haikal yang menempelengnya. Bisa-bisanya Radit mempertanyakan hal sesensitif itu di saat Richelle bahkan belum benar-benar usai berduka.
“Sakit tau,” keluh Radit.
“Pertanyaanmu sembarangan banget,” balas Haikal. “Harusnya kamu gak nyuruh Richelle inget-inget mendiang suaminya, tapi nyuruh buat lupain. Semakin diinget, Richelle bakalan semakin sedih.”
Radit menggelengkan kepala. “Kali ini kamu salah, Kal. Kalian gak ngerti, sebagai pakar percintaan, aku tau banget hal ini. Jangan paksa diri kalian buat melupakan sesuatu yang menyakitkan. Semakin kalian memaksa diri untuk melupakannya, semakin kalian tersiksa. Ujung-ujungnya kalian malah semakin mengingatnya. Biarin aja mengalir, katakan saja yang ingin kalian katakan, ingat saja sebanyak mungkin, berceritalah sebanyak mungkin, setelah kalian puas, kalian akan lebih enteng untuk melupakannya.”
“Oke,” ujar Richelle. Nampaknya termakan ucapan Radit. “Mau nanya apa tadi?”
Radit tersenyum culas. “Si b******n itu, apa dia hebat?”
“Hebat apanya?”
Tiga pria lain mendesah frustasi. Sudah dibilang Richelle masih sangat bodoh. Malah terpancing oleh Radit. Walau begitu, mereka tetap bergabung juga mengerumuni Richelle, tetap tertarik untuk mendengar bagaimana cerita tentang Ronald.
“Soal ranjang, Syel,” jawab Radit. “Dia hebat, gak?”
Richelle menggaruk kepalanya. Definisi hebat itu seperti apa?
“Gak, yah?” tebak Radit.
“Gak tau,” jawab Richelle dengan bingung. “Aku gak tau dia hebat atau gak. Emangnya definisi hebat itu kayak apa?”
“Mau aku ajarin, Syel?” Billy turut menimpali.
“Gak usah ikut-ikutan deh, Bil,” cegah Haikal.
“Kenapa? Aku juga mau tau,” tantang Richelle saat ia melihat Haikal. “Biar gak selalu kalian anggap bego. Aku gak tau karena gak seperti kalian. Kalian bisa mendefinisikan seseorang hebat karena kalian punya pembanding. Kalian semua sudah tidur dengan banyak perempuan, jelaslah kalian tau siapa yang hebat dan tidak. Bahkan kamu juga,” tunjuk Richelle pada Haikal seraya mencebik. Menunjukkan bahwa ia kecewa kalau pria itu tetaplah seperti pria-pria lainnya.
“Gini deh, intinya kayak gini, yang hebat itu kalau setelah kalian melakukan hubungan, kamu kepengen lagi dan lagi. Semacam bikin ketagihan. Kalau iya, artinya dia cukup hebat.”
“Oh,” jawab Richelle dengan oh yang ambigu.
“Jadi, gimana?”
“Emm … biasa aja sih. Kalau diajakin aku nurut, kalo gak ya gak.”
“Berarti dia gak hebat,” ucap Billy dengan senyum mengejek. “Semua cewek yang pernah tidur sama aku, semuanya minta nambah,” ucapnya dengan sok.
Richelle menatap ngeri pada Billy. Di antara sahabat-sahabatnya yang lain, pria itulah yang paling m***m menurutnya. Tapi, kalau sekarang ia melihat tiga pria lainnya, kenapa semuanya malah berekspresi aneh?
“Muka kalian pada kenapa sih? Kok pada gitu?”
“Ah, ga-ga-gak,” jawab Haikal dan Daniel dengan serempak.
“Sekarang kita beralih ke pertanyaan berikutnya.” Radit mengalihkan pembicaraan, cukup peka kalau topik barusan malah menyerang mereka-mereka sendiri. Membuat pikiran mereka malah liar sendiri. “Kenapa harus Ronald, Syel? Apa yang bikin kamu suka banget sama dia sampai yakin buat menikah?”
Kamu, seseorang yang kujumpai di langit. Seseorang yang mengajakku untuk melihat ribuan warna-warni di langit.
Aku percaya, aku terbuai.
Lantas kau pergi, dan warna-warni itu pun sirna.