Petir Menggelegar

2224 Kata
“Kenapa Ronald?” ulang Richelle. Ia diam sesaat, menelan ludahnya sendiri. Mengingat kembali hal apa yang membuat ia jatuh cinta pada pria itu. “Karena dia sayang sama aku dengan cara yang berbeda dari kalian semua,” ucap Richelle dengan mata yang memancarkan kesedihan. Ia tatap pria-pria itu satu persatu. “Aku tau kalian semua sayang sama aku, kalian, Om Ferdinand, aku tahu itu. Tapi, Ronald sayang sama aku dengan cara yang lain. Gak seperti kalian yang sayang sama aku tapi selalu mengawasi, selalu melarang-larang, aku merasa terlalu dikurung. Terutama kamu,” Richelle menunjuk Haikal. “Kamu terlalu posesif dan aku harus selalu nurut. Kalo Ronald, dia membebaskanku. Aku boleh tetap melakukan yang aku mau.” “Syel, kamu tau gak kenapa kamu diawasi, dilarang-larang, dan harus selalu nurut?” tanya Haikal, mencoba menunjukkan pembenaran atas caranya menyayangi Richelle. “Karena kalian sayang sama aku, ‘kan?” “Iya.” Haikal membenarkan. “Singkatnya seperti itu, selebihnya kami mencoba menghindarkan kamu terlibat dari orang-orang seperti Ronald. Kamu terlalu baik, Syel. Kamu menilai orang hanya berdasarkan apa yang kamu lihat di depan mata. Hanya karena mereka menyodorkan makanan, kamu sudah menganggap dia baik. Tapi, bisa jadi dia memberimu racun. Beda sama kami yang akan meneriakimu atau bahkan sampai melarangmu makan karena kami gak mau kamu makan racun.” “Maaf.” Richelle menunduk, merasa bersalah. Apalagi Haikal berujar dengan nada mengomel. Radit mendesah panjang. “Haikal … Haikal, ngapain kamu omelin lagi sih? Jadi mewek begini, ‘kan?” “Ini dua orang emang selalu kayak gini, satunya hobby ngomel yang satunya selalu bertingkah makanya mengundang omelan. Mana kalo diomelin langsung mewek.” Billy berkomentar seraya membawakan tissue untuk Richelle. “Kadang aku mikir kenapa kalian gak nikah aja sih?” tanya Daniel seraya menunjuk Haikal dan Richelle bergantian. Richelle mengangkat wajahnya, ia usap air matanya. “Karena Haikal gak mau nikahin aku.” “Emangnya kalo Haikal mau nikahin kamu, kamu nerima dia?” tanya Radit. “Siapa aja yang lamar aku bakalan aku terima. Makanya aku jadi cinta banget sama Ronald, karena cuma dia yang tetep berani bilang bakalan nikahin aku setelah dia interogasi habis-habisan sama kalian dan Om Ferdinand.” “Emang bego banget dasar, ini nih efeknya kebanyakan baca dongeng tentang pangeran-pangeran berkuda putih. Hanya karena ada yang ngajak nikah, udah langsung percaya kalo orang itu cinta mati sama dia.” Haikal merutuk. “Bisa suruh dia pulang aja, gak sih? Aku kesel banget sama dia,” tunjuk Richelle pada Haikal dengan ekspresi geram. Sejak tadi ia sudah dibuat emosi sekali dengan olok-olokan pria itu. "Udah-udah, kalian ribut terus." Billy menengahi. "Ini udah malem, mendingan Richelle istirahat. Kamu pucet banget, Syel." "Gimana gak pucet kalo dari tadi diomelin Haikal. Orang lagi down begini diomelin terus, ya makin pucet," timpal Daniel. Mengkambinghitamkan Haikal atas raut wajah Richelle yang berantakan. "Syel, kayaknya kamu cuci muka dulu deh sebelum tidur. Biar perasaan kamu enakan." Billy menyarankan. Richelle mengangguk setuju, ia pun bangkit berdiri. Sementara Billy mengode Haikal agar pria itu mengikuti Richelle. Yah, anggaplah untuk berbaikan. Arah matanya memberi perintah, agar Haikal mengikuti Richelle ke dalam kamarnya. Tak hanya Billy, bahkan Daniel pun turut mengompori agar Haikal mengikuti Richelle. Ia bahkan menunjuk-nunjuk saat Richelle sudah membelakanginya. Mulut Radit pun berkomat-kamit tanpa suara. Mengucap perintah agar Haikal segera meminta maaf. Akhirnya Haikal mengalah, menghadapi perempuan memang harus selalu siap minta maaf. Walaupun semua setuju kalau ucapan Haikal tak ada salahnya. Pria itu mengambil langkah yang lebar, mendahului Richelle hingga ia bisa membuka kamar wanita itu lebih dulu. Richelle tak bertanya, ia hanya melihat Haikal sesaat sebelum mencebikkan bibirnya. "Mau ikut masuk ke toilet?" tanya Richelle karena langkah kaki Haikal begitu dekat dengannya. Kembali menunjukkan sisi posesifnya. Inilah yang tak disuka oleh Richelle tentang pria itu. Sikap posesifnya yang terlalu berlebihan. Terlalu banyak aturan yang harus ia penuhi jika ia dekat-dekat dengan pria itu. "Iya, kalo kamu gak keberatan." Helaan napas panjang Richelle terdengar. "Mau ngeliat aku ganti baju?" "Oke, aku tunggu di luar. Kalo butuh apa-apa, panggil aku." Haikal memilih duduk di depan pintu toilet sementara wanita itu sudah menghilang di balik pintu. Ia melihat dirinya di pantulan cermin, membuatnya merasa pening akan kejadian akhir-akhir ini. Rupanya menikah memang tak seindah yang ia bayangkan. Dalam bayangan-bayangannya, pernikahannya akan menyenangkan. Bekerja dengan suaminya, di mana Ronald yang menjadi pilot sementara ia pramugarinya. Mereka bisa keliling dunia bersama secara cuma-cuma, plus dibayar pula. Mereka bisa honeymoon sepanjang tahun. Ah, teramat indah ia merangkai cerita. Sayangnya tak ada yang terwujud hingga ia mendapati kabar kalau pria itu sudah meninggal dalam kecelakaan pesawat. Tak ada honeymoon panjang, tak ada penerbangan mendebarkan yang mereka lalui bersama. Karena sebelum semua itu terwujud, pria itu sudah meninggalkannya. Richelle menampung air dalam telapak tangan lantas menyapukannya ke seluruh permukaan wajah. Terasa dingin, sedikit membuat ia merasa segar. "Apa kamu benar-benar hanya ingin memanfaatkanku? Untuk membayar hutang-hutangmu? Karena itukah kamu mengatakan tidak sabar untuk segera menikahiku?" Sekali lagi Richelle membasuh wajahnya dengan air. "Di mana pun kamu saat ini, kembalilah!" ujar Richelle dengan putus asa. "Kalau kau sudah mati, hiduplah lagi, kalau kau masih hidup, datanglah dan jawab pertanyaanku. Apa hanya aku yang menyukaimu? Sementara kamu hanya menipuku? JAWAB!" teriaknya. Sebuah pelukan menghentikan teriakan Richelle. Pelukan hangat yang beradu dengan dinginnya air yang tadi membasuh wajah Richelle. Wajahnya bersembunyi di pelukan pria itu. Bersembunyi dari rasa malu karena ia sekali lagi menangisi pria sialan itu. "Apa cuma aku yang sayang sama dia? Apa perasaanku sepihak? Ternyata sakit banget saat tau kalau ketulusanku sama dia hanya dimanfaatkan. Kenapa dia gak terang-terangan minta sumbangan aja. Gak usah bilang cinta kalau ternyata yang dia inginkan hanya uangku." "Kalau begitu, untuk setiap rupiah yang sudah kamu keluarkan untuk orang itu, anggaplah sebagai sedekah. Sedekah untuk seseorang yang sudah mati. Selebihnya kamu gak perlu mengeluarkan uang sepeser pun, mengenai hutang-hutangnya, aku akan membawanya ke jalur hukum kalau orang-orang itu terus mengganggumu." Richelle mengangkat wajahnya. Ia lihat wajah Haikal. Padahal saat pertama kali ia merasakan pelukan itu, sebersit harapan muncul dalam dirinya bahwa pelukan hangat itu milik Ronald yang bangkit dari kematian untuk bertanggung jawab atas semua hal buruk yang menimpa Richelle. "Aku bersyukur banget karena punya kamu, Kal." "Berarti kita baikan?" "Iya," jawab Richelle sembari tersenyum. "Satu hal yang perlu kamu tau, Syel. Kamu gak kehilangan apa-apa. Pria itu, dia tak berharga sampai kamu harus rugi karena kehilangannya. Kami semua masih ada di sini, aku, Billy, Radit, sama Daniel." "Om Ferdinand?" "Kamu bisa menghubungi Om Ferdinand besok, mungkin Om Ferdinand sedang sibuk malam ini. Besok kalian bisa bicara dan menyelesaikan kesalahpahaman kalian." "Om Ferdinand gak beneran ngambek sama aku, 'kan?" "Kalo kamu minta maaf dengan benar, Om Ferdinand pasti bakalan memaafkanmu." "Kal, kamu gak beranggapan kalau yang diomongin Radit itu bener, 'kan?" "Soal apa?" "Kalo Om Ferdinand katanya suka sama aku?" tanya Richelle dengan ragu-ragu. Haikal tertawa pelan seraya mengurai pelukannya. "Memangnya kau pikir semua orang menyukaimu?" "Katanya kalian semua sayang sama aku." "Iya, tapi bukan seperti yang kamu pikir. Sayangnya Om Ferdinand ke kamu itu seperti kasih sayang orang tua." "Tau dari mana?" "Keliatan dari matanya." "Oh ya?" "Kalo kamu, sayangnya kamu ke aku kayak gimana?" "Sayang sekali, aku gak bisa melihat mataku sendiri." "Lihatlah di cermin," tunjuk Richelle. Haikal menengok sesaat ke cermin. "Entahlah, bukankah kita selalu gagal menilai diri sendiri? Tapi, selalu paling pintar menilai orang lain." "Ternyata seorang Haikal punya juga hal yang gagal dia lakukan." Richelle sedikit tersenyum. "Itu membuatmu terlihat seperti manusia pada umumnya." "Ternyata di matamu aku sesempurna itu. Pantas saja kau sangat menyukaiku saat kau SMA dulu." Dari luar kamar terdengar panggilan, suara milik Radit. Memanggil sang pemilik kamar. Pria itu mendorong pintu kamar lantas melangkahkan kakinya melewati ambang pintu. Di tangannya, ia memegangi ponsel milik Richelle yang dalam keadaan berdering tanda panggilan masuk. "Syel, Richelle," panggil Radit seraya masuk lebih dalam. Menjelajahi seisi kamar milik janda cantik itu. "Richelle ...." Tak menemukan sang pemilik kamar, ia lanjut berjalan ke arah toilet yang pintunya sedikit terbuka. "Syel ...." Radit berdiri di depan pintu toilet, melihat dua orang yang sedang berdiri berhadapan di dalam sana. Tak hanya sekadar berhadapan, karena tangan milik Haikal masih bertakhta di pinggang Richelle. "Peluk-pelukan lagi," sindir Radit bak tetangga-tetangga nyinyir yang lagi melihat kemesraan orang. "Kenapa emangnya? Mau dipeluk juga, sini," ajak Haikal. "Untung aku yang liat, gimana kalo orang lain? Apa kata orang coba kalo Richelle peluk-pelukan sama pria lajang di kamarnya, tepatnya di toilet kamarnya. Padahal belum juga sebulan suaminya meninggal, eh udah peluk-pelukan sama cowok lain di toilet." "Kamu masuk ke sini buat ngata-ngatain aku, Dit?" "Gak sih," jawabnya dengan cengengesan. "HP kamu tadi bunyi." Ia melihat layar ponsel milik Richelle, sayangnya panggilan tersebut sudah terputus. "Tapi, udah mati." "Siapa? Om Ferdinand?" tanya Richelle dengan penuh harap, ia melangkah dari dalam toilet, keluar lebih dulu, meninggalkan Haikal yang masih tetap berdiri di dalam sana. "Om Ferdinand, yah?" ulang Richelle seraya meraih ponselnya dari tangan Radit. "Bukan, Syel. Nyokapnya Ronald." "Mamanya Ronald?" ulang Richelle. Ia pastikan kebenaran ucapan Radit dengan melihat layar ponselnya. Benar, ada panggilan tak terjawab dari kontak yang ia beri nama Mama Mertua. "Ngapain yah nelponnya semalam ini?" Richelle jadi bertanya-tanya, ini sudah hampir jam 11 malam. Sudah terlalu larut untuk berbicara di telepon. Apalagi ia dan mertuanya tak terlalu saling kenal. Sebelum menikah, ia hanya bertemu dua kali dengan orang tua Ronald. Pertemuan ketiga mereka adalah di hari H pernikahan. Dan di pertemuan keempat adalah saat takziah yang digelar sekitaran 10 hari yang lalu. Richelle masih bertanya-tanya alasan kenapa mama mertuanya menelepon hingga ponsel di genggamannya itu kembali berdering, dari orang yang sama. "Nelpon lagi," ujar Richelle sambil melihat pada Radit dan Haikal bergantian. "Jawab aja," saran Radit. Richelle menunggu hingga Haikal menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan sebelum ia menjawab panggilan tersebut. "Iya, Ma," jawab Richelle. "Richelle, tolong kami. Tolong kami, tolongin Mama sama Papa," ujarnya dengan suara tergesa-gesa di sambungan telepon. Suaranya terdengar begitu panik. Membuat Richelle tak kalah paniknya. "Mama sama Papa kenapa?" "Syel, kenapa? "Kenapa?" Haikal dan Radit berbisik-bisik dengan cepat, khawatir akan suara dan ekspresi panik Richelle setelah mendapatkan telepon dari mertuanya. Richelle hanya menggelengkan kepala, ia pun masih belum mendapatkan jawaban kenapa mertuanya meminta pertolongan dengan penuh keterburu-buruan. “Syel, loudspeaker,” pintar Radit karena penasaran yang langsung disetujui oleh Richelle. “Mama kenapa, bisa sampein ke Richelle pelan-pelan.” “Tolong kami, Richelle. Tolong kami, Nak. Dari tadi siang ada … ee ….” Ucapan mertuan Richelle terpotong-potong. “Ada apa, Ma?” “A-anu, i-itu ….” Selanjutnya malah terdengar suara isak tangis. Membuat Richelle makin khawatir. “Ma, bisa tenang dulu, gak? Gimana Richelle bisa bantuin Mama kalau Mama gak kasih tau Richelle.” “Ta-tapi, kamu beneran mau bantuin kami, ‘kan?” “Iya, Ma.” “Kami mohon, tolong bantu kami, Richelle. Mama sama Papa gak tau lagi mau minta bantuan sama siapa apalagi setelah Ronald gak ada.” Lalu isak tangis kembali terdengar. Isak tangis yangmembuat Richelle merasa sesak, seolah-olah paru-parunya tersumbat hingga tak bisa mengalirkan udara lagi. “Ada premen yang datang ke rumah, katanya Ronald punya hutang, kamu bisa bayar hutang-hutang suami kamu, ‘kan?” Dengkusan keras terdengar dari mulut Haikal dan Radit secara bersamaan. Kedua pria itu menatap Richelle dengan tatapan penuh intimidasi, melarang Richelle untuk mengiyakan. Jangan sampai Richelle terbodohi lagi oleh isak tangis dari seberang telepon. “Kami udah gak punya apa-apa lagi, kamu bisa, ‘kan?” Mertua Richelle kembali memohon dengan amat memelas. “Katanya Ronald punya asuransi jiwa, ‘kan? Kamu bisa kirimin itu ke Mama, ‘kan?” Haikal menyodorkan tangannya ke depan, meminta Richelle menyerahkan ponsel yang ia pegang itu. “Biar aku yang bicara,” ujarnya dengan nada memerintah. Mau tak mau Richelle menyodorkan ponsel itu, walau agak tak rela. “Selamat malam, Bu.” Haikal langsung berbicara, dengan nada sopan, menunjukkan keprofesionalitasannya. “Ma-malam, ini si-siapa? Ke-kenapa menantu sa-saya bersama laki-laki di tengah malam begini?” “Ah, sepertinya Ibu sudah cukup sadar kalau ini tengah malam, sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menangis-nangis di sambungan telepon dan meminta uang kepada menantu Anda, atau lebih tepatnya mantan menantu.” “Siapa kamu?” “Saya pengacaranya Ibu Richelle. Terkait hutang-hutang Pak Ronald, kami tidak bertanggung jawab atas hal itu, Ibu Richelle sama sekali tidak ada sangkut pautnya akan hutang-hutang yang dimiliki oleh Pak Ronald. Jadi, mohon maaf kami tidak akan mengirimkan uang apapun untuk membayar hutang-hutang Pak Ronald seperti yang Ibu minta.” “Saya tidak meminta uang Richelle,” ujarnya dengan suara yang terdengar agak marah. Sepertinya kesal karena langsung ditolak, apalagi yang menolak adalah pengacara Richelle. “Saya hanya ingin uang asuransi anak saya.” “Terkait uang asuransinya, uang itu sudah dipakai untuk membayar hutang anak Ibu.” “Jangan mengada-ngada kalian, kalian pasti ingin menguasai seluruh uang asuransi anak saya. Kasian sekali anak saya, dia meninggal tiba-tiba, sementara istrinya berfoya-foya dengan uang asuransinya.” Wanita itu kembali menangis, atau lebih tepatnya meraung-raung di sambungan telepon. “Ronald! Ronald!” Wanita itu berteriak memanggil anaknya yang telah tiada. “Sungguh kejam istrimu. Ternyata sikapnya tak secantik wajahnya. Dia justru bersenang-senang dengan menggunakan uang asuransimu. Dia pasti bersenang-senang dengan pria lain, mana ada pengacara yang tinggal dengan kliennya sampai tengah malam.” Wanita itu semakin memencak, mengatai-ngatai Richelle sesukai hatinya. Rupanya masih belum cukup, karena pertir pun turut menggelegar, menyambarku berkali-kali oleh suaranya yang menakutkan. Telingaku bak tertampar, berdengung tanpa henti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN