“Kal, liat ini dong, aku gak ngerti soal beginian.”
Richelle menyodorkan map berisi salinan hutang piutang Ronald kepada salah satu sahabatnya. Haikal nama pria itu, tepatnya Haikal Ethan Prasetyo. Pria yang selalu tampil rapi dengan setelan jas yang tak pernah meninggalkan tubuh kekarnya. Pengacara sekaligus dosen hukum di universitas khusus hukum milik keluarganya itu telah berteman dengan Richelle bahkan sejak Richelle masih di kandungan.
Orang tua mereka telah bersahabat sejak mereka muda, makanya pria itu sudah berasa seperti saudara, sahabat, bahkan terkadang berasa seperti bapak. Kadang pula pria itu diakui sebagai pacar oleh Richelle, maklum semasa muda ia selalu dilarang dekat-dekat dengan cowok, makanya agar ia tak kelihatan jomlo, Haikal ia akui sebagai pacar. Walaupun hanya ngaku-ngaku. Sementara pria yang ia akui itu tak menggubris sedikit pun.
“Apa ini?”
“Hutangnya si berengesek itu,” jawab Richelle dengan kesal.
“Si berengsek?” ulang Haikal.
“Siapa?” Radit menimpali. Pria yang tadi sibuk dengan ponselnya kini ikut mendekat, ingin melihat isi map yang disodorkan oleh Richelle. “Siapa yang berengsek?” ulang Radit, menunggu hingga pertanyaannya terjawab.
Raditya Arka Adiatama, seorang CEO dari perusahaan yang bergerak di bidang entertainment. Sama seperti Haikal, Radit juga bersahabat dengan Richelle bahkan sejak Richelle masih dalam wujud segumpal darah di perut mamanya.
Pria tampan itu mendirikan perusahaan entertainment-nya agar lebih leluasa memacari artis-artis manapun yang disukainya. Selain itu, dia adalah pewaris dari Adiatama Group. Perusahaan yang selalu membuat Richelle pusing untuk menyebutkan apa sebenarnya pekerjaan mereka karena semua jenis usaha dimilikinya. Di bidang kesehatan juga digeluti, bidang perhotelan, bidang otomotif, belum lagi toko-tokonya yang bejibun.
“Siapa lagi kalau bukan Ronald,” jawab Richelle.
“Ronald?”
Empat pria di ruangan itu kompak menyebut nama mendiang suami Richelle. Padahal tadi mereka masih sibuk dengan urusan masing-masing. Kini bahkan sudah mengerumuni Richelle bak semut. Tampak amat tertarik dan menanti ucapan Richelle berikutnya.
“Hutang?” Radit kembali bertanya.
“Ronald punya hutang?” Pria dengan tatapan mata yang menakutkan itu turut bertanya. Membuat Richelle melihat ke arahnya. “Suamimu punya hutang?” ulang Billy.
Billy Erland Reinaldi, sahabat Richelle yang berprofesi sebagai polisi. Richelle kerap kali menyebutnya sebagai polisi menyebalkan. Meskipun berprofesi sebagai polisi, pria itu justru jarang sekali terlihat memakai seragam polisinya. Ia lebih senang memakai kemeja lalu membuka dua kancing teratasnya. Ah, aneh-aneh saja pria-pria di sekitaran Richelle.
Padahal pria itu terlihat sangat berkharisma saat memakai seragam kepolisiannya apalagi dengan atribut-atribut kebanggaannya. Namun, ia lebih suka memakai kemeja dengan dua kancing terbuka agar d**a berbulunya terlihat. Ah dasar pria m***m. Seluruh keluarganya adalah polisi, mulai dari kakek buyut, om, bahkan papanya juga polisi. Kekuasaannya di kepolisian sudah berakar sejak kakek buyutnya.
“Punya, dan jumlahnya milyaran. Dasar b******n. Tadi siang aku didatangi debt collector dan disuruh membayar hutang-hutangnya.”
“Dan kamu bayar, Syel?” tanya Haikal seraya membuka map yang diberikan Richelle.
“Iya,” jawab Richelle dengan lemas.
“Ngapain dibayar? Itu bukan hutang kamu.” Haikal mulai memencak. Sepertinya pria itu akan mulai menceramahi Richelle. “Kamu gak ada sangkut-pautnya dengan hutang-hutang Ronald.”
Richelle menggaruk kepalanya. “Aku mana tau soal begituan, Kal.”
“Kenapa gak ngabarin aku? Apa gunanya punya HP?”
“Aku gak kepikiran,” jawab Richelle dengan frustasi.
“Kamu gak disakitin sama debt collectornya, ‘kan?” Billy bertanya, ia mendekati Richelle meraih tangan janda cantik itu lalu membolak-balikkannya. Memastikan kalau Richelle tak terluka.
“Gak, aku baik-baik aja.”
“Kamu bayar semuanya, Syel?” tanya Haikal lagi.
“Gak mungkin lah, mana aku punya duit sebanyak itu. Aku cuman bayarin dari uang santunan dari Turkish Airlines sama uang asuransinya Ronald.”
“Uang asuransinya udah cair?” Kali ini Radit yang bertanya.
“Iya. Debt collectornya kok bisa tau yah dana asuransinya udah cair, begitu aku terima uangnya aku juga langsung ditodong buat bayar hutang. Sialnya, uang asuransinya yang milyaran itu pun gak cukup buat bayar hutangnya.”
“k*****t!” Seorang pria terdengar mengumpat. Pria yang paling tenang, yang sejak tadi hanya sibuk menyimak di saat teman-temannya sudah pada rusuh. “Sebanyak apa hutangnya?”
Pria yang paling pendiam itu adalah Daniel Austin Setyawan, si dokter mengerikan yang hobby-nya adalah memacari tante-tante. Dia sangat berbahaya dan menakutkan, kata Richelle. Daniel adalah dokter bedah ortopedi atau dokter bedah tulang.
“Masih tersisa belasan milyar lagi,” ujar Richelle dengan lesu.
“Syel, sekali lagi aku bilang ini bukan tanggung jawab kamu.”
“Kal, aku udah bilang aku gak ngerti sama hal-hal beginian. Tiba-tiba aku ditagih, aku shock dan ya udah aku serahin aja semua duitnya. Toh, itu juga bukan uang aku.”
“Emang bener sih itu bukan uang kamu, tapi sekali kamu bayar kamu bakalan ditagih terus, Syel. Emangnya kamu mau bayar belasan milyar lagi? Untuk sesuatu yang bahkan kamu gak tau dipakai buat apa sama b******n itu.”
“Makanya aku tunjukin sama kalian, aku gak tau soal beginian. Katanya aku ahli warisnya, soalnya dana asuransinya ditujukan atas nama aku, makanya aku yang harus bayar semua hutang-hutangnya.”
“Syel, ini hutangnya dari 2013, kalian nikahnya baru tahun ini. Nikahnya pun sebulan sebelum b******n itu mati. Kamu gak perlu bertanggung jawab untuk hal-hal seperti ini.”
“Aku pusing ah.” Richelle memilih duduk sembari meraih sebotol minuman dingin yang ada di atas meja.
“Kalau mereka datang lagi, kasih aja kartu nama aku. Suruh mereka berhubungan sama aku, paham?”
Richelle mengangguk kecil, tanda bahwa ia paham ucapan Haikal.
“Pintar,” ujar Haikal seraya mengelus kepala janda cantik itu. “Lain kali jangan bertindak gegabah, kalau ada apa-apa langsung hubungi aku.”
“Oke.”
Wanita itu meraih lengan Haikal, memegangnya beberapa detik sebelum ia ditarik oleh pria itu ke dalam pelukannya. Lengan kokoh pria itu melingkari tubuh Richelle yang sedikit bergetar, sepertinya ia melawan tangis. Ia tak mau menangisi b******n itu.
“Harusnya kalian tidak membiarkanku menikah dengan b******n itu,” rengek Richelle.
Ah, lihatlah sekarang ia malah melimpahkan kesalahan pada sahabat-sahabatnya. Padahal ia yang dulu merajuk saat tak seorang pun mempercayai Ronald yang katanya mencintai Richelle sepenuh hati.
Empat pria itu bersamaan membuang napas dengan keras. Sungguh, mereka telah melakukannya. Mencoba menghalang-halangi Richelle menikah dengan Ronald dengan beragam macam cara. Mengatakan Richelle masih terlalu muda. Tapi, oleh Richelle dibantah habis-habisan. Katanya usia 25 tahun sudah sangat matang untuk menikah. Lagian tentang kedewasaan bukan hanya diukur dari berapa banyak angka di umur.
Bahkan upaya mereka yang berlagak bak tukang pukul pun tak menyurutkan keteguhan Ronald untuk menikahi Richelle. Ditambah dengan sederet rajukan Richelle yang terus memohon agar ia direstui.
Tapi, lihatlah sekarang, justru ia yang berakhir merajuk setelah sadar kalau ia yang terlalu terburu-buru untuk menikah. Penyesalan memang selalu di belakang.
“Kalo kamu lupa, kami sebenarnya sudah menentang kamu menikah dengan pria yang kini sudah almarhum itu,” ujar Radit sambil menggelengkan kepalanya.
“Harusnya kalian lebih menentang lagi. Sekarang aku jadi janda, mana ditinggalin hutang belasan milyar. Aku harus ngapain sekarang?”
“Makanya kalo dibilangin didengerin,” ujar Billy seraya menjentikkan ujung jarinya di dahi Richelle. “Jangan kebawa emosi, dikit-dikit ngambek. Ngancem ini itulah kalo gak direstuin nikah. Dari pada kamu bunuh diri, ya kita bisa apa coba?”
“Mending jadi janda kan dari pada mati?” tambah Radit dengan sedikit kekehan, menertawakan Richelle.
“Yang lagi cinta-cintaan emang gak bisa sadar kalo dibilangin. Bucin banget kamu waktu itu sama kesayangan kamu itu. Kayak gak bakalan bisa napas kalau gak nikah secepatnya sama Si Ronald itu.” Daniel pun turut mencemooh.
“Persis kayak kamu, Dan … kalo belum dapat jatah dari tante-tantemu,” ejek Radit membuat ekspresi di wajah Daniel langsung berubah jadi ekspresi wajah yang kesal. Daniel hanya berakhir membuang muka karena enggan memperkeruh suasana.
“Dasar berengsek, sekarang kalian ngatain aku?” umpat Richelle.
“Sumpah, kami sebenarnya udah ngatain kamu sejak pertama kali kamu bawa Si Ronald untuk dikenalin sama kita-kita. Cuman kamunya aja yang gak bisa dibilangin.”
“Salahin aja aku terus, hidup aku udah kayak gini, apes banget. Pergi kalian!” Richelle mengusir, nampaknya sudah emosi sekali melihat bagaimana ia diolok-olok oleh keempat pria itu.
Memang tidak tahu waktu sih untuk mengolok-olok Richelle, di saat Richelle masih berduka lalu tiba-tiba ditagih hutang belasan milyar. Jelaslah emosinya tak stabil, eh malah diledekin terus. Wajar kalau ia mengusir empat pria menyebalkan itu. Ah, mungkin kecuali Haikal. Si paling peduli pada Richelle.
“Syel, kok sepi sih? Ini rumah sejak kapan gak ada pengawal-pengawal yang berjaga lagi?”
Rupanya tak hanya Richelle yang mempertanyakan keberadaan para pengawal-pengawal itu, tapi Haikal pun sadar bahwa ada yang hilang di rumah Richelle.
“Gak tau, aku baru sadar hari ini, pas tadi aku kedatangan debt collector aku baru sadar kalo udah gak ada pengawal lagi di sini. Aku mau nanyain ke Om Ferdinand tapi aku juga gak pernah ketemu lagi sama Om Ferdinand.”
Radit mendengkus kecil. “Kayaknya aku tau.”
“Apa?” Yang lain bersamaan beralih menatap Radit.
“Om Ferdinand ngambek ke Richelle.”
“Ngambek?”
“Iya.”
“Kok ngambek?” ulang Richelle.
“Iya, kan Om Ferdinand gak pernah setuju kamu nikah sama Ronald. Om Ferdinand menentang sampai akhir, tapi kamu tetep ngeyel dan memilih Ronald. Yah, pasti Om Ferdinand merasa dikhianati.”
Ingatan Richelle sedikit terputar, sebenarnya ia memang memiliki perselisihan dengan Om Ferdinand—sahabat sekaligus orang kepercayaan mendiang papanya—terkait pria pilihannya. Om Ferdinand bukannya menentang ia untuk menikah, hanya saja kurang sreg dengan pria pilihan Richelle itu. Menganggap jika Richelle terlalu terburu-buru, juga mempertimbangkan bahwa ia masih harus menyeleksi pria itu. Tapi, saat itu Richelle mana mau mendengar.
“Kamu bahkan hampir berpura-pura hamil, ‘kan?” Billy mengingatkan.
“Bener,” Daniel membenarnya. “Waktu itu kamu mau ngancem Om Ferdinand dengan mengatakan kalau kamu udah hamil duluan. Untungnya kamu masih mau dengerin kita, jadi kamu tidak mendatangi Om Ferdinand dengan alat tes kehamilan palsu.”
“Om Ferdinand pasti kecewa banget, Syel. Dia yang ngerawat kamu sejak kecil. Bahkan mengesampingkan kehidupan pribadinya. Sampai sekarang Om Ferdinand bahkan gak nikah-nikah karena ngurusin kamu sama perusahaan mendiang papamu, tapi liat balasanmu ke Om Ferdinand. Definisi anak durhaka,” ujar Billy sambil menggelengkan kepalanya.
Richelle meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Sepertinya ia perlu mencari tahu keberadaan pria yang usianya hampir setengah abad itu. Digulirnya layar ponselnya hingga terpampang nomor telepon milik Om Ferdinand. Ia sentuh tombol pemanggil lantas ia dekatkan ponsel tersebut ke telinganya.
“Kapan terakhir kali kalian liat Om Ferdinand di rumah ini?” tanya Richelle sembari menunggu panggilannya tersambung.
Radit menggedikkan bahu, hal yang sama pun dilakukan oleh Daniel, menunjukkan ketidaktahuan mereka mengenai pertanyaan Richelle.
“Waktu takziah kayaknya aku masih liat Om Ferdinand,” jawab Billy.
“Ah, iya.” Haikal turut membenarkan. “Waktu itu Om Ferdinand pamit lebih awal, katanya ada yang mau dia kerjain.
“Itu waktu takziah malam pertama, ‘kan?” Billy memperjelas.
“Iya. Di takziah malam berikutnya aku gak pernah liat Om Ferdinand lagi,” jawab Haikal.
“Telponnya gak dijawab,” ucap Richelle dengan bingung. Ia tatap layar ponselnnya dengan ekspresi sedih. Mana pernah Om Ferdinand mengabaikan teleponnya.
“Seorang Om Ferdinand gak jawab telponnya Richelle, artinya ada yang gak beres.” Radit berasumsi.
“Jangan bikin aku khawatir dong, Dit.”
“Kok aneh, yah? Bisa-bisanya Om Ferdinand ninggalin Richelle di waktu yang seperti ini?” tanya Daniel dengan ekspresi yang bingung. Setahunya, Om Ferdinand sangat memprioritaskan Richelle, dan tak mungkin pria itu pergi begitu saja tanpa ada kabar di saat Richelle tengah berduka dan dilanda masalah begini. Biasanya pria itu yang paling duluan tau kalau Richelle dapat masalah.
“Makanya aku bilang Om Ferdinand itu ngambek sama Richelle. Bener-bener ngambek.”
Dalam kepungan badai ini, aku terseret, terombang-ambing, dan aku tidak tahu apa-apa.
Aku bingung, aku hilang.