Richelle mendatangi kantor megah Ellison Corp. Gedungnya bertingkat tinggi, menjulang ke langit. Begitu ia masuk ke lobby, ia langsung disambut senyum hangat security yang berjaga. Tujuan kedatangannya pun langsung ditanyakan. Dan tentu ia jawab sejujur-jujurnya bahwa ia datang untuk membicarakan hutangnya dengan perusahaan tersebut.
Richelle diminta untuk menunjukkan kontrak hutang piutangnya sebelum ia diarahkan untuk menunggu di sebuah ruangan yang berada di lantai 12. Ia menunggu di ruangan besar seorang diri selama hampir setengah jam. Staff yang mengantranya hanya mengatakan untuk menunggu hingga seseorang bernama Bu Anggie tiba.
Setelah hampir setengah jam, akhirnya pintu ruangan tersebut dibuka lalu muncullah seorang wanita dengan rok span selutut disertai kemeja. Kakinya yang jenjang terlihat cantik karena dihiasi oleh heels berwarna krem, senada dengan warna kemeja yang dikenakan wanita itu. Cantik, begitulah penilaian Richelle. Tiba-tiba membuatnya memiliki keinginan baru, ingin bekerja kantoran setelah ia mengundurkan diri sebagai pramugari.
“Ibu Richelle?” sapa wanita itu.
“Benar.”
“Saya Anggie, maaf sudah membuat Bu Richelle menunggu lama. Saya habis mendiskusikan terkait hutang piutang mendiang Pak Ronald dengan pimpinan kami.”
Richelle mengangguk pelan seraya duduk setelah ia berdiri untuk menyambut kedatangan Bu Anggie.
“Jadi, bagaimana dengan proses pembayarannya, apakah sudah bisa kami terima hari ini?”
“Soal itu, bisakah saya bernego sedikit?” tanya Richelle dengan hati-hati.
“Bernego?” ulang Bu Anggie. “Bukankah semuanya sudah disepakati di pengadilan. Tenggat waktu dan jumlah pembayarannya?”
“Benar, tapi saya mengalami sedikit masalah.”
Bu Anggie tetap menunjukkan senyum, tapi senyum itu tak lantas berarti bahwa ia peduli dengan masalah yang dialami oleh Richelle. Ada masalah atau tidak, Richelle harus tetap membayar sesuai putusan pengadilan.
“Apa boleh saya membayar dengan barang?”
“Barang?” ulang Bu Anggie. “Barang seperti apa yang Bu Richelle maksud?”
“Saya mengalami masalah keuangan untuk saat ini. Tapi, saya tetap bisa melakukan p********n dengan menggunakan mobil-mobil saya. Kebetulan di rumah, saya punya beberap koleksi mobil mewah dan mobil klasik.”
Richelle mengutuk diri lagi, mobil-mobil klasik yang ia maksud adalah koleksi mendiang papanya. Ah, terkutuk sekali ia karena berniat menukarkan mobil tersebut sebagai p********n untuk hutang-hutang Ronald.
“Boleh saya liat surat-surat dari mobil yang Ibu Richelle maksud?”
Richelle mengeluarkan STNK dari dalam tasnya. Ada empat STNK yang ia bawa untuk diberikan pada Ellison Corp. Semoga saja bisa diterima.
Pa, maafin Richelle. Suatu hari nanti, Richelle akan membeli kembali mobil-mobil antik punya Papa.
“Hanya STNK? Apa ada BPKB-nya?”
Richelle menggeleng pasrah. “Tidak ada.”
“Anda tahu bukan kalau melakukan transaksi jual beli tanpa ada BPKB tergolong illegal dan tidak sah?”
“Iya, tapi mobil-mobil ini, semuanya punya saya. Salah satu dari STNK itu atas nama saya sendiri, selebihnya atas nama almarhum papa saya.”
“Jika Ibu Richelle yang memiliki semua mobil-mobil yang Anda maksudkan, sepertinya bukan hal yang sulit untuk membawa BPKB-nya.”
“Saya tidak memilikinya.”
“Berarti ini tidak bisa digunakan sebagai metode p********n,” ujar Bu Anggie seraya menyodorkan kembali STNK-STNK itu pada Richelle. “Artinya lagi, Ibu Richelle harus menggunakan metode p********n yang lain.”
Ia menghela napas panjang. “Apa tidak ada cara lain, saya sudah tidak memiliki apapun lagi. Jujur saja, saya ditipu oleh orang kepercayaan saya yang selama ini mengurus perusahaan almarhum papa saya.”
“Oh, saya turut prihatin. Tapi, sayangnya hal itu tidak berarti bahwa Bu Richelle bisa terbebas dari p********n yang sudah disepakati.”
“Setidaknya beri saya kelonggaran waktu, please …,” ujarnya dengan permohonan. Kedua tangannya terkatup di depan wajah. Memohon-mohon belas kasih dari Bu Anggie.
“Maaf, Bu Richelle. Ini juga bukan kewenangan saya. Saya hanya pelaksana tugas di sini. Sama seperti debt collector yang selalu mendatangi Ibu.”
“Jadi, siapa yang berwenang? Biarkan saya bertemu dengannya.”
“Tentu saja yang berwenang adalah pemilik dari Ellison Corp., pemilik dari uang yang almarhum Pak Ronald pinjam.”
“Kalau begitu tolong pertemukan saya dengan beliau.”
“Wah, tidak semudah itu, Bu. Untuk bertemu dengan beliau harus memiliki janji dan mengikuti kesediaan beliau.”
“Boleh tolong buatkan janji untuk saya? Saya siap menunggu sampai beliau bersedia dan punya kesempatan? Boleh, ‘kan? Saya mohon.”
Bu Anggie menggelengkan kepalanya. Bukan sekali dua kali ia menghadapi orang-orang seperti Richelle. Bahkan banyak yang pernah berlutut di kakinya karena memohon agar dipertemukan dengan pemilik Ellison Corp. Sayangnya, bahkan ia sendiri tak segampang itu untuk bertemu dengan pemilik Ellison Corp.
“Maaf, Bu. Saya tidak bisa membantu lebih lagi. Saya harus pergi untuk meeting saya selanjutnya. Bu Richelle juga bisa meninggalkan ruangan ini.”
“Please, tolong saya, Bu.”
“Yang bisa saya katakan hanyalah harap segera melunasi hutang Ibu, sebelum hari ini berakhir. Jika tidak, debt collector kami akan mulai bertindak. Dan … tindakan mereka tentunya tak akan seramah yang sebelum-sebelumnya. Saya permisi, Bu.” Bu Anggie meninggalkan ruangan tersebut dengan senyum lebar di wajahnya.
Oke, tinggallah Richelle di tempat itu tanpa ada solusi apapun. Mau pulang, rumahnya juga sudah dijual. Kok lucu sekali.
Wanita itu kekeh, ia tak pulang. Ia memilih menunggu di lobby di lantai dasar. Ia berniat menunggu orang nomor 1 dari Ellison Corp. Walau tak tahu siapa orangnya dan bagaimana wajahnya, ia tetap ngotot untuk menunggu. Jika itu adalah pemilik Ellison Corp. pastilah orang tersebut akan dikawal. Jadi kalau ia muncul, Richelle bisa menebak-nebak dan mendatanginya untuk bernegosiasi.
Yah, begitulah rencananya untuk saat ini. Walau terdengar bodoh sekali. Sama sekali tak punya persiapan dan hanya modal nekat. Bahkan kalau ia beruntung dan bertemu dengan orang nomor satu di Ellison Corp., ia sebenarnya juga belum tahu harus menawarkan apa. Ah, pikirkan itu nanti. Setidaknya ia harus menunggu saat ini.
Sejam, dua jam, tiga jam, yang bolak-balik muncul di depannya hanyalah karyawan-karyawan biasa. Ada yang berjalan santai-santai saja, ada yang berjalan cepat-cepat, bahkan ada juga yang berlari, nampaknya sibuk dan terburu-buru sekali.
Lantas kapan munculnya orang nomor satu Ellison Corp. itu?
Ponselnya berdering, panggilan telepon dari Haikal. Richelle menarik napas panjang sebelum ia jawab panggilan itu.
“Kamu di mana, Syel? Aku sampai di rumahmu tapi menemukan para pelayan membereskan barang-barangmu dan barang-barang peninggalan orang tuamu. Apa yang terjadi sebenarnya setelah aku pulang?”
Napas Richelle berembus dengan keras. “Itu, katanya rumah itu sudah dijual oleh Om Ferdinand.”
“Siapa yang mengatakannya?”
“Om Hendra. Tadi Om Hendra datang dan membawakanku surat jual beli rumahnya. Katanya Om Ferdinand mengirim file surat itu lewat email. Dan aku disuruh pindah mala mini juga.”
“Lantas di mana Om Ferdinand?”
“Aku gak tau, Om Hendra juga gak tau. Gak ada yang tau di mana keberadaan pengecut itu. harusnya kalau dia menginginkan semua harta peninggalan papaku, dia minta itu padaku secara langsung. Aku tidak keberatan untuk memberikannya. Bukannya merampokku seperti ini.”
“Jadi, kamu di mana sekarang?”
“Aku sedang di luar, mengurus sesuatu.”
“Apa yang kau lakukan, Syel? Jangan melakukan hal-hal aneh!” Haikal memperingatkan. “Di mana kamu sekarang, biar aku susul.”
“Gak usah, aku baik-baik saja. Aku hanya sedang menenangkan diri. Aku akan kembali nanti.”
“Kau akan kembali ke mana?”
Richelle menghela napas. “Mungkin aku ke TK.”
“Baiklah, kabari aku jika kau sudah di TK. Aku akan menemuimu di sana.”
“Oke.”
“Sekali lagi kuperingatkan, jangan melakukan hal-hal aneh. Paham?”
“Iya, iya,” jawab Richelle dengan cepat. “Kamu juga, jangan berani-beraninya kamu melakukan hal yang aku larang atau kamu akan menyesal.”
“Oke, gak bakalan. Puas?”
Richelle tersenyum kecil saat ia memasukkan ponselnya yang sudah ia putus lebih dulu sambungan teleponnya ke dalam tas.
Ah, untunglah ia masih punya tempat lain untuk tinggal sementara ini. TK, iya, tempat itulah yang akan ia tuju setelah urusannya selesai dengan Ellison Corp. TK, layaknya Taman Kanak-Kanak. Tempat itu memang dibuat dengan tujuan seperti namanya.
TK milik kami adalah tempat bermain yang sudah disediakan orang tua Haikal, Billy, Radit, dan Daniel untuk kami. Ah tidak, TK itu diberikan kepadaku saat aku berulang tahun yang kelima. Sejak saat itu, TK itu menjadi rumah kedua kami.
Saat ini, tempat itu sudah direnovasi sesuai dengan umur kami. Tak ada lagi tangga perosotan atau jungkat-jungkitnya seperti saat pertama kali aku dibawa masuk ke tempat itu. Saat ini lebih terlihat seperti apartemen mewah dengan segala fasilitas super mewah di dalamnya.
Aku mendapatkan kamar khusus yang tak pernah mau kurenovasi, kamar yang tetap berwujud seperti istana princess. Yang selalu membuat keempat pria itu bergidik ngeri melihat warnanya yang serba pink serta lampu-lampunya yang menyilaukan mata. Benar-benar kekanakan, yah karena aku tak pernah ingin merenovasinya.
Selain kamarku yang seperti istana princess, yang lain juga punya kamar masing-masing. Yah, maklumlah kami semua sudah dewasa. Tak mungkin juga kami akan terus-menerus tidur di kamar yang sama selayaknya saat kami masih kecil.
Mari kita tinggalkan sejenak tentang TK milik Richelle. Saatnya kembali ke Ellison Corp. Ia terkantuk-kantuk menunggu tanpa kejelasan. Orang nomor satu Ellison Corp. tak kunjung menampakkan batang hidungnya padahal ini sudah hampir jam lima sore. Banyak karyawan yang sudah pulang. Sementara Richelle masih menunggu, terkadang duduk, kadang juga berdiri untuk melemaskan otot-ototnya yang terasa kaku.
“Ada yang bisa saya bantu, Bu?” Seorang security menghampiri Richelle. “Sepertinya Ibu telah menunggu di sini sejak berjam-jam yang lalu.”
“Saya ingin bertemu dengan bos kalian, pimpinan Ellison Corp.”
“Wah, beliau tidak bisa ditemui begitu saja tanpa janji sebelumnya, Bu. Meskipun Ibu menunggu berjam-jam di sini, itu tidak akan membuahkan hasil.”
“Kalau begitu, bisakah Bapak membuatkan janji temu untuk saya?” tanya Richelle dengan penuh harap. Tangannya pun mengatup di depan wajah, memohon pada pria itu.
Sang security tersenyum canggung. Ini bukan lagi ranah yang mampu. Untuk menemui pimpinan Ellison Corp. bahkan janji temu saja tak cukup. Kadang yang sudah janjian dengannya pun masih dibatalkan karena waktunya yang tak memungkinkan. Apalagi orang tak jelas seperti Richelle, bermodalkan nekat. Yang ia bahkan tak tahu siapa sebenarnya orang yang ingin ia temui. Tidak namanya, tidak juga bagaimana tampangnya.
“Kalau untuk membuat janji temu dengan pimpinan Ellison Corp., Ibu harus melalui prosedur dulu. Tidak bisa asal ingin bertemu dan langsung buat janji begitu saja.”
“Jadi, bagaimana prosedurnya kalau ingin membuat janji untuk bertemu beliau?”
“Ibu bisa berkonsultasi dengan resepsionis kami, cuman sayangnya ini sudah melewati jam kantor, Bu. Ibu bisa kembali lagi besok.”
Besok?
Oh, Richelle tidak punya waktu sebanyak itu untuk menunggu sampai besok. Sebelum hari ini berakhir, setidaknya maksimal hingga 23:59, ia harus menyelesaikan permasalahan hutang piutang ini. Kalau lewat, mungkin ia akan didatangi oleh debt collector itu dengan kayu balok untuk dipakai memukuli tubuhnya.
Tunggu dulu, rombongan orang-orang yang terlihat memiliki aura-aura bos keluar dari lift. Mungkinkah itu adalah orang yang ia tunggu-tunggu? Orang nomor satu di Ellison Corp. Pria tinggi yang berjalan di tengah itu, ia tampak seperti CEO-CEO yang di film. Seseorang yang dari ujung kepala hingga ujung rambutnya mengenakan barang-barang mahal. Sementara orang-orang di sekelilingnya tampak seperti asisten atau pengawal-pengawalnya.
Oke, ini saatnya bagi Richelle untuk beraksi.
Ia berdiri dari duduknya. Berjalan cepat-cepat untuk menghadap pria yang ia incar itu. Pria yang harus ia ajak berkompromi agar ia mendapatkan keringanan.
“Saya ingin bicara dengan Bapak,” ujarnya dengan tiba-tiba saat ia berhasil mengambil posisi di depan pria yang ia terka sebagai orang nomor satu di Ellison Corp. Pengawal-pengawal pria itu tampak maju, sepertinya hendak membereskan Richelle agar tak menganggu pria itu.
“Dengan saya?” tanya pria itu. Tangannya terlihat bergerak sedikit, memberi kode kepada pengawal-pengawalnya agar tak melanjutkan niat mereka untuk menyingkirkan Richelle dari tempat wanita itu berdiri.
“Benar, saya punya hal penting untuk dibicarakan dengan Bapak ….” Ia menjeda karena tak tahu nama pria itu. “ … dengan Bapak … ee …,” ulangnya lagi. “… dengan Bapak nomor satu di Ellison Corp.,” ujarnya dengan merutuk diri pada akhirnya. Kenapa nama pria itu bahkan tak ia ketahui.
“Dengan Bapak nomor satu Ellison Corp.?” ulang pria itu.
“Benar, Pak. Saya memiliki masalah hutang piutang dengan Anda selaku pemilik dari Ellison Corp., dan saya ingin mendiskusikan hal itu, semoga Bapak berkenan untuk mendengarkan saya,” ujarnya dengan nada penuh permohonan. Eskpresi wajahnya pun tampak amat memelas.
“Masalah apa yah kalau boleh tau?”
“Palingan tidak mampu membayar, Pak,” jawab salah seorang pegawai yang berdiri paling dekat dengan pria itu. “Seperti biasanya, masalah orang-orang yang meminjam uang kita.” Pria itu bahkan sudah bisa langsung menebak.
Richelle menghela napas. “Benar, Pak. Tapi, tolong mendengarkan saya dulu. Saya bukannya tak ingin membayar. Tapi, ini bukan hutang saya, ini hutang almarhum suami saya. Saya pun ditipu olehnya.”
“Oh, yang habis disidangkan itu, ‘kan?” tebak pria itu.
“Benar, Pak,” jawab Richelle.
“Sayang sekali, saya tidak bisa berdiskusi dengan Ibu. Terkait p********n hutang, semuanya sudah didiskusikan di pengadilan. Hakim sudah memberi putusan.”
“Pak, tolong saya, please ….”
Pria nomor satu Ellison Corp. itu sudah berjalan, mengambil sisi yang kosong. Meninggalkan Richelle yang masih mengatupkan tangannya karena tetap memohon. Para pengawalnya pun serempak mengikut. Beberapa orang bahkan menyenggol Richelle begitu saja. Membuat oleng tubuh wanita itu hingga ia hampir jatuh.
Richelle mencoba mengejar. Tetap berusaha hingga akhir.
“Tolong saya, Pak. Dengarkan saya dulu.”
Pria itu nampak berbalik sebelum ia masuk ke dalam mobilnya yang sudah menunggu. “Anda salah orang, Bu. Bahkan jika saya ingin membantu, tapi uang-uang itu bukanlah milik saya. Bukan saya orang nomor satu Ellison Corp. seperti yang Ibu duga. Saya tidak memiliki wewenang atas permohonan Ibu, apalagi hutang Ibu bukan dalam jumlah yang sedikit. Masalah ini hanya bisa diputuskan langsung oleh orang nomor satu Ellison Corp. yang sebenarnya.”
Pria itu berlalu dan masuk ke dalam mobilnya, meninggalkan Richelle yang masih termangu di dekat pintu kaca.
Bahkan tak ada solusi.
Taka da yang tersisa selain jiwa putus asaku.
Apakah haru kutar jiwaku yang putus asa ini? Mungkin akan kulakukan, jika mereka bersedia menerimanya.