“Aku udah tanda tangan kontrak sama Ellison Corp. untuk bekerja di sana sebagai p********n hutang,” jawab Richelle dengan entengnya.
Hampir ia putus asa setelah tahu jika pria yang ia temui di lobby itu bukanlah orang nomor satu Ellison Corp. Namun, beberapa menit setelahnya, seseorang mendatanginya—Bu Anggie—wanita itu datang atas perintang langsung dari orang nomor satu Ellison Corp. dan ia ditawarkan solusi.
Haikal mendengkus keras. “Kenapa sih kamu bertindak semau kamu?” Pria itu menjambak rambut karena frustasi. “Apa susahnya sih bilang dulu?”
“Kalo aku bilang pasti bakalan kamu larang-larang.”
“Kamu bakalan kerja apa di Ellison Corp.?” tanya Billy dengan tangan terlipat di d**a. Pria itu pun menghampiri Richelle. “Pekerjaan macam apa yang bisa membuatmu membayar 13 Milyar itu? Kamu mau kerja sampai tua? Sampai nenek-nenek di sana? Jadi budaknya Ellison Corp.?” Pria itu bahkan tak kalah kesalnya dengan keputusan Richelle yang seenaknya.
“Kamu nganggep kita gak sih, Syel?” Radit pun turut berkomentar. “Soal uang, kita gak pernah hitung-hitungan sama kamu. Kita bisa bantu kamu untuk bayar hutang itu.”
“Aku gak mau nerima uang cuma-cuma. Aku udah terlalu banyak ngerepotin kalian. Kali ini aku gak mau. Kali ini biarin aku melakukannya sendiri, biarin aku mandiri. Biarin aku belajar bertanggung jawab atas … hhh … kebodohanku karena menikah dengan b******n itu.”
“Sumpah, aku kecewa banget sama kamu, Syel,” ujar Haikal lalu memilih bergerak mundur lantas duduk di sofa di ruang tengah di TK. Mereka semua tengah berkumpul di TK saat ini.
“Aku cuman kerja di sana, aku gak ngapa-ngapain.”
“Ya udah, batalin kerjaan gak jelas kamu di sana, mending kamu kerja sama aku. Gimana?” Daniel menawarkan solusi. “Kalo kamu pengen banget kerja. Aku yang bakalan mempekerjakanmu. Tidak usah bekerja pada orang asing dan melakukan hal-hal aneh yang kemungkinan akan bahaya buat kamu.”
“Aku kerja apa?”
“Aku nyuruh kamu duduk, kamu duduk. Aku nyuruh kamu istirahat, kamu istirahat. Kamu lakuin semua yang aku minta. Bayarannya adalah 13 Milyar itu. Bagaimana?”
“Itu bahkan bukan pekerjaan.” Richelle mendengkus kesal. “Kenapa kalian selalu meremehkanku? Aku bisa melakukannya, aku bisa bekerja untuk Ellison Corp. agar hutangku terbayar.”
“Oke, apa kerjaanmu di sana?” Billy kembali menanyakan jenis pekerjaan Richelle. Curiga kalau Richelle dibodoh-bodohi lantas menyetujui hal-hal aneh.
“Adalah pokoknya,” jawab Richelle dengan ambigu. Pun ia sendiri masih tak tahu jenis pekerjaan yang harus ia lakukan.
Saat menemui asisten dari direktur di Ellison Corp. ia diberitahu bahwa ia hanya perlu bekerja di rumah pemilik Ellison Corp. Tapi, ia tak diberitahu jenis pekerjaan apa yang harus dilakukan.
“Apa?” Billy mencecar.
“Apa kerjaannya?” Daniel dan Radit juga ikut bertanya seraya mendekati Richelle, seolah memojokkan wanita itu. Dikepung oleh tiga pria.
“A-aku belum ta-tau sih.”
“Dasar bodoh!” Haikal mengumpat di belakang sana. “Kamu gak tau kerjaannya apa tapi kamu tanda tangan kontrak? Tidakkah menurutmu itu mencurigakan?”
Pria itu kini kembali maju, mendekati Richelle. Sementara Radit, Billy, dan Daniel melebarkan jarak untuk menyediakan ruang bagi Haikal untuk menodong kebodohan Richelle.
“Katanya aku cuman kerja di rumah bos Ellison Corp.”
“Sebagai apa?”cecar Haikal. “Pelayan? Tukang bersih-bersih? Atau sebagai b***k seksnya?”
Richelle mengerucutkan bibirnya. Apakah ia melakukan kesalahan lagi? Apakah ia terburu-buru lagi dalam mengambil keputusan? Dalam pikirannya, saat ia ditawari pekerjaan, sama sekali tak ada pikiran buruk. Pekerjaan yang ia pikirkan adalah pekerjaan yang normal-normal saja, walau sekarang ia agak menyesal karena tak bertanya lebih jauh mengenai jenis pekerjaannya. Padahal sudah terlanjur tanda tangan kontrak sebagai penggantian hutang.
“Kamu mau kerja kayak gitu? Kamu tau gak kalau sekarang kamu hamil?” Haikal kelepasan, ia tak bisa mengontrol diri. Pria itu sekali lagi berakhir dengan menjambak rambut sendiri.
Kehamilan Richelle masih tetap ia sembunyikan dari wanita itu. Masih tetap menunggu hingga waktu yang lebih tenang dan saat kondisi Richelle lebih baik. Sayangnya makin hari makin tak ada waktu yang tenang. Semuanya penuh kerusuhan. Tiap hari masalah silih berganti berdatangan, belum selesai satu masalah, datang lagi masalah lainnya.
Dan hari ini, Haikal nampaknya tak mampu lagi membendung kekesalannya hingga ia kelepasan menyebutkan soal kehamilan Richelle.
“Aku tau,” jawab Richelle. Tak menunjukkan keterkejutan. “Bagaimana mungkin aku gak tau? Sementara bayi ini ada di perutku. Aku yang merasakan perubahan tubuhku.” Richelle membalas, suaranya nyaring, membentak Haikal. Sebagai pertanda betapa ia merasa kesal telah dibohongi tentang kehamilannya yang ditutup-tutupi. “Aku tau kalau kalian sengaja menutup-nutupinya. Makanya aku melakukan tes sendiri.”
“Baguslah kalo kamu sudah tau,” balas Haikal dengan ketus. “Biarkan aku bertanya lagi, dengan kondisi kamu hamil, apa kamu bisa melakukan pekerjaan tak jelas yang ditawarkan Ellison Corp.?”
“Aku harus bisa, aku sudah tanda tangan kontrak kerja,” ucapnya dengan lesu. Berbanding terbalik dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia harus bisa. Harusnya ia berujar dengan penuh semangat, meyakinkan empat pria itu bahwa ia benar-benar bisa. Tapi, malah sebaliknya. Justru ucapannya sendiri yang meragukan.
“Nah, itu bodohnya kamu, Syel.” Haikal kembali mengatainya.
“Aku gak mikir sejauh itu,” balasnya lagi. “Aku ke sana untuk menemui mereka agar diberi kelonggaran waktu, kemudian mereka menawarkan solusi lain. Ya, kupikir kalau aku bekerja untuk mereka tak masalah. Lagian sekarang aku tak menjadi pramugari lagi. Anggaplah aku mencoba pekerjaan baru, walau gak digaji.”
“Nah, pekerjaan barumu itu yang gak jelas,” balas Billy seraya menjentik kening Richelle. “Dasar bodoh!”
“Jujur saja aku tidak bisa memikirkan pekerjaan lain, Richelle ditawari untuk bekerja di rumah pemilik Ellison Corp.” Radit tertawa. “Bapak-bapak ubanan, purutnya buncit, om-om m***m yang lagi puber kedua, wah ….” Radit menghela napas panjang.
“Mereka mengatakan setelah tanda tangan kontrak aku tidak boleh membatalkannya lagi.”
“Semua kontrak memang seperti itu,” ucap Haikal. “Apa gunanya dibuatkan kontrak kerja kalau kamu bisa seenaknya membatalkan. Jadi, kapan kamu harus mulai bekerja?”
“Besok, mereka memberiku alamat rumah dari pemilik Ellison Corp. Aku disuruh datang besok pagi di jam 9.”
“Billy akan mengantarmu ke tempat kerja besok,” putus Haikal tanpa bertanya lebih dulu apakah Billy bersedia atau tidak.
“Kok aku? Kenapa bukan kamu?”
“Aku masih marah banget sama orang bodoh ini,” tunjuk Haikal pada Richelle. “Kamu saja yang mengantarnya, kalau ada apa-apa, tembak saja orang-orang di sana. Membuat kerusuhan kan kebiasaanmu dari dulu. Jangan lupa memakai seragam polisi.” Haikal menepuk pundak Billy. “Itu mungkin membuatmu lebih dihormati oleh mereka.”
***
Richelle tak bisa tidur, sekarang ia parno sendiri setelah mendengar bagaimana pendapat dari sahabat-sahabatnya itu. Ia memang bodoh sekali karena gampang percaya pada orang. Begitu ia ditawari untuk bekerja di rumah pemilik Ellison Corp. ia langsung setuju. Ia sudah menunggu sejak siang, sudah hampir putus asa, pun ia tak memiliki harapan apapun yang tersisa, saat ditawari solusi, jelaslah langsung ia setujui tanpa pertimbangan panjang.
Wanita hamil itu mengelus perutnya, sementara tangannya yang sebelah ia gunakan untuk menggaruk kepala. “Apa menurut kamu Mama melakukan kebodohan lagi?” tanyanya.
Tentang kehamilannya ia sudah curiga sejak ia dibawa secara terburu-buru ke rumah sakit. Daniel memberitahunya bahwa ia hanya kelelahan tapi ia bahkan diperiksan dengan alat USG. Richelle tak sebodoh itu juga untuk terus-menerus dikelabui. Makanya sepulang dari rumah sakit ia menggunak testpack dan dugaannya terbukti dengan dua garis di testpack tersebut.
Ia hamil, anak b******n itu. Mau menyesal tapi tidak akan merubah apa-apa. Mau merutuki nasib, ah bahkan itu pun tak menghasilkan apa-apa. Kalau ia hamil, ia terima saja. Ada ribuan wanita di luar sana yang ingin sekali punya anak tapi tak kunjung hamil. Kalau ia hamil artinya takdir mempercayakannya untuk menjadi seorang ibu. Walau ia harus menjadi orang tua tunggal di tengah-tengah sekelumit masalah yang tak berkesudahan ini.
Richelle keluar dari kamarnya, ia berjalan menuju sebuah pintu. Ia ketuk perlahan. Menunggu hingga sang pemilik kamar membukanya. Beberapa detik ia menunggu, namun pintu tersebut tak kunjung terbuka.
“Mungkin Haikal sudah tidur,” ujarnya sembari melirik jam dinding megah di atas TV. Jam 2.30 dini hari. Ini memang waktu tidur.
Richelle menarik diri, ia bergerak mundur, berniat kembali ke kamarnya. Namun, saat itulah sang pemilik kamar membuka pintunya.
“Richelle,” panggilnya dengan suara yang aka serak.
“Kamu gak tidur, Kal?”
“Menurutmu apa aku bisa tidur?”
“Kamu masih marah sama aku?”
“Sangat.”
“Aku boleh masuk ke kamar kamu, gak?”
Pria yang berdiri di ambang pintu itu menghela napas panjang sebelum ia menyingkir, memberi ruang bagi Richelle untuk melewatinya sebelum ia tutup pintu tersebut.
“Kamu minum-minum, Kal?” tanya Richelle saat menemukan sebotol wine di atas nakas. Ia meraihnya, memeriksa seberapa banyak yang sudah diminum pria itu. sisanya tak banyak, artinya Haikal sudah minum cukup banyak.
Haikal merebut botol wine itu dari tangan Richelle. Menghindarkan wanita hamil itu untuk meminumnya, jangan sampai Richelle nekat. Apalagi melihat bagaimana kenekatan wanita itu akhir-akhir ini. Membuat Haikal parno jadinya.
“Jangan meminumnya,” ujarnya lalu ia duduk di tepian ranjangnya sendiri. Ia tenggak sisa wine itu hingga habis. “Kamu tidak boleh minum yang seperti ini sekarang.”
“Sekarang? Karena aku hamil? Begitu?”
“Iya.”
“Bahkan saat aku tidak hamil, kamu tidak pernah membolehkanku meminumnya.”
“Tapi, masih kamu lakukan, bukan? Aku tau, Syel. Aku tau kamu selalu melanggar perintahku,” ujar pria itu sambil melepaskan botol winenya. Ia biarkan tergeletak di atas kasur, toh tak ada lagi isinya. “Kenapa susah sekali menurutiku, Syel?”
Richelle hanya menghela napas sebelum ia ikut duduk di samping pria itu. ia tak menjawab apa-apa, sadar kalau pria itu tak ingin didebat saat ini.
“Apa sulit sekali menurutiku? Aku menyuruhmu kuliah, tapi kamu malah kabur dan daftar pramugari. Aku menyuruhmu berhenti karena pekerjaanmu berbahaya, tapi kamu tak melakukannya. Aku melarangmu berpacaran, tapi kamu tetap melakukannya. Aku melarangmu mencoba minum-minuman beralkohol, tapi kamu tetap meminumnya diam-diam. Aku melarangmu menikah dengan pria sialan itu, tapi kamu nekat melakukannya. Sekarang, kamu bahkan lebih memilih melakukan pekerjaan tak jelas karena tak ingin aku membayarkan hutang-hutangmu. Apa susahnya menerima ketulusanku? Aku tidak meminta balasan, Syel. Aku cuma mau kamu menurutiku.”
Pria itu meraih kembali botol kosong itu, ia mengangkatnya, mendekatkan ke mulut. Lupa kalau sudah ia habiskan. Richelle meraih tangan pria itu.
“Sudah habis, Kal. Kamu sudah menghabiskannya.”
“Apa susahnya menurutiku?” tanya pria itu lagi, untuk yang kesekian kalinya. Ia tatap Richelle lekat-lekat. “Jika kamu menurutiku, semua ini tak akan terjadi. Kamu tidak akan melalui semua kesulitan ini. Kamu tidak akan berakhir menangis diam-diam saat malam.”
“Tau dari mana aku menangis?”
“Aku tau semuanya tentang kamu, Syel. Aku kenal kamu melebihi kamu mengenal diri kamu sendiri.”
Pria itu bangkit dari duduknya. Ia berjalan agak sempoyongan, pengaruh minuman beralkohol yang sudah ia minum. Namun, rupanya itu juga belum cukup. Ia masih membutuhkan asupan alkohol lagi. Ia buka lemarinya, mengambil sebotol lagi.
“Kal, cukup.” Richelle mencegah, ia rebut botol minuman itu dari tangan Haikal lalu menyembunyikannya ke belakang badannya. “Cukup, oke.”
Pria itu mendengkus. “Kamu menyuruhku untuk menurut, bukan? Tapi, denganku kau tak pernah mau menurut.”
“Kal ….” Richelle menyebut nama pria itu dengan berat. Ah, entahlah bagaimana ia harus memposisikan diri.
“Aku tanya lagi, apa susahnya menurutiku, Syel?”
“Susah, Kal. Karena aku juga menginkan sesuatu untuk hidupku sendiri.”
“Tapi, aku memilihkanmu jalan yang bisa membuatmu bahagia. Jika kamu menurutiku, tidak akan jadi begini. Kamu akan baik-baik saja. Jika kamu menurutiku, mungkin bukan anak b******n itu yang sedang kau kandung, tapi milikku,” ujarnya seraya menyentuh perut Richelle.
Jantung Richelle bergemuruh kencang akan sentuhan pria itu di perutnya. Ditambah mendengar ucapan putus asa Haikal. Tak ingin larut akna perasaan tak jelas, Richelle menepis tangan Haikal dari perutnya.
“Jika saja kamu menurutiku, akan kuberikan hal yang sangat kau inginkan.”
“Memangnya apa yang kuinginkan?” tanya Richelle.
“Kau ingin menjadi istriku, bukan?”
Richelle menelan ludahnya. Jujur saja, ucapan Haikal tak salah. Tapi, itu mungkin dulu. Ia pernah dibuat menggila sekali karena sangat menyukai pria itu. Ia menempelinya dan terus-menerut bermanja-manja pada Haikal. Membuat yang lain kadang muak melihat tingkah Richelle yang kekanak-kanakan.
“Iya, ‘kan? Jawab aku, Syel!”
“Iya, dulu aku sangat ingin menjadi istrimu. Tapi, kamu tidak pernah mengatakan apa-apa padaku. Tidak menyuruh untuk menunggu, tidak pernah mengajakku berpacaran, atau tidak pernah mengatakan cinta padaku. Padahal ribuan kali aku menyatakan cinta duluan.”
“Itu karena kamu tidak mau menurutiku. Kamu tidak mau mengikuti jalan yang aku pilihkan untukmu.”
“Karena jalan yang kamu pilihkan itu adalah jalan hidupmu sendiri, Kal. Itu bukan jalan hidupku. Aku memiliki cita-cita juga, aku memiliki hal yang kuinginkan. Dan kita selalu bertentangan, makanya aku menyerah tentangmu pada akhirnya.”
Tangan Haikal yang bergerak untuk meraih pipi Richelle terhenti dan berakhir terjatuh sebelum ia menyentuhnya.
“Aku minta maaf soal hari ini, aku tidak berpikir panjang. Tapi, aku akan bertanggung jawab untuk setiap hal yang sudah kulakukan. Biarkan aku belajar, Kal. Biarkan aku menapaki jalanku sendiri. Bisakah kita baikan? Jangan marah lagi padaku. Kamu tau, aku akan sangat sedih kalau kamu marah padaku.”
“Baiklah, kita baikan, princess kecil,” jawab Haikal seraya mengelus puncak kepala Richelle.
Richelle merangkul pria itu lebih dulu, memeluknya dengan erat. “Terima kasih untuk semuanya, Kal.”
Denganmu, aku menyerah.
Denganmu, aku memberontak.
Karena kupikir langit yang kupilih penuh warna-warni tanpamu.
Rupanya langit pilihanku adalah langit yang kelam dan penuh badai.