"Maaf, Bu Richelle tidak bisa melakukan penarikan dana jika tanpa izin dari Pak Ferdinand."
Begitulah kata-kata penolakan yang disampaikan oleh staff keuangan di kantor mending orang tua Richelle. Jangankan 13 Milyar, seribu rupiah pun kalau tanpa izin Om Ferdinand, Richelle tak boleh mengambil uang yang jelas-jelas itu adalah haknya. Ia adalah pewaris satu-satunya dari perusahaan Sam's Company. Sementara Om Ferdinand hanya diamanahi sebagai pengelola sejak orang tua Richelle meninggal karena kapal pesiar yang mereka tumpangi tenggelam di perairan Andaman, Myanmar.
Kisah orang tua Richelle sebenarnya kisah yang cukup tragis. Mereka berlibur di anniversary pernikahan mereka yang ketiga tahun. Meninggalkan Richelle di istana megah mereka dengan alasan ingin berlibur berdua. Mereka pergi dan tak pernah lagi kembali.
Liburan yang awalnya digadang-gadang begitu indah dan romantis menjadi pemakaman. Liburan yang mereka pilih adalah berkeliling Asia dengan kapal pesiar. Yang naasnya malah terjadi kecelakaan hingga kapal pesiar itu tenggelam. Kedua orang tua Richelle menjadi sekian dari ratusan orang yang tak selamat.
Layaknya cinta Rose dan Jack yang tenggelam di Samudera Atlantik, di Laut Andaman-lah cinta mereka ditenggelamkan. Setidaknya mereka berakhir bersama. Tak seperti Jack dan Rose yang terpisah dengan begitu kejam karena sepotong papan yang hanya sanggup menahan tubuh Rose.
Tragis? Mungkin tak juga. Setidaknya mereka benar-benar saling mencintai. Tak seperti Richelle yang dinikahi hanya untuk diperalat agar membayar hutang-hutang Ronald.
Tunggu dulu, sekarang bagaimana cara Richelle membayar Ellison Corp. jika ia tak bisa mencairkan dana dari perusahaan orang tuanya tanpa izin Om Ferdinand. Hingga hari ini, pria itu tak diketahui keberadaannya.
“Pertanyaannya adalah di mana Om Ferdinand?” Radit mengungkapkan rasa penasarannya. “Aneh aja kalau Om Ferdinand menghilang selama tiga minggu ini. Kenapa harus menghilang? Kayak buronan aja.”
“Pertanyaan berikutnya adalah kenapa Richelle butuh tanda tangan Om Ferdinand untuk mencairkan uangnya sendiri?” Billy turut angkat bicara. “Padahal Richelle bukan anak di bawah umur lagi. Saat Richelle masih berusia di bawah 17 tahun, semuanya memang masih membutuhkan izin Om Ferdinand, dan itu wajar. Tapi, sekarang Richelle sudah 25 tahun.”
“Orang kantor papamu bilang apa sih, Syel?” tanya Daniel untuk memastikan.
“Mereka bilang aku gak boleh melakukan penarikan uang kalo gak ada surat dengan tanda tangan Om Ferdinand. Sekarang aku bingung, kenapa harus seperti itu? Aku gak pernah tau kalo ada prosedur seperti itu buat minta uang dari perusahaan papaku sendiri.”
“Kayaknya beneran ada yang aneh deh sama Om Ferdinand,” cetus Haikal. “Bil, kamu coba lacak keberadaan Om Ferdinand. Besok aku bakalan coba bicara sama staff keungan di kantor Richelle lagi.”
“Oke.” Billy setuju sambil ia menunjukkan jempolnya.
Penelusuran untuk mengetahui keberadaan Om Ferdinand pun dilakukan, diambil alih oleh orang-orang kepercayaan Billy di kepolisian. Sementara Haikal mulai menelusuri keanehan yang ia temukan satu persatu saat mendatangi kantor mending orang tua Richelle.
Aneh? Iya.
Orang kepercayaan Om Ferdinand yang saat ini ditugaskan untuk memegang tampuk kekuasaan di kantor justru mengatakan bahwa seluruh aset atas nama Richelle sudah dialihkan menjadi milik Om Ferdinand. Sam’s Company saat ini dikuasai seluruhnya oleh Om Ferdinand. Tidak, lebih tepatnya seluruh aset dan sahamnya dimiliki oleh Om Ferdinand. Artinya, Richelle tidak memiliki apa-apa. Tak sepeser pun uang dari Sam’s Company bisa ia miliki jika bukan atas pemberian Om Ferdinand. Jika pria itu telah melakukan pemindahan nama di semua aset Richelle, bukankah ia telah merampok Richelle? Kalau sudah begitu, mana mungkin ia mau memberikan uang untuk Richelle.
Inikah alasan menghilangnya pria itu selama tiga pekan terakhir? Karena ia mengalihkan semua harta warisan Richelle untuk ia miliki sendiri. Bukankah ia telah mengkhianti kepercayaan Richelle?
“Apa maksud kamu, Kal? Gak mungkin Om Ferdinand melakukan itu ke aku.”
“Ini buktinya, Syel. Kamu baca aja sendiri daftar saham dan aset kepemilikan di Sam’s Company. Gak ada nama kamu, semuanya nama Om Ferdinand. Dan ini bukan dokumen abal-abal atau palsu, tapi ini sah secara hukum. Aku baru saja memastikannya lewat pengacara Sam’s Company.”
“Tapi, bagaimana mungkin? Gak mungkin Om Ferdinand mengalihkan semuanya atas nama dia tanpa persetujuan aku atau tanpa tanda tangan aku?”
“Dokumen … tanda tangan, saat ini gampang sekali dipalsukan, Syel.” Radit menyeletuk. “Apalagi dengan kenyataan kamu emang gak pernah terlibat di perusahaan. Semuanya kamu percayakan ke Om Ferdinand, gak ada yang mustahil dong. Selama ini dia yang menguasai semua, apa susahnya dia memalsukan satu atau dua dokumen? Atau apa susahnya dia mengelabuimu seperti Ronald? Ronald yang baru kamu kenal aja bisa langsung menipumu, apalagi Om Ferdinand yang udah kenal kamu sejak bayi.”
Richelle meneguk ludahnya dengan susah payah. Kok berasa mustahil. Ia tak mau mempercayai itu. Ia tak mau percaya kalau Om Ferdinand bertindak sejahat itu padanya.
“Bukannya kamu yang bilang kalo Om Ferdinand menganggap bahwa Richelle adalah hidupnya?” tanya Billy seraya menepuk pundak Radit. “Kamu sendiri yang bilang kalo Om Ferdinand menyukai Richelle dan ingin menikahinya. Kalo dia menyukai Richelle masa dia mengkhianatinya.”
“Apa yang tidak mungkin kalau hati sudah tersakiti?” balas Radit. “Richelle mengabaikan peringatan Om Ferdinand agar tak menikah dengan Ronald. Wajar dong kalo Om Ferdinand merasa tersakiti. Om Ferdinand sudah melakukan yang terbaik untuk Richelle dari kecil, tapi pada akhirnya Richelle meninggalkannya dan malah menikah dengan pria lain. Orang kalo sudah cemburu ya mana bisa berpikiran jernih. Mungkin saja saking hancurnya hati Om Ferdinand, makanya dia sampai bertindak jauh begini. Dia mengkhianati Richelle balik. Kan duluan Richelle yang mengkhianati Om Ferdinand. Sebagai bentuk balas dendam, mungkin …,” ujarnya dengan ambigu di akhir asumsi panjangnya.
“Kamu kebanyakan nonton sinetron kayaknya, Dit,” timpal Billy. Tak percaya akan asumsi Radit yang sebenarnya masuk akal.
“Kalo kalian gak percaya ya udah, tapi apa coba alasan Om Ferdinand mengkhianati Richelle? Buktinya, dulu selalu banyak pengawal di sini, tapi sekarang Om Ferdinand menarik semua pengawal-pengawal itu. Sekarang ada beberapa pengawal kan kamu yang ngirim.”
“Bener juga sih yang dibilang Radit.” Daniel tampak mempercayai asumsi Radit. “Oh ya, gimana hasil pencarian kepolisian mengenai keberadaan Om Ferdinand, Bil?”
Billy menggelengkan kepala dengan lesu. “Gak ada hasil. Gak ada petunjuk apa-apa.”
“Om Ferdinand tuh pinter, dia udah memperhitungkan semuanya. Dia udah tau kalo kita punya kekuasaan di kepolisian, makanya dia pasti akan menghindari untuk ketahuan dari titik-titik pelacakan polisi. Dia juga tau kita punya kekuasaan di bidang hukum, makanya sebelum kita menuntut,” Radit menunjuk dokumen aset kepemilikan Om Ferdinand yang dibawa oleh Haikal. “… Om Ferdinand sudah membuat dokumen yang sah. Biar kita tidak bisa melakukan apa-apa. Mau menuntut? Siapa yang bisa kita tuntut kalo dokumennya aja dinyatakan sah secara hukum. Orang juga gak ketahuan di mana.”
“Kenapa semua omongan kamu terasa bener yah, Dit?” tanya Richelle dengan suara nyaris tak terdengar. Lirih sekali suaranya. “Jadi, bagaimana aku bayar Ellison Corp. sekarang?” Ia lanjut bertanya, kali ini suaranya sedikit lebih nyaring. Memastikan bahwa teman-temannya mendengar dan bisa menawarkan solusi untuknya.
“Mau mengajukan sidang banding?” Haikal menawarkan. Sejak awal ia memang tak begitu setuju kalau Richelle menyerah begitu saja setelah Ellison Corp. menujukkan surat kuasa yang dikirim oleh Ronald.
“Memangnya kita punya bukti apa yang tersisa untuk sidang banding?” Richelle menghela napas panjang. “Aku bener-bener dalam masalah sekarang.”
***
Richelle benar-benar dalam masalah, debt collector dari Ellison Corp. kini sudah mendatanginya lagi. Ia menemui tiga pria yang sama dengan debt collector yang dulu mengatakan padanya bahwa mereka adalah debt collector yang manusiawi, jujur, dan beragama Islam. Dan sekarang Richelle tak cukup yakin jika mereka masih akan bertindak manusiawi.
“Satu hari lewat dari hari yang dijanjikan, makanya kami datang ke sini. Mengantisipasi kalau-kalau Bu Richelle lupa mentransfer uangnya.”
Richelle yang didampingi oleh Haikal hanya bisa terdiam. Ia memang sudah diwanti-wanti oleh Haikal untuk diam saja. Biar Haikal yang bicara.
“Kami meminta keringanan soal waktu, beberapa hari lagi.” Haikal bernego tapi langsung disambut gelengan oleh tiga pria yang duduk di depannya itu.
“Ini sudah lewat dari batas waktu yang disepakati. Yang menentukan waktunya bukan kami, tapi pihak pengadilan. Palu pengadilan sudah diketuk, dua belah pihak setuju untuk menyelesaikan hutang piutang ini dengan jalan damai. Tapi … kalau kalian mengulur-ngulur waktu, artinya kalian sudah menolak untuk bekerja sama. Jadi, jangan salahkan kami jika kami melakukan cara-cara yang ….” Pria itu sengaja menggantung ucapannya.
“Kami akan membayarnya,” putus Haikal.
Pria itu memilih jalan akhir, jika harus menggunakan uang pribadinya pun ia tak keberatan. Dibandingkan memibiarkan Richelle dalam bahaya karena terus diteror oleh debt collector, lebih baik merelakan uangnya.
“Kapan?”
“Hari ini,” ucap Haikal. “Setidaknya beri kami waktu untuk pergi ke bank.”
“Baiklah. Jika sampai hari ini berakhir dan transferannya belum masuk, artinya mulai besok kami akan menggunakan cara kami sendiri.”
Haikal mengangguk setuju, membuat tiga pria itu juga menganggukkan kepala.
“Baiklah, kami pergi dulu. Assalamualaikum, Bu Richelle,” ujar salah satu pria penagih hutang itu dengan senyum kecil setelahnya.
Haikal berbalik melihat Richelle yang duduk di sampingnya. Sedikit bingung sejak kapan debt collector mengucap salam, mana salamnya dikhususkan kepada Richelle saja. Seolah-olah ia tak dianggap keberadaannya di tempat itu.
“Wa-waalaikumsalam,” jawab Richelle dengan sedikit tergagap.
Debt collectornya sudah pergi, sekarang Richelle menatap Haikal penuh tanya.
“Aku harus bagaimana?”
Haikal mengulas senyum. “Istirahatlah, aku akan mengurus ini.”
“Kal,” panggil Richelle. Tanggannya menggapai lengan pria itu. Ia menggelengkan kepala. “Jangan lakuin yang kamu pikirin sekarang.”
“Emangnya aku mikirin apa?”
“Kamu pasti mau bayarin hutang-hutang Ronald, ‘kan? Kamu mau bayar pake uang kamu sendiri, ‘kan?”
“Sejak kapan kau bisa membaca pikiran?” tanya Haikal dengan sedikit tawa di ujung kalimatnya.
“Aku bilang jangan, jangan berani-beraninya kamu ngelakuin itu, Kal. Aku gak setuju. Kamu udah berjasa banget bantuin aku dengan rangkaian persidangan ini, please jangan lakuin ini juga. Aku bahkan gak bisa bayar biaya menggunakan jasa kamu sebagai pengacara.”
Haikal menangkup wajah Richelle. “Hei, sejak kapan kita hitung-hitungan soal uang?”
Richelle menyentuh pergelangan tangan Haikal. “Seandainya ini hutang aku pribadi, saat aku terdesak begini, orang pertama yang akan aku datangi untuk meminta uang adalah kamu, Kal. Tapi, ini hutangnya si berengsek itu. Kamu gak ada hubungan apa-apa sama Ronald sampai-sampai kamu harus mengeluarkan uang pribadi kamu buat bayarin hutang dia. Jangan bilang kamu mulai peduli sama manusia sialan itu?”
“Yang aku peduliin kamu, Syel. Kurang kerjaan banget kalo aku harus peduli sama orang itu.”
“Kalo kamu sepeduli itu sama aku, please jangan bayar hutang-hutang b******n itu.”
“Kalo aku gak bayar, kamu pasti udah bisa menebak apa yang akan mereka lakukan. Aku gak mau kamu dalam bahaya. Uang 13 Milyar, itu gak sebanding dengan kamu.”
“Oh, terima kasih sekali sudah mengatakan bahwa aku seberharga itu. Tapi, aku menolak, Kal. Aku gak mau kamu membayar serupiah pun untuk b******n itu. Aku akan mengurusnya sendiri,” ujar Richelle.
“Bagaimana? Kamu mau apa?”
“Aku yang akan mengurusnya sendiri. Jangan terlalu meremehkanku.”
“Aku bukan ngeremehin kamu, Syel. Aku cuman gak mau kamu berada dalam bahaya.”
“Aku gak bakalan kenapa-napa. Aku bisa mengatasi ini.”
“Bagaimana caranya? Kasih tau aku, biar aku yakin kalo kamu gak bakalan berada dalam bahaya.”
“Kalo aku gak bisa menarik uang dari perusahaan papa, aku masih punya jalan lain, Kal. Rumah ini,” ujarnya sambil menggertakkan gigi. Ia menahan tangis karena merutuki dirinya sendiri. Betapa terkutuknya mulutnya mengucap bahwa ia akan menjual rumah peninggalan orang tuanya.
“Ini rumah orang tua kamu, Syel.” Haikal bersuara agak nyaring, mengingatkan Richelle. “Kamu sendiri yang bilang betapa berharganya rumah ini buat kamu.”
“Atau mobil-mobil di luar,” ucapnya lagi seraya membuang muka dari sorot tajam mata Haikal. “Kalo mobil-mobil itu dijual, aku bisa membayar Ellison Corp.”
“Syel, apa susahnya sih membiarkan aku melakukan ini buat kamu?”
“Kal ….” Richelle melirih. Pandangannya beradu dengan mata Haikal untuk sesaat. Benar-benar singkat, karena ia tak tahan lalu berakhir menundukkan kepalanya. “Biarkan aku tetep jadi temen kamu dengan bangga. Bukan menjadi beban.”
“Syel, aku gak pernah menganggap kamu sebagai beban.”
“Tapi, aku merasa seperti itu,” ujar Richelle dengan putus asa. Ia mendongakkan kepalanya, memberanikan diri melihat Haikal dengan mata yang berkaca-kaca. “Aku merasa seperti beban dalam hidupmu. Makanya aku tidak pernah percaya diri jika denganmu. Makanya denganmu, aku berakhir dengan cinta bertepuk sebelah tangan.”
Air matanya tumpah juga. Ia menari diri menjauh. Terdengar ia mengumpat sambil berjalan terburu-buru.
“Awas saja kalau kau melakukan sesuatu!” teriaknya tanpa melihat Haikal lagi. “Kalau kau berani membayar mereka, aku akan bunuh diri di depan matamu.”
Haikal berakhir dengan helaan napas panjangnya. Ia tak mengejar Richelle, ia membiarkannya untuk menenangkan diri.
Ah, tentang ia dan Richelle sebenarnya memang penuh drama. Richelle remaja benar-benar mengagumi sosok Haikal yang selalu dapat ia andalkan. Dibandingkan tiga sahabatnya yang lain, Haikal memang yang paling bisa disebut ‘yang paling benar’. Radit dengan cap playboy yang menempelinya sejak remaja. Billy dengan segala macam kerusuhan yang selalu ia perbuat. Atau Daniel yang susah sekali diajak bicara. Makanya Richelle sangat mengidolakan Haikal. Seseorang yang selalu paling peduli dengannya walau pria itu sejak remaja sudah menunjukkan sikap posesifnya.
Walau akhirnya perasaan Richelle tak kesampaian. Segala macam angan-angannya tentang Haikal tak pernah dianggap oleh Haikal. Di mata Haikal, Richelle adalah sosok princess kecil kesayangannya. Ia tak menganggapnya sebagai seorang gadis untuk dipacari. Walau rasa pedulinya terhadap Richelle kerap kali menjadi alasan ia putus dengan mantan-mantan pacarnya. Memangnya siapa yang tak cemburu kalau Haikal memilih meninggalkan pacarnya di tengah-tengah kencan romantis mereka saat Richelle tiba-tiba menelepon karena ia mimpi buruk.
Makanya saat remaja, Richelle kerap kali menyombongkan diri. Ia memang tak dipacari oleh Haikal, tapi lebih diprioritaskan melebihi pacar. Walau tak bisa dipungkiri juga kalau Richelle tetaplah cemburu pada perempuan-perempuan yang pernah dipacari oleh Haikal. Semacam perasaan tak rela saja jika status sebagai pacar Haikal dimiliki oleh perempuan lain.
Tapi, itu dulu saat Richelle masih remaja. Saat ia lebih dewasa, perasaan sukanya terhadap Haikal terkikis tiap kali pria itu mengomelinya secara berlebihan. Awal-awalnya Richelle masih bisa terima kalau Haikal mengomelinya atas sesuatu yang memang ia salah. Tapi, makin ke sini sepertinya pria itu menjadi Richelle sebagai saran berlatih untuk memojokkan terdakwa di pengadilan.
Makanya saat ia mulai masuk ke dunia penerbangan, sebagai pramugari, Richelle mulai mencari kriteria lain tentang pria yang ia inginkan. Seseorang yang berbanding terbalik dari Haikal. Seseorang yang tak suka mengomelinya. Seseorang yang bisa memberinya kebebasan untuk melakukan hal-hal yang ia inginkan.
Dan dalam perjalanan tujuh tahun ia menjadi pramugari, ia bertemu pria itu. Pria yang menawarkan cinta yang begitu manis. Cinta yang tanpa ada tuntutan apapun. Richelle bebas mengekspresikan diri. Di situlah Richelle amat terpedaya oleh Ronald.
Waktu pacaran mereka tak begitu lama, tak sampai setengah tahun. Setelah Richelle memperkenalkan Ronald kepada sahabat-sahabatnya dan juga Om Ferdinand, Richelle mantap menikah. Ronald adalah pria pertama yang tidak mundur dan melarikan diri walau ia ditolak mentah-mentah oleh lima pria itu, terutama Om Ferdinand.
Kenapa ia harus mundur kalau kekayaan Richelle sangat menggiurkan? Menikahi Richelle artinya ia bisa hidup tenang selamanya. Hutang-hutangnya bisa terbayar dengan mudah. Setelah itu, ia bisa bersantai ria menikmati kekayaan istri.
Itu rencana Ronald, sebelum kematian merenggut nyawanya. Atau bahkan kematian menjadi salah satu dari rencana pria b******n itu?
****
Setelah meninggalkan Haikal di ruang tamu rumahnya, Richelle bergegas ke kamarnya. Mencari cara agar ia tak perlu melibatkan Haikal dalam p********n hutang-hutang Ronald.
“Kunci mobil,” cetusnya. “Aku butuh kunci mobil untuk menjual mobil-mobil itu, beserta surat-suratnya.”
Tunggu dulu, surat-surat kepemilikan mobil-mobil yang terparkir di bawah itu ada di mana? Seumur-umur Richelle mana pernah mengurusi hal-hal seperti itu. Segala dokumen-dokumen kepemilikan diurus oleh Om Ferdinand dan ia hanya terima beres saja.
“Pak, kunci mobil mana yah?” Richelle menanyai seorang sopir yang ia temui di parkiran samping rumahnya.
“Kunci mobil yang mana, Nona?”
“Semuanya.”
“Semuanya?” ulang pria berbaju coklat tua itu.
“Iya, semuanya mau saya jual. Tolong ambilin kunci mobil sama surat-suratnya.”
“Baik, Nona. Saya ambil dulu.”
Sekitar sepuluh menit kemudian, sopir bernama Pak Irwan itu menemui Richelle dengan membawakan apa yang diminta oleh majikannya itu.
“Hanya STNK saja?”
“Iya, Nona.”
“BPKB-nya mana?”
“Kalau BPKB mobilnya bukan saya yang pegang, Nona. Saat saya mulai bekerja di sini, saya hanya diberi kunci mobil dan STNK.”
“Yah, mana bisa saya menjual mobil-mobil ini tanpa STNK. Pak Irwan tau gak siapa yang pegang BPKB-nya?”
“Sepertinya Pak Ferdinand, Nona.”
Itulah masalahnya, semuanya ada di tangan Om Ferdinand. Kalau ia nekat menjual mobilnya tanpa BPKB, kemungkinan besar harganya jauh di bawah harga pasaran. Kalau tidak dijual, ia tak bisa bayar hutang. Dan ia benar-benar enggan membiarkan Haikal yang ikut campur soal p********n hutang ini. Cukuplah pria itu jadi pengacara tanpa bayaran.
Richelle menarik napas panjang sebelum ia mengambil keputusan. “Baiklah, aku akan membawakan mobil-mobil ini saja untuk debt collector itu. Kalau mereka ingin uang, tinggal mereka jual saja. Kalau mereka ingin mobilnya, ya ambil saja.”
Baru saja Richelle berniat mengantarkan mobilnya sebagai p********n ke Ellison Corp., namun ia malah kedatangan tamu. Membuatnya terpaksa menunda aktivitasnya.
“Om Hendra,” sapa Richelle sambil mengulurkan tangan dan mencium tangan pria itu.
Hendra adalah asisten Om Ferdinand. Usianya sekitaran 40 tahun. Saat ini, ia yang memegang jabatan sebagai wakil direktur di Sam’s Company.
“Om Hendra tau gak di mana Om Ferdinand?”
Hendra menggeleng dengan resah. Entah apa ia jujur atau justru berbohong. “Tidak ada yang tau di mana keberadaan Pak Ferdinand saat ini.”
“Om Ferdinand kok tega banget sama Richelle, Om? Katanya Om Ferdinand mengambil alih semua harta peninggalan orang tua Richelle.”
Hendra tersenyum canggung. Ia bersimpati atas kemalangan beruntun yang dialami oleh Richelle. Tapi, lagi-lagi ia tak bisa melakukan apa-apa untuknya. Meskipun ia adalah orang kedua di Sam’s Company, tetap saja ia tak bisa melakukan apa-apa jika bukan atas keinginan Om Ferdinand.
Pria itu nampak menghela napas panjang. “Saya membawa kabar buruk, Nona.”
“Apa, Om?” tanya Richelle dengan cepat.
“Saya sangat menyesal untuk menyampaikannya … hhh ….”
“Jangan bikin Richelle jadi takut dong, Om.”
“Maaf, Nona … tapi rumah ini sudah dijual oleh Pak Ferdinand. Saya mendapatkan kabar kalau pemilik baru akan segera menempati rumah ini. Makanya, Nona diminta untuk meninggalkan rumah ini.”
“Ap-apa? Hah?” Mendadak Richelle kehilangan kemampuan untuk mendengar. Hanya potongan-potongan informasi yang diterima telinganya. Tentang rumahnya yang dijual. “Om Hendra bilang apa? Rumah ini kenapa?”
“Pak Ferdinand sudah menjual rumah ini, Nona.”
“Kenapa?”
Rumah itu satu-satunya harapan Richelle. Satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang orang tuanya. Dan kini pun direnggut. Lantas apa lagi yang ia miliki saat ini?
Suaminya diambil oleh takdir.
Harta warisannya dirampok habis-habisan oleh Om Ferdinand.
Sekarang, rumahnya juga dijual oleh Om Ferdinand.
“Malam ini juga, Nona diminta untuk meninggalkan rumah. Ini surat jual beli rumah ini, Pak Ferdinand mengirimkannya melalui email.”
“Email?” ulang Richelle. “Apa Om Ferdinand sepengucut itu? Kenapa dia tidak membawakannya langsung pada saya?”
“Maaf, Nona. Saya juga tidak tahu apa-apa. Saya hanya menerima surat jual beli rumah ini.”
“Tolong balas email pengecut itu, katakan padanya, kalau dia mau mengambil semua harta peninggalan orang tuaku, ambil saja semuanya, tapi minta dia menemuiku secara langsung. Bukannya mencuri diam-diam dan bertindak pengecut seperti ini. Aku tidak keberatan memberikan semuanya untuk Om Ferdinand. Pastikan Om Hendra mengatakan itu padanya.”
“Baik, Nona. Saya akan mengirimkan email untuk Pak Ferdinand seperti yang Nona katakan.”
Richelle tertawa dengan sumbang. Sumpah ia tak mau menangisi apapun lagi. Tidak karena kehilangan Ronald, juga tidak karena dirampok habis-habisan oleh Om Ferdinand.
“Masih adakah yang bisa kalian ambil?” tanya Richelle. Berteriak sendiri di ruang tamu rumah yang sudah dijual itu. “Kalau masih ada, ambillah. Ambillah sekarang! Ambillah selagi aku bermurah hati! Ambil saja, aku tidak sekikir itu.”
Lantas apa yang tersisa pada akhirnya?
Tidak ada, semuanya habis.
Aku dirampok habis-habisan.