“Dan, Richelle tadi muntah-muntah, kamu bisa ke sini buat periksa dia, gak?”
“Muntah?” ulang Daniel di sambungan telepon. Pria yang habis bertugas di rumah sakit itu memang berniat mengunjungi Richelle. Saat ini ia bahkan sudah di parkiran rumah sakit dengan tujuan rumah Richelle.
“Iya.”
Daniel tiba di rumah Richelle setelah mengemudi kurang dari dua puluh menit. Pria itu bergegas menemui Richelle di kamarnya. Di tempat yang sama masih ada Haikal dan Billy. Kalau Billy hanya duduk saja sembari memainkan ponselnya. Beda cerita dengan Haikal yang nampak khawatir berlebih sambil berjalan mondar-mandir. Ah, ditambah sesekali ia mengomel karena Richelle pasti jarang makan akhir-akhir ini. Hanya jika Billy terdengar mendecak untuk mengingatkan agar Haikal tak mengomel terus, barulah pria itu diam. Diam, tapi untuk beberapa saat, sebelum ia tanpa sadar kembali mengomeli Richelle lagi.
“Mau ke rumah sakit, Syel?” tanya Daniel saat ia duduk di sisi ranjang Richelle seraya menyentuh dahi wanita itu. Ia mengusap keringat di wajah itu dengan tangannya. “Kamu agak panas, kamu juga keringatan. Kita ke rumah sakit, yah.”
“Ke mana pun, asal tidak ada yang mengomeliku,” sindir Richelle sambil melirik pada Haikal. “Aku mungkin perlu ke dokter THT karena telingaku seperti berasap.”
“Bukan cuma kamu, Syel. Telingaku juga ikut berasap gara-gara orang itu.” Billy ikut menambahkan, sambil ia menunjuk Haikal.
“Syel, aku mau nanya serius.”
“Apa, Dan?”
“Terakhir kali kamu dapat menstruasi kapan?”
“Menstruasi?” ulang Richelle.
“Iya.”
Mendengar pertanyaan Daniel, Haikal dan Billy sontak mendekat. Walau tak memiliki latar belakang pendidikan kedokteran atau medis, setidaknya mereka cukup paham jika menanyakan tentang kapan terakhir mentruasi kepada wanita yang sudah menikah, arahnya pasti untuk memastikan kehamilan.
Jujur saja, Haikal dan Billy tidak rela kalau Richelle sampai hamil. Hamil tanpa suami. Ditambah dengan kenyataan mendiang suami Richelle adalah pria yang amat b******n. Belum lagi dengan semua kasus-kasusnya yang belum usai.
“Aku lupa,” jawab Richelle sambil memejamkan matanya. Seingatnya sudah lama sejak terakhir kali ia mencari pembalut. “Emm ….” Ia menggaruk kepalanya.
“Setelah kamu menikah, apa kamu pernah menstruasi?” Daniel bertanya lagi.
Setelah menikah, ia berbulan madu dengan Ronald selama dua pekan. Selama kurun waktu itu, ia tak mendapatkan tamu bulanannya. Setelah itu, mereka kembali ke Turki untuk bekerja. Saat berada di Turki selama dua pekan pun, Richelle tak pernah menstruasi.
Sebelum Ronald dinyatakan meninggal dalam kecelakaan pesawat, Richelle kembali ke Indonesia karena suaminya memiliki penerbangan Turki-Jakarta. Makanya ia gunakan kesempatan itu untuk pulang karena ia juga tak memiliki jadwal terbang dalam dua hari berikutnya.
Saat penerbangan Ronald kembali dari Jakarta menuju Turki, saat itulah kecelakaan tersebut terjadi. Sejak saat itu, Richelle tak pernah mendapatkan tamu bulanannya.
“Gak pernah, Dan.” Richelle menjawab. “Mungkin aku telat karena lagi banyak pikiran?” Ia bertanya dengan ambigu.
“Kamu harus periksa, Syel.” Daniel mengambil keputusan.
Richelle melihat Daniel dengan raut was-was. Jujur saja, dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia tak siap untuk memiliki seorang bayi saat ini.
“Dan ….” Ia memanggil pria itu. “Aku gak kenapa-napa, ‘kan?”
“Makanya kamu harus periksa.”
Napas Richelle memburu dengan cepat. Ini di luar ekspektasinya. Jika saja Ronald masih hidup dan tak ada kasus hutang sampai milyaran seperti ini, mungkin Richelle akan menari dengan amat riang jika ia benar-benar hamil.
Tapi, kalau sekarang. Yah … statusnya janda, suaminya meninggalkan hutang belasan milyar, ia dituntut oleh Ellison Corp. untuk melunasi hutang tersebut, ditambah mertuanya yang terus menuduhnya yang tidak-tidak. Kalau ia hamil dalam kondisi seperti itu, sepertinya makin runyam masalah ini.
Kalau sudah khawatir begini, malam-malam pun mereka ke rumah sakit untuk periksa, memastikan kalau Richelle hamil atau tidak. Tes darah dilakukan. Petugas lab yang harus tak lembur terpaksa diminta bertugas oleh pemilik rumah sakit. Daniel secara khusus menggunakan kekukasaannya sebagai salah satu pewaris rumah sakit milik keluarganya itu agar petugas lab segera memeriksa darah Richelle.
Sambil menunggu hasilnya, Richelle dirawat dulu di salah satu kamar VVIP di rumah sakit tersebut. Ia ditemani oleh Radit karena menolak untuk ditemani oleh Haikal. Kalau Haikal yang menemaninya, pasti ia gagal beristirahat. Pasti ia akan bertengkar dengan pria itu gara-gara kebanyakan diomeli atau diberi wejangan-wejangan.
“Hasilnya sudah keluar, dok.” Petugas lab mengantarkan langsung hasil pemeriksaan Richelle ke ruangan Daniel.
Di ruangan tersebut ada Haikal dan juga Billy yang menanti-nantikan jawaban.
“Apa hasilnya?” tanya Daniel.
“Bu Richelle hamil, dok. Selebihnya normal. Mual dan muntahnya dipengaruhi oleh kehamilannya.”
“Oke,” jawab Daniel setengah hati. “Terima kasih sudah bersedia masuk kerja semalam ini.”
“Sama-sama, dok,” ujar petugas lab itu.
Petugas labnya keluar, meninggalkan tiga pria itu yang kini saling menatap dengan ekspresi tak percaya sekaligus tak terima.
“Hamil?” Haikal memperjelas, lantas ia menghela napas panjang.
“Bagaimana kita harus mengatakannya pada Richelle?” tanya Daniel. Tak yakin jika janda cantik itu akan senang dengan berita kehamilannya.
“Jangan bertanya padaku,” jawab Billy. “Sungguh aku memiliki pikiran paling jahat sekarang.”
“Jangan berani-beraninya kau mengatakan itu!” cegah Haikal dengan kepalan tangannya yang berakhir di perut Billy.
“Makanya aku mengatakan jangan bertanya padaku.”
“Baiklah, aku yang akan memberitahu Richelle.” Haikal menawarkan diri, yang langsung membuat Billy dan Daniel menggelengkan kepala karena tak setuju.
“Di antara kita berempat, jangan kamu, Kal,” ujar Daniel. “Richelle terlalu sensitif sekarang ini.”
“Dan kalo kamu yang kasih tau, aku takut malah kamu berakhir mengomeli Richelle lagi,” tambah Billy. Ia juga menentang ide Haikal.
“Terus kamu mau mengatakannya pada Richelle? Billy?” Pertanyaan Haikal langsung disambut gelengan oleh Billy. Pria itu berakhir menunjuk Daniel. “Daniel?”
“Aku gak yakin,” tolak Daniel, pun sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu dokternya,” ujar Billy.
“Gak, aku gak berani menghadapi Richelle buat ngomong kalau dia hamil anak b******n itu.” Sekali lagi Daniel memperjelas keengganannya.
“Gimana kalau kita tunda untuk memberi tahu Richelle?” Haikal menawarkan solusi. “Maksudku bukan untuk menutupi, hanya menunda beberapa saat. Setidaknya sampai persidangan ini menemukan titik terang. Atau setidaknya saat Om Ferdinand diketahui keberadaannya.”
Keberadaan Om Ferdinand yang tanpa jejak dan tanpa kabar sebenarnya juga menjadi salah satu pukulan bagi Richelle. Wanita itu merasa bersalah karena lebih memilih untuk menikah dengan Ronald hingga ia mengabaikan peringatan dari Om Ferdinand. Ia merasa tertekan dengan kenyataan bahwa ia pasti telah membuat pria itu menjadi sangat kecewa akan keputusannya yang sangat terburu-buru.
“Oke, sepertinya itu lebih baik.” Daniel setuju.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Daniel menemui Richelle di ruang rawat inapnya. Rona wajah Richelle sedikit lebih baik dibandingkan semalam. Setidaknya tidak sepucat semalam saat ia membawa wanita hamil itu ke rumah sakit.
“Udah ada hasil pemeriksaannya?”
“Iya, kamu baik-baik aja, Syel,” jawab Daniel. “Kamu terlalu lelah dan banyak pikiran akhir-akhir ini, makanya kamu sampai lemas dan muntah-muntah.”
“Jadi, aku baik-baik aja, ‘kan?”
“Iya.”
“Dan,” panggil Richelle dengan suara yang terdengar serius. “Soal aku telat mens gimana?”
“Itu juga faktor kamu banyak pikiran. Jadi, selagi kamu di sini, istirahatlah dengan benar. Tempat ini kupastikan aman dari mertuamu dan debt collector.”
“Baguslah.”
“Ah, tempat ini juga aman dari Haikal, aku sudah menyuruhnya untuk fokus dengan persidangan saja. Aku melarangnya datang ke sini.”
Richelle sedikit mengulas senyum. “Senang mendengarnya.”
***
Persidangan lanjutan mengenai tuntutan dari Ellison Corp. masih berlanjut. Walaupun pengadilan sudah menjatuhkan putusan bahwa Richelle tak perlu membayar hutang mendiang suaminya. Namun, Ellison Corp. masih mengajukan persidangan ulang dengan dokumen baru. Mereka menghadirkan bukti yang cukup kuat kali ini. Sebuah surat kuasa dengan tanda tangan Richelle di bawahnya.
Saat Richelle ditunjukkan surat kuasa itu di pengadilan, ia hanya berakhir menganga karena tak benar-benar ingat jika ia pernah menandatangani surat tersebut. Surat kuasa yang menyatakan jika Richelle bersedia untuk menanggung dan berbagi hutang dengan suaminya. Bahkan di surat kuasa tersebut disebutkan dengan jelas Ellison Corp. di dalamnya.
Pengadilan masih mencoba menelusuri lebih lanjut mengenai dokumen tersebut karena Haikal—selaku pengacara Richelle—mengklaim bahwa surat tersebut tidak sah karena Richelle tidak merasa bahwa ia pernah menandatangani surat tersebut.
Sementara di pihak lawan, Ellison Corp. bisa menunjukkan bukti lengkap kapan Ronald mengirimkan surat tersebut sebagai jaminan. Surat kuasa tersebut ia kirimkan dua hari setelah ia menikah dengan Richelle. Sepertinya pria itu benar-benar punya niat yang matang untuk memperalat Richelle.
“Kamu beneran gak ingat soal surat kuasa itu?”
“Entahlah,” jawab Richelle dengan helaan napas panjang. “Sebelum menikah aku hanya mengingat saat Ronald memberiku banyak dokumen untuk ditandatangani. Kupikir semua itu hanya berkas pengajuan pernikahan dan permohonan cuti ke Turkish Airlines.”
“Kamu tidak membacanya dengan teliti?” Haikal menginterogasi.
“Tidak,” jawab Richelle dengan lesu. “Dia memberikan terlalu banyak dokumen untuk ditandatangani, aku tidak tertarik untuk membaca semuanya. Makanya aku hanya menandatangani saja.”
“Sekarang aku takut, surat macam apalagi yang akan muncul setelah ini.” Haikal memijat kepalanya yang pusing.
Kalau begini, pada akhirnya persidangan pasti akan dimenangkan oleh Ellison Corp. Yang artinya, Richelle harus tetap membayar hutang-hutang Ronald. Harusnya sekarang Ronald yang dituntut oleh Richelle karena sudah menipunya dan melakukan pemalsuan dokumen. Tapi, bagaimana mungkin menuntut orang yang sudah mati?
Richelle berdiri dari duduknya. “Sudahlah, aku lelah sekali. Tersisa 13 Milyar, ‘kan? Tolong minta orang keungan dari kantor Papa mencairkan dana itu untukku. Aku akan membayarnya.”
“Syel,” cegah Haikal. Pria itu ikut berdiri, meninggalkan tempat duduknya. “Pengadilan belum memutuskan apa-apa. Kita masih bisa mengajukan banding kalau pun pada akhirnya kita kalah dalam persidangan ini.”
“Kal, aku capek,” ujar Richelle. “Aku lelah memikirkan semua ini. Aku ingin istirahat. Aku juga sudah mengirimkan surat pengunduran diriku ke Turkish Airlines.”
“Syel, gak, jangan nyerah kayak gitu.”
“Udahlah, Kal. Uang masih bisa didapatkan lagi. Untuk sekarang ini, aku benar-benar butuh ketenangan. Aku mohon, sudahi saja persidangannya, katakan pada perwakilan Ellison Corp. kalau aku akan membayar hutang-hutang Ronald.”
“Syel ….”
“Atau kamu mau aku yang mendatangi Ellison Corp. sendiri untuk menyerahkan uang itu?”
“Oke, fine. Aku bakalan melakukan seperti yang kamu minta.”
“Terima kasih karena kali ini kamu menurutiku.”
“Istirahatlah, aku akan kembali ke kantor.”
Aku lelah, akan kuikuti saja bagaimana maunya langit.
Terserah langit saja bagaimana baik atau buruknya.