Pergulatan panas di atas ranjang telah selesai. Elyse kini sedang berbaring manja di atas d**a Elcander.
"Yang Mulia. Kau tidak menyukai Ratu Penelope lalu kenapa kau terus membiarkan dia di posisinya?" Elyse sedang mencoba merayu Elcander untuk menggulingkan tahta Penelope.
"Kau tak akan bisa memintaku untuk menggulingkannya. Kecuali dia mati atau salah satu dari selir memberiku anak laki-laki maka aku akan menggulingkannya." Elcander sudah memiliki 3 anak dari 3 selir dan semuanya perempuan. Elcander hanya akan memberikan posisi Ratu pada selir yang bisa memberinya anak laki-laki. "Berikan aku anak laki-laki maka istana dalam akan jadi milikmu." Elcander kembali bersuara.
Elyse tahu bahwa Elcander sangat mengharapkan anak laki-laki, namun sampai saat ini ia belum mendapatkan anak laki-laki. Anak pertamanya dengan Elcander adalah perempuan.
"Maka Yang Mulia harus lebih sering mengunjungiku." Elyse merajuk manja.
Di antara puluhan selir yang ia miliki, Elcander lebih sering bersama Elyse namun karena ia menginginkan anak laki-laki, ia mendatangi beberapa selir. Di antara semua usahanya itu, ia tak pernah berpikir untuk datang ke kamar ratunya.
Lelah, akhirnya Elcander terlelap bersama dengan Elyse dalam dekapannya.
Pagi pertama Penelope di istana sudah tiba. Wanita itu mengenakan gaun sutra berwarna merah dengan bordiran emas. Mahkota indah melekat di kepalanya, rambutnya dihias sederhana namun membuatnya terlihat sangat cantik. Bibir cherry Penelope terlihat makin menawan dengan sentuhan pemerah bibir alami. Pipi pualamnya dilapisi sedikit bubuk merah yang membuatnya merona. Alisnya yang hitam dan teratur membuat wajahnya terlihat tanpa cela.
Berpenampilan seperti ini adalah pertama kalinya bagi Penelope. Sebelumnya ia tak pernah menggunakan pemerah pipi, pemerah bibir ataupun bedak.
"Ke mana aku harus pergi hari ini?" Penelope bertanya pada Asley yang baru selesai merapikan gaunnya.
"Yang Mulia pagi ini harus ke paviliun Cherry untuk sarapan bersama Ibu Suri dan beberapa selir tingkat tinggi. Setelahnya Anda akan ke balai pendidikan untuk melihat pelajar kerajaan lalu setelahnya Anda akan ke taman Mawar hitam untuk menyulam bersama Nyonya Shirley."
Jadwal untuk seorang ratu ternyata cukup padat. Penelope mengibaskan tangannya. Ia melangkah keluar dari kediamannya.
Di taman paviliun Cherry sudah diisi oleh beberapa selir. Hanya 3 tempat duduk yang kosong di sana, tempat Ibu Suri, Ratu dan selir Elyse.
Ketika Penelope datang semua selir memberi hormat. Sebuah formalitas yang memang harus dilakukan meski mereka enggan sekalipun. Selir yang ada di gazebo itu berasal dari keluarga terpandang. Anak-anak menteri atau bangsawan. Berdasarkan latar belakang mereka, tak seharusnya mereka memberi hormat pada anak p*****r seperti Penelope. Mereka sepakat bahwa Penelope tak lebih rendah dari pelayan mereka.
Setelah beberapa saat, Elyse datang lalu Ibu Suri keluar dari kediamannya dan masuk ke gazebo yang ada di tengah danau buatan.
Pelayan ibu suri memberikan instruksi pada pelayan dibawahnya untuk menghidangkan teh dan meletakan sarapan untuk masing-masing orang disana.
Penciuman Penelope sama tajamnya dengan penciuman serigala. Ia tersenyum kecil, ternyata Ibu Suri masih ingin melenyapkannya. Mereka bisa membunuh Velove tapi mereka tak akan pernah bisa membunuh Penelope.
Minuman di cawan milik Penelope telah dibubuhi racun. Memang tak akan membuat mati dalam setengah jam ke depan tapi racun dari campuran sari tumbuhan beracun itu perlahan-lahan akan melumpuhkan sarafnya. Dalam satu bulan ia akan tewas dengan diagnosa penyakit dalam.
Meski tahu minumannya beracun, Penelope tetap menelan minumannya ketika Ibu Suri telah memerintahkan untuk mulai minum. Ada cara untuk melawan racun di tubuhnya, penawar segala racun. Penelope pernah membunuh seorang pembuat racun, jadi ia memiliki berbagai jenis racun dan obat penangkalnya. Meski ia tak punya obat penangkal ia masih bisa selamat dengan cara racun melawan racun.
Senyuman penuh kepuasan terlihat samar di wajah Ibu Suri. Ratu tidak tahu diri itu sudah memakan umpan yang ia berikan. Kali ini tak akan ada yang bisa menyelamatkannya lagi.
Jamuan pagi itu selesai. Penelope beranjak dari paviliun Cherry. Tak ada gunanya bagi dirinya bercampur dengan orang-orang yang mencoba untuk melenyapkannya.
Ia pergi ke balai pendidikan. Memperhatikan remaja putra dan putri yang tengah menulis syair yang dibacakan oleh guru besar istana.
Penelope bukan pencinta syair, bukan juga penikmat syair. Dalam otaknya para pembuat syair hanya orang-orang konyol yang terlalu terbawa perasaan. Gambaran akan cinta dan kasih sayang yang mereka tuliskan sangat tak sesuai dengan fakta yang terjadi di dunia. Tak semua cinta itu indah. Dan tak semua orang bisa merasakan cinta. Dan tak semua orang memuja cinta. Ia adalah contoh nyata, 22 tahun hidup di dunia namun ia tak pernah memuja cinta. Tak mengenal cinta dan tak merasakan cinta. Yang ia rasakan selama ini hanyalah naluri ingin membunuh, membunuh dan membunuh. Ia memuja kematian dan ia penggila bau darah.
"Memberi salam pada Yang Mulia Ratu." Guru besar menyadari kedatangan Penelope dan memberi salam.
Para pelajar juga memberikan salam hormat mereka.
Penelope mempersilahkan Guru Besar untuk melanjutkan kegiatannya. Ia hanya berdiri di belakang pelajar yang duduk rapi, seperti ikut mempelajari pelajaran yang diberikan.
Penelope tak pernah belajar sastra, menyulam ataupun menari. Yang ia pelajari ketika ia tinggal bersama orangtuanya adalah bermain dan bermain, ketika ia tinggal dengan ayah angkatnya adalah beladiri dan berburu. Ia tak pernah mengenal pelajaran yang dipelajari oleh wanita. Lagipula pelajaran itu tak penting untuk kehidupan. Hanya membuang waktu saja.
Namun saat ini ia hidup sebagai Velove, ia harus hidup mengikuti cara hidup adiknya. Yang ia tahu dulu adiknya tak jauh berbeda dengannya namun ketika tinggal di rumah bordil, adiknya memang mempelajari hal-hal seperti itu.
Memahami bukan hal sulit bagi Penelope. Ia jenius, bisa mengerti segala hal dengan mudah. Sastra, menyulam dan menari tak akan jadi masalah untuknya.
Usai dari balai pendidikan, ia beristirahat sejenak sebelum akhirnya ia menemui Nyonya Shirley di taman Mawar Hitam untuk menyulam.
"Kita bertemu lagi, Yang Mulia." Nyonya Shirley menyapa Penelope. Dari penilaian Penelope, Shirley bukan tipe orang yang bermuka dua. Wanita ini tersenyum dari hati bukan dibuat-buat atau karena rasa hormat.
Penelope membalas dengan anggukan. Ia duduk di depan peralatan menyulam yang tertata di atas meja.
"Sesuai yang kita bicarakan dua minggu lalu. Hari ini kita akan menyulam jubah berburu untuk Yang Mulia Raja."
Penelope tak berekspresi, menyulam jubah untuk Raja? Hal sia-sia macam apa yang mau ia lakukan saat ini. Velove, cinta sudah benar-benar membuatnya bodoh.
"Aku tidak ingin membuat jubah. Ganti saja dengan sapu tangan mawar hitam." Penelope mengganti cepat. Melihat sekelilingnya dipenuhi mawar hitam, ia memilih mawar hitam sebagai corak untuk sapu tangannya.
"Tapi bukankah Anda mengatakan ingin membuatkan jubah untuk hadiah ulang tahun Raja?"
"Aku berubah pikiran. Yang Mulia Raja tentunya memiliki banyak jubah. Membuatnya hanya akan sia-sia." Benar, lagipula jubah itu tak akan dipakai oleh Raja. Penelope tahu benar itu.
Nyonya Shirley tak berkomentar lagi. Ia menyulam bersama Penelope ditemani dengan petikan harva yang merdu.
Kegiatan istana begitu membosankan untuk Penelope. Jika saja ia bisa membunuh sesuka hati di istana maka itu akan jadi hal yang menyenangkan untuknya. Istana yang indah itu akan ia ubah jadi lautan darah.
"Bawa aku ke tempat prajurit berlatih." Penelope memberi perintah pada Asley.
Asley mengerutkan keningnya. Untuk apa majikannya meminta dibawa kesana?
"Baik. Yang Mulia." Asley mengikuti mau Penelope meski ia berada dalam tanda tanya.
Tempat berlatih para prajurit sangat luas. Tempat itu dikelilingi oleh tembok kokok yang tinggi. Di tepi-tepi tembok terdapat beberapa tenda tempat istirahat para jendral atau komandan pasukan.
"Yang Mulia Ratu, pria yang tengah berdiri disana adalah Pangeran Evron, Pangeran pertama putra Mendiang Raja dengan selir Gessy. Ia salah satu jendral besar Apollyon."
Pandangan Penelope jatuh pada sosok gagah yang sedang memegang pedang. Pria itu menunjukan bagian atas tubuhnya yang berwarna ke emasan dibawah sinar matahari sore. Ia memiliki fitur wajah yang tegas. Rahang kokoh, hidung mancung dengan bibir tipis. Ia memiliki rambut coklat terang yang sama dengan warna iris matanya.
Setelahnya Asley ke laki-laki dengan perawakan sama namun memiliki warna rambut hitam. Dia adalah Pangeran Keempat. Putra mendiang raja dengan selir Noira.
Dan terakhir ia ke laki-laki dengan rambut perak, Pangeran ketujuh yang lahir dari selir Gisca.
Total semua Pangeran ada tujuh tapi yang hidup hanya 4. 3 orang lainnya sudah tiada. Pangeran Allard adalah Pangeran Kedua, dia tewas di tangan jenderal kepercayaan Elcander. Pangeran Ketiga, ia tewas di tangan Elcander karena mencoba untuk membunuh Elcander. Pangeran Keenam juga tewas di tangan Elcander. Pangeran Keenam adalah anak selir yang telah membunuh ibu Elcander.
Ratu sendiri tak memiliki anak laki-laki. Ia memiliki satu anak perempuan namun anak perempuannya telah tiada karena penyakit. Setelahnya ia tak memiliki anak lagi karena rahimnya bermasalah.
Asley selesai menjelaskan tentang anak-anak raja. Penelope mendengus pelan, wajar saja Elcander bisa membunuh ratusan nyawa orang lain, nyawa suadaranya sendiripun bukan apa-apa baginya.
Memandangi ketiga pangeran, Penelope melihat keindahan di masing-masing dari mereka. Sangat wajar jika ketampanan mereka terkenal hingga ke pelosok benua.
"Ratu Penelope, apa yang kau lakukan di sini?" Seseorang sudah berdiri di sebelah Penelope.
Melihat bagaimana pria ini bisa berdiri di sebelahnya tanpa ia ketahui maka orang ini bukanlah orang biasa. Penelope memiliki pendengaran tajam, ia bisa merasakan kedatangan orang meski ia terlelap sekalipun.
"Memberi salam pada Pangeran Arega." Asley membungkuk hormat.
Penelope memiringkan tubuhnya, matanya dimanjakan oleh pemandangan yang ada di depannya. Tiga pangeran yang ketampanannya begitu terkenal ternyata mampu dikalahkan oleh orang yang berdiri di depan Penelope. Ia seperti melihat gambaran malaikat yang sering diceritakan. Sempurna, tanpa cela.
Dari salam yang Asley ucapkan, dikatakan bahwa pria ini adalah Pangeran. Jika ia bukan anak mendiang raja mungkin saja ia kerabat dekat Raja.
"Saya hanya berkeliling saja." Tidak, ia bukan berkeliling. Ia sedang mengamati situasi. Ia bukan akan melawan puluhan orang tapi ribuan orang jadi ia harus berpikir matang untuk mencari kelemahan dari tempat yang ingin ia hancurkan.
Pangeran Arega menatap prajurit yang tengah berlatih, "Saya pikir Ratu negeri ini tertarik pada dunia militer."
Pandangan Penelope kembali ke ribuan prajurit yang berlatih, "Untuk apa melatih ribuan prajurit. Menghancurkan satu kerajaan tak membutuhkan ribuan prajurit. Dengan otak dan puluhan orang terlatih saja sudah cukup." Penelope menjawab datar.
Pangeran Arega menatap Penelope tertarik, "Nampaknya Anda memiliki beberapa pemikiran tentang strategi perang."
"Menyusup ke tenda musuh pada malam hari. Bunuh mereka ketika mereka lengah."
Pangeran Arega tertawa kecil. Apa yang Penelope katakan bukan etika berperang tapi cara untuk membunuh musuh.
"Tak penting bagaimana caranya yang paling penting adalah hasil akhirnya. Dalam berperang harus disertai dengan otak yang licik." Penelope bersuara lagi.
Asley yang mendengar mulai bergidik ngeri. Jelas saja majikannya bisa melakukan hal keji macam itu. Ia melihat langsung bagaimana cara Penelope membunuh.
"Memang hasil akhir adalah yang paling penting. Namun kemenangan dengan cara licik hanya akan menghancurkan citra kerajaan."
Penelope terkekeh dingin, "Haus akan kekuasaan tapi memikirkan citra. Dua hal yang berlawanan dan tak bisa digabungkan."
Pangeran Arega merasa bahwa cara pandang Penelope sangat berbahaya. Ia tak menyangka bahwa ratu yang terkenal karena dicampakan oleh raja ternyata memiliki pandangan seperti ini.
"Asley, ayo kembali ke paviliun Teratai." Penelope sudah selesai mengamati. Ia harus kembali ke kediamannya sekarang, racun yang ia telan pagi tadi belum ia tangani.
"Pangeran Arega, saya permisi." Penelope menundukan kepalanya lalu pergi.
Di tengah perjalanan Asley menjelaskan pada Penelope bahwa pangeran Arega adalah satu-satunya adik mendiang raja. Ia memiliki kedudukan khusus di istana, ia menjadi pemimpin tertinggi kerajaan dibawah raja.
Hubungan raja dengan pangeran Arega sangat dekat. Mereka sama-sama tumbuh dan besar di medan perang. Namun perbedaannya adalah jika Raja Elcander dipenuhi ambisi maka Pangeran Arega tak pernah tertarik pada tahta. Hal ini juga yang membuat Elcander mempercayai Arega. Orang itu tak akan menikamnya dari belakang untuk sebuah singgasana.