Tubuh Penelope menampakan reaksi setelah ia menelan obat penawar racun. Ia memilih untuk mengobati racun ditubuhnya pada malam hari agar tak ada yang curiga. Ia bahkan tak membiarkan Asley tahu bahwa ia telah diracuni.
Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Namun ia tak merintih. Rasa sakit baginya bukan apa-apa. Sekalipun Penelope tak pernah mengeluh akan rasa sakit. Ketika ia terluka hanya sedikit kerutan di dahinya yang terlihat. Setelahnya ia akan terlihat seperti tak ada luka sama sekali di tubuhnya.
Malam telah berlalu, fajar tiba dan suhu tubuh Penelope kembali membaik. Racun di dalam tubuhnya sudah dinetralkan dengan penawar racun miliknya.
Hari ini Penelope akan membalas ibu suri. Lihat siapa yang bisa menyelamatkan wanita licik itu dari kekejian Penelope.
Menyelinap ke dalam dapur paviliun Cherry bukanlah hal yang sulit bagi Penelope. Ia dengan mudah membubuhkan racun ke makanan Ibu Suri. Efek dari racun itu tidak sampai mematikan tapi sebenarnya lebih baik mati daripada menanggung bahaya dari racun itu. Otot-otot tubuh akan kehilangan fungsinya. Tak bisa berjalan, bergerak atau bahkan bicara. Yang bisa dilakukan hanya melihat dan mendengar dengan tubuh terbaring di atas ranjang.
Penelope bukan manusia baik hati, itu sudah jelas terlihat di gambaran dirinya sebagai pembunuh bayaran. Menyakitinya maka ia akan balas lebih pedih. Beri dia luka maka dia akan bawakan neraka.
Usai membubuhkan racun, dengan cepat Penelope keluar dari dapur paviliun ibu suri. Ia menyeringai keji. Dalam waktu kurang dari satu bulan, Ibu Suri ular itu akan kehilangan bisanya. Ia harimau yang jangankan untuk mencakar bahkan untuk mengaum saja tak akan bisa.
Tak akan ada yang bisa mendeteksi racun itu. Tabib yang memeriksa Ibu Suri akan mengatakan bahwa yang terjadi pada Ibu Suri murni penyakit.
Ada satu hal yang akan membuat kecurigaan tentang ada yang salah dengan makanan Ibu Suri. Si pencicip makanan Ibu Suri, namun Penelope sudah memikirkan itu dengan baik. Ia akan memberikan obat pada si pencicip makanan tanpa diketahui oleh siapapun maka dengan begitu hanya Ibu Suri yang mendapatkan akibatnya.
Penelope kembali ke paviliunnya tanpa membuat Asley sadar bahwa ia telah meninggalkan ruangan itu untuk beberapa waktu.
"Yang Mulia, air mandian Anda sudah siap."
Penelope turun dari ranjangnya, ia melangkah melewati Asley dan masuk ke tempat pemandian.
Selesai mandi, Penelope melanjutkan kegiatannya dengan sarapan. Hari ini ia tak memiliki pekerjaan. Jadi Penelope memutuskan untuk berkeliling. Ia masih belum selesai mengamati sekitar istana.
Ditengah perjalanan mata Penelope menangkap dua gadis kecil yang sedang bermain.
"Siapa mereka?" Penelope bertanya pada Asley yang berdiri di belakangnya.
"Yang menggunakan gaun merah muda adalah Putri dari Selir Utama Elyse dan yang menggunakan gaun hijau adalah Putri dari Selir Cellyn."
Mata Penelope masih memandangi dua gadis kecil itu. Ia telah kehilangan sesuatu yang berharga karena selir Elyse maka selir Elyse juga harus merasakan hal yang sama.
"Tunggu di sini." Penelope meninggalkan Asley. Ia mengikuti Putri Selir Elyse yang berpencar dengan teman mainnya. Gadis manis itu sedang mengejar kupu-kupu bercorak hitam, emas dan merah.
Gadis kecil bergaun merah muda mendesah kecil, kupu-kupu yang ia kejar hinggap di bunga teratai yang ada di tengah kolam di depannya.
Penelope mengambil sebuah batu berukuran kecil. Ia menjentikannya keras hingga mengenai sepatu yang dikenakan oleh gadis bergaun merah muda. Gadis itu terkejut karena rasa sakit di kakinya, refleks ia mengangkat satu kakinya dan kehilangan keseimbanga.
Byur.. Tubuh mungil itu berpindah ke kolam.
Penelope kembali ke Asley yang mengikuti perintahnya untuk menunggu.
"Ayo." Penelope mengajak Asley kembali melangkah.
Asley tak menanyakan kemana Penelope pergi. Ia menyadari bahwa Penelope tak suka jika ia terlalu banyak tanya.
Istana dalam mendadak ricuh. Beberapa pelayan dikerahkan untuk mencari putri Selir Elyse yang menghilang setengah jam lalu.
"Putri Alena!" Pelayan berteriak histeris ketika melihat gaun merah muda mengambang di kolam teratai.
Prajurit segera menceburkan diri ke kolam. Mereka meraih tubuh pucat putri kesayangan selir Elyse. Putri kecil itu telah tewas.
"PUTRIKU!" Elyse histeris ketika tubuh putrinya sudah diangkat dari kolam.
Elcander yang tadinya berada di ruang pemerintahan juga sudah berada di Taman Seribu Bunga. Wajahnya terlihat murka.
Ia memerintahkan petinggi kerajaan untuk memeriksa tempat itu dan orang-orang yang menemani putrinya bermain tanpa terkecuali.
Berita kematian itu menyebar dan sampai ke telinga Penelope. Wanita itu tersenyum dingin. Kehilangan yang Elyse rasakan masih belum cukup untuk membalas kematian adiknya.
"Yang Mulia, apakah Anda yang melakukan ini?" Asley merasa curiga pada Penelope. Ia ingat bahwa Penelope menanyakan tentang Putri Alena.
"Selir Elyse, Ibu Suri, Yang Mulia Raja. Mereka harus merasakan kehilangan. Ini baru permulaan saja."
Asley tak berkomentar lagi. Pembalasan dendam Penelope sungguh mengerikan. Bahkan ia tak segan membunuh anak kecil untuk memuaskan hatinya.
Pemeriksaan berlangsung cukup lama. Tak ada yang bisa disalahkan selain kelalaian dua pelayan yang bertugas menjaga Putri Alena. Tak ada indikasi Putri Alena di dorong oleh teman mainnya karena teman mainnya mengejar kupu-kupu ke arah berlawanan bersama dengan pelayan yang menjaganya.
"Yang Mulia, ampuni kami." Dua pelayan menangis meminta pengampunan. Baru saja mereka mendapatkan hukuman pancung atas kelalaian yang menyebabkan kematian Putri Pertama Elcander.
Elcander tak akan mendengarkan permohonan dua pelayan yang masih ingin hidup itu. Meskipun anak perempuan bukan anak yang ia harapkan tapi anak itu tetaplah anaknya. Ia juga merasakan sakit ketika ia kehilangan putrinya
Apollyon berkabung. Putri Alena baru saja dimakamkan. Elyse beberapa kali tak sadarkan diri karena tak sanggup kehilangan putrinya. Sementara Elcander, ia memasang wajah tenang seolah tak kehilangan apapun. Ia tak bisa menangisi putrinya karena ia tahu apa yang pergi tak akan bisa kembali meski ia menangis darah.
Penelope juga ada diprosesi pemakaman itu. Ia tak merasa bersalah sedikitpun atas kematian Putri Alena. Ia bahkan akan membuat lebih banyak kematian di dalam istana.
Hari ini pertama kalinya ia melihat Elcander. Ia tak berada dekat dengan pria itu tapi ia cukup bisa mengamati Elcander dari tempatnya. Mata Penelope memandang penuh kebencian. Hal yang tak pernah wanita berikan ketika bertatapan pertama kali dengan Elcander.
Tak ada yang lebih indah dari Elcander. Ia memikat dengan aura yang ia miliki. Nampaknya ketika Sang Pencipta menghadirkan Elcander ke dunia ini, ia sedang berada dalam suasana hati yang sangat baik. Sangat wajar jika dikatakan Ratu Zheba dari kerajaan Astero yang terkenal bersedia menyerahkan kerajaannya tanpa perlawanan pada Elcander.
Wajah memikat itu bisa membuat wanita mengiris tangannya sendiri tanpa disadari.
Namun tidak bagi Penelope, setampan apapun Elcander baginya pria itu adalah musuh yang harus ia bunuh. Ia tak akan bisa menghadap keluarganya di langit jika ia tidak membalaskan kematian mereka.
Satu minggu berlalu setelah kematian Putri Alena. Selir Elyse masih belum keluar dari kesedihannya. Ia terkadang menangis meraung sambil memegangi pakaian putrinya, dan sekarang ia menganggap bantal adalah putri kecilnya. Ia mengelus bantal itu lembut. Bicara tentang seberapa sayangnya ia pada putri kecilnya.
Elcander selalu mendatangi Elyse, ia mencoba menguatkan selirnya namun ia tidak berhasil. Ia mengatakan bahwa mereka akan memiliki anak lagi tapi selir Elyse mengabaikannya. Malam-malam mereka yang biasanya bergelora dan b*******h menjadi malam suram. Elyse lebih sering memunggungi Elcander.
Pagi ini ibu suri mendatangi Elyse. Ia tidak bisa membiarkan menantu kesayangannya melakukan hal bodoh seperti ini terus menerus. Jika Elyse tak keluar dari kesedihannya maka Elcander pasti akan meninggalkannya dan berpaling pada selir lain.
"Elyse, sudah cukup kau seperti ini." Ibu Suri menatap lembut Elyse. Ia duduk di sebelah wanita yang memeluk bantal.
"Sayang, Nenek datang. Beri salam." Elyse tersenyum pada bantal yang ia anggap putrinya.
Ibu Suri sudah hilang kesabaran. Sudah cukup ia melihat kegilaan Elyse. Ia merenggut bantal yang Elyse peluk lalu membuangnya kasar.
"Anakku!" Elyse berteriak, ia hendak meraih bantal itu kembali namun ditahan oleh Ibu Suri.
"Sadarlah, Elyse. Putrimu sudah tiada!" Suara Ibu Suri meninggi.
"Tidak! Alena masih hidup. Dia kedinginan. Aku harus memeluknya."
Tangan Ibu Suri terangkat. Memberikan tamparan keras di wajah Elyse hingga meninggalkan bekas kemerahan, "Sampai kapan kau mau seperti ini? Terima kenyataan bahwa putrimu sudah tiada. Jika kau terus seperti ini kau bukan hanya kehilangan anakmu tapi juga Yang Mulia Raja. Satu minggu sudah cukup untuk kau meratap. Jika terus kau lanjutkan maka posisimu akan digantikan oleh selir lain dan kau akan kehilangan kasih sayang Raja. Kau bisa memiliku putri lagi tapi jika kau seperti ini maka kau hanya menghancurkan dirimu sendiri. Sadarlah, Elyse. Kau sedang membuat celah agar orang lain bisa merebut hati Raja. Wanita diluaran sana sangat senang melihat kau seperti ini." Ibu Suri pernah kehilangan putrinya tapi ia tak seperti Elyse. Ia tak akan membiarkan kesedihannya menghancurkan hidupnya. Ia tak memberi kesempatan bagi siapapun untuk merebut posisinya sebagai ratu.
"Pikirkan baik-baik. Kau ingin terus seperti ini atau kembali melangkah maju." Ibu suri bangkit dari duduknya, ia melangkah menuju ke pintu ruangan.
"Akh!" Ia memegangi lututnya yang terasa lemas.
Pelayan yang ada di belakang Ibu Suri dengan sigap menangkap tubuh Ibu Suri. Akhir-akhir ini kesehatan Ibu Suri memang menurun. Mungkin ini efek dari terlalu banyak pikiran karena masalah kematian Putri Alena.