Bab 6. Si Pincang yang Diragukan

1060 Kata
“Kerja?” ucap seorang mandor bangunan dan menjadikan Daniel sebagai lawan bicaranya. Di hadapannya, Daniel memang memiliki tubuh kekar tegap. Daniel tampak jelas sudah terbiasa melatih otot-ototnya. Masalahnya, kaki kanan pria itu pincang. Yang sekadar berdiri dengan benar saja, Daniel tidak bisa. Di lain sisi, Daniel yang sadar tengah diragukan kemampuannya, sengaja meyakinkan dirinya. Agar ia tak sampai arogan. “Tahan egomu karena pada kenyataannya, kamu memang sedang di titik nadir. Keadaanmu membuat orang-orang apalagi mereka yang membencimu, selalu ingin menghinamu! Kasihan Vio karena terus berjuang sendiri!” batinnya yang kemudian berkata, “Iya, Pak. Kerja apa saja. Saya butuh uang buat makan.” “Kamu yakin kamu bisa, sementara kaki kanan kamu saja, ... pincang?” balas si mandor. Pria kurus tinggi itu menggeleng dan jelas tak mau memberi Daniel kesempatan. Apalagi ia juga langsung meninggalkan Daniel. “Pak, … tolong, Pak! Saya butuh uang buat makan. Izinkan saya bekerja, Pak!” Daniel benar-benar memohon. Terpincang-pincang dirinya menyusul sang mandor kuli bangunan. Di pagi yang sedang cerah-cerahnya akibat sinar mentari yang mulai naik, Daniel yang memakai celana panjang bahan warna hitam memilih tak mengejar sang mandor. Sebab pria yang sedang memimpin pembangunan pasar tersebut malah buru-buru masuk ke dalam area pembangunan. Pria berkulit hitam itu benar-benar menghindari sekaligus tak mau memberinya kesempatan. Gagal di satu tempat, Daniel langsung bergerak cepat mencari kerja di tempat lain. Semua itu demi agar ia bisa mendapat uang untuk menopang ekonomi keluarga. Pasar menjadi tujuan Daniel. Ia yang sudah terbiasa memerintah atas statusnya sebagai bos mafia, kini sungguh harus menunduk dan menyegani setiap mereka. Termasuk juga pada mereka yang tak segan menghina kaki kanannya yang pincang. Baik yang langsung melontarkan kata-kata cacian, atau mereka yang terus saja mengawasi kaki kanannya. “Satu mobil pick up, beneran sebanyak ini dan aku susun rapi berjam-jam, hanya dihargai dua puluh ribu?” batin Daniel sempoyongan sambil meninggalkan mobil pick up hitam yang dimaksud. Keringat Daniel bercucuran dan pakaiannya sampai basah. Namun tanpa Daniel ketahui, sang mandor kuli bangunan diam-diam memperhatikannya dari kejauhan. “Boleh juga tuh orang. Dari tadi tenaganya gede banget!” pikir si mandor kuli bangunan menaruh simpati ke Daniel. Rasa haus sebenarnya sudah sangat menyiksa Daniel lantaran rasa tersebut juga disertai tenggorokannya yang kering. Namun andai Daniel menggunakan uangnya untuk membeli minum, Daniel tak mungkin bisa memberikannya kepada Violita dengan layak karena segitu saja kurang. Terlebih, baru mendapatkan upah dua puluh ribu dan itu membuatnya bekerja sangat keras, Daniel malah mengalami tindakan premanisme. Para preman yang telinganya bolong-bolong bekaa tindik, tak segan mendorong Daniel. Daniel yang cukup kelelahan langsung terbanting. Mandor kuli bangunan menyaksikan kekejian tersebut. Termasuk juga ketika Daniel bergegas melakukan serangan balik dan membuat empat preman tadi berakhir terbanting di tanah becek sana. Sang mandor tertakjub-takjup menyaksikan si pincang yang ia ragukan, berhasil menaklukan ke empat preman pasar dan selama ini sangat disegani. “Andai aku enggak ingat istriku, ... habis lah kalian!” tegas Daniel dalam hati. “Kalau mau uang, kerja! Jangan jadi preman dan hanya ngerampok punya orang!” hardik Daniel dan membuat keempat preman di sana yang sekadar menggerakkan badan saja tak bisa, mengangguk-angguk. Daniel memilih pergi setelah berhasil merebut uang dua puluh ribunya. Kembali mendapatkan penghasilan, menjadi alasannya melakukannya. “Uang segini masih kurang banget. Sementara ini sudah dzuhur. Pasar pun mau tutupan. Aku harus cari orang yang butuh kuli angkut lagi!” sergah Daniel berbicara lirih. Ia kembali masuk ke dalam pasar. Membiarkan mereka yang sempat menontonnya menghajar keempat preman pasar, makin sibuk memperhatikannya. Hampir setiap barang di dalam pasar sudah ditangani oleh kuli panggul masing-masing. Daniel tak mungkin mengambil alih apalagi sampai melakukan tindakan premanisme. “Setelah bisa menghubungi anak buahku, semuanya pasti akan terasa lebih mudah. Sekarang beneran harus berjuang. Biar tetap bisa makan,” batin Daniel. Ia memungut setiap botol bekas di pasar bahkan tempat sampah. Tentu Daniel merasa sangat jijik. Namun, pada kenyataannya kini ia merupakan laki-laki yang sudah memiliki istri. Andai boleh diizinkan jijik, tentu itu Violita yang malah harus menikah dengannya. Terbukti, hingga tadi pagi mereka bersama, Violita nyaman-nyaman saja ia antar kerja hingga depan puskesmas. Hanya saja, keadaan yang sangat jauh dari biasanya juga membuat seorang Daniel merasa sangat nelangsa. Air mata Daniel sampai mengalir. Terlebih di tengah kesibukannya memungut botol dan bahan plastik bekas kemudian memasukkannya ke karung, Daniel menemukan uang lima ratus perak dan turut ia pungut. “Seumur-umur, aku belum pernah merendahkan diri serendah ini. Semua ini semata aku berikan karena ketimbang aku, Violita jauh lebih mati-matian membelaku,” batin Daniel. Setelah keliling pasar dan membuat karungnya terisi setengah lebih, Daniel kembali melewati proyek bangunan. Di sana ia bahkan berpapasan dengan sang mandor. “Turunkan semua semen dari mobil kalau kamu memang mau kerja,” sergah sang mandor tanpa sedikit pun melirik Daniel. Ia bahkan langsung pergi ke mobil pick up berisi semen dan memang masih penuh, ya g ia maksud. Mendengar itu, hati Daniel berbunga-bunga. “Ini saya beneran boleh kerja, Ndor?!” sergahnya. Meski tanpa harus dipastikan, harusnya memang begitu. Sebelum memulai kerja, Daniel sengaja mengamankan rongsoknya. Ia begitu bersemangat karena dengan bekerjanya ia di sana meski hanya jadi seorang kuli bangunan, ia bisa mendapatkan bayaran. Di tempat berbeda, setelah menghabiskan jam kerjanya di puskesmas, Violita justru dipanggil oleh sang atasan. Disaksikan oleh bidan yang lain, Violita yang dikenal baik bahkan alim, mendapatkan sanksi kode etik. Kenyataan tersebut masih berkaitan dengan kasus Violita dan Daniel. Ternyata ada yang melaporkannya dan itu Fathan. “Saya benar-benar dijebak, Dok. Meski pada akhirnya, kami sama-sama menikah. Saya menikah dengan pria asing itu, sedangkan mas Fathan, menikah dengan adik tiri saya. Setelah meminum teh buatan adik saya, saya benar-benar mengantuk berat dan memang sampai ketiduran. Begitu juga dengan pria asing itu.” Violita menjelaskan sejelas-jelasnya. “Setelah kami disidang dan dinikahkan paksa pun, saya langsung membawa pria asing yang menjadi suami saya, berobat ke rumah sakit. Ya memang masih rumah sakit mas Fathan kerja. Karena memang, di sini baru ada rumah sakit itu,” ucap Violita yang memang mendapatkan simpati dari atasan maupun rekannya. Terlebih, ia sampai memberikan bukti pengobatan Daniel. Di bukti rekap medis tersebut, luka-luka Daniel terbilang serius. Tulang kaki kanannya saja patah dan sampai sekarang masih pincang. Namun, apakah kemujuran masih berpihak ke Violita jika Fathan sudah mengerahkan uang sekaligus kuasanya? Karena pada kenyataannya, Fathan itu anak kades sekaligus juragan tanah di desa mereka tinggal. Fathan memiliki pengaruh tinggi dalam segala hal di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN